Monday, September 14, 2015

TUAN GURU ANTARA IDEALITAS NORMATIF DENGAN REALITAS SOSIAL PADA MASYARAKAT LOMBOK

Abstrak
Pergeseran paradigma dan penyebutan masyarakat tentang tuan guru di Lombok sering mengalami kerancuan dan tumpang tindih karena beberapa hal; status ketuanguruannya, keilmuan, sikap dan prilaku, serta antara orang  yang aktivitasnya murni mengajar masyarakat di pesantren, guru madrasah, da’i, dan orang yang aktivitasnya mengajarkan kitab-kitab keagamaan secara umum, bahkan karena faktor kepentingan politik, tuan guru di setiap pelosok bak jamur di musim hujan. Berangkat dari persoalan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan epistimologi tuan guru dalam tataran normatif sekaligus memotret realitas sosial tentang fenomena penyebutan gelar tuan guru. Upaya ke arah tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis-fenomenalogis dengan analisa deskriptif-induktif. Dengan demikian temuan penelitian ini membuktikan bahwa tuan guru sebagai fungsionaris agama semestinya memiliki; integritas keilmuan mendalam, kesalehan individual dan sosial, ahli membaca kitab, memiliki lembaga pendidikan, pernah berhaji, adanya penerimaan sosial, memiliki komitmen tinggi terhadap masyarakat, memiliki kharisma khas yang membedakan dirinya dengan orang lain, serta berakhlak mulia.
PENDAHULUAN
Di tengah-tengah perubahan sosial dewasa ini, banyak gugatan yang dilontarkan kepada tuan guru. Secara umum gugatan-gugatan tersebut berkisar pada posisi dan sikap yang dipilih dan dimainkan oleh tuan guru di tengah dinamika hubungannya dengan:
Pertama; status ketuanguruannya; dipertanyakan karena adanya kecenderungan pelembagaan status ketuanguruannya. Unsur-unsur nasabiyah dalam konsep keulamaan memperoleh penekanan yang konsisten, sementara fungsi-fungsi normatifnya kurang mendapat  penilaian. Pada gilirannya, status ketuanguruan disejajarkan dengan tidak ada bedanya dengan status kebangsawanan, di mana seorang tuan guru dapat menganakpinakkan tuan guru, cukup dengan genetik, tanpa tuntutan standar kualitas obyektif dalam keilmuan dan kemampuan. Yang semula konsep keulamaan merupakan status achievtive (prestasi) berubah menjadi status ascribtive (keturunan). Kekecewaan terhadap  penampilan tuan guru dewasa ini dapat dimaklumi, mengingat banyaknya diantara mereka yang menikmati sebutan tuan guru itu di samping memperoleh statusnya  semata-mata melalui jalur keturunan, tanpa memiliki kualitas yang memadai yang dituntut oleh standar ajaran (ilmunya tidak dalam, ibadahnya tidak tekun, dan tidak menjadi pengayom umat) dan kontroversi menjadi semakin ruwet ketika berbagai lembaga yang tidak mempunyai sangkut paut dengan  jalur tradisi dan akar sejarah ketuanguruan ikut terlibat menjadi “promotor” tuan guru, untuk menciptakan citra legitimate (pengakuan) bagi kepentingan dan keberadaannya sendiri.
Kedua, keilmuan tuan guru; digugat dengan penilaian bahwa tuan guru kurang memiliki kemauan untuk beranjak dari orientasi simbol menuju orientasi substansi dalam menyikapi doktrin dan ajaran agama.[1] Visi keilmuan yang dikembangkan cenderung berorientasi untuk mengkonversi (muhâfazhah) tradisi yang diwariskan dari tuan guru pendahulunya semata, tanpa mempunyai keberanian melakukan pengembangan dan aktualisasi sesuai dengan tantangan perubahan yang terjadi, sehingga kualitas keilmuan tuan guru hanya terbatas pada ilmu-ilmu keislaman tradisional dan kurang memiliki wawasan sosial yang luas dan transformatif (mutathawwirah). Menghadapi perubahan yang terjadi kebanyakan tuan guru hanya berperan memberikan bimbingan moral-etik dan menjawab soal-soal keilmuan dan kemasyarakatan dengan hukum fiqhiyyah yang mengacu pada teks-teks yang tersurat dalam kitab-kitab kuning, tanpa memahami kompleksitas perubahan sosial dan keilmuan yang terjadi dewasa ini, dan kurang mengusai realitas persoalan yang menyentuh hakekat hidup dan dasar kemanusiaan sekarang.
Ketiga, sikap dan perilaku tuan guru; kalau dulu tuan guru sebagai pemimpin dan pengayom masyarakat bawah, hidup di tengah-tengah keperihatinan mereka, menjadi penampung dan perumus aspirasi mereka, menjadi pembela kepentingan kaum lemah, obsesinya yang begitu kuat dalam pemberdayaan masyarakat. Maka sekarang citra tuan guru yang demikian itu semakin memudar. Ada semacam tuduhan, bahwa citra kebanyakan tuan guru dewasa ini tertarik untuk berkoalisi dengan penguasa atau kelompok kuat, daripada menyantuni kelompok masyarakat yang lemah. Lebih merasa bangga berada di tengah-tengah kehidupan kaum elit, daripada bergumul bersama-sama masyarakat bawahan yang menderita tergusur hak-hak yang seharusnya dimilikinya. Tuan guru dipandang kurang tanggap terhadap masalah-masalah kemanusiaan, keadilan, dan ketimpangan sosial.
Tuan guru adalah kelompok terbatas yang dipersepsikan oleh orang awam sebagai elit, karena ada nilai tambah dalam dirinya, mereka mempunyai kelebihan ilmu pengetahuan. Seseorang akan disebut tuan guru oleh masyarakat, bukan diproklamirkan sendiri oleh penyandangnya. Berbeda dengan predikat formal seperti sarjana, ia merupakan hak setiap orang yang selesai menempuh prosedur administratif di suatu fakultas. Ia tempuh melalui jenjang-jenjang kesarjanaan, seperti S1, S2, S3. Sedangkan yang bersifat informal, elit informal, semacam ulama, kyai, tuan guru, ia meniscayakan adanya social recognation (keberterimaan masyarakat).[2]
Dahulu, tuan guru memang identik dengan pemimpin pesantren yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang agama. Kata-kata tuan guru dianggap sebagai fatwa yang notabene harus dilakukan. Tuan guru memiliki komitmen yang besar terhadap nilai-nilai kebenaran. Sebagai orang yang ahli dalam bidang agama, mereka selalu berusaha untuk mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Itulah sebabnya tuan guru dianggap sebagai panutan bagi masyarakat.[3]
Tuan guru sering dijuluki berpaham tradisional, memang tidak selalu mengandung arti negatif. Tuan guru yang tampil dengan penuh kesederhanaan, dengan memakai sandal, sarung dan memegang tasbih, sesungguhnya mengandung nilai budaya yang tinggi.[4]
Dalam konteks kekinian gelar tuan guru terdapat perbedaan nilai dalam masyarakat bila dibandingkan dengan tahun 70-an atau tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat sekarang adalah kaum terpelajar yang memiliki keilmuan agama hampir sepadan dan seragam. Cukup banyak orang-orang yang pintar, termasuk lulusan Makkah, Madinah, Mesir yang dijadikan semacam persyaratan untuk menyebut seseorang sebagai tuan guru. Namun tidak sedikit proses legitimasi pengangkatan mereka sebagai tuan guru tidak terjadi. Tak perlu disanksikan bahwa jumlah orang yang berilmu atau memiliki ilmu pengetahuan setaraf dengan tuan guru-tuan guru tenar tetap banyak. Karena itulah, sebagaimana tersebut di atas, bahwa dalam masyarakat  sekarang ini telah terjadi perubahan nilai dan terjadi pergantian peran tuan guru kepada cendikiawan.[5]
Persoalannya bukan masyarakat tidak memberikan legitimasi kepada mereka sebagai tuan guru, tapi terjadi perubahan gelar dan lagi belum tentu para cendikiawan tersebut setuju dengan gelar tuan guru atau kyai atau bahkan Ulama sebagaimana terjadi pada pemikir-pemikir tempo dulu. Dari sini kemudian terlihat seakan-akan terjadi krisis populasi tuan guru, atau Ulama.[6]
Keberadaan tuan guru dalam masyarakat khususnya masyarakat pesantren sangat sentral. Suatu lembaga pendidikan Islam disebut pesantren apabila memiliki tokoh sentral yang disebut tuan guru. Jadi tuan guru di dalam dunia pesantren sebagai penggerak dalam mengemban dan mengembangkan pesantren sesuai dengan pola yang dikehendaki. Di tangan seorang tuan gurulah pesantren itu berada. Oleh karena itu, tuan guru dan pesantren merupakan dua sisi yang selalu berjalan bersama. Bahkan “kyai bukan hanya pimpinan pondok pesantren tetapi juga pemilik pondok pesantren”.
Berdasarkan pokok pikiran yang dipaparkan dalam latar belakang di atas, permasalahan yang diajukan adalah; (1) bagaimana konsep normatif tentang epistimologi tuan guru? (2) bagaimana masyarakat memahami realitas sosial tentang gelar tuan guru?
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi para tokoh agama untuk menjadi bahan evaluasi diri atas predikat yang melekat pada diri mereka sendiri. Juga bagi masyarakat dimana legitimasi seseorang tuan guru, semestinya dilihat dari aspek-aspek kapabilitas, keilmuan, kelayakan, dan moralitas, bukan hanya sebatas kharismatik dan banyaknya pengikut. Dengan demikian komponen keulamaan tuan guru sebagai ulama harus melekat pada dirinya sifat-sifat dan karakteristik sebagai seorang ulama, sehingga tidak serta merta setiap orang dapat disebut sebagai tuan guru.
METODE PENELITIAN
Dilihat dari obyek kajian dan orientasi yang hendak dicapai, penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research). Sifat penelitian ini adalah eksploratif, yang bertujuan menggali informasi dari pengamatan secara lansung di lapangan serta persepsi dari masyarakat tentang idealitas gelar tuan guru. Sesuai dengan tipe penelitian yang dipilih, data-data dikumpulkan adalah data primer berupa konsep sekaligus persepsi masyarakat tentang terminologi tuan guru, dan data sekunder berupa kajian-kajian tentang ulama yang tertera di berbagai literatur.
Subyek penelitian ini adalah masyarakat Lombok. Karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang ingin mengetahui masalah  tersebut, maka dalam populasi ini metode penentuan informannya dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu dipilih berdasarkan obyek tertentu lalu dikembangkan.[7] Oleh karena itu, pemilihan informan yang diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan tujuan penelitian ini yang ditentukan dengan kriteria bahwa mereka adalah orang-orang yang mengerti selukbeluk ketokohan seorang tokoh agama, mengetahui kreteria umum tentang tuan guru.
Atas dasar tersebut, jumlah responden diklasifikasikan menjadi beberapa kategori.[8] Pertama. Kalangan tokoh agama, dalam hal ini tuan guru, yang penulis tentukan masing-masing 3 tuan guru dari tiga wilayah kabupaten, yaitu kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat. Kedua, kalangan akademisi, dari kalangan ini peneliti tentukan 3 sampai 5 orang akademisi. Tujuannya untuk menggali konsep dan persepsi mereka tetang idealisasi gelar tuan guru yang menjadi fenomena di kalangan masyarakat Lombok. Ketiga, Kalangan tokoh adat. Untuk kalangan ini penentuan informan penulis mewawancarai 3 sampai 5 tokoh adat yang peneliti tentukan sendiri kriteria yang disebut sebagai tokoh adat. Tujuannya tetap untuk menggali persepsi atau tanggapan mereka seputar gelar tuan guru. Keempat. Kalangan masyarakat awam. Untuk kalangan ini peneliti wawancarai siapa saja yang peneliti temukan di lapangan penelitian dengan tidak menentukan beberapa jumlahnya (meminjam istilah Bambang Pranowo) asalkan mereka bisa menjelaskan dan memberikan argumentasinya tentang objek penelitian, baik di wilayah Lombok Timur, Lombok Tengah maupun Lombok Barat. Sedangkan penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan dari bulan Juni-November 2009 di tiga kabupaten; Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat. 
Dalam metode analisis kategorisasi tuan guru ini tidak membicarakan besar kecilnya sampel selaku informan. Pada sampel bertujuan seperti ini jumlah sampel ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan informasi yang diperlukan. Jika maksud memperluas informasi maka jumlah informan dapat ditambah, tetapi jika tidak ada lagi informasi yang dapat dijaring atau sudah mulai terjadi pengulangan informasi, maka penarikan informan sudah harus diakhiri.[9]
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini: (1) kuesioner, digunakan sebagai salah satu intrument untuk memperoleh informasi tentang konsep dan persepsi masyarakat tentang gelar tuan guru, atau persepsi mereka tentang kategorisasi tuan guru. Berkenaan dengan masalah tersebut, peneliti menyiapkan 20 pertanyaan yang dilengkapi dengan alternatif  jawabannya. Peneliti menggunakan kuesioner tertutup yang jawabannya sudah disediakan oleh peneliti dalam bentuk alternatif jawaban (ya atau tidak); 2). Wawancara (interview), digunakan juga sebagai instrumen penelitian untuk mengumpulkan data dari masyarakat dan tokoh masyarakat tentang kategorisasi tuan guru, kelayakan tuan guru dan persepsi mereka tentang tuan guru. Dalam penelitain ini, peneliti menggunakan interview bebas terpimpin. 3) observasi, yang digunakan adalah observasi sistematis. Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian di lapangan berdasarkan pantauan secara umum tentang kapasitas kelayakan tuan guru disebut tuan guru di tengah-tengah komunitasnya. 
Data diolah menggunakan teknik standar sajian dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Selanjutnya, data dianalisa dengan menggunakan metode induktif dan bentuk analisanya adalah diskriptif-analitis, data-data yang diperoleh baik melalui kuesioner, wawancara dan observasi dideskripsikan dalam bentuk kata pada kalimat, termasuk juga data yang diperoleh melalui angket dengan terlebih dahulu menetapkan interval nilai dalam kategori jawaban”ya atau tidak”, untuk kemudian menetapkan kategori kelayakan penyebutan seseorang sebagai tuan guru. 

 
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsep Ulama dan Konsep Tuan Guru dalam Tataran Normatif
a. Ulama
Dalam perspektif al-Qur’an–dengan tanpa bermaksud untuk mengotak-atik istilah ulama yang sudah terkesan baku-, sebutan bagi orang-orang yang berpengetahuan bermacam-macam, yaitu ulamâ’, ûlil ilmi, arrâsikhûn fi al-ilmi, ahl azzikr, dan ulil al-bâb.[10] Kata ulamâ disebut dua kali dalam al-Quran yaitu terdapat pada surat as-Syûrâ: 197 dan surat al-Fâthir:  28.  Kata ulama dalam surat al-Syûrâ dipergunakan untuk menyebut ulama Bani Israel yang mengetahui diturunkannya al-Quran kepada nabi Muhammad dari kitab mereka. Sedangkan dalam surat al-Fâthir istilah ulama dipergunakan untuk menyebut hamba-hamba Allah yang paling takut.[11]
Kata ulama yang berasal dari bahasa Arab ini dan sebagai bentuk jamak (plural) dari kata alim, secara lughat (etimologi) berarti “orang-orang yang mempunyai pengetahuan”, atau dengan kata lain, ulama adalah para ahli ilmu pengetahuan. Dalam pemakaian praksisnya, istilah ulama lebih berkonotasi pada makna “para ahli ilmu agama”, malah dalam persepsi yang hidup di kalangan masyarakat Islam, ulama dipandang bukan sekedar sebagai ahli agama saja, tetapi juga sebagai orang-orang yang konsisten terhadap agamanya, mempunyai komitmen yang kuat dengan nilai-nilai moral dan kemasyarakatan.[12]   
Dalam Encylopedia of Islam and The Muslim World, menyebutkan bahwa ulama secara kebahasaan adalah orang yang memiliki pengetahuan atau orang yang tahu. Ulama merupakan kata jamak/plural dari kata tunggalnya/singular, alîm.  Istilah ini secara luas dapat digunakan untuk melihat kelas sosial kependidikan suatu masyarakat yang tugas pokok mereka adalah mengkaji teks-teks keagamaan seperti al-Qur’an dan al-Hadis.[13] Dan secara umum ulama memiliki kategori yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai orang yang taat dan bakti (Q.S. 4: 59) dan memiliki otoritas dalam menterjemahkan ajaran agama, karena pengetahuan keagamaannya yang mendalam.[14] 
Selanjutnya, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, terdapat keterangan yang menarik dan baru tentang ulama dengan orang yang berilmu. Dalam pengertian asli, yang dimaksud dengan ulama adalah para ilmuan, baik di bidang agama, humaniora, sosial dan keislaman. Dalam perkembangannya kemudian pengertian ini menyempit dan hanya dipergunakan untuk ahli agama. Di Indonesia, ulama juga mempunyai sebutan yang berbeda di setiap daerah seperti Kyai (Jawa), Ajengan (Sunda), Tengku (Aceh), Syeikh (Sumatera Utara/Tapanuli), Buya (Minangkabau), Tuan guru (Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah).[15]
Perspektif Sayyid Quthub, yang dikategorikan sebagai ulama adalah orang-orang yang memiliki keilmuan kedalaman ilmu agama, mereka mempunyai kesadaran ketaqwaan yang tinggi kepada Allah, mereka mempunyai rasa keterikatan dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam (dalam arti mereka tidak lepas dari lingkungan hidupnya), mereka memiliki integritas moral yang diakui oleh masyarakatnya.[16]
al-Ghazali menyebut lima ciri kepribadian ulama, yaitu: abîd: taat melakukan ibadah, zahîd: hidup dalam kesederhanaan materi, alîm:  mempunyai pengetahuan yang luas, faqîh: menguasai pengetahuan kemasyarakatan, murîd, mempunyai orientasi keikhlasan.[17]
Berdasarkan kajian Badaruddin H. Subki, bahwa sekurang-kurangnya kriteria ulama itu meliputi; menguasai ilmu agama (tafaqquh fi al-dîn), dan sanggup membimbing umat dengan bekal memberikan ilmu keislaman yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadits, ikhlas melaksanakan ajaran Islam, mampu menghidupkan sunnah Rasul dengan mengembangkan Islam secara kaffah, berakhlak luhur, berpikir kritis, aktif mendorong masyarakat melakukan amal shaleh, bertanggung jawab dan istiqomah, berjiwa besar, kuat mental dan pisik, tahan uji, hidup sederhana, amanah, beribadah berjamaah, tawadhu’, kasih sayang antarsesama, mahabbah, serta  dan tawakkal kepada Allah SWT, mengetahui dan peka terhadap situasi zaman serta mampu menjawab setiap persoalan untuk kepentingan Islam dan umatnya, Berwawasan luas dan menguasai beberapa cabang ilmu demi pengembangannya, menerima pendapat orang lain yang tidak bertentangan dengan Islam dan bersikap tawaddhu.[18]
Muhammad Baqhir al-Majlisi mengutip pernyataan Ali bin Abi Thalib yang  membagi ulama menjadi tiga bagian. Pertama, kaum terpelajar yang sering memamerkan diri dan suka berdebat. Kelompok ini sering menunjukkan kehebatannya dan setiap mengeluarkan pendapatnya sering menyinggung perasaan orang lain. Di hadapan banyak orang, mereka berpura-pura khusyu’ dan membuat dirinya seperti orang yang wara’. Kedua, kaum terpelajar yang hanya ingin mencari kekayaan dan bahkan mereka juga tidak segan-segan menipu. Mereka ini memiliki sikap yang merendah terhadap orang-orang kaya. Perilaku ini muncul karena sangat mengharap hadiah dari orang kaya. Namun sebenarnya, kelompok ini tidak memiliki kepedulian terhadap pemahaman keagamaan orang-orang kaya yang salah. Ketiga, kaum terpelajar yang mendalami keilmuan dan logika. Kelompok ini dikenal memiliki kreatifitas dan idealitas yang sangat tinggi, namun kehidupan mereka terkesan susah dan berat. [19]
Karekteristik atau definisi ulama yang terdeskripsikan di atas lebih didasarkan pada kriteria normatif. Secara sosiologis, kriteria-kriteria tersebut akan hadapi persoalan semantis, maupun aplikatif. Sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang termasuk ulama dalam konteks kehidupan sekarang. Ini merupakan hal yang wajar diajukan mengingat  memang sering terjadi bias dan over lapping dalam pemahaman masyarakat luas.
Dalam sejarah peradaban Islam di banyak bagian dunia menunjukkan ulama’ sering muncul sebagai pemimpin gerakan pembaharuan sosial & politik[20] dan kecendrungan ulama’ menempatkan kehadirannya dalam setiap krisis politik dan sosial di negara-negara Islam tidak lepas dari dua alasan; Pertama, adanya kenyataan bahwa ulama’ secara historis menganggap dirinya sebagai titik fokal kesadaran moral Islam. Kedua, kenyataan bahwa ulama’ mengabdi pada lembaga-lembaga masjid dan madrasah tempat jamaah mereka berkumpul secara teratur.[21] Di situ juga ulama’ berkumpul untuk membicarakan berbagai masalah yang berkaitan dengan masyarakat umat dan keimanan.[22]
Di masa Dinasti Abbasiyah (750-1055), semua ulama yang diangkap pemerintah untuk memegang posisi keagamaan tersebut mulai menerima imbalan material, yang banyak hal membuat mereka rentan terhadap tekanan penguasa. Hal ini berdampak merosot independensi ulama yang mengakibatkan erosi respektabilitas, kewibawaan, dan otoritas mereka dalam pandangan sebagian kaum muslimin saat itu. Masyarakat muslim pada umumnya secara tradisional mencurigai keterlibatan ulama dalam aktivitas birokrasi. Bagi mereka dengan cara berpikir sederhana, keterlibatan ulama dalam birokrasi berarti melenyapkan kehormatan diri (muru’ah) mereka sebagai ulama.[23]
Kriteria ulama tersebut di atas sangatlah ideal, akan tetapi ulama itu diasumsikan oleh masyarakat muslim sebagai seorang figur yang memiliki kedalaman ilmu keislaman klasik (lebih khusus lagi ilmu fiqh), dan secara konvensional di kalangan masyarakat muslim Indonesia lebih dikenal dengan sebutan kyai/tuan guru.[24]
Departemen Agama RI, kata ulama diinterpretasikan dengan “orang-orang yang mengetahui kebesaran Allah”, bahkan Nurcholis Madjid mentranslitnya menjadi “ilmuwan’’ atau scientist, yaitu golongan masyarakat yang paling meresapi ketaqwaan, paling tinggi penampilan moral, adab dan akhlaknya.[25]
Ciri khas yang bersifat holistik peran dan fungsi  ulama’ dalam masyarakat Islam, khususnya Indonesia, terlihat dari peran dan fungsinya dalam kaitannya dengan  proses islamisasi. Ulama’ adalah fungsionaris keagamaan (fungsionaris agama). Ia menjabat urusan agama, pada pranata keutamaan Islam, yang secara tradisional telah dilestarikan oleh keluarga kalangan menengah pedesaan yang mengkhususkan diri dalam mencetak kader ulama’ dan mengambil tanggung jawab dalam menjaga ortodoksi Islam. Setiap ulama’ selalu terkait dengan masjid tempat ia bertindak sebagai imam shalat dan pembawa khutbah Jum’at. Sebagian besar ulama’ mengelola madrasah, tempat para penduduk desa dan santri berkumpul untuk belajar membaca al-Qur’an dan mendengarkan wejangan ulama’. Betapa di antara mereka juga memiliki dan mengurus pesantrennya sendiri (pendidikan agama yang sistematis model tradisional) di mana sejumlah besar santri belajar bersama  dan menempati pondok-pondok sederhana.[26]
Kenyataan sosiologis memperlihatkan keragaman yang terjadi di kalangan ulama. Pada tahap pertama, Ulama mungkin dapat dibedakan dalam tiga kategori besar, yaitu ulama bebas, pejabat agama, dan para tokoh organisasi Islam. Mereka ini masing-masing mempunyai sifat, jangkauan pengaruh dan rekrutment yang berbeda-beda. “Ulama Bebas” biasanya mempunyai pusat-pusat pendidikan seperti pesantren, madrasah atau majlis taklim. Keulamaannya lebih disandarkan kepada pengakuan umatnya dan legetimasi itu tidak jarang diikuti juga dengan hubungan yang bersifat genealogis. Lazimnya tiada batas wilayah yang jelas menentukan pengaruh ulama bebas ini. Wibawanya, tidak hanya ditentukan sejauh mana kedalaman ilmu dan pengetahuan dan kemuliaan moral dan ibadahnya, tetapi juga seberapa luas ulama itu terkait dengan jaringan sub-sub komunitas Islam dalam mata rantai guru dan santri pesantren.[27]
Berbeda dengan ulama bebas ialah pejabat agama yang mendasarkan legitimasinya berdasarkan pengangkatan dari pemegang kekuasaan temporal. Perbedaan struktural kedua tipe pemimpin Islam ini, yaitu penghulu dan ulama pesantren, seringkali secara latent menempatkan mereka kedalam situasi konflik dan pada masa kolonial dahulu, Belanda memperkokoh kedudukan penghulu ini untuk melakukan kontrol terhadap pesantren dan sekolah agama. Karena legitimasinya didasarkan jalur kekuasaan maka para pejabat agama mempunyai batas pengaruh tertentu, sesuai dengan batas resmi di mana mereka ditugaskan.[28]
Kategori yang ketiga ialah para pemimpin Islam yang menaiki kariernya melalui jenjang organisasi-organisasi Islam. Sebagian para pemimpin organisasi ini memiliki peralatan dan kapasitas keilmuan sebagai ulama, tetapi juga banyak diantaranya hanya didasarkan pada concern, cita-cita keislaman dan keikhlasan saja. Kualifikasi keulamaan golongan ini tidak terlalu sentral sebab mereka lebih tertarik bagaimana melakukan artikulasi aspirasi umat dalam konteks nasional. Oleh sebab itu para pemimpin Islam ini biasanya potensial untuk menjadi pemimpin nasional dibandingkan dengan ulama pesantren yang kokoh secara mendalam di lingkungan komunitas lokalnya. Kategori di atas hanyalah kerangka konseptual semata, sebab kadang-kadang juga ditemui adanya seorang ulama yang sekaligus memiliki fungsi dan karakteristik ketiganya. [29]
Pluralitas keulamaan Islam juga dapat dilihat dari segi perbedaan corak pemahaman teologisnya. Adanya sekelompok ulama yang menyatakan dirinya sebagai penganut ahlussunnah wa al-jama’ah, pemegang mazhab empat begitu ketat dan taat, sedangkan di pihak lain terdapat sekelompok umat Islam lainnya yang secara keras menolak bermazhab. Begitu pula dalam masyarakat Islam dikenal adanya ulama tarekat dan non-tarekat, tarekat mu’tabarah dan ghair mu’tabarah dan ada juga yang mengkhususkan dirinya sebagai figur magie-religie Islam atau bisa disebut sebagai ulama kanuragan.[30]
Gelar ulama’ tidak disebabkan karena dilahirkan dalam keluarga ulama’, dan tidak pula dilahirkan karena hasil pendidikan. Gelar itu diberi oleh masyarakat muslim tidak hanya karena kealiman, tetapi juga karena pelayanan dan pengaruhnya yang menguasai masyarakat muslim. Contoh yang umum terjadi di masyarakat misalnya, seorang kyai berpengaruh dikurangi statusnya menjadi hanya sebagai ustadz (guru ngaji) ketika fungsi agama dan sosialnya terlepas darinya sebagai akibat pengucilan keluarga dan masyarakat atau karena tiba-tiba ada menderita cacat mental dan kehilangan kepercayaan.[31] Kualitas individu ulama’ melebihi masyarakat dan keterampilan untuk melakukan fungsi sosial agama adalah demikian penting bagi pencapaian kekuatan dan pengaruh serta pengukuhan posisi mereka dalam masyarakat.[32]
Menurut Ali Musthafa Ya’qub, ulama dapat dilihat minimal dari lima kriteria, sehingga baru disebut sebagai ulama yang mewarisi kenabian[33] :
Pertama, memiliki ilmu agama Islam, dalam arti ia bukan sekedar mengetahui ilmu-ilmu agama Islam untuk diamalkan pada dirinya sendiri, melainkan juga mampu memberikannya kepada orang lain, minimal dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang disampaikan kepada orang lain. Jadi ulama ahli waris Nabi hanyalah orang-orang yang ahli agama Islam yang batasan mudahnya adalah mampu memahami al-Qur’an dan al-Hadis, atau dengan kata lain mampu membaca kitab kuning, sebab orang yang tidak mampu membaca kitab kuning, keahlian agamanya belum meyakinkan. Sementara kaum intelektual, cendikiawan, dan sebagainya dapat saja disebut sebagai ulama hutan, seperti yang ahli bidang kehutanan,  tetapi dalam batas pengertian ulama secara kebahasaan (lugathan), bukan secara terminologis ulama sebagai pewaris para nabi.[34] Kedua, khasyah kepada Allah ( rasa takut kepada Allah yang dibarengi dengan penghormatan dan ketundukan. Ketiga, Zuhud dan orientasi ukhrawi, dalam pengertian sikap untuk tidak mencintai dunia setelah dunia dia kuasainya. Keempat, akrab dengan rakyat kecil.  Kelima, berumur empat puluh tahun, karena umur empat puluh tahun merupakan umur atau usia yang matang bagi seseorang, dimana tidak lagi memiliki kegejolakan jiwa dan ketidakstabilan kepribadian. Di sinilah rahasia kenapa para Nabi kecuali Nabi Isa diangkat menjadi nabi pada usia yang keempat puluh. [35]
b. Tuan guru
Istilah tuan guru yang berkembang di kalangan masyarakat Lombok identik dengan sebutan kyai haji yang berkembang pada masyarakat Islam Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ia adalah tokoh agama Islam yang dipandang sangat menguasai ajaran agama dalam segala aspeknya.[36] Para tuan guru dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang menguasai berbagai ilmu keislaman, termasuk bahasa Arab dengan berbagai cabangnya, meskipun anggapan itu terkadang berlebihan dan belum tentu benar. Sebab tidak semua kyai atau tuan guru belajar semua ilmu-ilmu keislaman, baik di tanah suci Mekkah ataupun di tanah air dalam waktu yang cukup untuk membekali diri sebagai tuan guru yang ideal. Di antara mereka terdapat orang-orang yang sebenarnya belum pantas diangkat sebagai tuan guru, namun karena kharismanya, atau kharisma orang tuanya yang menonjol, sehingga yang bersangkutan disebut oleh masyarakat sebagai tuan guru dan menjadi panutan mereka. Terlepas dari itu semua, keberhasilan tuan guru dalam mengakulturasikan nilai-nilai Islam ke dalam kebudayaan Sasak biasanya didukung oleh para tokoh elite kekuasaan meskipun hanya pada tingkat bawah atau tingkat menengah.[37] 
Dalam konteks keindonesiaan, tuan guru dapat disamakan dengan kyai dalam masyarakat Jawa. Penyamaan kategorisasi ini didasarkan pada kriteria yang ada kesamaan dalam berbagai aspek meskipun ada perbedaan yang jelas antara gelar kyai dalam penyebutan komunitas masyarakat Lombok.[38]
Dalam terminologi masyarakat Sasak[39], Asnawi menyebutkan kriteria Tuan guru sebagai salah satu figur elite yang mempunyai kedudukan terhormat dan menjadi panutan masyarakat. Dengan kualifikasi sebagai kelompok yang memiliki ilmu pengetahuan agama Islam, mereka diakui sebagai penyebar dan pemelihara ajaran Islam, khususnya dalam menegakkan amar ma'ruf nahi munkar.[40]
Berbeda persepsi dan penamaan masyarakat Sasak tentang kyai, mereka menyebut kyai bukan seperti kriteria masyarakat Jawa, tapi kyai dalam perspektif masyarakat Sasak adalah orang yang bertugas sebagai penghulu nikah dapat disebut sebagai kyai, bahkan semua orang yang hadir dalam suatu acara keagamaan seperti acara aqad nikah, tahlilan, atau syukuran (roah: Sasak). Kesemua orang yang menghadiri acara tersebut diberikan gelar oleh masyarakat sendiri sebagai kyai,  kyai dalam arti orang yang diundang dalam acara roahan (syukuran).[41]
Ahmad Abd. Syakur menjelaskan kata kyai dipakai di pulau Lombok dengan mengandung beberapa pengertian. Pertama, kyai adalah tokoh agama Islam dalam arti orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas. Kedua, kyai bermakna sebagai orang yang sering diundang dalam acara do’a bersama seperti upacara kenduren berkaitan dengan kematian, perkawinan, dan lain sebagainya. Untuk pengertian ini di Lombok Timur, khususnya di Pancor, kyai yang diundang untuk memimpin do’a bersama pada acara kenduren disebut kyai tuan, kata tuan yang dimaksud adalah seseorang yang pernah menunaikan ibadah haji. Ketiga, di kalangan masyarakat Islam Wetu Telu, kata Kyai adalah sebutan untuk pemimpin agama di kalangan mereka, yaitu penghulu yang berfungsi sebagai penghubung antara mereka dengan Tuhan.[42]



Reposisi Terminologi Tuan guru Sebagai  Ulama 
Terminologi tuan guru penting untuk dipertegas kembali legalitasnya, sebab di kalangan masyarakat Sasak terjadi kekaburan pemahaman tentang siapa dan bagaimana kriteria tokoh panutan yang biasa mereka sebut dengan tuan guru haji .
Permasalahan sekarang adalah proses pendidikan atau persiapan menjadi ulama sudah berubah, sedangkan dasar-dasar pengakuan masyarakat umumnya tetap belum berubah. Orang-orang yang mempunyai pengetahuan keulamaan dan syarat-syarat lain mungkin terus berkembang, tetapi ukuran yang dipakai masyarakatnya  
Ada beberapa kategorisasi dan persyaratan non-formal yang biasa digunakan masyarakat untuk menyebut seseorang itu tuan guru dan dapat juga disamakan dengan Ulama.[43] Namun demikian, persyaratan dan kategorisasi tersebut selalu berubah seiring dengan  tuntunan zaman.
Ada beberapa kriteria umum yang menyebabkan orang disebut tuan guru:
1.      Pengetahuan keagamaannya
Jangkauan pengaruh tuan guru ini sangat tergantung pula pada keluasan pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, di tingkat yang lebih besar seperti kabupaten dalam arti longgar, ada lagi tuan guru dengan penguasaan ilmu yang sangat tinggi dan lengkap dengan jaringan komunitasnya yang juga lebih luas.
2.      Kesalehannya
Faktor kesalehan, Imam Gazhali  membuat kategorisasi ulama menjadi dua jenis. Pertama, Ulama Sû’ (buruk) atau  ulama dunia dan ulama ghairu sû’ (baik). Performance-nya sulit dikenali, namun ia sekarang menurut al-Gazali, mendominasi wacana keulamaan. Ulama model ini mendalam pengetahuannya dalam bidang agama, tapi ia mempergunakannya untuk melegitimasi kekuasaan, kepentingan pribadi dan perbuatan buruk. Kedua, ulama ghairu su’ (baik) yaitu ulama yang asketis dan memiliki unsur  ortopraksi (kesalehan). [44] Hanya saja, ortopraksi di sini tidaklah diukur dari berbagai aspek bentuk aksesoris luar semisal pakaiannya yang lusuh, tasbihnya yang berat, sorbannya yang menjuntai atau jalannya yang membungkuk. Kesalehan yang dimaksudkan disini bukan juga membentuk lari dari dunia ramai yang sering digunakan oleh agama-agama lain. [45]
Konsep kesalehan dan asketisme ulama adalah seperti perkataan sahabat Umar, Kunnâ fi annahâr rukbâna, wa fi al-laili ruhbâna, kita adalah pasukan kuda di siang hari, dan pendeta di malam hari.[46] Tanpa pretensi (berpura-pura) bahwa apa yang dipaparkan tentang ulama yang saleh di atas telah memberikan gambaran yang lengkap tentang model itulah  yang dikehendaki masyarakat, namun agaknya faktor yang tidak bisa ditinggalkan adalah untuk seseorang sehingga ia disebut tuan guru adalah faktor ilmu pengetahuannya, mengajar tanpa lelah, bersedia kesana kemari, doa, puasa dan ibadah sunat, membaca al-Qur’an, masih tetap dihargai namun itu bukan unsur yang paling dominan.
3.      Keturunannya
Untuk pengangkatan tuan guru karena faktor keluarga atau keturunan, dengan pengertian bahwa seseorang karena silsilahnya dengan tokoh tertentu mendapat hak dan status istimewa di kalangan masyarakat Sasak. Sekarang faktor ini sudah mengalami kepudaran meskipun masih ada yang melekat bagi sosok tuan guru yang disebabkan karena faktor keturunan. Siapa saja dapat menjadi tuan guru asal diterima masyarakat sebagai tuan guru dan siapa pun dapat membuka pesantren asal ada murid yang belajar kepadanya.
Pengangkatan tuan guru karena  unsur keturunan sehingga  pesantren menjadi milik dinasti feodal pemimpin pesantren, menyebabkan lemahnya semangat pembaharuan dan dinamika pengembangan intelektual generasi penerus pemimpin pesantren itu. “tuan guru dinasti” ini menyebabkan hilangnya kontinuitas institusi atau pesantren tersebut, karena keturunan belum tentu seorang yang baik. Sehingga, apabila keturunannya kurang pandai memimpin pesantren, institusi tersebut dapat runtuhdan yang lebih penting lagi adanya tuan guru dinasti ini menyebabkan kultus pribadi yang secara teologis dilarang agama. Adanya system kurikulum dan klasikal yang membutuhkan banyak tenaga pengajar juga meruntuhkan eksistensi “dinasti tuan guru” ini.[47]
4.      Jumlah muridnya.
Vedenbregt memberikan batasan orang disebut ulama sebagai berikut: faktor keturunan, faktor pengetahuan agama, faktor jumlah muridnya, dan cara pengabdian diri kepada masyarakat. Karel A. Streenbrink menambahkan satu faktor lagi bagi seseorang yang disebut ulama/tuan guru, yaitu ‘’prinsip wahyu’’, atau ulama sebagai perantara wahyu.[48] 
5.      Ahli Membaca Kitab Kuning [49]
Fenomena di tengah-tengah masyarakat tentang siapa yang lanyak disebut tuan guru memang terlalu mudah dan gampang, padahal tuan guru tersebut pada hakikatnya sama dengan ulama atau kyai, yang notabene mereka harus mampu menggali sumber ajaran agama dari al-Qur’an, al-Hadis dan karya-karya ulama berupa kitab-kitab berbahasa Arab.[50]
Tuntutan persyaratan ini bukannya tidak beralasan sebab bagaimana tuan guru akan menjawab segala persoalan keagamaan yang berhubungan dengan aspek hukum agama (syariah: fiqh), jika tidak mampu mencari sendiri dari referensi aslinya, berupa karya-karya ulama terdahulu, bahkan menurut penuturan Lukman al-Hakim, bahwa baru layak disebut tuan guru adalah yang pernah bermukim mengaji di Makkah, Mesir, Madinah. Sepulang mereka dari sana kemudian mengajarkan ajaran Islam, maka sepantasnya seperti itulah yang dikategorisasikan sebagai tuan guru.[51] 

Persepsi Masyarakat Tentang Kategori Tuan guru
Tuan guru dalam perspektif masyarakat Lombok merupakan sosok profil yang amat disegani karena faktor keilmuan dan kiprahnya dalam mengembangkan kepentingan masyarakat, dan kharisma yang dimilikinya merupakan gelar kehormatan yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri.[52]
Pendapat Darmawansah tentang penamaan tuan guru dalam perspektif masyarakat adalah individu-individu yang memiliki pemahaman keagamaan yang luas serta mampu mengamalkannya dan memiliki akhlak yang mulia serta melekat pada dirinya kharisma yang membedakan dirinya dengan masyarakat umum.[53]
Asnawi menjelaskan bahwa tuan guru adalah fungsionaris agama Islam yang memiliki kharismatik pada etnis Sasak. Pada umumnya gelar itu diberikan oleh masyarakat kepada mereka yang sudah menunaikan ibadah haji dan memiliki tempat memberikan  pengajaran agama Islam seperti majlis ta’lim dan sejenisnya. Gelar ini disingkat dengan T.G.H. (tuan guru Haji)[54]
Mamiq Shohimun Faishal menegaskan bahwa tuan guru merupakan gelar keagamaan yang disandang oleh orang yang memiliki basis jama’ah dikarenakan memiliki kharisma dan wibawa di tengah-tengah komunitasnya, meskipun tidak disyaratkan menguasai kitab kuning dan tidak mesti sudah melaksanakan ibadah haji.[55]
Definisi yang disebutkan oleh Haji Lalu Sohimun Faisol ini agaknya berbeda dengan apa yang dikatakan oleh komunitas masyarakat secara umum, bahwa tuan guru itu mesti harus berhaji, sebab penyebutan tuan itu merupakan implikasi dari kata haji (Al-haj: Arab) sedangkan bahasa Sasak menyebutnya tuan, contoh bapak tuan (baca: Sasak) artinya bapak yang telah berhaji, Songkok tuan (Baca: Sasak) artinya peci haji. Ciri yang paling esensial bagi suatu komunitas Sasak adalah adanya tuan guru di masing-masing komunitas mereka. Tuan guru pada hakekatnya adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai ilmu di bidang agama dalam hal ini agama Islam. Terlepas dari anggapan tuan guru sebagai gelar yang sakral, maka  sebutan tuan guru muncul di dunia pondok pesantren.[56]
Pendapat lain tentang tuan guru disampaikan oleh TGH. M.Zainul Madji, MA yang mengatakan bahwa tuan guru merupakan tokoh sentral persoalan keagamaan bagi masyarakat sehingga bobot tuan guru itu harus tinggi, terutama penguasaannya terhadap kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab. Dengan penguasaannya terhadap kajian-kajian keagamaan tersebut, baru pantas disebut sebagai tuan guru, meskipun di kalangan masyarakat gelar tuan  guru tersebut sangat mudah diberikan kepada seseorang. [57]
Secara sederhana TGH. M. Sibawaihi memberikan batasan tentang tuan guru itu adalah orang yang memiliki rasa takut yang mendalam kepada Allah (Khasyah) karena ilmu yang dia miliki, bukan berarti harus memiliki ilmu yang tinggi tapi yang terpenting adalah akhlak mulia dan mampu menjadi panutan masyarakat serta dapat mengayomi masyarakatnya sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian kharismatik itu akan dianugerahkan oleh Allah.[58] 
Berbeda dengan komentar TGH.L.Anas Hasry, yang mensyaratkan harus mampu membaca kitab kuning dan berakhlak layaknya seorang ulama, sebab ulama itu pewaris para nabi sehingga secara otomatis sifat siddiq (jujur), amânah (terpercaya) tablîgh (menyampaikan pesan dakwah), fathânah (cerdas), melekat pada tuan guru yang berakhlak ulama. [59]
Ditambahkan oleh TGH. Shafwan Hakim, bahwa syarat utama dikatakan sebagai seorang tuan guru adalah keterpaduan antara ilmu ma’al amal dengan khasyatullah, artinya seorang yang berilmu agama yang baik serta ilmunya diamalkan sekaligus diajarkan kepada orang yang membutuhkannya, dan secara umum orang disebut tuan guru jika pernah menunaikan ibadah haji.[60]
Amaq Mariani menegaskan bahwa tuan guru adalah orang yang pernah melakukan ibadah haji sehingga disebut dengan tuan aji, kemudian aktif menjadi guru masyarakat, menjadi panutan masyarakat, terlepas dari keilmuan yang dimilikinya, apa mendalam atau tidak, yang penting adalah ada pengakuan dari masyarakat tentang status sosialnya.[61]
H.Sahri Ramadhan, mengungkapkan konsepnya tentang Tuan guru bahwa tuan guru itu mutlak diguru dan ditiru karena ilmunya yang memumpuni, pengayom masyarakat dan aktif membina masyarakat melalui pengajian maupun melalui lembaga pendidikan formal.[62]
Inak Sinaref mengungkapkan pendapatnya tentang konsep tuan guru sebagai tempat orang berguru, tempat orang mengaji, tak ubahnya seperti tuan tanah yang memiliki banyak tanah. Artinya bahwa tuan guru merupakan sosok yang menjadi panutan masyarakat sehari-hari.[63]
Amiq Ajar, menegaskan bahwa tuan guru itu orang yang taat kepada Allah dan memiliki akhlak yang mulia serta bisa membimbing masyarakat ke jalan yang benar.[64]
TGH. M. Habib Thantawi, memberikan paparan tentang konsep tuan guru sebagai tokoh agama yang mengerti selukbeluk agama secara baik dan benar sesuai kaidah-kaidah al-Qur’an dan al-Hadis serta dapat menggali secara lansung dari sumber hukum agama, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, di samping memiliki murid atau jamaah juga harus memiliki lembaga pendidikan seperti pondok pesantren.[65]
Kepala Desa persiapan Saribaye Sarawan Sukadani, ST memberikan batasan-batasan tentang penyebutan tuan guru pada aspek keilmuan dan kepedulian sosial kepada masyarakat dengan mengedepankan etika keilmuan yang mumpuni, etika yang termulia, serta keahlian membaca kitab secara lansung dari sumber aslinya.[66]
Muhammad Sa’i menegaskan bahwa tuan guru itu merupakan sosok manusia yang memang berbeda perlakuannya dengan manusia secara umum karena kharisma yang dia miliki, ilmu agama yang mendalam dan memiliki majelis ta’lim kemasyarakatan sekaligus memimpin pondok pesantren. Kreteria ini memang ideal tapi terkadang di tengah-tengah masyarakat penyebutan gelar tuan guru kepada seseorang menjadi bias, karena ada faktor-faktor lain yang mengindikasikan kearah penyebutan gelar tersebut. [67]
Pendapat-pendapat lain yang peneliti analisa dari 200 responden yang mengisi kuesioner tentang konsep tuan guru, berkisar pada aspek;  1) kepribadian; kharima, akhlak, kesalehan 2) Kapabilitas; keilmuan, kecerdasan 3) Kapasitas; pengayom masyarakat, guru ngaji, da’i,  4) Pengakuan sosial; adanya legitimasi dari masyarakat tentang kepantasan disebut sebagai  tuan guru.
Intinya adalah tuan guru dalam masyarakat Lombok ada sedikit perubahan konsep, yang dulunya masyarakat sangat sulit memberikan legitimasi kepada seseorang untuk disebut menjadi tuan guru, gelar tuan guru baru diberikan, jika dilihat dalam aspek pengabdiannya kepada masyarakat karena ilmu yang dimilikinya dan berinteraksi dengan masyarakat dalam tempo yang relatif lama. Namun seiring dengan perkembangan zaman, penyebutan seseorang menjadi tuan guru begitu longgar dan gampang, sekedar bisa ceramah, pidato, kemudian pernah berhaji, tanpa dilihat sepakterjangnya di tengah-tengah masyarakat, gelar tuan guru begitu cepat disematkan kepada orang tersebut.

Tipologi Tuan guru Dalam Konteks Masyarakat Lombok
Dalam kajian sosiologi dapat dipetakan stratum sosial  masyarakat menjadi stratum sosial kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas. Stratifikasi masyarakat itu merupakan suatu hal yang berjalan sebanding dengan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan agama masyarakat setempat. [68]
Dalam konteks keislaman stratum sosial masyarakat pada esensinya tidak ada perbedaan, yang membedakan adalah kadar keagamaan masyarakat itu sendiri. Dalam pengertian tambah tinggi nilai penghayatan mereka terhadap nilai keagamaan, secara tidak lansung pengamalan dan pengaflikasian nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari mereka akan tercipta dan terrealisasikan. Pengamalan nilai-nilai keagamaan ini merupakan barometer ketaqwaan seseorang di hadapan Allah dan inilah yang biasa disebut dengan ''amalun solihun'', yang menjadi pengejawantahan iman dan ihsan seseorang kepada Allah SWT.[69]
Dalam konteks keberagamaan masyarakat Sasak di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, dapat disebutkan bahwa stratum keagamaan mereka dapat dikatakan sangat bervariatif. Hal ini dapat dilihat dari corak pemahaman masyarakat Sasak tentang pemahaman mereka terhadap agama secara umum masih sangat parsial, dan sangat tergantung kepada ajaran tokoh yang menjadi tokoh panutan mereka terhadap agama. Tokoh panutan mereka itu lazim disebut dengan Tuan guru, Guru, atau Maulanassyeikh, hadhratussyaikh, dll.[70]
Secara sederhana masyarakat memahami arti tuan guru yaitu orang yang sudah melaksanakan ibadah haji yang kemudian ditambah namanya di awal nama aslinya, dan orang yang telah berhaji tersebut memiliki keahlian di bidang agama sesuai dengan kadar pengakuan masyarakatnya, dan memiliki akhlak yang dipandang mulia oleh agama dan masyarakat sehingga di saat membimbing dan mengayomi masyarakatnya diberikan sebuah sebutan gelar kehormatan yang mereka sebut tuan guru Haji (disingkat T.G.H.).
Berdasarkan pemaknaan sederhana tersebut diatas, dapat diklasifikasikan  tuan  guru dalam perspektif  masyarakat Sasak secara umum.
1.      Tuan guru dato’, tuan guru toak, tuan guru wayah,tuan guru lingsir[71]: adalah tuan guru yang berusia lanjut diatas umur 60-an tahun, dan biasa tuan guru lingsir ini menjadi panutan dan anutan dalam segala tindak tanduk kehidupan masyarakat, baik dalam urusan dunia seperti akan membangun rumah minta do'a berkat dari sang tuan guru lingsir  (lingsir: tua: Sasak), lebih-lebih dalam urusan akhirat. [72]
2.      Tuan guru bajang: tuan guru yang relatif masih muda dan segar bugar, berumur sekitar 30-an sampai 40-an, dan memiliki keahlian dalam bidang agama dan memimpin majlis taklim atau jama'ah pengajian. (bajang: muda: Sasak).[73]
Dalam aspek kehidupan sosial kemasyarakatan tuan guru di kalangan masyarakat Sasak dapat dipetakan menjadi beberapa kriteria, antara lain:
a)      Tipe Pertama, tuan guru  yang menguasai kitab kuning tetapi wawasan keilmuan dan kemasyarakatannya terbatas atau pas-pasan.
b)      Tipe Kedua, tuan guru yang memiliki kemampuan handal dalam ilmu agama (kitab kuning), dan memiliki wawasan yang luas terhadap perkembangan zaman.
c)      Tipe Ketiga, tuan guru yang terjun ke dunia politik praktis.
Di dekade akhir-akhir ini profesi yang ditekuni tuan guru beraneka ragam, sehingga  mengakibatkan banyak tifologi tuan guru, yaitu: Pertama, tuan guru politisi adalah tuan guru yang memiliki kecendrungan pada persoalan politik dan memilih belantara dunia politik sebagai ladang perjuangannya. Kedua, tuan guru pengusaha, adalah tuan guru yang menekuni dunia usaha dan bisnis, di samping pengasuh pondok pesantren. Ketiga, tuan guru budayawan, adalah tuan guru yang menekuni bidang seni dan budaya dan menjadikan bidang itu sebagai media dakwah. Keempat, tuan guru intelektual, adalah tuan guru yang menggeluti dunia pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Meminjam istilah Endang Turmuzi dalam temuannya di Jombang tentang pembedaan kyai menjadi empat.[74] Di  Lombok juga dapat dibedakan menjadi empat kategorisasi tuan guru; tuan guru pesantren, tuan guru tarekat, tuan guru politik, dan tuan guru panggung.
Tuan guru pesantren, memusatkan perhatiannya pada aspek pendidikan dan pengajaran di pesantren dalam upaya mentransformasikan sumber daya manusia (SDM) ke arah yang lebih baik.[75] Tuan guru tarekat memusatkan kegiatannya dalam aspek membangun spiritual/ dunia hati umat Islam. Karena tarekat di Lombok dapat dikategorisasikan sebagai sebuah lembaga yang tumbu subur, dan memiliki banyak akses terhadap perubahan prilaku masyarakat.[76]
Tuan guru politik, dapat dikatakan hanya merupakan kategori campuran ia merujuk pada para tuan guru yang mempunyai concern terhadap politik guna mengembangkan pesantren, lembaga, organisasi yang mereka pimpin secara politis.[77] Sedangkan tuan guru panggung adalah para da’i, aktivitas mereka menyebarkan dan mengembangkan Islam melalui kegiatan dakwah, tuan guru panggung biasanya bersifat lokal, dikenal di komunitas mereka sendiri, tapi bisa juga tuan guru panggung melewati batas-batas territorial, karena sudah dikenal kepiawaiannya dalam berdakwah.[78]
Kategori pembedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan melekat pada satu sosok tuan guru di samping sebagai tokoh pesantren, tokoh tarekat, atau tokoh politik, atau seorang da’i.[79]
Kategori lain dari pemahaman masyarakat Sasak tentang tipologi tuan guru, jika dilihat dari aspek cakupan wilayah dakwah dan keluasan keilmuannya, dapat dipetakan menjadi bagian:
Pertama, tuan guru beleq (Sasak: Besar). Pengertian tuan guru beleq ini merupakan pengakuan masyarakat bahwa tuan guru tersebut memiliki keilmuan yang tinggi dan memiliki karya ilmiah yang diakui oleh masyarakat lokal, nasional bahkan internasional. Pengakuan ini didasari pada aspek pengaruh keilmuan tuan guru dalam masyarakat, sehingga cakupan wilayah dakwah tidak hanya terbatas pada wilayah di mana tuan guru itu berdomisili.[80]
Kedua  adalah tuan guru kodeq (kecil: Sasak). Pengkategorisasian ini dilandasi pada aspek wilayah cakupan dakwah yang hanya terbatas pada komunitas tuan guru itu sendiri, sehingga masyarakat di luar komunitasnya tidak terlalu dikenal, meski secara  keilmuan keagamaan tidak diragukan.[81]
            Tipologi atau pengkategorisasian tuan guru seperti di atas, secara sosiologis dapat dilihat sebagai suatu keragaman dan varian kondisional tergantung dari aspek apa masyarakat melihat kategorisasi tersebut.



SIMPULAN
Berdasarkan permasalahan pokok pada kajian ini, dapat disimpulkan bahwa
Pertama, dilihat dari asal muasalnya, kata tuan guru berasal dari bahasa Melayu, tuan yang berarti orang yang dimuliakan, atau tuan berarti majikan, atau tuan berarti yang mulia. Sedangkan guru dimaknai sebagai orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada orang lain, atau  guru juga berarti yang ditiru dan diguru. Kekhususan aktivitas yang dimiliki oleh tuan guru menjadi pembeda yang jelas antaraguru pesantren, guru madrasah, da’i, dan sebagainya. Seleksi terhadap siapa yang layak menjadi tuan guru terjadi secara alamiyah. Bisa diangkat dari masyarakat setempat atau mengambil orang dari lingkungan lain yang dianggap mumpuni untuk melakukan tugas sebagai tuan guru. Keberadaan secara individu lebih terbentuk dari lingkungan keluarga muslim. Standar kepantasan diukur dari segi keilmuaannya, pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya yang senantiasa berpijak pada ajaran al-Qur’an.
Kedua, gelar tuan guru harus dilihat dari dua sisi yang berbeda; pertama; sisi normatif (al-Qur’an, al-Hadist dan pendapat-pendapat mayoritas Ulama) yang menunjukkan idealnya seseorang disebut sebagai tuan guru sehingga dengan demikian posisi tuan guru sebagai tokoh agama (religious leader) dapat diposisikan sebagaimana mestinya. Kedua; sisi sosiologi, artinya bahwa masyarakatlah yang memberikan gelar kepada seseorang yang mereka anggap sebagai tuan guru bukan orang itu sendiri yang mengklaim dirinya sebagai tuan guru. Sehingga gelar tuan guru itu dapat diposisikan sebagai gelar informal yang memiliki legalitas dan pengakuan masyarakat secara umum. 









DAFTAR PUSTAKA
al-Gazhali, Abu Hamid, Ihya’ Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1413)
al-Gar, Hamid, Religion and State in Iran: The Role of the Ulama’ in the Qajar Period, (Berkeleyu: University of California Press, 1969).
al-Majlisi, Syaikh Muhammad Baqir, Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah al-Athar, Juz II,) Beirut : Dar Ihya’ al-Turast al-Arabi, tt
Ali, A. Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali Press, 1987)
Asnawi, Agama dan Paradigma Sosial: Menyingkap Pemahaman Masyarakat Sasak Tentang Taqdir Allah Dan Kematian Bayi (Jakarta: Sentra Media, 2006), cet. 1.
Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1997)
Baer,Gabriel, The Ulama’ in Modern History: Asian African Studies. Vol. 7, (Jerusalem: Israel Oriental Society, 1971)
Buchari, Muchtar, Nurcholis Madjid, Taufiq Abdullah, Muslim Abdurrahman, Pandangan & Sikap Hidup Ulama: Acuan Penelitian, dalam Jurnal Nadhar Buletin Tak Berkala Penelitian Agama dan Masyarakat, Seri 1 Juli 1986.
Burhanuddin, Jajat, dan Dina Afrianty (Ed), Mencetak Muslim Modern: Peta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press dan PPIM, 2006) cet. 1.
-----------------, Jajat, The Fragmentation of Religious Authority: Islamic Print Media in Early 20th Century Indonesia, dalam Studia Islamika, Volume II, Number, 1.
Dhofier, Zamakhsari, The Pesantren Tradition: The Role of The Kyai in Meintenance of Traditional Islam in Java (USA: Shouthest Asian Studies, 1999)
Eksan, Much, Kiai Kelana: Biografi Kiai Muchith Muzadi (Yogyakarta: LKiS, 2000), Cet.1.  
Hasan, Muhammad Tholchah, Islam dalam Perspektif Sosio-Kultural (Jakarta: Lantabora Press, 2000) cet.1.
Haris, Samsuddin, Dua Tradisi Keulamaan di NTB, dalam Jurnal Nadhar: Buletin Tak Berkala Penelitian Agama dan Masyarakat, Seri 2 September 1986.
Horikoshi, Hiroko, A Tradisional Leader in a Time of Change: The Kijaji and Ulama in West Java (USA: Urbana-Champaign, 1976).
Izutsu, Toshihiko, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Institute of Islamic Studies: McGill University Press, 1996)
Kingley, Devis, Human Society ( New York: The McMillan Company, 1960), Cet. 2.
Madjid, Nurcholis, Tradisi Islam Peran dan Fungsi dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997)
Mas'ud, Abdurrahman, Dari Haramain Ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006), Cet. 1.
---------, Abdurrahman, The Pesantren Architects and Their socio-Religious Teaching, (UCLA: New York, 1997), PhD Dissertation.     
Marthin, Richard C., Encylopedia of Islam and The Muslim World (USA: MacMillan Reference, Thomson Glate, cet. V. Vol. 2.
Mukhtar, Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), cet.3.         
Raharjo, M.Dawam, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996)
Rahman,Abdul, Guru Ngaji, Masyarakat dan Pemimpin Yang Baik (Menuju Reformasi Kultural) (Jakarta: Lisantara, 2007), cet.1.
Syakur, Ahmad Abd, Islam dan Kebudayaan: Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Budaya Sasak (Yogyakarta: Adab Press, 2006).  
Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Misbah Pesan-pesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002) cet. 1.  
Subki, Badarudin H,  Dilema Ulama’ dalam Perubahan Zaman (Jakarta: Pelita, 1995)
Sonhaji, A. Munir, “Pesantren As Model Of Non-Formal Islamic Education” dalam International Journal of Pesantren Studies (Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren in Collabortion with The Ministry of Religious Affairs of Indonesia and Institute for the Study of Religion and Democracy (IRD), Volume 1, Number 1, 2007.
Streenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3S,1987) cet. 1.
Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2003)
Ya’qub, Ali Musthafa, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet. 1.
Zaman, Muhammad Qasim, The Ulama’ in Contemporary Islam: Custodians of Change (New Jersey: Princeton University Press, 2002, cet.1.
Ziemek, Mamfred, Pesantren Dalam Perubahan Sosial (Jakarta : P3M,1986)








                * Alumni Program Strata Tiga Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,  Dosen Tetap Fakultas Dakwah IAIN Mataram NTB, Jln. Pendidikan No. 35 Mataram, Email: roziqi_iain@yahoo.co.id. HP.081 803 669 310.
[1]Materi-materi keagamaan yang dijadikan referensi oleh pimpinan pesantren/Tuan Guru/Kyai, meliputi, Fiqh, Tafsir, Tauhid, Tarikh, Adab, Hadist, Nahwu, Sharaf, Ushul Fiqh, Ilmu Manthiq, Balagah, Ilmu Falaq, dll. dengan kitab-kitab yang bervariatif sesuai kecendrungan pimpinan pesantren itu sendiri, Lihat, Maksum Mukhtar, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), cet.3. 104.
                [2]Social recognition mensyaratkan adanya sifat-sifat yang dinilai istimewa oleh suatu komunitas, sehingga konsep dan ide yang diutarakan oleh orang yang menerima pengakuan tersebut selalu menjadi referensi bagi kehidupan suatu masyarakat. Diantara syarat-syarat tersebut adalah, seseorang tersebut arif dan bijak dalam menyikapi persoalan dalam masyarakat, tidak melanggar mainstream yang menjadi pemahaman umum masyarakat, serta memiliki etika, dan intelektualitas.
[3]Jajat Burhanuddin dan Dina Afrianty (Ed), Mencetak Muslim Modern: Peta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press dan PPIM, 2006) cet. 1. 48. Lihat juga, Masnun, Perkembangan Islam di Nusa Tenggara Barat: Studi Tentang Pemikiran Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (Jakarta: Perpustakaan Pascasarjana UIN Jakarta), disertasi, 2004,289. 
 [4]Istilah Abdurrahman Mas’ud, bahwa kebiasaan dan kesederhanaan kyai (Tuan guru: pen) yang bersikap konsumerisme, sehingga sifat kesederhanaannya tidak tercermin dalam pola sikap dan tingkah laku sehari-harinya. Budaya ini yang kemudian dia sebut sebagai cultural maintenance, yaitu mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam. Dalam konteks ini bisa dipahami jika pesantren sebagai basis sosial Tuan Guru, selalu dihubungkan dengan khazanah yang berupa kesinambungan ideologis dan historis serta mempertahankan budaya lokal (a historical and idealogical continum with its cultural maintenance). Lihat, Abdurrahman Mas’ud, The Pesantren Architects and Their socio-Religious Teaching (UCLA: New York, 1997), PhD Dissertation, 258.     
[5]Mengutip penjelasan Kyai Hazim Muzadi dalam Peringatan Hari Ulang Tahun (HULTAH) Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) ke-73 dan Haul Wafatnya Maulanassyeikh TGKH M. Zainuddin Abdul Majid di Pancor Lombok Timur,Tgl 8 Sya’ban 1429 H/10 Agustus 2008 M. Hasyim  menjelaskan tentang perbedaan ulama dan cendikiawan sebagai berikut:  Ulama  adalah sebutan lansung dari Allah dan Rasulnya dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Sedangkan gelar-gelar sejenisnya seperti: Tuan Guru: masyarakat Sasak Lombok, Buya oleh masyarakat Sumatera Barat, seperti Buya Hamka, Abu/Tengku oleh masyarakat  Aceh, Mbah sebutan masyarakat  Jawa Tengah, Kyai sebutan masyarakat Jawa Timur, sedangkan masyarakat Kalimantan menyebutnya dengan sebutan Guru. Jadi gelar-gelar keagamaan tersebut sebetulnya yang menyebut adalah lingkungannya. Lebih lanjut Hasyim Muzadi menjelaskan bahwa  ulama itu orang yang alim dengan ilmunya cocok dengan tindakannya, cocok dengan keilmuannya itu adalah khasyatallah dan ilmu amaliah dan amal  ilmiyya, Jika ilmu itu hanya untuk ilmu maka cukup menjadi cendikiawan.
[6] Much Eksan, Kiai Kelana: Biografi Kiai Muchith Muzadi (Yogyakarta: LKiS, 2000), Cet.1. 16.
[7] Safri Sairi dkk, Materi Kuliah Metodelogi Penelitian Administrasi Publik (Yogyakarta: MAP UGM, 2002). 8.
            [8] Dalam perkembangan Ilmu Sosiologi dan Anthropologi ada paradigma yang dibangun dalam aspek representasi sampel penelitian, yang tidak selalu menggunakan standarisasi sampling penelitian, satu atau dua orang dijadikan sebagai informan asalkan dapat memberikan data yang dikaji dapat dijadikan sebagai sumber data, tidak mesti harus rendom sesuai dengan jumlah populasi yang ada dalam setting penelitian. (lihat, M. Bambang Pranowo, Dr. Prof), Islam Faktual Antara Tradisi dan Relasi Kuasa (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998) h. 12. lihat juga, M. Bambang Pranowo, Creating Islamic Tradition in Rural Java, Melbourne: Department of Anthropology and Sociology Monash University, 1991) h. 45.
[9] Moleong, Metodelogi Penelitian., 225.
[10]Kata ulama adalah bentuk jamak (plural) dari kata ‘âlim, yang terambil dari kata ‘alima yang mengetahui secara jelas. Oleh karena itu, semua kata yang terbentuk dari huruf-huruf ‘ain, lam, mim, selalu menunjuk pada makna kejelasan, seperti ‘a’lam (bendera), ‘âlam (alam raya, makhluk yang memiliki rasa atau kecerdasan), alâmah (alamat). Lihat, M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan-pesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002) cet. 1. 466.  
[11]M.Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Quran Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996) 688.
[12]Muhammad Thalhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural (Jakarta: Lantabora Press, 2000), ed.ke-2.187.
[13]Richard C. Marthin, Encylopedia of Islam and The Muslim World (USA: MacMillan Reference, Thomson Glate, cet. V. Vol. 2-M-Z, index, 703-705. Ulema: literally “those who have knowledge” or those who know”, singular ‘alim, plural Ulama’. The term is most widely used to refer to the scholary class of muslim societies, whose main accupation is the study of the texts that make up the Islamic tradition religious sciences such as Quran, hadits.
[14] Jajat Burhanuddin, The Fragmentation of Religious Authority: Islamic Print Media in Early 20th Century Indonesia, dalam Studia Islamika, Volume II, Number, 1.23.
[15] M.Dawam Raharjo, Ensiklopedi, 689.
[16] Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an (Beirut : Dar al-Fikr, 1416), cet.1.56. 
[17]Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gazhali, Ihya’ Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1413), Cet. 1, Juz. 1. 68.
   [18]Badarudin H Subki, Dilema Ulama’ dalam Perubahan Zaman (Jakarta: Pelita, 1995) 47.
                [19] Syaikh Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah al-Athar, Juz II,) Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arabi, tt. 46-47.
[20]Hamid Al-Gar, Religion and State in Iran: The Role of the Ulama’ in the Qajar Period (Berkeley: University of California Press, 1969)11.
[21] Gabriel Baer, The Ulama’ in Modern History: Asian African Studies. Vol. 7 (Jerusalem: Israel Oriental Society, 1971) 12.
[22]Nur Yalman, Some Observations on Secularism in Islam: The Cultural Revolution in Turkey (Deadales: Winter 1973, Post Traditional Societies: 139.
[23]Menurut Ibn Abbas dalam suatu riwayat menyatakan bahwa ulama ialah orang yang tidak mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu apapun, yang menghalalkan yang telah dihalalkan Allah dan mengharamkan yang telah diharamkan-Nya, menjaga perintah Allah, dia akan bertemu dengan-Nya. Sedangkan menurut Ibn Katsir, ulama adalah orang yang benar-benar ma’rifatnya kepada Allah SWT sehingga mereka takut kepada-Nya. (Lihat Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1418) Juz. 3. 553.
[24] Dalam bahasa Indonesia, ulama berarti sebagai orang yang ahli dalam pengetahuan agama Islam (Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), cet.ke-2.1239.
[25]Nurcholis Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsi dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997) 33.
[26]Hiroko Horikoshi, A Tradisional Leader in a Time of Change: The Kijaji and Ulama in West Java (USA: Urbana-Champaign, 1976). A Thesis for the degree of Doctor of Philosophy in Anthropology in Graduate College of University of Illinois.35.
[27]Muchtar Buchari, Nurcholis Madjid, Taufiq Abdullah, Muslim Abdurrahman, Pandangan & Sikap Hidup Ulama: Acuan Penelitian, dalam Jurnal Nadhar Buletin Tak Berkala Penelitian Agama dan Masyarakat, Seri 1 Juli 1986. 7.
[28]Muchtar Buchari, Nurcholis Madjid, Taufiq Abdullah, Muslim Abdurrahman, Pandangan. 7.
[29] Muchtar Buchari,Dkk., Pandangan. 8.
[30]Muchtar Buchari,Dkk., Pandangan, 8.
[31]Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1993) 44.
[32]Multiple discourses have long existed side by side in the  world of the ulama ; and in respect egain, the modern ulama’ are often not altogether different from their precursors. (Muhammad Qasim Zaman, The Ulama’ in Contemporary Islam: Custodians of Change (New Jersey: Princeton University Press, 2002, cet.1. 187). The  ulama see every where only injustice, conspiracy, and affliction, but not the new opportunities that are aqually the product of transformations of modernity. (Muhammad Qasim Zaman, The Ulama’, 181).
[33] Lihat Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, dalam riwayat hadist, Ulama itu ahli waris para nabi, sementara para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mewariskan ilmu.
[34] Ali Musthafa Ya’qub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet. 1.118.
[35] Ali Musthafa Ya’qub, Islam., 119-122.
                [36]Ahmad Abd.Syakur, Islam dan Kebudayaan: Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Budaya Sasak (Yogyakarta: Adab Press, 2006) 81. 
                [37] Ahmad Abd Syakur, Islam, 83.
  [38] Istilah M. Dawam Raharjo yang mengatakan bahwa pada umumnya di masyarakat kata kyai dalam masyarakat Jawa dapat disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam, malahan yang disebut istilah kyai oleh masyarakat awam al-muslimin lebih popular, yaitu orang-orang yang memiliki pengetahuan yang disinyalir oleh al-Qur’an sebagai hamba-hamba Allah yang paling takut (Q.S. Fathir: 28) dan orang-orang yang menjadi pewaris sah para nabi (H.R.Turmuzi) (lihat  M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci ( Jakarta: Paramadina, 1996) 691.
                [39]Agar tidak menimbulkan kesimpulan yang keliru, kiranya perlu diberikan batasan terlebih dahulu istilah “masyarakat Sasak” yang dimaksud disini. “Sasak” dalam tulisan ini adalah masyarakat yang beretnis Sasak yang masih komitmen terhadap kebudayaannya dan ada semangat ikatan primordialisme yang kuat. (Lihat, Asnawi, Agama dan Paradigma Sosial: Menyingkap Pemahaman Masyarakat Sasak Tentang Taqdir Allah Dan Kematian Bayi (Jakarta: Sentra Media, 2006), cet. 1.10.
             [40]Asnawi, Agama dan Paradigma Sosial: Menyingkap Pemahaman Masyarakat Sasak Tentang Taqdir Allah dan Kematian Bayi (Jakarta: Sentra Media, 2006), cet. 1. 12.
                [41]Batasan “masyarakat Sasak” tidak membedakan orang Sasak dalam varian mereka sebagai keturunan menak (ningrat: Jawa) seperti sebutan Lalu, Lale, Baiq, Mamiq, atau keturunan Jajar Karang (orang biasa yang bukan keturunan raja). Kesemuanya menyatu dalam ikatan kesasakan yang mereka sandang, bahkan varian-varian strata sosial tersebut sudah mulai berakulturasi dengan yang lain sehingga strata sosial tersebut tidak menjadi suatu hal yang membuat jarak sosial yang satu dengan yang lain menjadi renggang, melainkan bisa diterima sebagai suatu keniscayaan dalam pergaulan, baik pergaulan dalam bidang budaya, adat, sosial, lebih-lebih dalam bidang agama.(Lihat, Asnawi, Agama dan Paradigma Sosial: Menyingkap Pemahaman Masyarakat Sasak Tentang Taqdir Allah dan Kematian Bayi (Jakarta: Sentra Media, 2006), cet. 1. 11.
                [42] Ahmad Abd. Syakur, Islam, 82.
[43] Penyamaan gelar Tuan Guru dengan ulama dapat dilihat dari aspek keilmuan yang dimiliki oleh seorang Tuan Guru sebagai orang yang ahli dalam bidang agama, keikhlasan dalam berjuang, kesederhanaan dalam kesahajaan, khasyyatullah (selalu merasa diawasi oleh Allah/takut kepada Allah), dan sifat-sifat keulamaan yang melekat pada gelar Tuan Guru itu sendiri.
[44] Abu Hamid AL-Gazaly, Bidayatul Mujtahid (Kairo: Dar al-Israq, ttp), jilid. 1, 67.
[45] Ghazali mempertegas bahwa ulama itu dalam aspek lain dibagi menjadi tiga macam ; pertama, ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain dengan mengejar-ngejar kesenangan duniawi. Kedua, ulama yang menyelamatkan dirinya dan orang lain dengan menyeru dan memanggil manusia untuk berbakti kepada Allah SWT  secara lahir dan bathin. Ketiga, ulama yang membinasakan dirinya, tapi menyelamatkan orang lain, pada lahirnya dia memanggil masnusia untuk mengerjakan kebaikan tetapi secara diam-diam dia sendiri hanya mengejar-ngejar harta untuk mencari kekayaan dan kedudukan dunia, (Lihat, Imam Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm al-Din (Beirut: Darul Ma’arif, 1415 H),  jilid 2.cet..2.,37.
[46] Abu Hamid AL-Gazaly, Bidayatul, 68
   [47]Dalam banyak kasus di pesantren di Lombok, sepeninggal pencetus dan pendiri pesantren tidak jarang terjadi kekosongan kepemimpinan bahkan keruntuhan pesantren itu sendiri disebabkan karena tidak ada keturunan pendiri yang melanjutkan pesantren itu sendiri dan tidak sedikit pesantren di Lombok yang memiliki pimpinan karena factor keturunan dan charisma orang tuanya, meskipun penerus ini tidak ahli betul dalam bidang agama, bahkan menejemen, tapi karena menjadi anak Tuan Guru secara otomatis masyarakat mengklaim menjadi pengganti dan penerus perjuangan orang tuanya, yang selanjutnya mereka sebut sebagai Tuan Guru.
[48]Karel A. Streenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3S,1987) cet. 1.,109-110.
[49]Kitab yang berbahasa Arab dengan tanpa harakat, biasanya dalam komunitas pesantren penyebutan kitab kuning diidentikkan dengan kitab yang berbahasa Arab yang lazim mereka sebut kitab gundul. Bagi masyarakat pesantren, istilah kitab kuning tidak asing lagi. Menurut mereka, kitab kuning selalu dikonotasikan sebagai kitab-kitab yang ditulis oleh ulama klasik atau kitab-kitab kontemporer yang bermuatan ajaran klasik. Disebut kuning karena pada umumnya kitab-kitab itu ditulis di atas kertas yang berwarna kuning. Sementara orang-orang di luar pesantren masih banyak yang tdak mengetahui apa yang dimaksud dengan kitab kuning.(Lihat Al Musthafa Ya’qub, Islam.., 184.
[50]Ada banyak preferensi masyarakat akademik tentang terminologi kitab rujukan keagamaan seperti syarah al-Qur’an dan syarah al-Hadis yang ditulis dengan bahasa Arab tanpa baris yang lazim disebut kitab kuning; pertama, kitab kuning itu diganti saja dengan istilah kitab Turats, (warisan, peninggalan)atau kitab klasik, atau kitab salaf,  biar tidak terkesan melecehkan. Kedua, istilah internasional seperti disebutkan oleh Prof. Dr. ‘Abd al-Rahman Raf’at Basya dalam menulis sahabat nabi dengan menukil dari al-kutub al-shofro’ al-qadimah (kitab-kitab kuning terdahulu). Jadi sebetulnya terminologi kitab kuning itu bukan saja dikenal di Indonesia tapi dikenal juga di negara-negara muslim lainnya.( lihat Ali Musthafa Ya’qub, Islam..,185-186).
   [51]Lukman al-Hakim,(60) Mantan Pgs Rektor IAIN Mataram, Wakil Ketua MUI NTB, Wawancara, tgl 11 September 2009.
   [52]Fahrurrozi, Eksistensi Pondok Pesantren, 54.
  [53]Darmawansyah, Pengamat Politik NTB, pendapat ini dikutip dari penjelasannya tentang Tuan Guru di TV ONE tgl 28 Oktober 2008, pada acara kabar pagi dan diperkuat dengan, Wawancara, Mataram, 12 November 2009.  
  [54] Asnawi (60), Tokoh Agama Lombok Tengah dan akademisi, alumni S3 Pascasarjana UIN Jakarta, rektor IAIN Priode 2006-2010, Wawancara, 2 Juni 2009.
  [55] Drs.H.Lalu Shaimun Faishal,MA, (60), Dosen IAIN Mataram, Pudek II Fakultas Dakwah IAIN Mataram 2006-2010, Pengurus Wilayah NU NTB, Pimpinan Pondok Pesantren di Tanah Awu, Wawancara, tgl 20 Agustus 2009 di Mataram.
   [56] H.L. Ahmad Zainuri (33 thn), Dosen Fakultas Dakwah IAIN Mataram, pengasuh Ponpes Nurul Hakim Kediri, mahasiswa S3 UIN Jakarta 2008.,Wawancara, TGL  28 November 2009 di Mataram.
                [57] TGH.M.Zainul Madji, MA, Gubernur NTB 2007-2015, Pengurus Besar NW Pancor, Pimpinan Pondok Pesantren Darunnahdhatain NW Pancor,  Doktor dalam bidang ilmu Tafsir Univ. Al-Azhar Kairo, Wawancara, di Pendopo Gubernuran NTB, 14 April 2009.
                [58]TGH.M. Sibawaihi Mutawalli (65), Wawancara, tgl 19 September 2009 di Jerowaru Lombok Timur.
                [59]TGH.L.Anas Hasry (58), Pimpinan Pondok Pesantren Darul Abrar Sakra Barat Lotim, Wawancara, tgl 20 September 2009 di Montong Kirik Sakbar.
                [60]TGH. Shafwan Hakim (65), Pimpinan Ponpes Nurul Hakim Kediri Lobar, Wawancara, tgl 15 September 2009 di Kediri.
                [61] Amaq Mariani, (63), tokoh adat pada masyarakat Batu Nampar  Kec. Keruak Lombok Timur, Wawancara, tgl 11 September 2009. 
                [62] H.Sahri Ramadhan (36) tokoh agama dan tokoh masyarakat di desa Keru Narmada Lombok Barat, Wawancara, 5 Juli 2009
                [63] Inak Sinaref, (50), seorang Nelayan di Pantai Tanjung Luar Kec. Keruak  Lotim, Wawancara, 9 Agustus 2009.
                [64] Amiq Ajar (58), seorang Petani di Desa Montong Sapah Praya Barat Lombok Tengah, Wawancara, 25 September 2009.
                [65] TGH.M.Habib Thantawi, (67), Pimpinan Pondok Pesantren Darul Habibi NW Paok Tawah Praya Lombok Tengah, Wawancara, 10 Agustus 2009.
                [66] Saribaye Sarawan Sukadani, ST.,(41),Kepala Desa Persiapan Seribaye Lingsar Narmada, Wawancara, Tgl 12 September 2009.
                [67] Muhammad Sa’i,(40), Dosen Tetap Dakwah IAIN  Mataram, Ketua STIT/STAI Nurul Hakim Kediri Lombok Barat, alamat Montong Are Lombok Barat,  Wawancara, Tgl 22 Oktober 2009.
[68] Devis Kingley, Human Society ( New York : The McMillan Company, 1960), Cet. 2. 35.  
[69] Muhammad Tholchah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio-Kultural (Jakarta: Lantabora Press, 2000) cet.1. 19.
[70]Penyebutan dengan Maulanasyekh untuk konteks masyarakat Sasak adalah penyebutan khusus kepada TGH.M.Zainuddin Abdul Majid pendiri ormas Islam terbesar di NTB, yaitu Nahdlatul Wathan (NW) yang secara umum penyebutan tersebut merupakan gelar khusus kepada Syeikh Zainuddin disebabkan karena tuan guru-tuan guru yang masih hidup saat ini merupakan murid-murid beliau atau jika tidak menjadi murid beliau tapi faktor usia beliau yang paling senior diantara tuan guru-tuan guru yang masih hidup pada masanya.
                [71]Istilah datu’ dalam konteks Sasak, bukan dalam konteks Melayu, merupakan sebutan kehormatan bagi orang yang dituakan dan biasanya orang tersebut sudah lanjut usia. Datu dalam konteks Sasak juga dapat disamakan dengan kakek. Sedangkan penamaan tuan guru datu’, Secara sosiologis menunjukkan bahwa orang tersebut telah berusia lanjut dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai. Masyarakat Sasak biasa menyebut tuan guru besar dan berpengaruh dengan Datu’. Datu’ maulanassyaikh, untuk sebutan TGH.Zainuddin Pancor, Datuk Brahim, untuk sebutan TGH.Ibrahim Kediri, Datu’ Udin untuk sebutan TGH.Najamuddin Praya, Datu’ Hafizh, untuk sebutan TGH.Abdul Hafizh Kediri… dll.
[72]Abdul Hayyi Nu’man, Maulanasyeikh TGKH, Muhammad Zainuddin Abdul Majid: Riwayat Hidup dan Perjuangan, Mataram: PB NW, 1999, Cet.2. ,175. Buku ini hanya menyebutkan istilah -istilah tersebut dengan tanpa ada batasan definisi yang jelas antara criteria masing-masing  istilah  tersebut.
[73] Definisi ini penulis olah dari data kuisioner yang menyatakan bahwa tuan guru bajang yang belum berumur 40 tahun.
[74]Endang Turmudi, Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2003),32.
[75]Di antara tokoh Tuan Guru pesantren, TGH.L.Turmuzi Badaruddin, di Bagu Lombok Tengah, TGH. Musthafa Umar di Ponpes Gunung Sari ,Tuan Guru Shofwan Hakim, di Ponpes Nurul Hakim Kediri, TGH.Mahmud Yasin,di Ponpes Ishlahul Ummah Mantang,  TGH Zainul Majdi, di Ponpes Darunnahdlatain NW Pancor, TGH.Tajuddin Ahmad di Pondok Pesantren Darunnajihin, TGH. Hilmi Najamuddin di Ponpes Raudhatutthalibin,TGH.Muhammad Anwar di Lombok Tengah dll, mereka adalah tokoh pesantren, pengurus suatu organisasi massa Islam, dan aktif sebagai Tuan Guru di masing-masing pondok pesantren yang mereka kelola.
[76]Tuan Guru yang konsen dalam bidang thareqat antara lain, TGH Mustiadi Abhar Ampenan, yang terkenal dengan thareqat Naqsyabandiyahnya, TGH.M.Sibawaihi dengan Thareqat Syaziliyyah, TGH.Najamuddin Ma’mun dengan thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, dll.
[77]Untuk menyebut kategori ini ada beberapa Tuan Guru yang terlibat lansung dalam dunia politik praktis, seperti TGH.Zainul Madji, TGH.Mukhlis Ibrahim, TGH. Zainul Mukhlis, TGH.Taqiyuddin, TGH. Mujiburrahman, TGH.Hazmi Hazmar, dan masih banyak lagi tuan guru yang duduk sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/DPRD) melalui partai politik yang berbeda-beda. Adalagi Tuan Guru yang berpolitik akomudatif-pragmatis dimana tidak terlibat praktis dalam politik tapi mengikuti alur politik tertentu berdasarkan sumbangan dan subsidi partai dan tokoh politik yang mendekatinya, sekedar untuk mengambil contoh, TGH.Fadhil Tahir Bodak, TGH. Zahid Syarif Salut, Dll.
[78]Secara fungsional, Tuan Guru memang bertugas sebagai da’i, maka secara otomatis melekat pada pribadi mereka sebagai dai panggung, di mana dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya berangkat dari satu fodium ke fodium lainnya di sekitar masyarakatnya atau bahkan di luar komunitasnya yang mengenal pribadi Tuan Guru tersebut. dapat dikatakan semua tuan guru adalah da’i panggungan, karena memang sentral fungsional mereka dalam bidang dakwah.
[79]Dapat dicontohkan untuk kriteria ini adalah TGH.M. Zainul Madji, tokoh Pesantren, tokoh Politik sekaligus, TGH.Sibawaihi, Tokoh pesantren, juga tokoh “politik” dan juga tokoh tharekat dan seterusnya.
[80]Contoh untuk kategori ini adalah T.G.H,M.Zainuddin Abdul Majid, pendiri organisasi masyarakat islam di NTB dengan nama Nahdlatul Wathan (NW). Melalui organisasi ini Zainuddin dapat mengembangkan sayap dakwahnya ke seluruh Indonesia bahkan merambah ke Saudi Arabia. Begitu juga TGH.Ibrahim Khalidi, sosok yang memimpin Rabithah Alam Islami, contoh lain dari kategori ini adalah TGH. L.Abdul Hafizh Sulaiman Kediri, TGH. Mukhtar Kediri, TGH. Ibrahim Lomban, TGH.Umar Kelayu.
   [81] Untuk menyebut contoh kategori ini semisal TGH. Aziz Anshari Jerowaru, TGH. Abdul Aziz Mengkuru. TGH.Mukhtar Penendem, TGH. Khairuddin Arrifa’i. dll

2 komentar:

  1. Sangat bermamfaat terimakasih banyak pak. Prof guruku... 😘

    ReplyDelete
  2. Sangat bermamfaat terimkasih guruku pak. Prof... 😘

    ReplyDelete