oleh:
H.Fahrurrozi Dahlan
Ajibnya
terkadang di partai Islam
Berpura-pura
membela Islam
Aktif
keliling siang dan malam
Membela
diri melupakan Islam (Wasiat. 142. h. 55)
Karena
kafir tak pantai Bersyukur
Penuh
khulaya’ Hasad Takabbur
Tidak
hiraukan teman dan Batur
Semau-maunya
berpolitik Catur
(Wasiat.
No. 152).
Janganlah
nanda dibikin bubur
Oleh
pemain politik catur
Diperalat
untuk melawan batur
sehingga
Ukhwah hancur dan lebur
(Wasiat.
No. 152.h.165)
Banyak
sekali berlidah Madu
Berhati
Pahit Bagai Empedu
Berpolitik ”Membelah
Bambu”
Tujuannya
ummat jangan Bersatu.
(Wasiat.
No. 166. h.165)
Politik
satu ditambah satu
Ditambah
satu sama dengan satu
Dilancarkan
oleh golongan tertentu
Membela
Nafsu membela Hantu
(Wasiat.
168.h. 62)
Kalau
Iman seorang tidak didalam
Politik Juangnya
hanya Menghantam
Asalkan
Dunia dan Fulus digenggam
Tidak
perduli Taqwanya Tenggelam
(Wasiat.
190.h. 62)
Lisan
Politik dan Tukang Dongeng
Pandai
memikat jutaan Kepeng
Menawan
menteri berumah genteng
‘SEMET
BULU MAU’ BANTENG”
(Wasiat.
190. h. 141)
Dalam
politik bermain curang
Kekiri
kana aktif menendang
Sehingga
tak regan membayar hutang
Dengan
NW nya pada seorang
(Wasiat
no. 53. h. 46)
Dalam
politik bermain curang
Kekiri
kana aktif menendang
Sehingga
tak regan membayar hutang
Dengan
NW nya pada seorang
(Wasiat
No. 53. h. 46)
Si
keranjingan gila politik
Lupa
dirinya kejungking –balik
Iman
taqwanya hilang geritik
Na’uzubillah
mimma hunalik
(Wasiat
No. 113. h. 46)
Agama
bukan sekedar ibadah
Puasa
sembahyang di atas sajadah
Tapi
agama mencakup aqidah
Mencakup
syari’ah mencakup hukumah (mansukh)
(Wasiat
No. 78. h. 46)
Menurut hemat penulis, paling tidak ada tiga
alasan yang melatarbelakangi kebijakan para tuan guru dan pesantren untuk
membuka diri dengan kalangan luar pesantren khususnya dengan politik dan
pemerintah;
Pertama, alasan
historis yaitu tradisi yang dirintis pendiri pesantren tersebut memang terbuka
kepada siapa saja, termasuk kepada para elit politik dan pejabat teras pemerintah.
Kedua, alasan teologis. Sebagian
kalangan pesantren menganggap politik bisa dijadikan sebagai salah satu alat
perjuangan dan mempermudah dakwah mereka. Mereka berpendapat, partai politik
sebagai alat perjuangan yang berlandaskan kepentingan umum (mashlahah
al-ammâh), bukan kepentingan kelompok, apalagi pribadi.
Ketiga, alasan
strategis-pragmatis. Agar tuan guru dan pesantrennya memiliki kekuatan dan
jaringan dengan kekuasaan. Sebab pesantren yang mempunyai basis massa yang
jelas dan kuat, kalau kekuatannya tidak dimanfaatkan akan terbuang percuma
begitu saja. Karena harus ada tawar-menawar politik dan membangun kontrak
politik dalam pengertian yang sangat pragmatis.
Di masyarakat etnis Sasak,
Tuan guru merupakan salah satu figur elite yang mempunyai kedudukan terhormat
dan menjadi panutan masyarakat. Dengan kualifikasi sebagai kelompok yang
memiliki ilmu pengetahuan agama Islam, mereka diakui sebagai penyebar dan
pemelihara ajaran Islam, khususnya dalam menegakkan amar ma'ruf nahi munkar.
Untuk konteks masyarakat Sasak Lombok yang
relatif masih berstruktur budaya paternalistik dan patriarkhis, peran tuan guru
sangat signifikan, sekaligus sangat menentukan kesadaran kolektif masyarakat
dan struktur realitas sosial-keagamaan. Tersebab itu konstruksi epistimologis
apapun yang dibangun oleh para tuan guru dalam banyak hal ditengerai kuat
memberi impact bagi bentuk-pola kesadaran keagamaan dan weltanschauung
umum masyarakat, tak
terkecuali pemahaman tentang politik dan dakwah. Itulah mengapa penting
menelusuri persepsi tuan guru seputar isu-isu perselingkuhannya dengan politik
praktis.
Dalam
kaitannya dengan politik, knowledge
yang dimiliki ulama merupakan power yang secara potensial dapat
digunakan tidak hanya untuk mendalang dukungan umat secara keseluruhan untuk
mewujudkan suatu tindakan atau proses politik tertentu, tetapi bahkan untuk
mendukung suatu sistem politik atau kekuasaan politik tertentu, dan tidak
jarang bahkan tanpa reserve. Berkat aura sakral yang dimilikinya
kehadiran ulama dalam suatu pertemuan politik, semacam kampaye pemilu, disertai
himbauan ulama untuk mendukung partai atau kekuatan politik tertentu, apalagi
ulamanya ikut menjadi kontestan dalam pemilu, maka hal ini bagi umat dimaknai
bukan hanya sekedar keputusan politik, tetapi sekaligus merupakan “fatwa
keagamaan”.
Namun
menarik untuk diamati, bahwa hubungan patron-klien antara ulama dan umara
ini tidak harus selalu dipandang secara pejoratif atau negatif. Bahkan dari
hubungan patron-klien inilah dapat dilacak pertumbuhan-pertumbuhan aspek
kebudayaan dan peradaban Islam tertentu.
Dalam konteks Lombok, hubungan mutualistik
agama dan politik terlihat sejak tahun 1970-an. Para tuan guru telah
menyalurkan aspirasi politiknya pada partai-partai tertentu, dimana mereka
tidak lagi terikat dengan cara pandang konvensional yang melihat hubungan agama
dan politik secara integrated, namun sudah melihat hubungan
agama-politik secara symbiosis.[1]
Sebagai hasil reformasi
politik, muncul berbagai pergerakan politik.[2]
Tujuan pergerakan politik kaum muslimin pada dasarnya adalah sama dengan tujuan
dakwah, yaitu terjaminnya pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya. Dalam
kontek ini, pergerakan politik memiliki makna seni sekaligus perjuangan.
Pergerakan politik dalam arti seni adalah suatu cara dan taktik mengubah
keadaan secara halus dan konsisten kearah yang diinginkan. Dipandang dari segi
ini, maka makna politik kemungkinan dan seni memungkinkan terwujudnya apa yang
diperlukan (La politique est I’ art du possible et I’art de render possible
ce qui est necessare). Sedangkan pergerakan politik dalam arti perjuangan
adalah suatu strategi menggalang semua potensi yang ada berupa sumber daya,
kelembagaan, dukungan dan peluang untuk mencapai tujuan. Dilihat dari segi ini,
maka makna politik adalah perjuangan untuk mencapai kekuasaan.[3]
Kedua makna pergerakan politik, baik dalam arti seni maupun dalam arti
perjuangan adalah suatu siyâsah yang dilaksanakan seiring dengan dakwah
demi tegaknya ajaran Islam dan terciptanya
kemulian masyarakat yang sejahtera (lii’lâ’i kalimatillâh wa izzil
islâm wa al-muslimîn).[4]
Menurut Dalier
Noer, politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan
kekuasaan dan yang dimaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah, atau
mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[5] Pendapat
ini menunjukkan bahwa hakikat politik adalah perilaku manusia, baik
berupa aktivitas maupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi atau mempertahankan
tatanan sebuah masyarakat dengan menggunakan kekuasaan. Ini berarti bahwa
kekuasaan bukanlah hakikat politik, meskipun harus diakui bahwa ia tidak bisa
dipisahkan dari politik, justru politik memerlukannya agar sebuah kebijakan
dapat berjalan dengan kehidupan masyarakat.[6]
Menurut
Miriam Budiardjo, sedikitnya ada lima pendekatan yang digunakan untuk
mendefinisikan istilah politik, pendekatan tersebut adalah pendekatan
kenegaraan (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision
making), kebijaksanaan (policy belived), dan pembagian kekuasaan
atau alokasi (distribution/allocation/ sharing power). [7]
Sejalan
dengan pendapat di atas, Ramlan Surbakti mengatakan terdapat lima pendekatan
dalam memahami politik. Pertama, pandangan klasik yang mengatakan
politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan
mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik secara kelembagaan, artinya
politik adalah segala hal yang terkait dengan penyelenggaraan negara atau
pemerintahan. Ketiga, politik sebagai kekuasaan diartikan sebagai segala
kegiatan yang diarahkan untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan dalam
masyarakat. Keempat, politik sebagai fungsionalisme, yaitu politik
sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan
umum. Kelima, politik sebagai konflik, yaitu kegiatan mempengaruhi
proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum untuk mendapatkan atau mempertahankan nilai-nilai.[8]
Kalau
Negara Madinah pada masa nabi Muhammad SAW sebuah eskperimentasi empiris- yang
disebut oleh Robert N. Billah sebagai partisipatif dan demokratis dalam sejarah
politik Islam- dapat dijadikan contoh, maka akan terlihat bahwa konstitusinya
tidak menyebut Islam sebagai negara, akan tetapi prinsip etis yang relevan
dalam proses penyelenggaraan negara, antara lain : nilai-nilai musyawarah (syûrâ),
keadilan (‘adl), dan persamaan (musâwâh).[9]
Menurut
tinjauan Islam, terdapat dua jenis politik, yaitu politik kualitas tinggi (high politics) dan politik kualitas rendah ( low
politics). Menurut Amin Rais, paling tidak ada tiga ciri yang harus
dimiliki oleh politik kualitas tinggi, atau mereka yang menginginkan
terselenggaranya high politics;
Pertama, setiap jabatan politik pada hakikatnya amanah
dari masyarakat, yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Amanah itu tidak boleh
disalahgunakan, misalnya untuk memperkaya diri sendiri atau menguntungkan
golongannya saja dan melantarkan kepentingan umum.[10]
Kedua,
setiap jabatan politik mengandung pertanggungjawaban (mas’uliyyah/accountability).
Sebagaimana diajarkan oleh Nabi, setiap orang pada dasarnya pemimpin yang harus
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya atau tugas-tugasnya.[11]
Ketiga,
kegiatan politik harus dikaitkan secara ketat dengan prinsip ukhuwwah (brotherhood),
yakni persamaan di antara umat manusia. Dalam arti luas, ukhuwwah
melampui batasan-batasan etnik, rasial, agama, latar belakang sosial,
keturunan, dan sebagainya.[12]
Politik
kualitas tinggi dengan ciri-ciri minimal tersebut sangat kondusif bagi
pelaksanaan dakwah yang berorientasi pada pelaksanaan amar ma’ruf nahi
munkar. Dan inilah indikasi yang diinginkan dalam dakwah melalui partai
politik yang sejalan dengan prinsip al-Qur’an surah al-Hajj ayat 41.[13]
Sedangkan
politik dengan kualitas rendah dapat dicirikan sebagai politik yang mengajarkan
kekerasan (violence), brutalitas, dan kekejaman, begitu juga penaklukan
atas musuh-musuh politiknya, dimana musuh politik tidak diberi kesempatan untuk
bangkit, dan menghalalkan segala cara.[14]
Politik
yang sejalan dengan konsep dakwah adalah politik yang memiliki otoritas dan
legitimasi moral, bukan hanya kekuasaan dan pertarungan kekuatan, tapi yang
paling esensi adalah politik sebagai wadah dan sarana yang menghubungkan
masyarakat dengan penguasa dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan bathin.[15]
Dalam hal inilah sosok politikus secara tidak lansung berperan sebagai da’i
atau penyeru kepada kemashlahatan ummat.
Dalam
kaitannya dengan dinamika sosial politik di tanah air, kalangan pesantren
termasuk di dalamnya tuan guru, dalam menjalankan perannya sebagai lembaga
dakwah juga terbelah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, pesantren
lebih menitikberatkan pada pendekatan sosio-kultural. Pesantren/tuan guru ini
cenderung tertutup dan tidak bersedia pesantrennya dikunjungi oleh elit politik
dan pejabat pemerintah. Kelompok kedua, pesantren/tuan guru yang terbuka
kepada politik, bahkan ada yang terlibat dalam partai politik praktis. Kelompok ini membuka pintu lebar-lebar kepada
elit politik atau pejabat pemerintahan.
[1] Muhammad Abdun
Nasir, dkk, Polarisasi Thariqat Qadhariyah-Naqsyabandiyah Lombok Pada Pemilu
2004, dalam Jurnal Istiqro’ : Jakarta : DIKTI Depag RI, Vol. 05,
No.01,2006. h.104.
[2] Kata politik
berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan kata sifat pribadi
atau perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or
judging wisely, well judged, prudent.(lihat, A.S.Hormby, E V. Getenby,
H.Wakefield, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
London : Oxford University Press, 1963, h. 748.)disini kata tersebut
diterjemahkan dengan arti bijaksana atau dengan kebijaksanaan. Kata politic
juga diambil dari kata Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos
yang berarti realiting to a citizen. Kedua kata tersebut juga dari kata polis
yang bermakna city/kota.(lihat, Noah Webster’s, Webster’s New
Twentieth Century Dictionary, (USA : William Collins Publishers, 1980, h.
437). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan politik sebagai pengetahuan
mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan atau segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap
negara lain atau cara bertindak dalam menghadapi atau mengenai suatu masalah
dan kebijakan.( Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-III, (Jakarta : Balai
Pustaka, 2002, cet.ke-2, h. 886). Politik juga diartikan sebagai hal-hal yang
berhubungan dengan pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik, pressure
group, hubungan-hubungan international dan tata pemerintahan semua ini
merupakan kegiatan perseorangan maupun kelompok yang menyangkut kemanusiaan
secara mendasar. (Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta :
Iktisar Baru-Van Hoeve, 1984), jilid V, h.2739.
[3] A.M Romly, Dakwah
dan Siyasah : Perjuangan Menegakkan Syariat Islam di Asia Tengah, Kaukasia, dan
Rusia Abad VII-XX, (Jakarta : Bina Rena Pariwara, 2001), cet.1. h.6-7.
[4] Istilah
pergerakan politik pertama kali dikenal melalui buku Plato yang berjudul Politeia
yang juga dikenal Republik. Di sini diungkapkan bahwa arti sebenarnya dari Politeia
adalah konstitusi, yakni suatu jalan atau cara bagi setiap orang untuk
berhubungan dengan sesamanya dalam pergaulan hidup masyarakat. Kemudian baru
muncul karangan Aristoteles yang berjudul Politeia, di mana konsep
politik dalam dua karya besar tersebut menunjukkan sebagai konsep pengaturan
masyarakat, dan bagaimana pemerintahan dijalankan agar terwujud sebuah
masyarakat politik atau negara yang paling baik. (lihat, Deliar Noer, Pemikiran
Politik di Negara Barat, (Jakarta : Rajawali Press, 1982) h. 11-12.)
[5] Deliar Noer, Pengantar
ke Pemikiran Politik, (Jakarta : Rajawali Press, 1983), h. 94-95.
[6] Bandingkan
dengan Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Persfektifnya, (Yogyakarta :
Tiara Wacana, 1986), h.6. Cheppy berkesimpulan bahwa kekuasaan merupakan inti
dari politik.
[7] Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gremedia Pustaka Utama,
1998) h.8.
[8] Ramlan
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1999) h.2.
[9]Bahtiar
Effendi, Repolitisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?,(Bandung
: Mizan, 2000) cet.1, h.77.
[10] Amin Rais, Cakrawala
Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan,1987), cet. 1, h. 30-31.
[11] Lihat Bukhari
Muslim, Shahih Bukhari Muslim, bab al-imamah. Jilid 2. h. 124, lihat juga pada Imam Nawawi, Syarah
Arbain Annawawiyah, (Surabaya : Thoha Putra, ttp) h. 20.
[12] Istilah yang
populer untuk mempertegas pendapat ini adalah trilogi ukhuwwah: Ukhuwwah basyariyyah,(persaudaraan
sesama manusia tampa memandang ras, dan lain-lain), Ukhuwwah wathaniyyah,(persaudaraan
nasionalisme, persaudaraan berdasarkan suku bangsa),Ukhuwwah islamiyyah,
(persaudaraan esklusif yang terbatas pada kesamaan agama dalam hal ini agama
Islam).
[13] Arti dari ayat
tersebut, mereka adalah orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka
di muka bumi niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat ma’ruf (kebaikan) melarang berbuat kejahatan (munkar) dan kepada
Allahlah kembali segala urusan.(Baca, Depag RI, al-Quran dan Terjemahannya,
(Jakarta : Depag RI, 1982),h.518.
[14] Amin Rais
menegaskan ciri politik kualitas rendah ini merujuk pada ajaran politik
Machiavelli (politik Machiavellis) yang terkandung dalam buku The Princes.
Lihat Amin Rais, Cakrawala..h.32.)
[15] M.Din
Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta : Logos, 2001)
cet. 1 h. 93. Penjelasan yang lebih elaboratif tentang relasi antara agama dan
negara (al-diin wa al-daulah) dapat dilihat, Munawir Syazali, Islam
dan Tata Negara : Ajaran Islam, Sejarah, dan Pemikirannya, (Jakarta : UI
Press, 1993) edisi ke-5.
Masya Allah...Lebih banyak artikel seperti niki Syaikhi.
ReplyDeletesalam,tgh.mohon sebagai refrensi di kirimkan karya Almukkarram syukran
ReplyDelete