Oleh :
Fahrurrozi
ABSTRAKSI
Harus diakui secara objektif,
bahwa sejarah agama adalah sejarah siklik yang penuh dengan hegemoni,
intoleransi, pemaksaan, kekerasan atas nama Tuhan. Atas nama kebenaran, atas
nama keselamatan, atas nama nilai ideal, bahkan atas nama suci Tuhan, agama
menjadi alat legitimasi yang paling nyata dalam tragedi pemberangusan hak-hak
dan kebebasan sipil. Hak-hak sipil dan kebebasan individu yang secara rasional
kita terima sebagai sebuah postulat universal kemanusiaan, harus diingkari dan
dinodai demi sebuah arogansi dan egoisme komunal penganut agama tertentu.
Terlalu banyak catatan hitam dalam lembaran sejarah manusia, di mana kebebasan
berpikir dan berekspresi tereksklusi hanya karena bertentangan dengan doktrin
agama tertentu yang sebenarnya hanya dimaknai subyektif oleh para penganut
agama tertentu. Persoalan yang muncul kemudian adalah, bagaimana posisi
kebebasan itu dalam bingkai kebebebasan orang lain, apakah kebebasan itu
sebenarnya justru tidak bebas karena dibatasi oleh hak dan kewajiban orang lain
untuk dihormati dan dihargai?
Tulisan ini, mencoba melihat
aspek kebebasan itu dalam perspektif Islam dan demokrasi, guna memposisikan
Islam sebagai agama yang menghargai kebebasan bukan mengkebiri kebebasan orang
lain karena doktrin ajarannya.
PENDAHULUAN
Robert Dahl berpendapat bahwa demokrasi
paling tidak dapat dilihat berdasarkan dua aspek penting: kontestasi masyarakat
(public contestation) dan hak kebebasan untuk berpartisipasi (the
right to participate). Pendapat Dahl ini sebenarnya menjelaskan inti dari
demokrasi itu sendiri, meskipun Dahl
juga menjelaskan elemen-elemen demokrasi yang lain seperti: kebebasan
untuk membentuk dan ikut dalam suatu organisasi politik (freedom to form and
join organization), kebebasan untuk berekspresi (freedom of exspression),
hak untuk memilih (right to vote), memenuhi persyaratan untuk dipilih
oleh masyarakat (eligibility for public office), ada hak bagi pimpinan
parpol untuk bersaing untuk mendapat dukungan (right of political leaders to
compete for support), kebebasan mendapatkan informasi, (alternative sources
information),pemilihan umum yang bebas dan fair (free and fair election).[1]
Di samping itu, demokrasi memiliki arti suatu keadaan
negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa,
pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Ini artinya masyarakat sebagai
salah satu elemen penting dalam pilar di mana disebut sebagai sebuah negara, harus diberikan ruang kebebasan
untuk berpartisipasi dan berkontestasi dalam alam demokrasi, baik demokrasi
normatif maupun demokrasi empirik. Yang saya maksud dengan demokrasi normatif
adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara,
sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi dalam perwujudannya pada dunia
politik praktis.
Al-Qur’an menunjukkan sikap
simpatinya yang mendalam pada persamaan derajat dan keadilan social di tengah
masyarakat dengan kalimat-kalimat yang tegas dan manis.(Q.S.AL-Hujurat : 13).
Al-Qur’an ternyata tidak hanya memuat prinsip persamaan hak dan keadilan di
tengah masyarakat, tetapi juga menegaskan tentang prinsip kebebasan di muka
bumi ini. Terbaginya manusia dalam berbagai suku bangsa, ras, dan warna kulit
bahkan agama, bertujuan untuk supaya mereka saling mengenal perbedaan dan
menukar peradaban dengan segala kebebasan yang mereka miliki. Dengan kebebasan
itu, mereka bisa saling melengkapi dan membagi kesulitan dan kebahagiaan di
antara mereka, bahkan mereka bisa bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Bagi saya, demokrasi yang disuguhkan
oleh Robert Dahl, bukanlah kata benda, tetapi lebih merupakan kata kerja yang
mengandung makna sebagai proses dinamis, karena itu demokrasi harus diupayakan
dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasi dalam kerangka di atas
berarti sebuah proses untuk melaksanakan nilai-nilai civility (keadaban)
dalam bernegara dan bermasyarakat.
Intinya menurut hemat saya, demokrasi
pada hakekatnya tidak hanya sebatas pelaksanaan prosedur-prosedur demokrasi
(pemilu, suksesi dan aturan mainnya), tetapi harus secara santun dan beradab
yakni melalui proses demokrasi yang dilakukan tanpa paksaan, tekanan, dan
ancaman dari dan oleh siapapun, tetapi dilakukan secara sukarela, dialogis dan
saling menguntungkan. Faktor ketulusan, kemandirian dan partisipasi masyarakat
dalam usaha bersama mewujudkan tatanan sosial yang baik untuk semua warga
negara merupakan hal yang sangat penting dalam membangun tradisi
demokrasi.
Intinya menurut saya adalah kebebasan
dan kemandirian sekaligus partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi[2],
sebab kemandirian dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan bernegara adalah
ekspresi kewarganegaraan yang mengindikasikan suatu negara sedang mempraktikkan
demokrasi, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial. Sejauh demokrasi
tersebut dimenifestasikan bisa dilihat dari bagaimana tradisi perpolitikan,
perekonomian, dan sosial bergerak secara revolusioner, bahkan terkadang
diarahkan diskontinuitas sejarah.
A. Kebebasan
pada Demokrasi
1. Definisi Kebebasan
Kebebasan
berasal dari kata freedom dan dalam bahasa latin dikenal dengan liberty.
Kedua-duanya diderivasikan ke dalam liberal dan liberalism. Abraham Lincoln
pada pidatonya di Baltimore tahun 1864 mengatakan “The wold has never had a
good definition of the word ‘liberty.”. Perkataan Lincoln ini menunjukkan
betapa sulitnya untuk mendefiniskan kebebasan. Meskipun begitu, Norman P. Barry
mencoba mendefinisikan, kebebasan atau kemerdekaan dengan “tidak adanya suatu
pemaksaan atau rintangan”. Menurut Norman, kebebasan secara politik adalah
sebuah sistem demokratis yang harus memberi beberapa pengakuan yang
mempertimbangkan kebebasan rakyat untuk berkumpul, mengkomunikasikan ide-ide,
dan berbeda dengan pemerintah.[3]
Sementara
Werner Becker mendefinisikan kebebasan atau kemerdekaan sebagai seorang yang
dalam batas-batas tertentu dapat melakukan atau meninggalkan apa yang dia
inginkan. Definisi Werner ini merupakan definisi kebebasan pada tataran hukum.
Berbeda dengan
Norman dan Werner yang mendefinisikan kebebasan pada tataran politik dan hukum,
Franklin Delano Roosevelt mendefinisikan kebebasan atau kemerdekaan sebagai
kebebasan beragama.
Istilah
kebebasan beragama yang diusung Roosevelt
merupakan masalah krusial yang muncul setelah Revolusi Perancis tahun 1789, yang
mencita-citakan kebebasan (liberte), persamaan (egalite) dan
persaudaraan (faternite). Pandangan ini mengacu pada pandangan filosofis
bahwa manusia lahir dan tetap bebas dan setara hak-haknya.[4]
B. Kebebasan Individu , Hukum dan Dilema Demokrasi
Sudah jelas
bahwa kebebasan itu salah satu syarat untuk mewujudkan sistem yang demokratis,
namun ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan teoritikus politik tentang
hubungan antara kebebasan dan kebebasan politik. Menurut Norman P Barry,
sebagaimana dikutip oleh Masykuri Abdillah, kebebasan politik berhubungan
dengan rezim demokrasi, dan ia mancakup hak suara, berpartisipasi dalam politik
dan mempengaruhi pemerintahan. Karena terdapat perbedaan cakupan antara
kebebasan dan kebebasan politik, maka adalah mungkin suatu masyarakat itu bebas
tanpa adanya kebebasan politik. Juga, adalah kemungkinan suatu rezim demokrasi
yang bercirikan partisipasi dan kehendak umum, menekan kebebasan individu.
Namum demikian, sebuah sistem yang demokratis harus memberi beberapa pengakuan
yang mempertimbangkan kebebasan rakyat yang sungguh-sungguh untuk berkumpul,
mengkomunikasikan ide-ide, dan berbeda dengan pemerintah. [5]
Bentuk
kebebasan dalam demokrasi cenderung dikaitkan dengan system perpolitikan dalam
demokrasi. Sehingga pelaksanaan kebebasan sebagai sebuah term tersendiri sangat
dipengaruhi oleh pemaknaan dari system perpolitikan yang berlaku pada sebuah
Negara. [6]
Sebagai contoh,
meski sama-sama menganut slogan kebebasan, penetapan boleh atau tidaknya
perkawinan antara sesama jenis antara Inggris dan Amerika akan berbeda. Di
Inggris, perkawinan sejenis belum dilegalkan, karena dianggap melanggar
norma-norma budaya dan agama, sedangkan di Amerika, perkawinan sejenis tidak
dilarang dan akan dilegalkan, karena kebebasan di Amerika adalah inti dari
budaya politik Amerika. Sehingga kalau dicermati, perbedaan ini lahir dari
berbagai factor yang apabila dikerucutkan, kebebasan menjadi berbeda karena
perbedaan makna kebebasan pada wilayah budaya dan term-term politik setempat.
Di samping itu,
dalam wacana kebebasan, kita tidak dapat memisahkannya dari persamaan, karena
keduanya saling melengkapi, walaupun kadang-kadang juga ada perbedaan antara
keduanya. Di mana kebebasan adalah tiadanya halangan dan paksaan, tetapi dalam
beberapa hal interfensi negara dibutuhkan untuk mencapai persamaan yang juga
merupakan salah satu hak manusia yang paling mendasar. Misalnya untuk
memperoleh pendapatan yang sama di antara para warga negara, negara memberikan
prioritas kepada yang miskin dan membatasi ekspansi ekonomi oleh yang kaya. Ide
yang mendukung interfensi negara karena alasan-alasan persamaan sosial dan
ekonomi disebut kebebasan “positif”, sedangkan ide yang menolak interfensi
negara dalam segala hal disebut kebebasan “negatif”. [7]
Begitupun pada
liberalisasi campur tangan militer terhadap sebuah Negara antara negara-negara anglo
saxon dan common law akan berbeda, meskipun sama-sama menganut asas
kebebasan dan demokrasi. Pada negara-negara anglo saxon seperi Inggris dan
Amerika, campur tangan pihak militer tidak cocok dengan kebebasan berpolitik, karena demokrasi
tidak menghendaki itu. Sedangkan pada Negara-negara common law seperti
Jerman dan Italia, campur tangan militer pada system perpolitikan merupakan
bagian dari kebebasan.[8]
Adanya
perbedaan bentuk dan pemaknaan ini adalah hasil transmisi dari term
kebebasan dan term-term lain yang mengikatnya. Misalnya kata latin
kebebasan yaitu libertas. Libertas disini tidak bisa dimaknakan
sama dengan kebebasan pada Amerika yaitu freedom. Untuk memahami libertas,
kita perlu mengaitkannya dengan term-term yang lain, seperti res publica
atau jus civitatis. Atau kita tidak bisa memahami makna freedom
pada Inggris tanpa mengaitkannya dengan term habeas corpus atau rule
of law.
Keberadaan
term-term tersebut muncul dari aspek-aspek historis maupun budaya pada suatu
negara tersebut dan hal ini pada akhirnya melahirkan perbedaan pemaknaan
kebebasan individu dalam tataran hukum dan tata pengaturan publik.
Pada tataran
hukum dan pengaturan publik inilah kebebasan menemukan momentumnya yaitu
pemisahan antara kebebasan individu dan kebebasan public. Meski sangat sulit
untuk menentukan batasan-batasan yang jelas pada kebebasan individu, karena
subyektifitas yang ada pada individu itu sendiri, namun prinsip fundamental
pada kehidupan social yaitu saling membutuhkannya antara diri dengan orang lain
yang mana berakibat pada pengutamaan kepentingan orang lain diatas kepentingan
individu menjadi batasan kebebasan individu.
Hal ini senada
dengan konsep pribadi sosialnya Rousseau, dimana konsep ini adalah
interpretasi, sekaligus representasi dari teori hubungan timbal balik dan
perbandingan sosial Plato[9]
dan adopsi dari teori hukum Tacitus. Itulah sebabnya, kebebasan menurut
Rousseau adalah esensi dari kualitas hidup manusia dan cita-cita luhur dari
Demokrasi.
Untuk meredam
subyektifitas manusia pada pemaknaan kebebasan tersebut, individu-individu
dalam suatu masyarakat diatur dan dibatasi oleh hukum dan dilembagakan pada sebuah Negara. Teori-teori
yang dikemukakan oleh Rousseau dan Montesque mengenai Negara mengindikasikan
hal tersebut. Meski Rousseau dan Montesque hidup pada zaman yang bebeda dengan
Aristoteles, namun pendapat mereka merupakan interpretasi dari konsep Aristoteles mengenai Negara. Aristoteles
mengatakan bahwa tujuan dari Negara adalah untuk menampung insting sosial manusia dan
memberikannya kehidupan yang layak.[10]
Selanjutnya,
menurut Aritoteles, bentuk konstitusi dan hukum itu bervariasi[11]
dan plato menguatkannya dengan mengatakan bahwa negara memiliki cirinya
masing-masing, dan hal itu merupakan sesuatu yang alami.[12]
Bervariasinya
bentuk konstitusi dan hukum inilah yang dialami oleh pelaksanaan demokrasi pada
setiap Negara. Selain didorong oleh peran pimpinan Negara, perbedaan pemaknaan
dan bentuk kebebasan juga memiliki peran yang sangat penting disini. Sebagai contoh hal ini dapat dilihat pada
Demokrasi Marxis-Leninis dan Demokrasi Liberal-Kapitalis. Dalam Demokrasi
Marxis-Leninis, demokrasi adalah suatu system pemerintahan dimana kelas
proletar yang berkuasa menjalankan kekuasaan atas nama rakyat dan untuk
kepentingan rakyat. Kebebasan bagi demokrasi ini adalah humanisasi seluruh
masyarakat dan system kapitalis yang eksploitatif dianggap telah ,mendegradasi
hakekat luhur manusia.
Berbeda dengan
Demokrasi Marxis-Leninis, Demokrasi Liberal-Kapitalis memandang bahwa demokrasi
terkait erat dengan pertumbuhan dan perkembangan liberalism dan kapitalisme
dalam masyarakat.
Demokrasi
Liberal, seperti tersirat dari namanya, menurut Macheparson didasarkan pada
liberalisme. Suatu Negara yang mengklaim sebagai Negara demokrasi liberal pada
mulanya harus bersifat liberal, baru kemudian demokratis.[13]
Oleh karena
itu, versi yang medern tidak setuju adanya kebebasan atau persamaan yang
muthlak; adanya kenyataan saat ini, tidak ada satupun negara yang
memperbolehkan adanya bentuk kemuthlakan. Perhatian terhadap hubungan antara
kebebasan dan persamaan ini menimbulkan enam jenis sistem politik. Sistem itu
disebut “Sosialisme”, di mana kebebasan dan persamaan keduanya dinilai sangat
tinggi. Kapitalisme, di mana kebebasan dianggap bernilai tinggi dan persamaan
bernilai rendah. Komunisme, di mana kebebasan dianggap bernilai rendah dan
persamaan bernilai tinggi. Fasisme, di mana baik kebebasan maupun persamaan
dianggap tidak bernilai tinggi. [14]
C. Kebebasan dalam Islam
1. Tauhid dan Pembebasan Sosial
Dalam Al-Qur’an, prinsip Tauhid[15]
atau pandangan hidup ber-Ketuhanan yang Maha Esa selalu dikaitkan dengan sikap
menolak thagut. Perkataan thagut sendiri diartikan dalam berbagai
makna, namun semua arti tersebut selalu mengacu kepada kekuatan
sewenang-wenang, otoriter dan perlawanan terhadap tirani.[16]
Misalnya, dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa tidak boleh ada paksaan dalam agama
dan bahwa manusia dapat memilih sendiri mana yang benar dan yang salah. Dalam surat al-Baqarah ayat 256,
Allah SWT berfirman :
Artinya, “barang siapa menolak thagut dan beriman
kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang dengan tali yang kukuh, yang
tidak akan putus….
Nurcholish Madjid memaknakan firman ini dengan
barangsiapa yang mampu dan berhasil melepaskan diri dari belenggu
kekuatan-kekuatan tirani, baik yang datang dari dalam maupun dari luar,
kemudian ia berhasil menemukan kebenaran dan berpegang teguh kepadanya, maka
sungguh ia telah menempuh hidup aman sentosa.[17]
Diantara tokoh-tokoh zaman yang sering dijadikan
sebagai sosok tirani dalam Al-Qur’an adalah Fir’aun. Fir’aun yang memerintah
sebagai penguasa absolute itu dilukiskan dengan raja yang mengaku dirinya Tuhan
dan telah berlaku tirani (thagut). Tirani Fir’aun ditolak oleh Nabi Musa
dengan Tawhid, karena ia bertentangan dengan prinsip bahwa yang secara
hakiki berada di atas manusia adalah Allah. Oleh karena itu, ia akan melawan
harkat dan martabat kemanusiaannya, jika mengangkat selain Tuhan ke atas
dirinya.[18]
Inilah hakikat dari syirik. Seperti halnya sistem mitologis dan tiranik yang
merampas kebebasan manusia, efek dari syirik ialah pembelengguan dan perampasan
kebebasan martabat dan hakikat kemanusiaan.
Tidak berbeda dengan itu, Muhammad dengan Islam yang
dibawanya adalah sosok revolusioner.[19]
Islam yang dibawa Muhammad adalah Islam yang membebaskan. Akar geneo-historis
Islam secara jelas menyatakan kebenaran klaim tersebut. Misi Islam adalah
membela, menyelamatkan, membebaskan, memuliakan dan melindungi orang-orang yang
tertindas, sehingga tidaklah mengherankan jika kelompok pertama yang mengapresiasi
Islam adalah dari golongan yang tertindas, miskin dan para budak. Hanya
sebagian kecil saja yang berasal dari golongan bangsawan.
Dari berbagai konsekuensi logis Tauhid, salah
satunya yang amat kuat mempunyai dampak pembebasan sosial yang besar ialah egalitarianism.
Berdasarkan prinsip ini, Tauhid menghendaki sistem kemasyarakatan yang
demokratis berdasarkan musyawarah, yang terbuka dan memungkinkan manusia saling
mengingatkan tentang yang benar dan baik, suatu dasar bagi prinsip kebebasan
menyatakan pendapat. Kebebasan karena tauhid tidak membenarkan adanya
absolutism antara sesama manusia.
Karena tujuan membebaskan dari tauhid tersebut,
maka ditegaskan dalam Islam bahwa system kerahiban dan hirarki keagamaan yang
mendegasikan wewenang kesucian kepada sesama manusia tidak dibenarkan.[20]
2. Kebebasan dalam Islam sebagai Ideologi
Konsep al-Qur’an (baca : Islam), tampil
menetralisir hak asasi yang dipahami masyarakat Barat “seolah-olah sebagai kebebasan tanpa batas”, menjadi kebebasan yang
bertanggung jawab. Itu berarti kebebasan pasti ada batasnya. Setiap orang
memang memiliki hak untuk berteriak di tengah malam, tetapi ada pula hak orang
untuk menikmati tidurnya, karena itu manusia tidak menjadi bebas sepenuhnya.
Dengan adanya hak dan kewajiban, atau
dengan adanya kebebasan dan tanggungjawab, hidup menjadi lebih netral,
berimbang dan fair. Ada hak adapula
kewajiban. Tidak ada orang berdiri tegak kemudian mengatakan “ sayalah yang
paling berhak untuk memperoleh sesuatu,” dan tidak ada pula orang yang menepuk
dada sambil berkata, akulah yang paling
berkewajiban untuk memberikan sesuatu”.
Karena itu, prinsip universal al-Qur’an adalah
bukan saja “meminta” (menuntut hak) tetapi juga “memberi” (mengeluarkan
kewajiban). Malahan, dalam banyak ayat al-Qur’an mengisyaratkan, “lebih baik
memberi daripada meminta; lebih baik bertanya tentang apa yang sudah kita
berikan daripada bertanya tentang apa yang kita dapatkan”. Konsep dasar inilah
sesungguhnya yang menjadi konsen dalam kajian keislaman.
Berbeda dengan
demokrasi yang kebebasan adalah prinsipnya yang paling fundamental, dalam
Islam, prinsip dasar itu justru ada pada keterikatan pada ajaran agama. Karena
perbedaan prinsip ini, tidaklah mengherankan jika dalam system sekuler dan
liberal, batasan kebebasan terdapat pada norma-norma hukum dan norma-norma
sosial. Sedangkan dalam Islam, selain norma hukum yang dikodifikasi, batasan
utama kebebasan adalah ajaran-ajaran agama yang merupakan wahyu Tuhan dan
keimanan terhadap Tuhan itu sendiri. Sehingga, seseorang dalam Islam, bisa
sepenuhnya untuk berpendapat dan berekspresi, jika ekspresi itu tidak
bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak merugikan orang lain. [21]
Dalam hal ini,
Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa kewajiban menjadi batasan terhadap hak
seseorang. Ini sesuai dengan slogan Hurriyat al-mar’ mahdudah bi hurriyat
siwah (kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain).[22]
Karena
berdasarkan pada adanya hak orang lain, maka fakta-fakta sosial seringkali
dijadikan acuan dalam kodifikasi hukum dalam Islam. Tidak terlalu mendetailnya
pembahasan masalah-masalah hukum dalam al-Qur’an merupakan bentuk pemberian
kebebasan oleh Tuhan terhadap manusia. Sehingga, sebagai akibatnya, bentuk-bentuk pemaknaan terhadap legalisasi hukum
dalam Islam yaitu dengan timbul-timbulnya madzhab dalam Islam adalah tidak
sama, baik pada penafsiran dasar-dasar hukum, maupun pada penetapan hukum itu
sendiri.
Menurut Sir
Thomas Arnold, tujuan dari perlunya legalisasi hukum dalam Islam adalah :
a.
Kebebasan yang tak terbatas akan
menyebabkan kehancuran. Oleh karena itu, pembatasan melalui legalisasi
norma-norma hukum adalah sebuah kemestian.
b.
Kebebasan dibatasi oleh individu
lain dan keterkaitan dengan masyarakat. Pengaturan masyarakat melaluai pembentukan dasar-dasar hukum
menjadi sangat penting.[23]
Walaupun
prinsip keterikatan terhadap ajaran-ajaran agama dan pentingnya kodifikasi
hukum merupakan sesuatu yang disepakati oleh umat Islam, namun disaat menyikapi
demokrasi dengan sekulerisme-liberalisme, umat Islam terbelah menjadi
dua kubu yaitu kubu yang menerima dengan syarat dan kubu yang menolak.
Pertama, kubu
yang menerima demokrasi dengan sekulerisme-liberalisme diterima dalam
kerangka syura (musyawarah). Diantara tokoh dalam kubu ini adalah
Afghani dan Abduh. Dalam buku Syuranya Muhammad Abed al-Jabiri,
dikatakan bahwa kedua tokoh tersebut berusaha menerima dan menyesuaikan syura
dan demokrasi, bukan karena mereka
tidak mengetahui perbedaannya, namun berupaya menyadarkan para pemuka agama
dalam Islam mengenai hakikat dan demokrasi itu sendiri yaitu bahwa demokrasi
hanyalah sebuah kata yang digunakan oleh orang Barat dan untuk menunjukkan apa
yang dalam ungkapan kita adalah syura.[24]
Dalam sejarah
perpolitikan Islam terdapat bebrapa konsep yang diterapkan, seperti syura,
Islah, ummah dan ijmak. Sejarah perpolitiak dalam Islam, yang bisa
dtelusuri geneologinya secara empirik pada masa Muhammad. Pada masa awal islam
setelah Nabi hijrah ke Madinah, nabi membangun negara kota yang bersifat
ketuhanan. Inilah embrio politik Islam yang kemudian setelah itu lahir negara
theo-demokratik (al-Maududi),[25] sebab telah
menerapkan sistem syura (musyawarah) sebaba nabi sering meminta pertimbangan
dnegan para sahabatnya. Setelah nabi wafat muncul du konsep, yakni Ihtiar
(pemilihan pengganti nabi sebagai kahlifah harus dipilih dari kalangan
sahabt-sahabanya) setelah itu dilakukan bai’ah (sumpah setia). Keempat
pengganti nabi terkenal dengan khulafâ’al-râsidûn, dan pada masa Usman
terjadinya komflik dengan Ali sehingga melahirkan beberapa kubu, Muawiyah
kemudian mendirikan Dinasti Umayyah yang memperkenalkan prinsif monarkhi dalam
kekhalifahan. Dan setelah Ummayah dikalahkan oleh kubu Abbasiyyah. Para
pendukung Ali muncul dalam bentuk komunitas yang bernama Syi’ah (partai), dari
sini mulai perpecahan yang besar yakni Syi’ah dan Sunni. Sunni menggagas sistem
pemerintahan dengan konsep kehalifahan, sedangkan Syi’ah dengan sistem imamah.
Dan setelah barat masuk menjajah negara islam, maka lahir pula konsep politik
islam yakni dar al-Islam (wilayah damai wilayah kaum muslim) dan dar
al-harb (wilayah perang) yang selanjunya melahirkan konsep ummatan
wahidah.[26]
Pengamat sosial
politik Islam pada era modern saat ini juga melihat beberapa warisan Islam awal
dan klasik yang bisa diterapkan sebagai sebuah konsep dalam pembentukan
demokrasi Islam, ini merupakan pemilahan dari konsep-konsep yang pernah ada
seperti di atas, diantaranya adalah: Syura (musyawarah), Ijma’
(persetujuan) dan ijtihad (penilaian yang bersifat interpretatif).[27]
Dalam
pemerintahan kekhalifahan syura sangat diperlukan, dan dalam sistem ini
perwakilan rakyat dalam negara Islam, baik laki-laki maupun perempuan yang
sudah baligh. Sebab dalam Islam terdapat ajaran bahwa semua manusia
adalah khalifah Tuhan, mereka mendelegasikan kekuasaan mereka pada pemerintah
dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani permasalahan negara. Syura
mengindikasikan sebuah sistem dan proses legislatif dimana badan eksekutif
harus menerima keputusan badan legislatif.[28] Syura
merefleksikan ajaran Islam yang menginginkan terbentuknya masyarakat yang
egaliter, inklusif yang berazaskan niat baik, kerjasama, dan pembangunan. Syura
merefleksikan konsep demokrasi yang menyatukan dan mendamaikan manusia dalam
setiap permasalahan bersama, sebuah sikap yang melihat manusia sebagai makhluk
yang memiliki tingkat kemuliaan, hal ini juga yang diterapkan oleh demokrasi
Barat walaupun lebih ekstrim karena sifatnya yang antroposentris-sekular.
Inti dari
demokrasi seperti kebebasan
(liberte),
persamaan (egalite) dan persaudaraan (faternite) merupakan inti
dari pelaksanaan syura. Ini
merupakan gambaran dari ungkapan kedua tokoh tersebut. Hal ini pernah
direpresentasikan oleh umat Islam pada fase awal dan masa empat khalifah.
Selain menjadikan musyawarah sebagai landasan dalam menetapkan kebijakan,
kebebasan berpikir dan berekspresi pada masa ini tidak dibatasi oleh doktrin,
namun oleh hakikat kemanusiaan pada pemaknaan persaudaraan, baik antara saudara
satu agama ataupun saudara sesama manusia. Umar bin Khattab misalnya, ketika
muncul keinginan pribadinya, dia meminta pendapat ahl al-hall wal-aqd yang terdiri dari para ulama, fuqaha, dan
pemuka-pemuka masyarakat sebelum melaksanakan keinginannya.
Kedua, yang
membatasi unsur-unsur demokrasi pada perkembangan perjuangan demokrasi di
Eropa, perjuangan yang berlangsung lebih dari tiga abad. Pembatasan sejarah
demokrasi ini menyebabkan disalahpahaminya demokrasi sebagai bias dari
liberalisme.
Biasanya
pemahaman umat Islam terhadap liberalism dan demokrasi ini dijadikan sebagai
alasan penolakan reinterpretasi dan penerapannya dikalangan umat, sehingga
keinginan para sebagian golongan untuk memasukkan kembali kebebasan dalam
ideologi Islam dan sebagai dasar dalam membuka pintu ijtihad kembali sekaligus
untuk menetapkan hukum menjadi terhambat.
KESIMPULAN
Berbicara tentang
Islam dan prinsip kebebasan dalam kontek demokrasi, haruslah dalam perspektif
yang lebih subtansial dan universal, dalam arti bahwa untuk memberikan definisi
dan standarisasi atau indikator-indikator demokratis tidaklah terpaku pada
pengalaman demokarsi sebagai sistem politik dan negara di Barat, melainkan
harus lebih dikontekstualisasikan berdasarkan sistem nilai kultural suatu
masyrakat dan bangsa. Sebab jika terminologi demokrasi hanya terpaku pada
pendekatan dan pengalaman Barat, maka demokrasi akan berdimensi sempit dan
cendrung mendiskreditkan sistem nilai pada suatu masyarakat dan negara, dalam
arti yang paling demokratis dan humanis adalah Barat, dengan demikian kita
telah terpenjara dalam hegemoni epistimologi Barat.
Perspektif yang
melihat kebebasan dalam dimensi demokrasi pada subtansinya yang mendasar, yakni
supremasi hak dan kewajiban manusia baik secara individu maupun sosial
kemasyarakatan, justru akan lebih membantu kita dalam melihat Islam sebgai
sebuah sistem nilai, yang diajdikan sebagai pedoman mansuia atau worldview
ummatnya. Dari konsep khilafah, ijma’, jumhur, ijtihad, syuro, hurriyyah,
al-huquq al-insaniyyah, dll sudah tercermin sebuah sistem ideal demokrasi
yang subtansial.
Dengan demikian
klaim sepihak yang cendrung mendiskreditkan Islam sebagai yang tidak kompatible
dengan demokrasi, Islam tidak memiliki pengalaman sebagai yang demokratis dan
yang menghargai kebebasan dan persamaan dan tidak prospektif untuk menjadi
demokratis akan terbantahkan.
WALLAHU A’LAM
BI AL-SHAWAB…
DAFTAR PUSTAKA
Asghar Ali
Engineer, Islam and Liberation Theology, (New Delhi: Sterling Publishers
Private Limited, 1990).
Abu al-Nashr
al-Farabi, Kitab al-Siyasah al-Madaniyyah, (Beirut, Libanon: Dar
al-Masyriq, cet. Kedua, 1993).
Aristotle,
Politic, Book IV, Chapter 1
Aristotle,
Politic, Book IV, Chapter 6
Kazuo
Shimogaki, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme (terj.),
Imam Aziz dan M. Jadul Maula, (Yogyakarta:
LKiS, 2000)
M. Hasbi Amiruddin, MA, Konsep
Negara Islam Menurut Fazlurrahman, (Yogyakarta:
UII Press, 20000).
Macpherson, The
Real World of Democracy, Oxpord:Clarendon Press, 1971.
Masykuri Abdillah, Demokrasi di
Persimpangan Makna : Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep
Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2004, cet. 2.
Murthada
Mutahhari, Fundamentalist of Islamic Thought.
Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992).
Peter van Der
Veer & Hartmut Lehmann (eds), Nation and Religion; Perspective on Europe
and Asia (New Jersey: Princeton University Press, 1999).
Robert
A Dahl, Polyarchy Participation and Opposition, New Haven and London :
Yale University Press, 1971).
Sir Thomas Arnold dan Alfred Guillaume, The
Legacy of Islam, (Oxpord University Press, London, 1931)
Ziaul Haque, Revelation and Revolution in Islam, (New
Delhi:International Islamic Publishers, 1992
ઉ Dosen Tetap Fakultas Dakwah IAIN
Mataram
[1] Robert A Dahl, Polyarchy
Participation and Opposition, New Haven and London : Yale University Press,
1971, h. 1-32.
[2] Definisi demokrasi dalam proses sosial dan politik.
Secara rinci dapat dilihat dalam tiga hal: 1) government of the people (pemerintahan
dari rakyat). 2). government bay the people (pemerintahan oleh rakyat).
3) government for the People (pemerintahan untuk rakyat). Pertama,
mengindikasikan bahwa pemerintahan yang sah adalah pemerintahan yang mendapat
pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui sistem pemilihan yang
demokratis. Kedua berarti pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas
nama rakyat. Ketiga berarti pemerintahan
harus dijalankan untuk rakyat. Ciri umum dalam negara dan pemerintahan
demokrasi adalah yang terkenal dengan trias political, yakni: 1) eksekutif, 2)
legislatif, 3) yudikatif.
[3]Dalam Islam, kebebasan cenderung dikaitkan dengan konsep hurriyah
al-insaniyyah (kebebasan manusia). Hurriyah al-insaniyyah dibagi ke
dalam beberapa bentuk, yaitu:
a.Al-hurriyah
al-diniyyah yang berarti toleransi dan kebebasan beragama. Lihat
Abu al-Nashr al-Farabi, Kitab al-Siyasah al-Madaniyyah, (Beirut,
Libanon: Dar al-Masyriq, cet. Kedua, 1993), h. 99.100
b.Al-hurriyah
al-Siyasiyyah (kebebasan berpolitik). Gagasan tentang kebebasan
berpolitik ini dikemukakan oleh Abu Nasr al-Farabi dalam bukunya, Kitab
al-Siyasat al-Madaniyyah. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. xix, xxvii.
[4]Revolusi
Perancis tahun 1789 berlatar belakang perang antar agama dan terjadinya
inkuisisi dan diskriminasi. Revolusi ini melahirkan konsep Negara-bangsa.
Persoalan kebebasan beragama menjadi semakin kompleks dan berkarakter modern
setelah periode ini (Perjanjian Westpalia 1648 dianggap sebagai titik awal
Negara bangsa). Mengenai pertentangan Negara dan agama di Eropa dan Asia, lihat Peter van Der Veer & Hartmut Lehmann
(eds), Nation and Religion; Perspective on Europe and Asia (New Jersey:
Princeton University Press, 1999), h. 3-14.
[5] Masykuri Abdillah, Demokrasi
di Persimpangan Makna : Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep
Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2004, cet,2. h.
134.
[6]Fazlurrahman
mengungkapkan bahwa Piagam Madinah mengandung beberapa prinsip yang menyatukan
umat Islam dan non-Muslim. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip persamaan,
prinsip kebebasan, prinsip tolong menolong dan membela yang teraniaya, prinsip
hidup bertetangga, prinsip keadilan, prinsip musyawarah, prinsip pelaksanaan
hukum dan sanksi hukum, prinsip kebebasan beragama dan hubungan antar umat
beragama, prinsip pertahanan dan perdamaian, prinsip amar makruf dan nahi
mungkar, prinsip kepemimpinan, prinsip tanggung jawab pribadi dan kelompok, serta prinsip
kedisiplinan.Lihat Prof Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA, Konsep Negara Islam
Menurut Fazlurrahman, (Yogyakarta: UII Press, 20000, cet. 1, h.49-50
[7] Masykuri
Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna : Respon Intelektual Muslim
Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta : Tiara Wacana
Yogya, 2004, cet,2. h. 136
[8] Kata
politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan kata sifat
pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or
judging wisely, well judged, prudent.(lihat, A.S.Hormby, E V. Getenby,
H.Wakefield, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
London : Oxford University Press, 1963, h. 748.)disini kata tersebut
diterjemahkan dengan arti bijaksana atau dengan kebijaksanaan. Kata politic
juga diambil dari kata Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos
yang berarti realiting to a citizen. Kedua kata tersebut juga dari kata polis
yang bermakna city/kota.(lihat, Noah Webster’s, Webster’s New
Twentieth Century Dictionary, (USA : William Collins Publishers, 1980, h.
437). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan politik sebagai pengetahuan
mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan atau segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap
negara lain atau cara bertindak dalam menghadapi atau mengenai suatu masalah
dan kebijakan.( Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-III, (Jakarta : Balai
Pustaka, 2002, cet.ke-2, h. 886). Politik juga diartikan sebagai hal-hal yang
berhubungan dengan pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik, pressure
group, hubungan-hubungan international dan tata pemerintahan semua ini
merupakan kegiatan perseorangan maupun kelompok yang menyangkut kemanusiaan
secara mendasar. (Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta :
Iktisar Baru-Van Hoeve, 1984), jilid V, h.2739.
[9]Pada Jilid
II, Republic, yaitu pada ide tentang “state of nature” dinyatakan oleh
Plato bahwa untuk menjadi dirinya sendiri dan menyentuh realitas, seorang
manusia menemukannya pada sesuatu yang
membantunya berkembang. Ide ini mengindikasikan bahwa kebebasan manusia untuk
menjadi dirinya sendiri sangat tergantung pada realita yang ditemuinya pada
orang lain. Lihat Rep., 358 E.
[10]Aristotle,
Politic, Book IV, Chapter 1
[11]Aristotle,
Politic, Book IV,
Chapter 6
[12]Plato,
Gorgias, p. 848
[13]Macpherson, The
Real World of Democracy, Oxpord:Clarendon Press, 1971, hal. 4
[14] Masykuri
Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna : Respon Intelektual Muslim
Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta : Tiara Wacana
Yogya, 2004, cet,2. h. 136
[15]Tauhid
adalah kata benda verbal dari kata wahhada yang berarti menyatukan,
membuat menjadi satu. Secara lebih luas, Tauhid berarti bahwa hakikat alam
semesta ini berasal dari Allah (Inna Lillah) dan akan kembali kepada-Nya
(Inna ilaihi raji’un). Lihat “The World View of Tawhid” dalam
Murthada Mutahhari, Fundamentalist of Islamic Thought, hal. 74
[16]A. Hassan,
h. 82
[17]Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin & Peradaban, hal. 86
[18]Ziaul Haque,
Revelation and Revolution in Islam, (New Delhi:International Islamic
Publishers, 1992), hal. 30
[19]Kazuo
Shimogaki, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme (terj.),
Imam Aziz dan M. Jadul Maula, (Yogyakarta:
LKiS, 2000), hal. 130
[20]Dalam sebuah
hadits, disebutkan bahwa : “Tidak boleh ada kerahiban (rahbaniyah) dalam
Islam. Dalam surat
al-Hadid, ayat 27 disebutkan bahwa kerahiban serta hirarki suci adalah bentuk
suatu penyimpangan dari agama yang benar. Nurcholish Madjid, hal. 90
[21] Consciousness is not passive reflection, but an act!” demikian
ungkapan Engineer. Disini Engineer pentingnya kebebasan Engineer ingin
menunjukkan bahwa teologi yang membebaskan adalah teologi yang mampu menjadi
perangkat ideologi bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap segala
bentuk eksploitasi dan penindasan. Lihat
Asghar
Ali Engineer, Islam
[22]Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, op. cit., h. 563-564.
[23]Sir Thomas Arnold dan Alfred Guillaume, The
Legacy of Islam, (Oxpord University Press, London, 1931), h. 292
[24] Syura berasal dari
kata syara yang berarti mengambil. Makna lainnya adalah mengemukakan.
Misalnya ungkapan syawartu fulanan yang artinya aku mengemukakan
pendapatku dan pendapatnya. Lihat Muhammad Abed al-Jabiri, Syura, h. 26
[25]
Menarik untuk mengulas sedikit
tentang konsep politik yang ditawarkan oleh Abu Al-‘Ala Al-Maududi, ia melihat
bahwa sistem politik Islam terdiri dari tiga konsep, yakni: Tauhid, Risalah,
dan Khilafah. John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara
Muslim: Problem dan Prospek, h. 27.
[26]
Azyumardyi Azra, Pergolakan
Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, h.
3-11. Setelah ummat Islam bersentuahn dengan modernism, atau tepatnya setelah
negar-negara Islam dijajah oleh Barat, sampai pada setelah mendapatkan kemerdekaaan,
muncul tokoh-tokoh reformis dan pembaharu muslim, yang memiliki gagasan politik
dan sistem negara Islam. Untuk lebih jelasnya tokoh-tokoh tersebut, baca,
Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam, terj., Imam Mustaqim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet. I., h. 132-320.
[27] John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di
Negara-negara Muslim: Problem dan Prospek, h. 32.
[28] Hassan
Al-Alkim, “Islam dan Demorasi: Saling memperkuat atau Tidak” dalam Bernard
Lewis, et. al., Islam Liberalisme Demokrasi: Membangun Sineji Warisan
Sejarah, Doktrin dan Konteks Global, terj. Mun’im A. Sirry, (Jakarta: Paramadina,
2002), cet. I., h. 183.
0 komentar:
Post a Comment