Oleh:
Fahrurrozi[1]
ABSTRAK
Konflik antarumat beragama
atau Konflik kemanusiaan yang terjadi di tengah-tengah komunitas masyarakat
akhir-akhir ini telah mendorong berkembangnya dialog di tahan air secara
intensif dan konstruktif. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya komunikasi
antartokoh-tokoh dari berbagai latar belakang agama serta tumbuh kembangnya
berbagai lembaga maupun aktivitas yang mempromosikan dialog, toleransi dan
pluralisme. Wacana-wacana
tersebut menyeruak dalam diskusi, seminar maupun debat publik. Gejala ini
memiliki arti penting bagi peningkatan kerukunan antara umat beragama, meski
intoleransi serta pertentangan atas nama agama masih terus terjadi dengan
tingkat intensitas yang lebih rendah. Secara teoritik dapat dikatakan bahwa
konflik antarumat beragama secara otomatis akan mendorong prakarsa-prakarsa
dialog. Aktivitas dialog kemudian akan meredakan pertentangan. Karenanya
pertentangan yang masih terus
terjadi di tengah berlangsungnya dialog, menimbulkan
pertanyaan soal efektivitas dialog yang digelar serta faktor apa yang
sesungguhnya menjadi penghambatnya. Secara
sosiologis, iman, islam dan ihsan dapat diibaratkan sebagai tahapan-tahapan
perkembangan kebudayaan relijiusitas masyarakat Islam. Iman merupakan fase
teologisnya, Islam adalah fase historisnya, sementara Ihsan merupakan tahapan
kebudayaan yang lebih kosmopolit. Agenda ke depan adalah objektifikasi epistemologi ihsan sebagai konstruk baru
kehidupan umat Islam dalam realitas baru yang lebih kompleks. Baik teologi
relasional maupun Ihsan sesungguhnya dapat menjadi landasan yang kuat bagi
pengembangan etika dialog di kemudian hari. Untuk
memperkaya analisa di atas, perlu
dilihat sisi etika dialog dan komunikasi dialogis dalam perspektif
sosiologi komunikasi untuk membuka tabir terhadap persoalan dialog dan etika
dialog di tengah-tengah konflik yang terjadi.
A. Pendahuluan
Menjalani
misi ketuhanan di dunia, yang memang secara alami akan terus berkembang,
dinamis, maju dan memiliki keberagaman yang tinggi, sebagaimana awal
keberadaannya sendiri, menjadikan manusia harus memiliki instrumen yang sama
dengan yang dimiliki oleh dunia ini sendiri. Tanpa itu, maka manusia akan
tertinggal bahkan bisa tergilas. Oleh karenanya, pluralitas (keberagaman) pada
manusia (yang memang sudah sunnatullah) adalah anugerah yang mesti
disyukuri, sebab pluralitas itulah yang membawa manusia bukan saja dapat
bertahan, bahkan berkreasi dengan segala bentuk perubahan yang ada.
Memahami bahwa
keberagaman adalah sesuatu hal yang ada dan memang sebagai suatu keharusan,
merupakan sikap yang baik dan tepat. Akan tetapi tentunya tidak boleh berhenti
hanya sampai disitu, melainkan harus naik lagi kepada penghargaan terhadap
keberagaman dengan mengadakan kerja sama positif, inilah yang disebut dengan
pluralisme.
Menjadikan
pluralisme sebagai landasan gerak dalam membangun dan menjaga tatatanan
kehidupan di zaman modern yang penuh dengan keterbukaan, kesetaraan, interaksi
yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya (ini adalah anugerah peradaban bagi
manusia) menjadi keniscayaan. Melihat yang berbeda sebagai yang setara, melihat
yang minoritas sebagai unsur yang sama pentingnya dengan mayoritas. Kemudian
melihat kesamaan sebagai titik temu (kalimatun sawa’), adalah sikap yang
sudah mesti dibangun. Sikap inilah yang mesti tumbuh dalam melihat segala
bentuk mobilitas dan perubahan di segala bidang yang teramat cepat terjadi.
B. Beberapa
Tantangan Tentang Dialog: Sebuah Asumsi
Beberapa
Tantangan Dialog
Berikut beberapa asumsi yang dibuat untuk menjawab tantangan dialog:
Pertama,
secara umum dapat dinyatakan bahwa pertentangan yang terus berlangsung di
tengah prakarsa dialog yang intensif agaknya lebih disebabkan oleh belum
teratasinya faktor-faktor fundamental yang sesungguhnya menjadi hambatan dalam
relasi antarberbagai kelompok yang bertikai. Karenanya langkah pertama resolusi konflik adalah
identifikasi dan analisis akar penyebab konflik. Secara umum, konflik biasanya
ditimbulkan berbagai macam faktor. Di Ambon, misalnya, faktor politik, ekonomi,
dan sosial terkesan lebih kental daripada faktor agama itu sendiri. Sentimen
agama diaktifkan dan berfungsi setelah kekerasan itu terjadi. Artinya elemen
agama dalam konflik di Ambon hanya bersifat simbolik dan superfisial. Namun
karena simbolisme agama berhasil secara meyakinkan merepresentasi
kelompok-kelompok yang bertikai dan membentuk jaringan afiliasi berdasarkan
identitas agama, maka kesan bahwa konflik terjadi karena faktor agama, menjadi
tak terhindarkan: misalnya, kedua kelompok yang bertikai beragama Islam dan
Kristen, berbasis di Masjid dan Gereja, menggunakan retorika-retorika teologis
masing-masing agama.
Kedua, merancang strategi dialog
berdasarkan hasil analisis atas akar-akar penyebab konflik. Sebagaimana disebut
di atas, perebutan terhadap-sumber daya ekonomi dan politik seringkali menjadi
sebab utama pertentangan antar kelompok. Faktor-faktor non-ekonomi-politik
biasanya juga ikut berfungsi meningkatkan ketegangan kemudian
mentransformasikannya menjadi konflik di akar rumput. Hadirnya simbol-simbol
kultural baru seringkali memunculkan rasa terancam pada diri komunitas asli
yang merasa lebih akrab dengan symbol-symbol budaya yang telah hadir terlebih
dahulu. Selain itu, krisis kepemimpinan pada tingkat lokal dapat menyebabkan
hilangnya kemampuan local wisdom dalam mengantisipasi ketegangan dan mencari
solusi untuk mengatasinya. Pada masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi yang
kuat melemahkan institusi-institusi lokal. Ketika birokrasi melemah dan
kehilangan kepercayaan publik, maka terjadilah kekosongan kepemimpinan, sebab
institusi lokal telah ambruk terlebih dahulu dan belum sempat melakukan
rekonsolidasi. Strategi dialog tentunya harus penyelami problematika konflik
secara tepat dan akurat.
Ketiga, hambatan dialog paling berat
adalah bagaimana mendiskusikan rekonstruksi relasi sosial paska konflik. Dalam
konteks ini dialog menjadi lebih rumit karena konflik berdampak pada
dekonstruksi pola hubungan dan kepercayaan (Trust) dari kedua belah
pihak. Pola hubungan sebelum konflik lebih bersifat apa adanya, alamiah. Sementara
hubungan paska konflik tidak lagi bersifat alamiah. Karenanya, strategi
resolusi konflik bagi post-conflict society mau tidak mau harus
mempertimbangkan aspek-aspek lainnya yang lebih kompleks dan multi dimensional.
Hal terpenting yang perlu digaris bawahi disini adalah ambruknya rasa saling
percaya di antara pihak-pihak yang terlibat konflik, disamping dendam yang
masih tersisa. Karenanya diperlukan pengetahuan dan kapasitas yang memadai
mengenai peace-building approach, semisal strategi negosiasi, mediasi
dan rekonsiliasi. Menggunakan model dialog yang konvesional tidaklah cukup
memadai. Meski kebanyakan masyarakat awam belum cukup terlatih dalam
menggunakan strategi peace-building sebagai metode dialog, mereka pada
dasarnya memiliki intuisi dan mekanisme alamiah yang dapat mendukung
proses-proses peace-building.
Keempat, faktor teologi pada dasarnya
dapat difungsikan secara negatif untuk menghambat dialog. Namun asumsi yang
menyatakan bahwa teologi berperan penting sebagai pemicu konflik, agak diragukan.
Meski demikian, harus lah diakui bahwa aspek teologi dapat menjadi landasan
normatif yang paling efektif untuk mempertahankan konflik. Ia juga merupakan
intsrumen ideologi dan berperan sangat aktif dalam meyakinkan pemeluknya untuk
tetap berperang. Ia diaktifkan sedemikian rupa oleh para tokoh agama maupun
elit politiknya untuk menjaga stamina laskar-laskarnya. Karenanya, wacana
teologi yang diproduksi pada abad pertengahan agaknya perlu diaktualkan
sehingga tidak dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan kekerasan.
C. Agama Dan Konflik
Secara
sosiologis, agama tidak bisa dilepas dari citranya sebagai pencipta konflik.
Dalam sejarah perang salib, agama dilihat sebagai faktor yang berperan di
dalamnya. Meskipun motif politik dan ekonomi juga dapat ditetapkan sebagai
pemicunya, namun agama memiliki peran dalam meningkatkan dan mengkristalkan
konflik tersebut.
Di
situ, agama dihadapkan pada dua kepentingan yang berbeda, tetapi berangkat dari
keinginan yang sama, masing-masing ingin menaklukkan lawannya yang dipersepsi
sebagai pihak yang bersalah.
Dalam
realitas kontemporer pun masih ditemukan adanya keterlibatan agama dalam
kerusuhan sosial dan konflik destruktif. Beberapa kasus konflik antar-pemeluk
agama di tanah air sepanjang delapan tahun terakhir mengisyaratkan bahwa agama
punya andil cukup signifikan. Sebagaimana dapat dilihat dalam benturan
antaragama di Ambon, Kalimantan,Lombok, bahkan di Jakarta.
Konflik
tersebut tidak dalam bingkai konstruktif seperti yang dikonsepsikan oleh Hegel,
dimana konflik menurutnya adalah suatu dialektika yang akan bermuara pada
kemajuan, yaitu benturan antara tesa dan antitesa yang kemudian memunculkan
sintesa, suatu gagasan atau keadaan yang melampaui keadaan sebelumnya (1999).
Konflik destruktif justru akan melahirkan kerusakan dan kerugian bagi kehidupan.
Dalam banyak kasus peperangan dan kerusuhan, agama dinilai berperan sebagai
pemicunya.
Citra
bahwa agama identik dengan konflik dan perang tidak sepenuhnya dapat
dibenarkan. Konflik sebetulnya lebih disebabkan oleh faktor ekonomi dan
politik. Hanya saja agama memiliki sistem simbol yang sangat mudah digunakan
untuk memobilisasi masa. Sehingga konflik ekonomi dan politik itu terlihat
seperti benturan suci yang digerakkan oleh agama.
Pada titik
asalnya, manusia adalah satu. Satu dari Sang Pencipta, satu nenek moyang, satu
tujuan penciptaan. Titik asal itu sendiri ada (maujud) dalam fitrah
terdalam kemanusiaan, yaitu kecondongan untuk berbuat baik, rasa tidak puas
untuk terus mencari jalan kebenaran, dan terbuka dengan segala bentuk kebenaran
dari manapun asalnya. Fitrah tersebut dengan sendirinya akan terangkai dalam
bentuk sikap tunduk (ad-Dien) dan pasrah (al-Islam) kepada Yang
Maha Benar. Menolak semua ini, sama saja dengan menolak fitrah kemanusian yang
memang sudah menjadi hukum alam (sunnatullah).
Menolak hukum
alam berarti sama juga dengan menjadi makhluk yang tidak benar atau tidak
normal. Sebab, hukum alam sama seperti hukum kausalitas (sebab-akibat) yang
mengikat, walau manusia juga sesungguhnya memiliki ruang kebebasan, sebagai
konsekuensi logis dari keberadaannya sebagai khalifah (wakil) Tuhan di
muka bumi. Dengan tugas utama mengelola tatanan kehidupan sebaik mungkin.
Sebagai tamsilan, hukum alam seperti permainan catur. Kita bebas saja
menggerakan bidak-bidak catur, sesuai dengan posisi dan perannya. Akan tetapi
tidak boleh keluar dari papan catur itu sendiri. Bagi yang keluar, selesailah
permainan bidak tersebut.
Dalam penciptaan
manusia, Tuhan sedari dini sudah menyatakan kepada makhluknya yang paling taat
(Malaikat), bahwa Dia akan menciptakan makhluk lain yang akan menjadi wakilnya
(khalifah) di muka bumi. Tugas utamanya adalah mengelola tatanan
kehidupan duniawi secara tepat dan benar. Malaikat awalnya tidak sepakat, akan
tetapi setelah mendapat penegasan Tuhan maka malaikatpun setuju[2]. Persetujuan
itu pun di wujudkan dalam bentuk sujud, sebagai simbol penghormatan kepada
wakil Tuhan. Tapi malaikat yang paling taat (iblis)-pada saat itu-menolak[3], bahkan dia
menghina takdir penciptaan manusia, sekaligus hendak menghancurkan setiap
tatanan yang akan dibangun oleh manusia.
Manusia, menurut
pengakuan Tuhan sendiri adalah sebaik-baiknya penciptaan, sebab manusia
dibekali oleh akal, keinginan untuk berkembang, serta dianugerahi agama sebagai
penuntun hidupnya. Akan tetapi manusia dapat menjadi makhluk yang paling hina
dan tidak bernilai, ketika dia meninggalkan fitrahnya yang suci dan mengadakan
kerusakan di muka bumi, kecuali bagi orang-orang yang yakin (iman) kepada
yang benar dan berbuat baik.[4]
Perubahan sosial
(social change) yang terjadi dewasa ini terjadi begitu cepat dan masif,
bisa membawa kepada hal-hal yang positif atau sebaliknya, tergantung bagaimana
kita menyikapinya. Perubahan dalam berbagai bidang itu bisa terjadi pada
politik, ekonomi, budaya, pendidikan bahkan agama. Menyikapi ini dengan
positif, sebagaimana tuntutan prinsip pluralisme akan menjadikan kehidupan
kemanusiaan menjadi lebih kaya dan dinamis. Akan tetapi menjadi tidak
konstruktif (bahkan bisa destruktif), ketika perubahan yang disertai penambahan
frekuensi keberagaman tidak dihadapi dengan sikap matan.
Dalam agama
misalnya, keberagaman dalam bidang ini juga cukup tinggi. Walau agama mulanya
adalah turunan dari susunan dogma langit, akan tetapi pada bentuk teknisnya
telah menjadi bentuk interpretasi yang nisbi belaka. Penyikapan yang tidak arif
terhadap tafsiran relatif inilah yang bisa menimbulkan kekacauan (chaos).
Sebaliknya, mengutamakan kerjasama positif dapat menciptakan keteraturan (cosmos).
Sejarah panjang agama-agama di dunia telah menceritakan keduanya.
Richard Niebuhr
(Sosiolog agama Amerika Serikat), mengatakan bahwa munculnya berbagai sempalan
agama, sekte[5]
atau aliran baru dalam sebuah agama pada awalnya merupakan gerakan protes
terhadap konservatisme dan formalisme agama. Agama tradisional dianggap tidak
mampu memberikan apa yang mereka cari dan menjawab persoalan sosial mereka,
sehingga mereka mencari pelarian ke sekte baru dari agama tertentu.[6]
Agama menurut mereka sering mendominasi semua aspek kehidupan masyarakat, dan
agama cenderung
berpihak pada elit politik dan negara serta mengabaikan persoalan dan problema
sosial mereka sebagai kaum yang tertindas.
Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Bryan Wilson (sosiolog Inggris)
dengan mengklasifikasikan sekte atau aliran keagamaan tersebut menjadi tujuh
tipe. Tipe pertama adalah aliran convercionist, tujuan dari
aliran ini adalah mentaubatkan orang, sehingga fokus aktifitasnya adalah
perbaikan moral individu. Dengan perbaikan moral individu tersebut akan menuju
pada perbaikan dunia yang kondusif. Kedua aliran revolusioner, tujuan
utama gerakan ini adalah mengadakan perubahan sosial masyarakat secara radikal,
sehingga barulah manusia menjadi baik. Ketiga aliran introversionis,
aliran ini merupakan perkembangan dari tipe sebelumnya, dengan ciri apabila
harapan dan cita-cita eskatologi mereka tidak terpenuhi, maka mereka tidak akan
meneruskan aktifitas transformasi lingkungan sekitar, tapi mereka lebih fokus
pada penyucian aliran dan komunitas mereka sendiri, dengan tidak peduli pada
lingkungan luar. Keempat, aliran gnostic yang juga tidak peduli dengan
keselamatan lingkungan sekitar, di samping itu mereka mengklaim memiliki ilmu
dan metode rahasia untuk mencapai tujuan tersendiri. Kelima aliran thaumaturgical
yaitu aliran yang concernd pada pengobatan, pengembangan tenaga dalam, kekebalan
dan penguasaan alam ghaib. Keenam, aliran reformis yang
berkeyakinan bahwa aqidah dan ibadah agama harus mampu mengadakan reformasi
sosial masyarakat. Ketujuh, aliran utopian yang meciptakan
komunitas ideal yang akan menjadi contoh bagi masyarakat dengan menolak tatanan
masyarakat yang sudah ada.[7]
D. DIALOG DALAM
RANAH SOSIOLOGI KOMUNIKASI
Komunikasi dalam
konteks apapun adalah bentuk dasar adaptasi terhadap lingkungan. Menurut Rene
Spitz[8],
komunikasi adalah jembatan
antara bagian luar dan bagian dalam kepribadian manusia. Pernyataan ini
mengisyaratkan bahwa komunikasi sesungguhnya dilakukan untuk pemenuhan diri,
untuk menjadikan jiwa merasa terhibur, nyaman dan tentram baik dengan diri sendiri
maupun dengan orang lain.
Komunikasi tidak saja
berkutat pada persoalan pertukaran berita dan pesan, akan tetapi juga
melingkupi kegiatan individu dan kelompok terkait dengan tukar menukar data,
fakta dan ide. Bila dilihat dari makna ini, ada beberapa fungsi yang melekat
dalam proses komunikasi; Pertama,
Informasi, pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, penyebaran berita, data,
gambar, fakta, pesan, opini, dan
komentar yang di butuhkan agar dapat dimengerti dan beraksi secara
jelas terhadap kondisi lingkungan dan orang lain agar dapat mengambil keputusan yang tepat.
Kedua,
Sosialisasi (pemasyarakatan), penyedian sumber ilmu
pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif sehingga ia sadar akan fungsi
sosialnya dan dapat aktif di dalam masyarakat
Ketiga,
Motivasi, menjelaskan tujuan
setiap masyarakat jangka pendek maupun jangka panjang, mendorong orang untuk
menentukan pilihan dan keinginannya,
mendorong kegiatan individu dan kelompok berdasarkan tujuan bersama yang akan
di kejar.
Keempat,
Berdebatan
dan diskusi, menyediakan dan saling
menukar fakta yang di perlukan untuk
memungkinkan persetujuan atau
menyelesaikan perbedaan pendapat
mengenai masalah publik, menyediakan
bukti-bukti relevan yang di perlukan
untuk kepentingan umum agar
masyarakat lebih melibatkan diri dengan masalah
yang menyangkut kepentingan
bersama.
Kelima,
Pendidikan,
pengalihan ilmu pengetahuan dapat mendorong perkembangan intelektual,
pembentukan watak, serta membentuk keterampilan dan kemahiran yang di perlukan
pada semua bidang kehidupan.
Keenam,Memajukan kehidupan,
menyebarkan hasil kebudayaan dan seni dengan maksud melestarikan warisan masa
lalu, mengembangkan kebudayaan dengan
memperluas horizon seseorang serta membangun imajinasi dan mendorong
kreatifitas dan kebutuhan estetiknya.
Ketujuh,
Hiburan,
penyebarluasan sinyal, simbol, suara,
dan imaji dari drama, tari, kesenian, kesusastraan, musik, olahraga,
kesenangan, kelompok, dan individu.
Kedelapan,
Integrasi
menyediakan bagi bangsa, kelompok, dan individu kesempatan untuk memperoleh
berbagai pesan yang mereka perlukan agar mereka dapat saling kenal dan mengerti
serta menghargai kondisi pandangan dan
keinginan orang lain.
E. Etika Dialog dalam Ranah Teori Hubungan Sosial
Teori hubungan sosial menyatakan bahwa dalam menerima
pesan-pesan komunikasi melalui media, orang
lebih banyak memperoleh pesan itu melalui hubungan atau kontak dengan orang
lain daripada menerima langsung dari media massa.Hubungan sosial yang informal
merupakan salah satu variabel yang turut menentukan besarnya pengaruh media.
Dalam kenyataannya terbukti bahwa orang-orang
yang langsug menerima pesan-pesan komunikasi melalui media,orang lebih banyak
pesan itu melalui hubungan atau kontak dengan orang lain daripada menerima
langsung dari media massa.Hubungan sosial yang informal merupakan salah satu
variabel yang turut menentukan besarnya pengaruh media.
Dalm kenyataannya terbukti bahwa
orang-orang yang yang langsung menerima informasi dari media terbatas sekali.
Mereka, inilah yang merumuskan informasi dari media tersebut pada orang lain
melalui saluran komunikasi informal. Berdasarkan pada hasil penelitian, maka
arus informasi akan melalui sua tahap. Pertama, informasi bergerak
dari media kepada individu-individu yang relatif “well informed”, mereka pada umumnya memperoleh
informasi langsung.
Kedua,
informasi tersebut
kemudian bergerak melalui saluran komunikasi antar pribadi kepada
individu-individu yang kurang memiliki hubungan langsung dengan media dan
ketergantungan merek akan informasi pada orang lain besar sekali. Proses
komunikasi yang demikian ini dinamakan komunikasi dua tahap (Two step-flow
communication).
Individu-individu yang lebih banyak
memiliki hubungan dengan media tersebut “pemuka pendapat”, karena ternyata
mereka memainkan peranan yang besar sekali dalam meneruskan dan menafsirkan
informasi yang nereka terima. Cara penafsiran informasi yang kemudian
berkembang menjadi “pengaruh pribadi” merupakan salah satu mekanisme penunjang
yang penting, yang berada diantara pesan-pesan komunikasi dengan jenis
tanggapan yang diberikan terhadap pesn-pesan tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa teori hubungan sosial mencoba menekankan pentingnya variabel
hubungan antara pribadi sebagai sumber informasi maupun sebagai pengaruh media
komunikasi.
F. Teori
Komunikasi Relasional Sebagai Landasan Operasional Etika Dialog
Pengakuan bahwa
relasi (hubungan) merupakan suatu yang penting dalam komunikasi sudah ada
paling tidak sejak tahun 1950-an. Meskipun penelitian tentang hubungan telah
dari berbagai sudut pandang. Kebanyakan dari apa yang dirujuk sebagai
''komunikasi relasional'' didasarkan pada inti dari asumsi-asumsi umum.
Asumsi Pertama,
hubungan selalu dihubungkan dengan komunikasi dan tidak dapat dipisahkan.
Asumsi Kedua, sifat hubungan didefinisikan oleh komunikasi dengan para
anggotanya. Asumsi Ketiga, hubungan biasanya didefinisikan lebih secara
implisit ketimbang eksplisit. Asumsi Keempat, hubungan-hubungan berkembang
sepanjang waktu melalui sebuah negosiasi di antara mereka yang terlibat.[9]
Konsep sistem
ala group Palo Alto:
Teori sistem
adalah seperangkat hal-hal yang berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu
keseluruhan. Pada bagian ini dapat dilihat pada dua jalur awal teori yang
merupakan benih dari studi komunikasi tentang hubungan, mulai dengan karya
klasik dari kelompok Palo Alto.[10]
Lima Aksioma Dasar Tentang Komunikasi
Menurut Kelompok Palo Alto
a) Aksioma Pertama, orang tidak bisa tidak
berkomunikasi.
b) Aksioma Kedua, setiap percakapan-betapapun
singkatnya-meliputi dua pesan- yaitu pesan isi dan sebuah pesan
hubungan-metakomunikasi (non-verbal).
c) Aksioma Ketiga, bahwa orang menggunakan kode-kode
digital dan analog. Digital komunikasi memiliki kekuatan penuh dan dapat
dipahami melalui syintac bahasa yang baik dan juga dapat disetujui.
Contoh On-Of diungkap maupun tidak dapat dipahami maksudnya sebagai kode
untuk menghidupkan atau untuk mematikan sesuatu. Analog; tidak memiliki
kejelasan (non-verbal) tapi bisa dikomunikasikan dengan makna yang banyak
tentang hubungan itu. contoh gerakan tubuh (non-verbal) tapi bisa dimaknai
untuk mengexspresikan kesetujuan atau keikutsertaan atau emosional.
d) Aksioma Keempat, pengelompokan, artinya
tahapan-tahapan interaksi seperti kata, kalimat, tidak bisa dipahami sebagai
rangkaian elemen-elemen yang terpisah, supaya bisa diterima ia harus
dikelompokkan dan pengelompokan ini umumnya merupakan masalah persepsi pribadi.
e) Aksioma Kelima, komunikasi berhubungan dengan
kecocokan atau pengaitan pesan-pesan di dalam suatu interaksi, baik secara
simetris (dua komunikator dalam suatu hubungan yang berperilaku sama dan
perbedaan-perbedaan diupayakan untuk diminimalkan) maupun secara komplementer
(perbedaan respon komunikator dimaksimalkan).[11]
a.
Klasifikasi Teori Dialektik
Relasional
Komunikasi
relasional jika dilahat dari konsep operasionalnya dapat dijabarkan sebagai
komunikasi syiclic, dualistic, dualism dan totality.[12] Dari
penjabaran ini dapat diklasifikasikan secara lebih mendetail menjadi dua bagian
penting; dialektik internal dan eksternal.
a.i.
Dialektik Internal
Berbicara
tentang dialektik internal ada beberapa komponen teori yang termasuk dalam
bagian ini antara lain:
- Dependency-indepedensi-Openness-privacy:Ketergantungan-kemandirian-Keterbukaan-kerahasiaan.
- Certainly-uncertainly dialectic: Dialektik pasti-tidak pasti; level awal interaksi antara orang yang sudah diketahui dan orang lain dapat mengarahkan keinginannya untuk mereduksi yang tidak pasti/ jelas terhadap satu sama lainnya.
- Oppenness-closedness dialectic/expression-non-expression dialectic:
Mengungkapkan
perasaan secara terbuka-tertutup, dalam banyak hal ini merupakan sebuah
ketegangan antara spontanitas dan strategi dan respon yang muncul terhadap
dialektik ini adalah berusaha mencapai keduanya sekaligus, berlaku jujur tapi
hati-hati dalam mengungkapkan kejujuran itu.
- Affection-intrumentality dialectic: Dialektik kesenangan-instrumentalitas: suatu dialiktik persahabatan seringkali terjadi antara menghargai teman sebagai teman versus memamfaatkan teman untuk tujuan lain.[13]
b.
Dialektik Eksternal
Dialektik
eksternal memiliki teori tersendiri yang meliputi:
- Inclution-Seclution Dialectic: Pencakupan-pengasingan dialektik; tekanan dalam hubungan harus menegosiasi ketegangan antara melakukan sesuatu secara kelompok kecil (couple) atau melakukan sesuatu dalam kelompok yang lebih luas.
- Convensional Unique Dialectic: Sugestinya bahwa relasi adalah ditandai dengan adanya usaha/perjuangan untuk mereka komfirmasikan/ menyesuaikan terhadap ekspektasi (keinginan) dan kepercayaan kepada yang lain di dalam dunia sosial.
- Revalation-Concealment Dialectic: banyak pandangan yang terjadi dalam konteks ini dimana jika ingin menjaga sifat, atau eksistensi diri masing-masing hubungan yang disembunyikan atau dirahasiakan dari yang lain dan sifat dari hubungan ini dibuat sangat umum, seperti dalam acara perkawinan yang membutuhkan komitmen bersama, karena diantara masing-masing ada yang disembunyikan dari yang lainnya.[14]
G. Etika Dialog
Dalam Resolusi Konflik Perspektif Komunikasi Relasional
1.
Dialog Sebagai
Konsep Sistem Ala Alto Paolo.
Komunikasi
insani merupakan gejala yang hampir selalu melibatkan manusia. Sebagai aktor
komunikasi, baik perannya sebagai komunikator maupun komunikan, manusia
merupakan sosok yang sarat dengan muatan nilai. Sesuatu nilai yang dianut
manusia dapat bersumber dari budaya, tradisi, norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat, atau bahkan agama dan kepercayaan. Latar belakang nilai inilah yang
kemudian ikut mempengaruhi faktor persepsi ketika seseorang memaknai simbol
yang diterima sekaligus merumuskan pesan yang akan disampaikan. Karena itu,
pesan dalam komunikasi selalu sarat nilai dan memerlukan suatu sistem yang
sistematis. [15]
2.
Etika dialog Mengedepankan Dialektik Internal dan Eksternal.
Akses dari dialog
kemanusiaan dalam konflik
keagamaan dan kemanusiaan
titik tekannya pada keseimbangan sosial, yaitu syarat yang harus dipenuhi agar
suatu masyarakat bisa berfungsi sebagaimana mestinya, dalam pengertian bahwa
keseimbangan sosial atau ekuilibrum sosial, merupakan suatu situasi di mana
segenap lembaga sosial utama berfungsi dan saling menunjang.[16]
Dalam keadaan seperti ini tiap warga masyarakat bisa memperoleh ketenteraman bathin karena tidak ada konflik norma dan nilai dalam masyarakat.
Dalam upaya penerapan komunikasi
relasional dialektik dalam etika dialog dapat
diimplementasikan dalam aspek-aspek berikut ini:
Pertama: Dependency-indepedensi-Openness-privacy:
Ketergantungan-kemandirian-Keterbukaan-kerahasiaan.
Dialog dalam menjalankan misi resolusi
konflik harus mampu
memiliki sifat ketergantungan kepada masyarakat yang sedang konflik yang menjadi sasaran dialog, sebab tanpa memiliki sifat ini
dikhawatirkan dialog
hanya sebatas memberikan materi dialog
yang bersifat konvensional. Dengan demikian dilektik komunikasi keterbukaan dan
kemandirian akan mengarah kepada perubahan yang bersifat sosial.
Dalam konteks ini, etika dialogis dituntut untuk memperkaya pada masalah isu-isu sosial yang terjadi
dimasyarakat dan menjadi patologi sosial seperti korupsi, kolusi, nepotisme,
penindasan, pelanggaran HAM dan lainnya, tidak hanya berkutat pada aspek
konflik interest antarsesama, tapi yang urgen harus ada perubahan yang lainnya adalah materi dialog eksklusif ke materi dakwah inklusif,
dimana komunikator atau mediator dituntut untuk menghilangkan sifat memojokkan atau
memusuhi, karena kecendrungan selama ini, dialog sering menyampaikan hal-hal yang bernada permusuhan dengan agama
lain.
Kedua, Certainly-uncertainly
dialectic: Dialektik pasti-tidak pasti; level awal interaksi antara orang
yang sudah diketahui dan orang lain dapat mengarahkan keinginannya untuk
mereduksi yang tidak pasti/ jelas terhadap satu sama lainnya.
Teori dialektik ini menekankan pada
aspek metodologi, harus dilakukan perubahan dari monolog ke dialog. Sebab interaksi ini tidak akan berjalan
oftimal tanpa diawali dengan mengarahkan visi dari yang diajak bicara. Esensi
dari teori ini adalah menformat dialog antara komunikan dan komunikator
sehingga ada kejelasan visi dan isi dari kedua belah pihak.
Ketiga, Affection-intrumentality
dialectic: Dialektik kesenangan-instrumentalitas; suatu dialiktik
persahabatan seringkali terjadi antara menghargai teman sebagai teman versus
memamfaatkan teman untuk tujuan lain.
Teori ini menekankan pada efektifitas
komunikasi dalam membujuk komunikan untuk bekerja sama dalam kesepakatan.
Relevansinya dengan etika
dialog adalah
menggunakan institusi yang bisa diajak bersama dalam aksi. Dalam konteks
dialog, institusi
merupakan indikator penting untuk memuluskan jalan dialogis yang
humanis. Kekuatan dialog bukan saja pada diri sang mediator
atau komunikator, tetapi
juga basis institusional yang dimilikinya, sehingga para mediator mempunyai bargaining position
(posisi tawar) yang tinggi terhadap masyarakat yang berkonflik.
Keempat, Convensional
Unique Dialectic: Sugestinya bahwa relasi adalah ditandai dengan
adanya usaha/perjuangan untuk mereka komfirmasikan/ menyesuaikan terhadap ekspektasi
(keinginan) dan kepercayaan kepada yang lain di dalam dunia sosial.
Aplikasi teori ini dalam aspek etika
dialogis adalah ada wujud keberpihakan pada semua
elemen yang bertikai.
Para mediator, harus
melakukan usaha-usaha sosial untuk kepentingan kaum tertindas di daerahnya,
seperti kasus penggusuran tanah, pencemaran lingkungan, nasib nelayan dan
petani atau kasus lainnya.
Mediator
konflik melakukan pembimbingan dan pendampingan bahkan melakukan
advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap kasus-kasus dan problema
sosial masyarakat.
Dialog sangat
terkait dengan keharmonisan. Upaya dialog seharusnya diartikan sebagai suatu akitivitas yang
membawa konsekuensi resolusi konflik yang terencana, bukannya resolusi yang
terjadi begitu saja atau sesaat. Seorang mediator/komunikator konflik oleh karenanya
haruslah tahu apa yang menyebabkan terjadinya konflik sosial
serta dampak-dampaknya.
Kelima, Revalation-Concealment
Dialectic: banyak pandangan yang terjadi dalam konteks ini dimana jika
ingin menjaga sifat, atau eksistensi diri masing-masing hubungan yang
disembunyikan atau dirahasiakan dari yang lain dan sifat dari hubungan ini
dibuat sangat umum.[17]
Teori ini dapat
diterapkan dalam dimensi saling keterikatan antara komunikan dan komunikator
pada aspek resolusi konflik yang diinginkan bersama. Titik
tekannya terlihat pada konsekwensi dari komunikasi yang dilakukan, baik
komunikasi yang mengarah pada eksistensi diri maupun kepada masyarakat secara
umum. Sebenarnya dalam kehidupan
sehari-sehari, acapkali tidak mudah untuk menentukan letak garis pemisah antara
perubahan sosial dengan kebudayaan. Hal itu disebabkan karena tidak ada
masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada
kebudayaan yang tidak terjelma dalam masyarakat. Hal itu mengakibatkan bahwa
garis pemisah di dalam kenyataan hidup antara perubahan sosial dan kebudayaan
lebih sukar lagi untuk ditegaskan, tapi biasanya antara ke dua gejala itu,
dapat diketemukan hubungan timbal balik sebagai sebab akibat.[18]
Raimond Firth mengatakan perubahan dalam masyarakat
dapat terjadi karena adanya penggerak-penggerak tertentu. Daya penggerak untuk
proses-proses perubahan sosial itu dalam masyarakat datang dari dua sumber dari
dalam dan dari luar. Sesuatu yang datang dari dalam adalah gerak yang berupa
pendapatan-pendapatan baru di lapangan teknik, perjuangan-perjuangan
perseorangan untuk memperoleh tanah dan kekuasaan, perumusan baru dari
paham-paham orang-orang kritis yang dianugrahi bakat-nbakat istimewa.
Sedangakan yang datang dari luar untuk sebagian terletak dalam lingkungan
pergaulan itu sendiri dan untuk sebgaian lagi terletak dalam kekuatan
ekspansinya peradaban.[19]
Alvin. L.
Bertrand berpendapat bahwa awal dari perubahan itu adalah komunikasi, yaitu
proses dengan mana informasi disampaikan dari individu-individu yang satu ke
individu yang lain. Maka yang dikomunikasikan itu tidakada lain adalah
gagasan-gagasan, ide-ide atau keyakinan-keyakinan maupun hasil budaya yang
berupa fisik itu. [20]
Perubahan sosial
dapat dilaksanakan jika memiliki kekuatan pendorong (motivational force)
di mana kekuatan pendorong itu dapat merubah masyarakat. Diantara kekuatan itu
adalah: ketidak puasan terhadap situasi yang ada karena itu ada keinginan untuk
situasi yang lain, adanya pengetahuan tentang perbedaan antara yan ada dengan
yang seharusnya bisa ada, adanya tekanan dari luar untuk menyesuaikan diri dan
lain-lain, kebutuhan dari dalam untuk mencapai efesiensi dan peningkatan,
misalnya produkitifitas, dan lain-lain.[21]
Dengan
pendekatan komunikasi relasional, diharapkan dialog
mempunyai peran ganda yaitu melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan
melakukan pendampingan masyarakat untuk isu-isu sosial seperti korupsi, kolusi,
perusakan lingkungan hidup, dan menjadi advokasi terhadap pelanggaran hak
rakyat oleh negara seperti kasus penggusuran, hak-hak perempuan, konflik antar
agama, dan problem kemanusiaan lainnya. Oleh sebab itu, maka komunikator/mediator di samping
sebagai ahli diplomasi juga harus mampu
menjadi agen perdamaian di tengah-tengah bergumulan konflik kemanusiaan.
H. Epilog
Teologi Relasional, Ihsan dan Etika Dialog Untuk mengatasi hambatan dialog,
terutama pada level keagamaan, maka perlu dikembangkan strategi dialog yang
lebih aktual dan realistik. Upaya ini dapat dimulai dari pengembangan relation;
human relation dan social relation. Gagasan tentang membangun
relasi inilah yang disebut dengan theology of relation atau relational
tehology. Ini dapat didefinisikan sebagai upaya mengkonstruksi strategi
baru untuk meletakkan agama-agama tidak dalam posisi saling bermusuhan tanpa
harus mengkompromikan nilai-nilai keimanan yang dikandungnya. Agama-agama harus
berperan secara konstruktif untuk membangun dunia yang lebih adil dan damai.
Hal ini dapat dilakukan melalui dua tahap secara simultan. Tahap pertama
ditempuh dengan mendekatkan relasi-relasi antar umat pada level elit hingga
arus bawah melalui kerja-kerja kebudayaan dan kemanusiaan secara bersama dengan
meningkatkan hubungan-hubungan personal antara umat beragama. Pada saat yang
sama perlu diekspolrasi sekaligus dipromosikan kesamaan-kesamaan doktrinal yang
terdapat dalam kedua agama. Misalanya, Islam dan Kristen merupakan Abrahamic
religions yang mengajarkan tentang monoteisme; bahwa pemeluk Islam dan
Kristen pada dasarnya adalah anak-anak Abraham yang berasal dari entitas yang
sama, dst. Usaha-usaha semacam ini bisa saja efektif secara sosial karena
adanya asosiasi Umat Islam dan Kristen karena afiliasi historis semacam itu
Selain melalui relasi-relasi teologis semacam itu, dialog dapat pula bersumber
dari ajaran Islam tentang 'Ihsan'. Ihsan yang berasal dari akar kata hasan,
yang berarti baik, mengandung nilai-nilai universal, netral dan inklusif.
Karenanya Ihsan secara tegas mengakui nilai-nilai kemanusiaan universal dan
dapat menjembatani diversitas budaya, agama, ras dsb. Pada saat yang sama ihsan
juga dapat menjadi dasar moral bagi kontinuitas nilai-nilai Islam dan iman yang
khas. Tapi, kekhasan ini tidak bisa dijadikan kerangka etik bagi perwujudan
model relasi yang lebih dialogis. Sebab dalam Iman maupun Islam seringkali
terdapat hambatan psikologis bagi pengembangan suatu relasi sosial yang
inklusif, meski di dalamnya terdapat landasan teologis maupun historis yang
legitimate bagi pengembangan etika Ihsan sebagai sumber etis dialog.
Daftar Pustaka
Asep Gunawan (Ed.), Artikulasi
Islam Kultural: Dari Tahapan Moral
Ke Periode Sejarah
(Jakarta: Grafindo Persada, 2004)
Azyumardi Azra, Konteks
Berteologi di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 81
Pace, R. Wayne et al., Techniques for Effective Communication, Addison
Westley Publishing Company, Massachusetts-ontario 1979.
Ketherine Miller, Communication Theories
Perspective, Processes, and Contexts, (New York: McGraw Hill International
Edition, 2005 ), Second Edition.
Santoso
S. Hamijoyo, Komunikasi Partisipatoris: Pemikiran dan Implementasi
Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat, (Bandung: Humaniora, 200) cet. 1.
Selo
Seomardjan, Perubahan Sosial di
Yogyakarta, (Yogyakarta: UGM Press), 1986, cet. 2.
Selo
Seomardjan, Social Changes in
Jogjakarta, (Itacha New York:
Cornell University Press, 1962).
Soerjono
Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1999),
edisi Baru ke-4, cet.27.
Raymin Firth, at
all, Ciri-Ciri dan Alam Hidup Manusia: Suatu Pengantar Antropologi Budaya,
(Bandung: Sumur Bandung, 1960), cet.1.
Alvin. L.
Bertrand, Sosiologi, alih bahasa Sanapiah S. Faisal, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1980)
Soloman B
Taneko, Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, (Jakarta:
CV Rajawali, 1984)
[5]Istilah ini adalah
terjemahan dari splinter group yang bermakna atau berkonotasi negatif
seperti protes dan pemisahan terhadap mayoritas, sikap eksklusif pendirian
tegas tapi kaku, fanatisme dan klaim serta monopoli kebenaran atas diri
kelompok mereka sendiri. Istilah ini konon pertama kalinya digunakan oleh
Abdurrahman wahid (Gus dur), selanjutnya lihat Asep Gunawan (Ed.), Artikulasi
Islam Kultural; dari tahapan moral ke periode sejarah, (Jakarta:
Grafindo Persada, 2004) 206
[6]Azyumardi Azra, Konteks
Berteologi di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999) 81
[7]Asep Gunawan (Ed.), ibid. 217
[9]Ketherine Miller, Communication Theories
Perspective, Processes, and Contexts, (New York: McGraw Hill International
Edition, 2005), Second Edition, 187.
[10] Kebanyakan
teoritisasi hubungan mengakui pentingnya hasil karya Gregory Bateson, Paul
Watziawick, dan kolega-kolega mereka pada tahun-tahun awal dari studi
komunikasi interpersonal. Para pengikut awal Bateson dikenal dengan kelompok
Palo Alto, karena mereka mendirikan dan bekerja di Mental Research Institute
yang berpangkal di Palo Alto, California. Pemikiran- pemikiran mereka paling
jelas diuraikan dalam Pragmatics of Human Communication. Dalam buku itu,
Paul Watslawick, Janet Beavin, dan Don Jackson mengemukakan sebuah analisis
yang terkenal tentang komunikasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip Sistem.
Sistem ada enam hal: Objek, Atribut, Interaksi, Lingkungan, Equifinality,
Cybernetic. (lihat Miller, Communication, 187 )
[11]Katherine Miller, Communication..
194.
[12] Syiclic: Perkembangan
hubungan yang bergerak dalam lingkaran bolak balik. Dialictic:
Ketegangan
antara dua orang atau lebih dalam elemen yang bertentangan dari suatu sistem
yang menuntut setidaknya suatu penyelesaian sementara. Analisis Dealictic:
melihat cara-cara sistem berkembang atau berubah, bagaimana ia bergerak, dalam
menanggapi kontradiksi dan bagaimana ia melihat tindakan-tindakan strategis
yang diambil oleh sistem untuk menyelesaikan kontradiksi. Dualism:
Ketegangan
(oposisi)dari dua hubungan kutub yang tidak bisa eksis bersama. Totality: Konsep totalitas:
kembali kepada dugaan, perkiraan bahwa ketegangan/kontradiksi dalam hubungan
merupakan bagian yang menyatu dalam keseluruhan dan tidak bisa dipahami jika
dipisah-pisahkan. Implikasinya adalah dapat disepakati dengan cepat atau tidak
bisa dipisahkan dari yang lain. (Lihat
Miller, Communication….198)
[13] Lihat
Miller, Communication,.198.
[14]Katherine Miller, Communication.
h.199. untuk pola penerapan dialiktik komunikasi relasional dapat dijabarkan
sebagai; Danial: Kelaim bahwa ketegangan itu tidak ada, Pasangan
suami-istri yang selalu senang dan selalu ingin bersama. Disorientation;
Mengadopsi kebiasaan yang fatal dalam ketegangan adalah diakui sebagai
suatu yang tidak dapat dihindarkan. Spiraling Invension (tekanan): Pola
kontradiksi ini dominan pada berbagai permintaan setiap saat, dan ada pasang
surut antara dua pola dialektik. Segmentation: Masing-masing pola
kontradiksi itu dominan tergantung pada sifat tofik atau wilayah kegiatan. Balance:
Masing-masing pola diligitimasi dalam kompromi guna mencairkan pola
ketegangan yang terjadi. Integration: Bagian relasional
dapat diterima secara penuh terhadap opposan dalam satu waktu tanpa diawali
dengan kompromi atau pencairan suasana. Recalibration : Pola
dialektik ditransformasi dalam situasi yang khusus sehingga mereka tidak
terlalu lama diakui/disadari sebagai perlawanan. Reaffirmation:
Ketegangan atau perlawanan pola dialektik dapat dijadikan dalam memperkokoh
dan menambah kekayaan dalam menjalin hubungan. (Miller, Ibid.
h.135).
[15] Santoso S. Hamijoyo, Komunikasi Partisipatoris:
Pemikiran dan Implementasi Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat,
(Bandung: Humaniora, 200) cet. 1. 1.
[16]Selo
Seomardjan, Perubahan Sosial di
Yogyakarta, (Yogyakarta: UGM Press), 1986, cet. 2, h. 306. Lihat
juga redaksi aslinya, Selo Seomardjan,
Social Changes in Jogjakarta,
(Itacha New York: Cornell University Press, 1962) 379.
[17]Katherine Miller, Communication. h.135. untuk pola penerapan
dialiktik komunikasi relasional dapat dijabarkan sebagai; Danial: Kelaim
bahwa ketegangan itu tidak ada, Pasangan suami-istri yang selalu senang
dan selalu ingin bersama. Disorientation; Mengadopsi kebiasaan
yang fatal dalam ketegangan adalah diakui sebagai suatu yang tidak dapat dihindarkan.
Spiraling Invension (tekanan): Pola kontradiksi ini dominan pada berbagai permintaan setiap
saat, dan ada pasang surut antara dua pola dialektik. Segmentation:
Masing-masing pola kontradiksi itu dominan tergantung pada sifat tofik atau wilayah kegiatan. Balance:
Masing-masing pola diligitimasi dalam kompromi guna mencairkan pola
ketegangan yang terjadi. Integration: Bagian relasional
dapat diterima secara penuh terhadap opposan dalam satu waktu tanpa
diawali dengan kompromi atau pencairan suasana. Recalibration : Pola
dialektik ditransformasi dalam situasi yang khusus sehingga mereka tidak
terlalu lama diakui/disadari sebagai perlawanan. Reaffirmation:
Ketegangan atau perlawanan pola dialektik dapat dijadikan dalam memperkokoh
dan menambah kekayaan dalam menjalin hubungan. (Miller, Ibid.
h.135).
[18]Soerjono
Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1999) 388.
[19] Raymin Firth, at all, Ciri-Ciri dan Alam Hidup Manusia:
Suatu Pengantar Antropologi Budaya, (Bandung: Sumur Bandung, 1960) 143.
[20]Alvin.
L. Bertrand, Sosiologi, alih bahasa Sanapiah S. Faisal, (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1980), h.161. Lihat juga, Soloman B Taneko, Struktur dan Proses
Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembanguan, (Jakarta: CV Rajawali, 1984) 135.
[21] Alvin. L. Bertrand, Sosiologi, . 137.
0 komentar:
Post a Comment