Monday, September 14, 2015

Konflik Agama dan Etika Dialog (Membaca Dialog Kemanusiaan dalam Bingkai Sosiologi Komunikasi)


 Oleh: 

Fahrurrozi[1]


ABSTRAK

                   Konflik antarumat beragama atau Konflik kemanusiaan yang terjadi di tengah-tengah komunitas masyarakat akhir-akhir ini telah mendorong berkembangnya dialog di tahan air secara intensif dan konstruktif. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya komunikasi antartokoh-tokoh dari berbagai latar belakang agama serta tumbuh kembangnya berbagai lembaga maupun aktivitas yang mempromosikan dialog, toleransi dan pluralisme. Wacana-wacana tersebut menyeruak dalam diskusi, seminar maupun debat publik. Gejala ini memiliki arti penting bagi peningkatan kerukunan antara umat beragama, meski intoleransi serta pertentangan atas nama agama masih terus terjadi dengan tingkat intensitas yang lebih rendah. Secara teoritik dapat dikatakan bahwa konflik antarumat beragama secara otomatis akan mendorong prakarsa-prakarsa dialog. Aktivitas dialog kemudian akan meredakan pertentangan. Karenanya pertentangan yang masih terus terjadi di tengah berlangsungnya dialog, menimbulkan pertanyaan soal efektivitas dialog yang digelar serta faktor apa yang sesungguhnya menjadi penghambatnya. Secara sosiologis, iman, islam dan ihsan dapat diibaratkan sebagai tahapan-tahapan perkembangan kebudayaan relijiusitas masyarakat Islam. Iman merupakan fase teologisnya, Islam adalah fase historisnya, sementara Ihsan merupakan tahapan kebudayaan yang lebih kosmopolit. Agenda ke depan adalah objektifikasi epistemologi ihsan sebagai konstruk baru kehidupan umat Islam dalam realitas baru yang lebih kompleks. Baik teologi relasional maupun Ihsan sesungguhnya dapat menjadi landasan yang kuat bagi pengembangan etika dialog di kemudian hari. Untuk memperkaya analisa di atas, perlu  dilihat sisi etika dialog dan komunikasi dialogis dalam perspektif sosiologi komunikasi untuk membuka tabir terhadap persoalan dialog dan etika dialog di tengah-tengah konflik yang terjadi.

 
A. Pendahuluan
 Menjalani misi ketuhanan di dunia, yang memang secara alami akan terus berkembang, dinamis, maju dan memiliki keberagaman yang tinggi, sebagaimana awal keberadaannya sendiri, menjadikan manusia harus memiliki instrumen yang sama dengan yang dimiliki oleh dunia ini sendiri. Tanpa itu, maka manusia akan tertinggal bahkan bisa tergilas. Oleh karenanya, pluralitas (keberagaman) pada manusia (yang memang sudah sunnatullah) adalah anugerah yang mesti disyukuri, sebab pluralitas itulah yang membawa manusia bukan saja dapat bertahan, bahkan berkreasi dengan segala bentuk perubahan yang ada.
Memahami bahwa keberagaman adalah sesuatu hal yang ada dan memang sebagai suatu keharusan, merupakan sikap yang baik dan tepat. Akan tetapi tentunya tidak boleh berhenti hanya sampai disitu, melainkan harus naik lagi kepada penghargaan terhadap keberagaman dengan mengadakan kerja sama positif, inilah yang disebut dengan pluralisme.
Menjadikan pluralisme sebagai landasan gerak dalam membangun dan menjaga tatatanan kehidupan di zaman modern yang penuh dengan keterbukaan, kesetaraan, interaksi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya (ini adalah anugerah peradaban bagi manusia) menjadi keniscayaan. Melihat yang berbeda sebagai yang setara, melihat yang minoritas sebagai unsur yang sama pentingnya dengan mayoritas. Kemudian melihat kesamaan sebagai titik temu (kalimatun sawa’), adalah sikap yang sudah mesti dibangun. Sikap inilah yang mesti tumbuh dalam melihat segala bentuk mobilitas dan perubahan di segala bidang yang teramat cepat terjadi.


B. Beberapa Tantangan Tentang Dialog: Sebuah Asumsi

Beberapa Tantangan Dialog Berikut beberapa asumsi yang dibuat untuk menjawab tantangan dialog:

          Pertama, secara umum dapat dinyatakan bahwa pertentangan yang terus berlangsung di tengah prakarsa dialog yang intensif agaknya lebih disebabkan oleh belum teratasinya faktor-faktor fundamental yang sesungguhnya menjadi hambatan dalam relasi antarberbagai kelompok yang bertikai. Karenanya langkah pertama resolusi konflik adalah identifikasi dan analisis akar penyebab konflik. Secara umum, konflik biasanya ditimbulkan berbagai macam faktor. Di Ambon, misalnya, faktor politik, ekonomi, dan sosial terkesan lebih kental daripada faktor agama itu sendiri. Sentimen agama diaktifkan dan berfungsi setelah kekerasan itu terjadi. Artinya elemen agama dalam konflik di Ambon hanya bersifat simbolik dan superfisial. Namun karena simbolisme agama berhasil secara meyakinkan merepresentasi kelompok-kelompok yang bertikai dan membentuk jaringan afiliasi berdasarkan identitas agama, maka kesan bahwa konflik terjadi karena faktor agama, menjadi tak terhindarkan: misalnya, kedua kelompok yang bertikai beragama Islam dan Kristen, berbasis di Masjid dan Gereja, menggunakan retorika-retorika teologis masing-masing agama.
          Kedua, merancang strategi dialog berdasarkan hasil analisis atas akar-akar penyebab konflik. Sebagaimana disebut di atas, perebutan terhadap-sumber daya ekonomi dan politik seringkali menjadi sebab utama pertentangan antar kelompok. Faktor-faktor non-ekonomi-politik biasanya juga ikut berfungsi meningkatkan ketegangan kemudian mentransformasikannya menjadi konflik di akar rumput. Hadirnya simbol-simbol kultural baru seringkali memunculkan rasa terancam pada diri komunitas asli yang merasa lebih akrab dengan symbol-symbol budaya yang telah hadir terlebih dahulu. Selain itu, krisis kepemimpinan pada tingkat lokal dapat menyebabkan hilangnya kemampuan local wisdom dalam mengantisipasi ketegangan dan mencari solusi untuk mengatasinya. Pada masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi yang kuat melemahkan institusi-institusi lokal. Ketika birokrasi melemah dan kehilangan kepercayaan publik, maka terjadilah kekosongan kepemimpinan, sebab institusi lokal telah ambruk terlebih dahulu dan belum sempat melakukan rekonsolidasi. Strategi dialog tentunya harus penyelami problematika konflik secara tepat dan akurat.
          Ketiga, hambatan dialog paling berat adalah bagaimana mendiskusikan rekonstruksi relasi sosial paska konflik. Dalam konteks ini dialog menjadi lebih rumit karena konflik berdampak pada dekonstruksi pola hubungan dan kepercayaan (Trust) dari kedua belah pihak. Pola hubungan sebelum konflik lebih bersifat apa adanya, alamiah. Sementara hubungan paska konflik tidak lagi bersifat alamiah. Karenanya, strategi resolusi konflik bagi post-conflict society mau tidak mau harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya yang lebih kompleks dan multi dimensional. Hal terpenting yang perlu digaris bawahi disini adalah ambruknya rasa saling percaya di antara pihak-pihak yang terlibat konflik, disamping dendam yang masih tersisa. Karenanya diperlukan pengetahuan dan kapasitas yang memadai mengenai peace-building approach, semisal strategi negosiasi, mediasi dan rekonsiliasi. Menggunakan model dialog yang konvesional tidaklah cukup memadai. Meski kebanyakan masyarakat awam belum cukup terlatih dalam menggunakan strategi peace-building sebagai metode dialog, mereka pada dasarnya memiliki intuisi dan mekanisme alamiah yang dapat mendukung proses-proses peace-building.
          Keempat, faktor teologi pada dasarnya dapat difungsikan secara negatif untuk menghambat dialog. Namun asumsi yang menyatakan bahwa teologi berperan penting sebagai pemicu konflik, agak diragukan. Meski demikian, harus lah diakui bahwa aspek teologi dapat menjadi landasan normatif yang paling efektif untuk mempertahankan konflik. Ia juga merupakan intsrumen ideologi dan berperan sangat aktif dalam meyakinkan pemeluknya untuk tetap berperang. Ia diaktifkan sedemikian rupa oleh para tokoh agama maupun elit politiknya untuk menjaga stamina laskar-laskarnya. Karenanya, wacana teologi yang diproduksi pada abad pertengahan agaknya perlu diaktualkan sehingga tidak dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan kekerasan.
C. Agama Dan Konflik

Secara sosiologis, agama tidak bisa dilepas dari citranya sebagai pencipta konflik. Dalam sejarah perang salib, agama dilihat sebagai faktor yang berperan di dalamnya. Meskipun motif politik dan ekonomi juga dapat ditetapkan sebagai pemicunya, namun agama memiliki peran dalam meningkatkan dan mengkristalkan konflik tersebut.
Di situ, agama dihadapkan pada dua kepentingan yang berbeda, tetapi berangkat dari keinginan yang sama, masing-masing ingin menaklukkan lawannya yang dipersepsi sebagai pihak yang bersalah.
Dalam realitas kontemporer pun masih ditemukan adanya keterlibatan agama dalam kerusuhan sosial dan konflik destruktif. Beberapa kasus konflik antar-pemeluk agama di tanah air sepanjang delapan tahun terakhir mengisyaratkan bahwa agama punya andil cukup signifikan. Sebagaimana dapat dilihat dalam benturan antaragama di Ambon, Kalimantan,Lombok, bahkan di Jakarta.
Konflik tersebut tidak dalam bingkai konstruktif seperti yang dikonsepsikan oleh Hegel, dimana konflik menurutnya adalah suatu dialektika yang akan bermuara pada kemajuan, yaitu benturan antara tesa dan antitesa yang kemudian memunculkan sintesa, suatu gagasan atau keadaan yang melampaui keadaan sebelumnya (1999). Konflik destruktif justru akan melahirkan kerusakan dan kerugian bagi kehidupan. Dalam banyak kasus peperangan dan kerusuhan, agama dinilai berperan sebagai pemicunya.
Citra bahwa agama identik dengan konflik dan perang tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Konflik sebetulnya lebih disebabkan oleh faktor ekonomi dan politik. Hanya saja agama memiliki sistem simbol yang sangat mudah digunakan untuk memobilisasi masa. Sehingga konflik ekonomi dan politik itu terlihat seperti benturan suci yang digerakkan oleh agama.
Pada titik asalnya, manusia adalah satu. Satu dari Sang Pencipta, satu nenek moyang, satu tujuan penciptaan. Titik asal itu sendiri ada (maujud) dalam fitrah terdalam kemanusiaan, yaitu kecondongan untuk berbuat baik, rasa tidak puas untuk terus mencari jalan kebenaran, dan terbuka dengan segala bentuk kebenaran dari manapun asalnya. Fitrah tersebut dengan sendirinya akan terangkai dalam bentuk sikap tunduk (ad-Dien) dan pasrah (al-Islam) kepada Yang Maha Benar. Menolak semua ini, sama saja dengan menolak fitrah kemanusian yang memang sudah menjadi hukum alam (sunnatullah).
Menolak hukum alam berarti sama juga dengan menjadi makhluk yang tidak benar atau tidak normal. Sebab, hukum alam sama seperti hukum kausalitas (sebab-akibat) yang mengikat, walau manusia juga sesungguhnya memiliki ruang kebebasan, sebagai konsekuensi logis dari keberadaannya sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Dengan tugas utama mengelola tatanan kehidupan sebaik mungkin. Sebagai tamsilan, hukum alam seperti permainan catur. Kita bebas saja menggerakan bidak-bidak catur, sesuai dengan posisi dan perannya. Akan tetapi tidak boleh keluar dari papan catur itu sendiri. Bagi yang keluar, selesailah permainan bidak tersebut.
Dalam penciptaan manusia, Tuhan sedari dini sudah menyatakan kepada makhluknya yang paling taat (Malaikat), bahwa Dia akan menciptakan makhluk lain yang akan menjadi wakilnya (khalifah) di muka bumi. Tugas utamanya adalah mengelola tatanan kehidupan duniawi secara tepat dan benar. Malaikat awalnya tidak sepakat, akan tetapi setelah mendapat penegasan Tuhan maka malaikatpun setuju[2]. Persetujuan itu pun di wujudkan dalam bentuk sujud, sebagai simbol penghormatan kepada wakil Tuhan. Tapi malaikat yang paling taat (iblis)-pada saat itu-menolak[3], bahkan dia menghina takdir penciptaan manusia, sekaligus hendak menghancurkan setiap tatanan yang akan dibangun oleh manusia.
Manusia, menurut pengakuan Tuhan sendiri adalah sebaik-baiknya penciptaan, sebab manusia dibekali oleh akal, keinginan untuk berkembang, serta dianugerahi agama sebagai penuntun hidupnya. Akan tetapi manusia dapat menjadi makhluk yang paling hina dan tidak bernilai, ketika dia meninggalkan fitrahnya yang suci dan mengadakan kerusakan di muka bumi, kecuali bagi orang-orang yang  yakin (iman) kepada yang benar dan  berbuat baik.[4]      
Perubahan sosial (social change) yang terjadi dewasa ini terjadi begitu cepat dan masif, bisa membawa kepada hal-hal yang positif atau sebaliknya, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Perubahan dalam berbagai bidang itu bisa terjadi pada politik, ekonomi, budaya, pendidikan bahkan agama. Menyikapi ini dengan positif, sebagaimana tuntutan prinsip pluralisme akan menjadikan kehidupan kemanusiaan menjadi lebih kaya dan dinamis. Akan tetapi menjadi tidak konstruktif (bahkan bisa destruktif), ketika perubahan yang disertai penambahan frekuensi keberagaman tidak dihadapi dengan sikap matan.
Dalam agama misalnya, keberagaman dalam bidang ini juga cukup tinggi. Walau agama mulanya adalah turunan dari susunan dogma langit, akan tetapi pada bentuk teknisnya telah menjadi bentuk interpretasi yang nisbi belaka. Penyikapan yang tidak arif terhadap tafsiran relatif inilah yang bisa menimbulkan kekacauan (chaos). Sebaliknya, mengutamakan kerjasama positif dapat menciptakan keteraturan (cosmos). Sejarah panjang agama-agama di dunia telah menceritakan keduanya.
Richard Niebuhr (Sosiolog agama Amerika Serikat), mengatakan bahwa munculnya berbagai sempalan agama, sekte[5] atau aliran baru dalam sebuah agama pada awalnya merupakan gerakan protes terhadap konservatisme dan formalisme agama. Agama tradisional dianggap tidak mampu memberikan apa yang mereka cari dan menjawab persoalan sosial mereka, sehingga mereka mencari pelarian ke sekte baru dari agama tertentu.[6] Agama menurut mereka sering mendominasi semua aspek kehidupan masyarakat, dan agama cenderung berpihak pada elit politik dan negara serta mengabaikan persoalan dan problema sosial mereka sebagai kaum yang tertindas.
  Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Bryan Wilson (sosiolog Inggris) dengan mengklasifikasikan sekte atau aliran keagamaan tersebut menjadi tujuh tipe. Tipe pertama adalah aliran convercionist, tujuan dari aliran ini adalah mentaubatkan orang, sehingga fokus aktifitasnya adalah perbaikan moral individu. Dengan perbaikan moral individu tersebut akan menuju pada perbaikan dunia yang kondusif. Kedua aliran revolusioner, tujuan utama gerakan ini adalah mengadakan perubahan sosial masyarakat secara radikal, sehingga barulah manusia menjadi baik. Ketiga aliran introversionis, aliran ini merupakan perkembangan dari tipe sebelumnya, dengan ciri apabila harapan dan cita-cita eskatologi mereka tidak terpenuhi, maka mereka tidak akan meneruskan aktifitas transformasi lingkungan sekitar, tapi mereka lebih fokus pada penyucian aliran dan komunitas mereka sendiri, dengan tidak peduli pada lingkungan luar. Keempat, aliran gnostic yang juga tidak peduli dengan keselamatan lingkungan sekitar, di samping itu mereka mengklaim memiliki ilmu dan metode rahasia untuk mencapai tujuan tersendiri. Kelima aliran thaumaturgical yaitu aliran yang concernd pada pengobatan, pengembangan tenaga dalam, kekebalan dan penguasaan alam ghaib. Keenam, aliran reformis yang berkeyakinan bahwa aqidah dan ibadah agama harus mampu mengadakan reformasi sosial masyarakat. Ketujuh, aliran utopian yang meciptakan komunitas ideal yang akan menjadi contoh bagi masyarakat dengan menolak tatanan masyarakat yang sudah ada.[7]

D. DIALOG DALAM RANAH SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Komunikasi dalam konteks apapun adalah bentuk dasar adaptasi terhadap lingkungan. Menurut Rene Spitz[8], komunikasi adalah jembatan antara bagian luar dan bagian dalam kepribadian manusia. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa komunikasi sesungguhnya dilakukan untuk pemenuhan diri, untuk menjadikan jiwa merasa terhibur, nyaman dan tentram baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Komunikasi tidak saja berkutat pada persoalan pertukaran berita dan pesan, akan tetapi juga melingkupi kegiatan individu dan kelompok terkait dengan tukar menukar data, fakta dan ide. Bila dilihat dari makna ini, ada beberapa fungsi yang melekat dalam proses komunikasi; Pertama, Informasi, pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, penyebaran berita, data, gambar,  fakta, pesan, opini, dan komentar yang  di butuhkan  agar dapat dimengerti dan beraksi secara jelas terhadap kondisi lingkungan dan orang lain agar dapat mengambil  keputusan yang tepat.
Kedua, Sosialisasi  (pemasyarakatan), penyedian sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai  anggota masyarakat  yang efektif sehingga ia sadar akan fungsi sosialnya dan dapat aktif di dalam masyarakat
Ketiga, Motivasi, menjelaskan tujuan setiap masyarakat jangka pendek maupun jangka panjang, mendorong orang untuk menentukan  pilihan dan keinginannya, mendorong kegiatan individu dan kelompok berdasarkan tujuan bersama yang akan di kejar.
Keempat, Berdebatan dan diskusi, menyediakan  dan saling menukar fakta yang di perlukan  untuk memungkinkan  persetujuan atau menyelesaikan perbedaan  pendapat mengenai  masalah publik, menyediakan bukti-bukti relevan yang di perlukan  untuk kepentingan  umum agar masyarakat lebih melibatkan diri dengan masalah  yang menyangkut  kepentingan bersama.
Kelima, Pendidikan, pengalihan ilmu pengetahuan dapat mendorong perkembangan intelektual, pembentukan watak, serta membentuk keterampilan dan kemahiran yang di perlukan pada semua bidang kehidupan.
Keenam,Memajukan kehidupan, menyebarkan hasil kebudayaan dan seni dengan maksud melestarikan warisan masa lalu, mengembangkan kebudayaan dengan  memperluas horizon seseorang serta membangun imajinasi dan mendorong kreatifitas dan kebutuhan estetiknya.
Ketujuh, Hiburan, penyebarluasan  sinyal, simbol, suara, dan imaji dari drama, tari, kesenian, kesusastraan, musik, olahraga, kesenangan, kelompok, dan individu.
Kedelapan, Integrasi menyediakan bagi bangsa, kelompok, dan individu kesempatan untuk memperoleh berbagai pesan yang mereka perlukan agar mereka dapat saling kenal dan mengerti serta menghargai kondisi pandangan  dan keinginan orang lain.

E. Etika Dialog dalam Ranah Teori Hubungan Sosial      
Teori hubungan sosial menyatakan bahwa dalam menerima pesan-pesan komunikasi melalui media, orang lebih banyak memperoleh pesan itu melalui hubungan atau kontak dengan orang lain daripada menerima langsung dari media massa.Hubungan sosial yang informal merupakan salah satu variabel yang turut menentukan besarnya pengaruh media.
Dalam kenyataannya terbukti bahwa orang-orang yang langsug menerima pesan-pesan komunikasi melalui media,orang lebih banyak pesan itu melalui hubungan atau kontak dengan orang lain daripada menerima langsung dari media massa.Hubungan sosial yang informal merupakan salah satu variabel yang turut menentukan besarnya pengaruh media.
Dalm kenyataannya terbukti bahwa orang-orang yang yang langsung menerima informasi dari media terbatas sekali. Mereka, inilah yang merumuskan informasi dari media tersebut pada orang lain melalui saluran komunikasi informal. Berdasarkan pada hasil penelitian, maka arus informasi akan melalui sua tahap. Pertama, informasi bergerak dari media kepada individu-individu yang relatif “well informed”, mereka pada umumnya memperoleh informasi langsung.
Kedua, informasi tersebut kemudian bergerak melalui saluran komunikasi antar pribadi kepada individu-individu yang kurang memiliki hubungan langsung dengan media dan ketergantungan merek akan informasi pada orang lain besar sekali. Proses komunikasi yang demikian ini dinamakan komunikasi dua tahap (Two step-flow communication).
Individu-individu yang lebih banyak memiliki hubungan dengan media tersebut “pemuka pendapat”, karena ternyata mereka memainkan peranan yang besar sekali dalam meneruskan dan menafsirkan informasi yang nereka terima. Cara penafsiran informasi yang kemudian berkembang menjadi “pengaruh pribadi” merupakan salah satu mekanisme penunjang yang penting, yang berada diantara pesan-pesan komunikasi dengan jenis tanggapan yang diberikan terhadap pesn-pesan tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori hubungan sosial mencoba menekankan pentingnya variabel hubungan antara pribadi sebagai sumber informasi maupun sebagai pengaruh media komunikasi.

F. Teori Komunikasi Relasional Sebagai Landasan Operasional Etika Dialog

Pengakuan bahwa relasi (hubungan) merupakan suatu yang penting dalam komunikasi sudah ada paling tidak sejak tahun 1950-an. Meskipun penelitian tentang hubungan telah dari berbagai sudut pandang. Kebanyakan dari apa yang dirujuk sebagai ''komunikasi relasional'' didasarkan pada inti dari asumsi-asumsi umum.
Asumsi Pertama, hubungan selalu dihubungkan dengan komunikasi dan tidak dapat dipisahkan. Asumsi Kedua, sifat hubungan didefinisikan oleh komunikasi dengan para anggotanya. Asumsi Ketiga, hubungan biasanya didefinisikan lebih secara implisit ketimbang eksplisit. Asumsi Keempat, hubungan-hubungan berkembang sepanjang waktu melalui sebuah negosiasi di antara mereka yang terlibat.[9]
Konsep sistem ala group Palo Alto:
Teori sistem adalah seperangkat hal-hal yang berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu keseluruhan. Pada bagian ini dapat dilihat pada dua jalur awal teori yang merupakan benih dari studi komunikasi tentang hubungan, mulai dengan karya klasik dari kelompok Palo Alto.[10]
Lima Aksioma Dasar Tentang Komunikasi Menurut Kelompok Palo Alto
a)    Aksioma Pertama, orang tidak bisa tidak berkomunikasi.
b)   Aksioma Kedua, setiap percakapan-betapapun singkatnya-meliputi dua pesan- yaitu pesan isi dan sebuah pesan hubungan-metakomunikasi (non-verbal).
c)    Aksioma Ketiga, bahwa orang menggunakan kode-kode digital dan analog. Digital komunikasi memiliki kekuatan penuh dan dapat dipahami melalui syintac bahasa yang baik dan juga dapat disetujui. Contoh On-Of diungkap maupun tidak dapat dipahami maksudnya sebagai kode untuk menghidupkan atau untuk mematikan sesuatu. Analog; tidak memiliki kejelasan (non-verbal) tapi bisa dikomunikasikan dengan makna yang banyak tentang hubungan itu. contoh gerakan tubuh (non-verbal) tapi bisa dimaknai untuk mengexspresikan kesetujuan atau keikutsertaan atau emosional.
d)   Aksioma Keempat, pengelompokan, artinya tahapan-tahapan interaksi seperti kata, kalimat, tidak bisa dipahami sebagai rangkaian elemen-elemen yang terpisah, supaya bisa diterima ia harus dikelompokkan dan pengelompokan ini umumnya merupakan masalah persepsi pribadi.
e)    Aksioma Kelima, komunikasi berhubungan dengan kecocokan atau pengaitan pesan-pesan di dalam suatu interaksi, baik secara simetris (dua komunikator dalam suatu hubungan yang berperilaku sama dan perbedaan-perbedaan diupayakan untuk diminimalkan) maupun secara komplementer (perbedaan respon komunikator dimaksimalkan).[11]
a.   Klasifikasi Teori Dialektik Relasional
Komunikasi relasional jika dilahat dari konsep operasionalnya dapat dijabarkan sebagai komunikasi syiclic, dualistic, dualism dan totality.[12] Dari penjabaran ini dapat diklasifikasikan secara lebih mendetail menjadi dua bagian penting; dialektik internal dan eksternal.
          a.i. Dialektik Internal
Berbicara tentang dialektik internal ada beberapa komponen teori yang termasuk dalam bagian ini antara lain:
  • Dependency-indepedensi-Openness-privacy:Ketergantungan-kemandirian-Keterbukaan-kerahasiaan.
  • Certainly-uncertainly dialectic: Dialektik pasti-tidak pasti; level awal interaksi antara orang yang sudah diketahui dan orang lain dapat mengarahkan keinginannya untuk mereduksi yang tidak pasti/ jelas terhadap satu sama lainnya.
  • Oppenness-closedness dialectic/expression-non-expression dialectic:
Mengungkapkan perasaan secara terbuka-tertutup, dalam banyak hal ini merupakan sebuah ketegangan antara spontanitas dan strategi dan respon yang muncul terhadap dialektik ini adalah berusaha mencapai keduanya sekaligus, berlaku jujur tapi hati-hati dalam mengungkapkan kejujuran itu.
  • Affection-intrumentality dialectic: Dialektik kesenangan-instrumentalitas: suatu dialiktik persahabatan seringkali terjadi antara menghargai teman sebagai teman versus memamfaatkan teman untuk tujuan lain.[13]
b.   Dialektik Eksternal
Dialektik eksternal memiliki teori tersendiri yang meliputi:
  • Inclution-Seclution Dialectic: Pencakupan-pengasingan dialektik; tekanan dalam hubungan harus menegosiasi ketegangan antara melakukan sesuatu secara kelompok kecil (couple) atau melakukan sesuatu dalam kelompok yang lebih luas.
  • Convensional Unique Dialectic: Sugestinya bahwa relasi adalah ditandai dengan adanya usaha/perjuangan untuk mereka komfirmasikan/ menyesuaikan terhadap ekspektasi (keinginan) dan kepercayaan kepada yang lain di dalam dunia sosial.
  • Revalation-Concealment Dialectic: banyak pandangan yang terjadi dalam konteks ini dimana jika ingin menjaga sifat, atau eksistensi diri masing-masing hubungan yang disembunyikan atau dirahasiakan dari yang lain dan sifat dari hubungan ini dibuat sangat umum, seperti dalam acara perkawinan yang membutuhkan komitmen bersama, karena diantara masing-masing ada yang disembunyikan dari yang lainnya.[14]

G. Etika Dialog Dalam Resolusi Konflik Perspektif Komunikasi Relasional

1.   Dialog Sebagai Konsep Sistem Ala Alto Paolo.
Komunikasi insani merupakan gejala yang hampir selalu melibatkan manusia. Sebagai aktor komunikasi, baik perannya sebagai komunikator maupun komunikan, manusia merupakan sosok yang sarat dengan muatan nilai. Sesuatu nilai yang dianut manusia dapat bersumber dari budaya, tradisi, norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, atau bahkan agama dan kepercayaan. Latar belakang nilai inilah yang kemudian ikut mempengaruhi faktor persepsi ketika seseorang memaknai simbol yang diterima sekaligus merumuskan pesan yang akan disampaikan. Karena itu, pesan dalam komunikasi selalu sarat nilai dan memerlukan suatu sistem yang sistematis. [15]
2.   Etika dialog Mengedepankan Dialektik Internal dan Eksternal.
Akses dari dialog kemanusiaan dalam konflik keagamaan dan kemanusiaan titik tekannya pada keseimbangan sosial, yaitu syarat yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat bisa berfungsi sebagaimana mestinya, dalam pengertian bahwa keseimbangan sosial atau ekuilibrum sosial, merupakan suatu situasi di mana segenap lembaga sosial utama berfungsi dan saling menunjang.[16] Dalam keadaan seperti ini tiap warga masyarakat bisa memperoleh ketenteraman bathin karena tidak  ada konflik norma dan nilai dalam masyarakat.
Dalam upaya penerapan komunikasi relasional dialektik dalam etika dialog dapat diimplementasikan dalam aspek-aspek berikut ini:
Pertama: Dependency-indepedensi-Openness-privacy: Ketergantungan-kemandirian-Keterbukaan-kerahasiaan.
Dialog dalam menjalankan misi resolusi konflik harus mampu memiliki sifat ketergantungan kepada masyarakat yang sedang konflik yang menjadi sasaran dialog, sebab tanpa memiliki sifat ini dikhawatirkan dialog hanya sebatas memberikan materi dialog yang bersifat konvensional. Dengan demikian dilektik komunikasi keterbukaan dan kemandirian akan mengarah kepada perubahan yang bersifat sosial.
 Dalam konteks ini, etika dialogis dituntut untuk memperkaya pada masalah isu-isu sosial yang terjadi dimasyarakat dan menjadi patologi sosial seperti korupsi, kolusi, nepotisme, penindasan, pelanggaran HAM dan lainnya, tidak hanya berkutat pada aspek konflik interest antarsesama, tapi yang urgen harus ada perubahan yang lainnya adalah materi dialog eksklusif ke materi dakwah inklusif, dimana komunikator atau mediator dituntut untuk menghilangkan sifat memojokkan atau memusuhi, karena kecendrungan selama ini, dialog sering menyampaikan hal-hal yang bernada permusuhan dengan agama lain.
Kedua, Certainly-uncertainly dialectic: Dialektik pasti-tidak pasti; level awal interaksi antara orang yang sudah diketahui dan orang lain dapat mengarahkan keinginannya untuk mereduksi yang tidak pasti/ jelas terhadap satu sama lainnya.
Teori dialektik ini menekankan pada aspek metodologi, harus dilakukan perubahan dari monolog ke dialog.  Sebab interaksi ini tidak akan berjalan oftimal tanpa diawali dengan mengarahkan visi dari yang diajak bicara. Esensi dari teori ini adalah menformat dialog antara komunikan dan komunikator sehingga ada kejelasan visi dan isi dari kedua belah pihak.
Ketiga, Affection-intrumentality dialectic: Dialektik kesenangan-instrumentalitas; suatu dialiktik persahabatan seringkali terjadi antara menghargai teman sebagai teman versus memamfaatkan teman untuk tujuan lain.
Teori ini menekankan pada efektifitas komunikasi dalam membujuk komunikan untuk bekerja sama dalam kesepakatan.
Relevansinya dengan etika dialog adalah menggunakan institusi yang bisa diajak bersama dalam aksi. Dalam konteks dialog, institusi merupakan indikator penting untuk memuluskan jalan dialogis yang humanis. Kekuatan dialog bukan saja pada diri sang mediator atau komunikator, tetapi juga basis institusional yang dimilikinya, sehingga para mediator mempunyai bargaining position (posisi tawar) yang tinggi terhadap masyarakat yang berkonflik.
Keempat, Convensional Unique Dialectic: Sugestinya bahwa relasi adalah ditandai dengan adanya usaha/perjuangan untuk mereka komfirmasikan/ menyesuaikan terhadap ekspektasi (keinginan) dan kepercayaan kepada yang lain di dalam dunia sosial.
Aplikasi teori ini dalam aspek etika dialogis adalah ada wujud keberpihakan pada semua elemen yang bertikai. Para mediator, harus melakukan usaha-usaha sosial untuk kepentingan kaum tertindas di daerahnya, seperti kasus penggusuran tanah, pencemaran lingkungan, nasib nelayan dan petani atau kasus lainnya.
Mediator konflik melakukan pembimbingan dan pendampingan bahkan melakukan advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap kasus-kasus dan problema sosial masyarakat.
Dialog sangat terkait dengan keharmonisan. Upaya dialog seharusnya diartikan sebagai suatu akitivitas yang membawa konsekuensi resolusi konflik yang terencana, bukannya resolusi yang terjadi begitu saja atau sesaat. Seorang mediator/komunikator konflik oleh karenanya haruslah tahu apa yang menyebabkan terjadinya konflik sosial serta dampak-dampaknya.
Kelima, Revalation-Concealment Dialectic: banyak pandangan yang terjadi dalam konteks ini dimana jika ingin menjaga sifat, atau eksistensi diri masing-masing hubungan yang disembunyikan atau dirahasiakan dari yang lain dan sifat dari hubungan ini dibuat sangat umum.[17]
Teori ini dapat diterapkan dalam dimensi saling keterikatan antara komunikan dan komunikator pada aspek resolusi konflik yang diinginkan bersama. Titik tekannya terlihat pada konsekwensi dari komunikasi yang dilakukan, baik komunikasi yang mengarah pada eksistensi diri maupun kepada masyarakat secara umum.  Sebenarnya dalam kehidupan sehari-sehari, acapkali tidak mudah untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dengan kebudayaan. Hal itu disebabkan karena tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak terjelma dalam masyarakat. Hal itu mengakibatkan bahwa garis pemisah di dalam kenyataan hidup antara perubahan sosial dan kebudayaan lebih sukar lagi untuk ditegaskan, tapi biasanya antara ke dua gejala itu, dapat diketemukan hubungan timbal balik sebagai sebab akibat.[18]
Raimond  Firth mengatakan perubahan dalam masyarakat dapat terjadi karena adanya penggerak-penggerak tertentu. Daya penggerak untuk proses-proses perubahan sosial itu dalam masyarakat datang dari dua sumber dari dalam dan dari luar. Sesuatu yang datang dari dalam adalah gerak yang berupa pendapatan-pendapatan baru di lapangan teknik, perjuangan-perjuangan perseorangan untuk memperoleh tanah dan kekuasaan, perumusan baru dari paham-paham orang-orang kritis yang dianugrahi bakat-nbakat istimewa. Sedangakan yang datang dari luar untuk sebagian terletak dalam lingkungan pergaulan itu sendiri dan untuk sebgaian lagi terletak dalam kekuatan ekspansinya  peradaban.[19]
Alvin. L. Bertrand berpendapat bahwa awal dari perubahan itu adalah komunikasi, yaitu proses dengan mana informasi disampaikan dari individu-individu yang satu ke individu yang lain. Maka yang dikomunikasikan itu tidakada lain adalah gagasan-gagasan, ide-ide atau keyakinan-keyakinan maupun hasil budaya yang berupa fisik  itu. [20] 
Perubahan sosial dapat dilaksanakan jika memiliki kekuatan pendorong (motivational force) di mana kekuatan pendorong itu dapat merubah masyarakat. Diantara kekuatan itu adalah: ketidak puasan terhadap situasi yang ada karena itu ada keinginan untuk situasi yang lain, adanya pengetahuan tentang perbedaan antara yan ada dengan yang seharusnya bisa ada, adanya tekanan dari luar untuk menyesuaikan diri dan lain-lain, kebutuhan dari dalam untuk mencapai efesiensi dan peningkatan, misalnya produkitifitas, dan lain-lain.[21]
Dengan pendekatan komunikasi relasional, diharapkan dialog mempunyai peran ganda yaitu melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan pendampingan masyarakat untuk isu-isu sosial seperti korupsi, kolusi, perusakan lingkungan hidup, dan menjadi advokasi terhadap pelanggaran hak rakyat oleh negara seperti kasus penggusuran, hak-hak perempuan, konflik antar agama, dan problem kemanusiaan lainnya. Oleh sebab itu, maka komunikator/mediator di samping sebagai ahli diplomasi  juga harus mampu menjadi agen perdamaian di tengah-tengah bergumulan konflik kemanusiaan.

H. Epilog

          Teologi Relasional, Ihsan dan Etika Dialog Untuk mengatasi hambatan dialog, terutama pada level keagamaan, maka perlu dikembangkan strategi dialog yang lebih aktual dan realistik. Upaya ini dapat dimulai dari pengembangan relation; human relation dan social relation. Gagasan tentang membangun relasi inilah yang disebut dengan theology of relation atau relational tehology. Ini dapat didefinisikan sebagai upaya mengkonstruksi strategi baru untuk meletakkan agama-agama tidak dalam posisi saling bermusuhan tanpa harus mengkompromikan nilai-nilai keimanan yang dikandungnya. Agama-agama harus berperan secara konstruktif untuk membangun dunia yang lebih adil dan damai. Hal ini dapat dilakukan melalui dua tahap secara simultan. Tahap pertama ditempuh dengan mendekatkan relasi-relasi antar umat pada level elit hingga arus bawah melalui kerja-kerja kebudayaan dan kemanusiaan secara bersama dengan meningkatkan hubungan-hubungan personal antara umat beragama. Pada saat yang sama perlu diekspolrasi sekaligus dipromosikan kesamaan-kesamaan doktrinal yang terdapat dalam kedua agama. Misalanya, Islam dan Kristen merupakan Abrahamic religions yang mengajarkan tentang monoteisme; bahwa pemeluk Islam dan Kristen pada dasarnya adalah anak-anak Abraham yang berasal dari entitas yang sama, dst. Usaha-usaha semacam ini bisa saja efektif secara sosial karena adanya asosiasi Umat Islam dan Kristen karena afiliasi historis semacam itu Selain melalui relasi-relasi teologis semacam itu, dialog dapat pula bersumber dari ajaran Islam tentang 'Ihsan'. Ihsan yang berasal dari akar kata hasan, yang berarti baik, mengandung nilai-nilai universal, netral dan inklusif. Karenanya Ihsan secara tegas mengakui nilai-nilai kemanusiaan universal dan dapat menjembatani diversitas budaya, agama, ras dsb. Pada saat yang sama ihsan juga dapat menjadi dasar moral bagi kontinuitas nilai-nilai Islam dan iman yang khas. Tapi, kekhasan ini tidak bisa dijadikan kerangka etik bagi perwujudan model relasi yang lebih dialogis. Sebab dalam Iman maupun Islam seringkali terdapat hambatan psikologis bagi pengembangan suatu relasi sosial yang inklusif, meski di dalamnya terdapat landasan teologis maupun historis yang legitimate bagi pengembangan etika Ihsan sebagai sumber etis dialog.



Daftar Pustaka

Asep Gunawan (Ed.), Artikulasi Islam Kultural: Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah (Jakarta: Grafindo Persada, 2004)
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 81
          Pace, R. Wayne et al., Techniques for Effective Communication, Addison Westley Publishing Company, Massachusetts-ontario 1979.
Ketherine  Miller, Communication Theories Perspective, Processes, and Contexts, (New York: McGraw Hill International Edition, 2005 ), Second Edition.
Santoso S. Hamijoyo, Komunikasi Partisipatoris: Pemikiran dan Implementasi Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat, (Bandung: Humaniora, 200) cet. 1.
Selo Seomardjan,  Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: UGM Press), 1986, cet. 2.
Selo Seomardjan,  Social Changes in Jogjakarta,  (Itacha New York: Cornell University Press, 1962).
Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1999), edisi Baru ke-4, cet.27.
Raymin Firth, at all, Ciri-Ciri dan Alam Hidup Manusia: Suatu Pengantar Antropologi Budaya, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), cet.1.
Alvin. L. Bertrand, Sosiologi, alih bahasa Sanapiah S. Faisal, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980)
Soloman B Taneko, Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, (Jakarta: CV Rajawali, 1984)





            [1]Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram, E-mail: roziqi_iain@yahoo.co.id. 
                [2] QS:2/30.
                [3] QS:2/34.
                [4] QS:95/4-6.
[5]Istilah ini adalah terjemahan dari splinter group yang bermakna atau berkonotasi negatif seperti protes dan pemisahan terhadap mayoritas, sikap eksklusif pendirian tegas tapi kaku, fanatisme dan klaim serta monopoli kebenaran atas diri kelompok mereka sendiri. Istilah ini konon pertama kalinya digunakan oleh Abdurrahman wahid (Gus dur), selanjutnya lihat Asep Gunawan (Ed.), Artikulasi Islam Kultural; dari tahapan moral ke periode sejarah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004) 206
[6]Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999) 81
[7]Asep Gunawan (Ed.), ibid. 217
            [8] Pace, R. Wayne et al., Techniques for Effective Communication, Addison Westley Publishing Company, Massachusetts-ontario 1979, 98
[9]Ketherine  Miller, Communication Theories Perspective, Processes, and Contexts, (New York: McGraw Hill International Edition, 2005), Second Edition, 187.
[10] Kebanyakan teoritisasi hubungan mengakui pentingnya hasil karya Gregory Bateson, Paul Watziawick, dan kolega-kolega mereka pada tahun-tahun awal dari studi komunikasi interpersonal. Para pengikut awal Bateson dikenal dengan kelompok Palo Alto, karena mereka mendirikan dan bekerja di Mental Research Institute yang berpangkal di Palo Alto, California. Pemikiran- pemikiran mereka paling jelas diuraikan dalam Pragmatics of Human Communication. Dalam buku itu, Paul Watslawick, Janet Beavin, dan Don Jackson mengemukakan sebuah analisis yang terkenal tentang komunikasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip Sistem. Sistem ada enam hal: Objek, Atribut, Interaksi, Lingkungan, Equifinality, Cybernetic. (lihat Miller, Communication, 187 )
[11]Katherine Miller, Communication.. 194.
[12] Syiclic: Perkembangan hubungan yang bergerak dalam lingkaran bolak balik. Dialictic: Ketegangan antara dua orang atau lebih dalam elemen yang bertentangan dari suatu sistem yang menuntut setidaknya suatu penyelesaian sementara. Analisis Dealictic: melihat cara-cara sistem berkembang atau berubah, bagaimana ia bergerak, dalam menanggapi kontradiksi dan bagaimana ia melihat tindakan-tindakan strategis yang diambil oleh sistem untuk menyelesaikan kontradiksi. Dualism: Ketegangan (oposisi)dari dua hubungan kutub yang tidak bisa eksis bersama. Totality:  Konsep totalitas: kembali kepada dugaan, perkiraan bahwa ketegangan/kontradiksi dalam hubungan merupakan bagian yang menyatu dalam keseluruhan dan tidak bisa dipahami jika dipisah-pisahkan. Implikasinya adalah dapat disepakati dengan cepat atau tidak bisa dipisahkan dari  yang lain. (Lihat Miller, Communication….198)
[13] Lihat Miller, Communication,.198.
[14]Katherine Miller, Communication. h.199. untuk pola penerapan dialiktik komunikasi relasional dapat dijabarkan sebagai; Danial: Kelaim bahwa ketegangan itu tidak ada, Pasangan suami-istri yang selalu senang dan selalu ingin bersama. Disorientation; Mengadopsi kebiasaan yang fatal dalam ketegangan adalah diakui sebagai suatu yang tidak dapat dihindarkan. Spiraling Invension (tekanan): Pola kontradiksi ini dominan pada berbagai permintaan setiap saat, dan ada pasang surut antara dua pola dialektik. Segmentation: Masing-masing pola kontradiksi itu dominan tergantung pada sifat tofik  atau wilayah kegiatan. Balance: Masing-masing pola diligitimasi dalam kompromi guna mencairkan pola ketegangan yang terjadi. Integration: Bagian relasional dapat diterima secara penuh terhadap opposan dalam satu waktu tanpa diawali dengan kompromi atau pencairan suasana. Recalibration : Pola dialektik ditransformasi dalam situasi yang khusus sehingga mereka tidak terlalu lama diakui/disadari sebagai perlawanan. Reaffirmation: Ketegangan atau perlawanan pola dialektik dapat dijadikan dalam memperkokoh dan menambah kekayaan dalam menjalin hubungan. (Miller, Ibid. h.135).
[15] Santoso S. Hamijoyo, Komunikasi Partisipatoris: Pemikiran dan Implementasi Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat, (Bandung: Humaniora, 200) cet. 1. 1.
[16]Selo Seomardjan,  Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: UGM Press), 1986, cet. 2, h. 306.  Lihat  juga redaksi aslinya, Selo Seomardjan,  Social Changes in Jogjakarta,  (Itacha New York: Cornell University Press, 1962) 379.
[17]Katherine Miller, Communication. h.135. untuk pola penerapan dialiktik komunikasi relasional dapat dijabarkan sebagai; Danial: Kelaim bahwa ketegangan itu tidak ada, Pasangan suami-istri yang selalu senang dan selalu ingin bersama. Disorientation; Mengadopsi kebiasaan yang fatal dalam ketegangan adalah diakui sebagai suatu yang tidak dapat dihindarkan. Spiraling Invension (tekanan): Pola kontradiksi ini dominan pada berbagai permintaan setiap saat, dan ada pasang surut antara dua pola dialektik. Segmentation: Masing-masing pola kontradiksi itu dominan tergantung pada sifat tofik  atau wilayah kegiatan. Balance: Masing-masing pola diligitimasi dalam kompromi guna mencairkan pola ketegangan yang terjadi. Integration: Bagian relasional dapat diterima secara penuh terhadap opposan dalam satu waktu tanpa diawali dengan kompromi atau pencairan suasana. Recalibration : Pola dialektik ditransformasi dalam situasi yang khusus sehingga mereka tidak terlalu lama diakui/disadari sebagai perlawanan. Reaffirmation: Ketegangan atau perlawanan pola dialektik dapat dijadikan dalam memperkokoh dan menambah kekayaan dalam menjalin hubungan. (Miller, Ibid. h.135).
[18]Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1999) 388.
[19] Raymin Firth, at all, Ciri-Ciri dan Alam Hidup Manusia: Suatu Pengantar Antropologi Budaya, (Bandung: Sumur Bandung, 1960) 143.
[20]Alvin. L. Bertrand, Sosiologi, alih bahasa Sanapiah S. Faisal, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980), h.161. Lihat juga, Soloman B Taneko, Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembanguan, (Jakarta: CV Rajawali, 1984) 135.
[21] Alvin. L. Bertrand, Sosiologi, . 137.

0 komentar:

Post a Comment