Oleh: Fahrurrozi Dahlan *
Abstrak: Abstract: Tuan Guru: Normative Ideas and Social Realities In Sasaknese Society. Shifting
paradigm and societal labeling towards tuan
guru in Lombok have commonly led to ambiguity and overlap caused by varied
contributing factors such as one’s status of tuan guru, one’s sole teaching
activity in the pesantren, madrasah teachers, preachers, teaching religious
books in general, and even political interest. There is, then, no wonder there
are lots of tuan gurus. Considering
those, this research aims at decribing the epistemology of tuan guru in the
normative ideas and mapping the social realities of tuan guru label at the
societal level. The research employs sociological approach and phenomena
analysed with inductive-descriptive analysis. Results show that tuan gurus as
religious missionaries should command deep knowledge mastery, have individual and social piety, be fluent in book reading,
organize an education centre, have done the pilgrimage, be socially acceptable,
be highly committed to societal issues, posses power and unique charm, and be
well behaved.
Key words: normative, social realities, tuan guru,
cateigories, reposition, typology, appropriateness.
Abstrak: Pergeseran paradigma dan penyebutan masyarakat tentang tuan guru
di Lombok sering mengalami kerancuan dan
tumpang tindih karena beberapa hal; status ketuanguruannya, keilmuan,
sikap dan prilaku, serta antara orang yang aktivitasnya
murni mengajar masyarakat di pesantren, guru madrasah, da’i, dan orang yang
aktivitasnya mengajarkan kitab-kitab keagamaan secara umum, bahkan karena
faktor kepentingan politik, tuan guru di setiap pelosok bak jamur di musim
hujan. Berangkat dari persoalan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
epistimologi tuan guru dalam tataran normatif sekaligus memotret realitas
sosial tentang fenomena penyebutan gelar tuan guru. Upaya ke arah tersebut,
penelitian ini menggunakan pendekatan
sosiologis-fenomenalogis dengan analisa deskriptif-induktif. Dengan demikian temuan penelitian ini membuktikan bahwa tuan guru sebagai fungsionaris agama semestinya memiliki; integritas keilmuan mendalam, kesalehan
individual dan sosial, ahli membaca kitab, memiliki lembaga pendidikan, pernah berhaji, adanya penerimaan sosial, memiliki komitmen tinggi terhadap masyarakat, memiliki kharisma khas yang
membedakan dirinya dengan orang lain, serta berakhlak mulia.
Kata Kunci:
normatif, realitas sosial, tuan guru, kategori, reposisi,
tipologi, kelayakan.
PENDAHULUAN
Di tengah-tengah perubahan sosial dewasa ini, banyak
gugatan yang dilontarkan kepada tuan guru. Secara umum gugatan-gugatan
tersebut berkisar pada posisi dan sikap yang dipilih dan dimainkan oleh tuan
guru di tengah dinamika hubungannya dengan:
Pertama; status ketuanguruannya; dipertanyakan
karena adanya kecenderungan pelembagaan status ketuanguruannya. Unsur-unsur nasabiyah
dalam konsep keulamaan memperoleh penekanan yang konsisten, sementara
fungsi-fungsi normatifnya kurang mendapat
penilaian. Pada gilirannya, status ketuanguruan disejajarkan dengan
tidak ada bedanya dengan status kebangsawanan, di mana seorang tuan guru
dapat menganakpinakkan tuan guru, cukup dengan genetik, tanpa tuntutan
standar kualitas obyektif dalam keilmuan dan kemampuan. Yang semula konsep
keulamaan merupakan status achievtive (prestasi) berubah menjadi status ascribtive
(keturunan). Kekecewaan terhadap
penampilan tuan guru dewasa ini dapat dimaklumi, mengingat
banyaknya diantara mereka yang menikmati sebutan tuan guru itu di
samping memperoleh statusnya semata-mata
melalui jalur keturunan, tanpa memiliki kualitas yang memadai yang dituntut
oleh standar ajaran (ilmunya tidak dalam, ibadahnya tidak tekun, dan tidak
menjadi pengayom umat) dan kontroversi menjadi semakin ruwet ketika berbagai
lembaga yang tidak mempunyai sangkut paut dengan jalur tradisi dan akar sejarah ketuanguruan
ikut terlibat menjadi “promotor” tuan guru, untuk menciptakan citra legitimate
(pengakuan) bagi kepentingan dan keberadaannya sendiri.
Kedua, keilmuan tuan guru; digugat dengan
penilaian bahwa tuan guru kurang memiliki kemauan untuk beranjak dari
orientasi simbol menuju orientasi substansi dalam menyikapi doktrin dan ajaran
agama.[1] Visi keilmuan yang dikembangkan cenderung berorientasi
untuk mengkonversi (muhâfazhah) tradisi yang diwariskan dari tuan
guru pendahulunya semata, tanpa mempunyai keberanian melakukan pengembangan
dan aktualisasi sesuai dengan tantangan perubahan yang terjadi, sehingga
kualitas keilmuan tuan guru hanya terbatas pada ilmu-ilmu keislaman
tradisional dan kurang memiliki wawasan sosial yang luas dan transformatif (mutathawwirah).
Menghadapi perubahan yang terjadi kebanyakan tuan guru hanya berperan
memberikan bimbingan moral-etik dan menjawab soal-soal keilmuan dan
kemasyarakatan dengan hukum fiqhiyyah yang mengacu pada teks-teks yang
tersurat dalam kitab-kitab kuning, tanpa memahami kompleksitas perubahan sosial
dan keilmuan yang terjadi dewasa ini, dan kurang mengusai realitas persoalan
yang menyentuh hakekat hidup dan dasar kemanusiaan sekarang.
Ketiga, sikap dan perilaku tuan guru; kalau dulu tuan
guru sebagai pemimpin dan pengayom masyarakat bawah, hidup di tengah-tengah
keperihatinan mereka, menjadi penampung dan perumus aspirasi mereka, menjadi
pembela kepentingan kaum lemah, obsesinya yang begitu kuat dalam pemberdayaan
masyarakat. Maka sekarang citra tuan guru yang demikian itu semakin
memudar. Ada semacam tuduhan, bahwa citra kebanyakan tuan guru dewasa
ini tertarik untuk berkoalisi dengan penguasa atau kelompok kuat, daripada
menyantuni kelompok masyarakat yang lemah. Lebih merasa bangga berada di
tengah-tengah kehidupan kaum elit, daripada bergumul bersama-sama masyarakat
bawahan yang menderita tergusur hak-hak yang seharusnya dimilikinya. Tuan
guru dipandang kurang tanggap terhadap masalah-masalah kemanusiaan,
keadilan, dan ketimpangan sosial.
Tuan guru adalah kelompok terbatas yang dipersepsikan oleh orang
awam sebagai elit, karena ada nilai tambah dalam dirinya, mereka mempunyai
kelebihan ilmu pengetahuan. Seseorang akan disebut tuan guru oleh
masyarakat, bukan diproklamirkan sendiri oleh penyandangnya. Berbeda dengan
predikat formal seperti sarjana, ia merupakan hak setiap orang yang selesai
menempuh prosedur administratif di suatu fakultas. Ia tempuh melalui
jenjang-jenjang kesarjanaan, seperti S1, S2, S3. Sedangkan yang bersifat
informal, elit informal, semacam ulama, kyai, tuan guru, ia meniscayakan
adanya social recognation (keberterimaan masyarakat).[2]
Dahulu, tuan guru memang identik dengan pemimpin
pesantren yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang agama. Kata-kata tuan
guru dianggap sebagai fatwa yang notabene harus dilakukan. Tuan guru
memiliki komitmen yang besar terhadap nilai-nilai kebenaran. Sebagai orang yang
ahli dalam bidang agama, mereka selalu berusaha untuk mengatakan yang benar itu
benar, dan yang salah itu salah. Itulah sebabnya tuan guru dianggap
sebagai panutan bagi masyarakat.[3]
Tuan guru sering dijuluki berpaham tradisional, memang tidak
selalu mengandung arti negatif. Tuan guru yang tampil dengan penuh
kesederhanaan, dengan memakai sandal, sarung dan memegang tasbih, sesungguhnya
mengandung nilai budaya yang tinggi.[4]
Dalam konteks kekinian gelar tuan guru terdapat
perbedaan nilai dalam masyarakat bila dibandingkan dengan tahun 70-an atau
tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat sekarang adalah kaum terpelajar yang
memiliki keilmuan agama hampir sepadan dan seragam. Cukup banyak orang-orang
yang pintar, termasuk lulusan Makkah, Madinah, Mesir yang dijadikan semacam
persyaratan untuk menyebut seseorang sebagai tuan guru. Namun tidak
sedikit proses legitimasi pengangkatan mereka sebagai tuan guru tidak
terjadi. Tak perlu disanksikan bahwa jumlah orang yang berilmu atau memiliki
ilmu pengetahuan setaraf dengan tuan guru-tuan guru tenar tetap
banyak. Karena itulah, sebagaimana tersebut di atas, bahwa dalam
masyarakat sekarang ini telah terjadi
perubahan nilai dan terjadi pergantian peran tuan guru kepada
cendikiawan.[5]
Persoalannya bukan masyarakat tidak memberikan legitimasi
kepada mereka sebagai tuan guru, tapi terjadi perubahan gelar dan lagi
belum tentu para cendikiawan tersebut setuju dengan gelar tuan guru atau
kyai atau bahkan Ulama sebagaimana terjadi pada pemikir-pemikir tempo dulu. Dari sini kemudian terlihat seakan-akan terjadi krisis
populasi tuan guru, atau Ulama.[6]
Keberadaan tuan guru dalam masyarakat khususnya
masyarakat pesantren sangat sentral. Suatu lembaga pendidikan Islam disebut
pesantren apabila memiliki tokoh sentral yang disebut tuan guru. Jadi tuan
guru di dalam dunia pesantren sebagai penggerak dalam mengemban dan
mengembangkan pesantren sesuai dengan pola yang dikehendaki. Di tangan seorang tuan
gurulah pesantren itu berada. Oleh karena itu, tuan guru dan
pesantren merupakan dua sisi yang selalu berjalan bersama. Bahkan “kyai bukan hanya pimpinan pondok pesantren tetapi
juga pemilik pondok pesantren”.
Berdasarkan pokok pikiran yang dipaparkan dalam latar belakang di atas,
permasalahan yang diajukan adalah; (1) bagaimana konsep normatif tentang
epistimologi tuan guru? (2) bagaimana masyarakat memahami realitas sosial tentang
gelar tuan guru?
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi para tokoh agama untuk
menjadi bahan evaluasi diri atas predikat yang melekat pada diri mereka
sendiri. Juga bagi masyarakat dimana legitimasi seseorang tuan guru, semestinya dilihat dari aspek-aspek
kapabilitas, keilmuan, kelayakan, dan moralitas, bukan hanya sebatas
kharismatik dan banyaknya pengikut. Dengan demikian komponen keulamaan tuan
guru sebagai ulama harus melekat pada dirinya sifat-sifat dan karakteristik
sebagai seorang ulama, sehingga tidak serta merta setiap orang dapat disebut
sebagai tuan guru.
METODE
PENELITIAN
Dilihat dari obyek kajian dan orientasi yang hendak
dicapai, penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research).
Sifat penelitian ini adalah eksploratif, yang bertujuan menggali informasi
dari pengamatan secara lansung di lapangan serta persepsi dari masyarakat
tentang idealitas gelar tuan guru. Sesuai dengan tipe penelitian yang
dipilih, data-data dikumpulkan adalah data primer berupa konsep sekaligus
persepsi masyarakat tentang terminologi tuan guru, dan data sekunder
berupa kajian-kajian tentang ulama yang tertera di berbagai literatur.
Subyek penelitian ini adalah masyarakat Lombok. Karena
penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang ingin mengetahui masalah tersebut, maka dalam populasi ini metode
penentuan informannya dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu dipilih berdasarkan obyek tertentu lalu
dikembangkan.[7] Oleh karena itu, pemilihan informan yang
diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan tujuan penelitian ini yang
ditentukan dengan kriteria bahwa mereka adalah orang-orang yang mengerti
selukbeluk ketokohan seorang tokoh agama, mengetahui kreteria umum tentang tuan
guru.
Atas dasar tersebut, jumlah responden diklasifikasikan
menjadi beberapa kategori.[8] Pertama. Kalangan tokoh
agama, dalam hal ini tuan guru, yang penulis tentukan masing-masing 3 tuan guru
dari tiga wilayah kabupaten, yaitu kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah dan
Lombok Barat. Kedua, kalangan akademisi, dari kalangan ini peneliti tentukan 3
sampai 5 orang akademisi. Tujuannya untuk menggali konsep dan persepsi mereka
tetang idealisasi gelar tuan guru yang menjadi fenomena di kalangan masyarakat
Lombok. Ketiga, Kalangan tokoh adat. Untuk kalangan ini penentuan informan
penulis mewawancarai 3 sampai 5 tokoh adat yang peneliti tentukan sendiri
kriteria yang disebut sebagai tokoh adat. Tujuannya tetap untuk menggali
persepsi atau tanggapan mereka seputar gelar tuan guru. Keempat. Kalangan
masyarakat awam. Untuk kalangan ini peneliti wawancarai siapa saja yang
peneliti temukan di lapangan penelitian dengan tidak menentukan beberapa
jumlahnya (meminjam istilah Bambang Pranowo) asalkan mereka bisa menjelaskan
dan memberikan argumentasinya tentang objek penelitian, baik di wilayah Lombok
Timur, Lombok Tengah maupun Lombok Barat. Sedangkan penelitian ini dilaksanakan
selama enam bulan dari bulan Juni-November 2009 di tiga kabupaten; Lombok
Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat.
Dalam metode analisis kategorisasi tuan guru ini
tidak membicarakan besar kecilnya sampel selaku informan. Pada sampel bertujuan
seperti ini jumlah sampel ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan informasi
yang diperlukan. Jika maksud memperluas informasi maka jumlah informan dapat
ditambah, tetapi jika tidak ada lagi informasi yang dapat dijaring atau sudah
mulai terjadi pengulangan informasi, maka penarikan informan sudah harus
diakhiri.[9]
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini: (1)
kuesioner, digunakan sebagai salah satu intrument untuk memperoleh informasi
tentang konsep dan persepsi masyarakat tentang gelar tuan guru, atau
persepsi mereka tentang kategorisasi tuan guru. Berkenaan dengan masalah
tersebut, peneliti menyiapkan 20 pertanyaan yang dilengkapi dengan
alternatif jawabannya. Peneliti
menggunakan kuesioner tertutup yang jawabannya sudah disediakan oleh peneliti
dalam bentuk alternatif jawaban (ya atau tidak); 2). Wawancara (interview),
digunakan juga sebagai instrumen penelitian untuk mengumpulkan data dari
masyarakat dan tokoh masyarakat tentang kategorisasi tuan guru,
kelayakan tuan guru dan persepsi mereka tentang tuan guru. Dalam
penelitain ini, peneliti menggunakan interview bebas terpimpin. 3) observasi,
yang digunakan adalah observasi sistematis. Dalam hal ini peneliti melakukan
penelitian di lapangan berdasarkan pantauan secara umum tentang kapasitas
kelayakan tuan guru disebut tuan guru di tengah-tengah
komunitasnya.
Data diolah menggunakan teknik standar sajian dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi. Selanjutnya, data dianalisa dengan
menggunakan metode induktif dan bentuk analisanya adalah diskriptif-analitis,
data-data yang diperoleh baik melalui kuesioner, wawancara dan observasi
dideskripsikan dalam bentuk kata pada kalimat, termasuk juga data yang
diperoleh melalui angket dengan terlebih dahulu menetapkan interval nilai dalam
kategori jawaban”ya atau tidak”, untuk kemudian menetapkan kategori kelayakan
penyebutan seseorang sebagai tuan guru.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Konsep Ulama dan Konsep Tuan Guru dalam Tataran Normatif
a. Ulama
Dalam
perspektif al-Qur’an–dengan tanpa bermaksud untuk mengotak-atik istilah ulama
yang sudah terkesan baku-, sebutan bagi orang-orang yang berpengetahuan
bermacam-macam, yaitu ulamâ’, ûlil ilmi, arrâsikhûn fi al-ilmi, ahl azzikr,
dan ulil al-bâb.[10] Kata ulamâ disebut dua kali dalam al-Quran yaitu
terdapat pada surat as-Syûrâ: 197 dan surat al-Fâthir: 28.
Kata ulama dalam surat al-Syûrâ dipergunakan untuk menyebut ulama
Bani Israel yang mengetahui diturunkannya al-Quran kepada nabi Muhammad dari
kitab mereka. Sedangkan dalam surat al-Fâthir istilah ulama dipergunakan untuk
menyebut hamba-hamba Allah yang paling takut.[11]
Kata ulama
yang berasal dari bahasa Arab ini dan sebagai bentuk jamak (plural) dari kata alim,
secara lughat (etimologi) berarti “orang-orang yang mempunyai
pengetahuan”, atau dengan kata lain, ulama adalah para ahli ilmu pengetahuan.
Dalam pemakaian praksisnya, istilah ulama lebih berkonotasi pada makna “para
ahli ilmu agama”, malah dalam persepsi yang hidup di kalangan masyarakat Islam,
ulama dipandang bukan sekedar sebagai ahli agama saja, tetapi juga sebagai
orang-orang yang konsisten terhadap agamanya, mempunyai komitmen yang kuat
dengan nilai-nilai moral dan kemasyarakatan.[12]
Dalam Encylopedia of
Islam and The Muslim World, menyebutkan bahwa ulama secara kebahasaan
adalah orang yang memiliki pengetahuan atau orang yang tahu. Ulama merupakan
kata jamak/plural dari kata tunggalnya/singular, alîm. Istilah ini secara luas dapat digunakan untuk
melihat kelas sosial kependidikan suatu masyarakat yang tugas pokok mereka
adalah mengkaji teks-teks keagamaan seperti al-Qur’an dan al-Hadis.[13]
Dan secara umum ulama memiliki kategori yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai
orang yang taat dan bakti (Q.S. 4: 59) dan memiliki otoritas dalam
menterjemahkan ajaran agama, karena pengetahuan keagamaannya yang mendalam.[14]
Selanjutnya, dalam
Ensiklopedi Nasional Indonesia, terdapat keterangan yang menarik dan baru
tentang ulama dengan orang yang berilmu. Dalam pengertian asli, yang dimaksud
dengan ulama adalah para ilmuan, baik di bidang agama, humaniora, sosial dan
keislaman. Dalam perkembangannya kemudian pengertian ini menyempit dan hanya
dipergunakan untuk ahli agama. Di Indonesia, ulama juga mempunyai sebutan yang
berbeda di setiap daerah seperti Kyai (Jawa), Ajengan (Sunda), Tengku (Aceh), Syeikh
(Sumatera Utara/Tapanuli), Buya (Minangkabau), Tuan guru (Nusa
Tenggara, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah).[15]
Perspektif Sayyid Quthub,
yang dikategorikan sebagai ulama adalah orang-orang yang memiliki keilmuan
kedalaman ilmu agama, mereka mempunyai kesadaran ketaqwaan yang tinggi kepada
Allah, mereka mempunyai rasa keterikatan dengan lingkungannya, baik lingkungan
sosial maupun lingkungan alam (dalam arti mereka tidak lepas dari lingkungan
hidupnya), mereka memiliki integritas moral yang diakui oleh masyarakatnya.[16]
al-Ghazali menyebut lima
ciri kepribadian ulama, yaitu: abîd: taat melakukan ibadah, zahîd:
hidup dalam kesederhanaan materi, alîm:
mempunyai pengetahuan yang luas, faqîh: menguasai pengetahuan
kemasyarakatan, murîd, mempunyai orientasi keikhlasan.[17]
Berdasarkan kajian
Badaruddin H. Subki, bahwa sekurang-kurangnya kriteria ulama itu meliputi;
menguasai ilmu agama (tafaqquh fi al-dîn),
dan sanggup membimbing umat dengan bekal memberikan ilmu keislaman yang
bersumber dari al-Quran dan al-Hadits, ikhlas melaksanakan ajaran Islam, mampu
menghidupkan sunnah Rasul dengan mengembangkan Islam secara kaffah,
berakhlak luhur, berpikir kritis, aktif mendorong masyarakat melakukan amal
shaleh, bertanggung jawab dan istiqomah, berjiwa besar, kuat mental dan pisik,
tahan uji, hidup sederhana, amanah, beribadah berjamaah, tawadhu’, kasih
sayang antarsesama, mahabbah, serta
dan tawakkal kepada Allah SWT, mengetahui dan peka terhadap situasi
zaman serta mampu menjawab setiap persoalan untuk kepentingan Islam dan
umatnya, Berwawasan luas dan menguasai beberapa cabang ilmu demi
pengembangannya, menerima pendapat orang lain yang tidak bertentangan dengan
Islam dan bersikap tawaddhu.[18]
Muhammad Baqhir al-Majlisi
mengutip pernyataan Ali bin Abi Thalib yang
membagi ulama menjadi tiga bagian. Pertama, kaum terpelajar yang sering
memamerkan diri dan suka berdebat. Kelompok ini sering menunjukkan kehebatannya
dan setiap mengeluarkan pendapatnya sering menyinggung perasaan orang lain. Di
hadapan banyak orang, mereka berpura-pura khusyu’ dan membuat dirinya seperti
orang yang wara’. Kedua, kaum terpelajar yang hanya ingin mencari kekayaan dan
bahkan mereka juga tidak segan-segan menipu. Mereka ini memiliki sikap yang
merendah terhadap orang-orang kaya. Perilaku ini muncul karena sangat mengharap
hadiah dari orang kaya. Namun sebenarnya, kelompok ini tidak memiliki
kepedulian terhadap pemahaman keagamaan orang-orang kaya yang salah. Ketiga,
kaum terpelajar yang mendalami keilmuan dan logika. Kelompok ini dikenal
memiliki kreatifitas dan idealitas yang sangat tinggi, namun kehidupan mereka
terkesan susah dan berat. [19]
Karekteristik atau
definisi ulama yang terdeskripsikan di atas lebih didasarkan pada kriteria
normatif. Secara sosiologis, kriteria-kriteria tersebut akan hadapi persoalan
semantis, maupun aplikatif. Sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan tentang siapa
yang termasuk ulama dalam konteks kehidupan sekarang. Ini merupakan hal yang
wajar diajukan mengingat memang sering
terjadi bias dan over lapping dalam pemahaman masyarakat luas.
Dalam sejarah peradaban
Islam di banyak bagian dunia menunjukkan ulama’ sering muncul sebagai pemimpin
gerakan pembaharuan sosial & politik[20]
dan kecendrungan ulama’ menempatkan kehadirannya dalam setiap krisis politik
dan sosial di negara-negara Islam tidak lepas dari dua alasan; Pertama, adanya kenyataan bahwa ulama’ secara historis
menganggap dirinya sebagai titik fokal kesadaran moral Islam. Kedua,
kenyataan bahwa ulama’ mengabdi pada
lembaga-lembaga masjid dan madrasah tempat jamaah mereka berkumpul secara
teratur.[21]
Di situ juga ulama’ berkumpul untuk membicarakan berbagai masalah yang
berkaitan dengan masyarakat umat dan keimanan.[22]
Di masa Dinasti Abbasiyah
(750-1055), semua ulama yang diangkap pemerintah untuk memegang posisi
keagamaan tersebut mulai menerima imbalan material, yang banyak hal membuat
mereka rentan terhadap tekanan penguasa. Hal ini berdampak merosot independensi
ulama yang mengakibatkan erosi respektabilitas, kewibawaan, dan otoritas mereka
dalam pandangan sebagian kaum muslimin saat itu. Masyarakat muslim pada umumnya
secara tradisional mencurigai keterlibatan ulama dalam aktivitas birokrasi.
Bagi mereka dengan cara berpikir sederhana, keterlibatan ulama dalam birokrasi
berarti melenyapkan kehormatan diri (muru’ah) mereka sebagai ulama.[23]
Kriteria ulama tersebut di
atas sangatlah ideal, akan tetapi ulama itu diasumsikan oleh masyarakat muslim
sebagai seorang figur yang memiliki kedalaman ilmu keislaman klasik (lebih
khusus lagi ilmu fiqh), dan secara konvensional di kalangan masyarakat muslim
Indonesia lebih dikenal dengan sebutan kyai/tuan guru.[24]
Departemen Agama RI, kata
ulama diinterpretasikan dengan “orang-orang yang mengetahui kebesaran Allah”, bahkan
Nurcholis Madjid mentranslitnya menjadi “ilmuwan’’ atau scientist, yaitu
golongan masyarakat yang paling meresapi ketaqwaan, paling tinggi penampilan
moral, adab dan akhlaknya.[25]
Ciri khas yang bersifat
holistik peran dan fungsi ulama’
dalam masyarakat Islam, khususnya Indonesia, terlihat dari peran dan fungsinya
dalam kaitannya dengan proses islamisasi.
Ulama’ adalah fungsionaris keagamaan (fungsionaris agama). Ia menjabat urusan
agama, pada pranata keutamaan Islam, yang secara tradisional telah dilestarikan
oleh keluarga kalangan menengah pedesaan yang mengkhususkan diri dalam mencetak
kader ulama’ dan mengambil tanggung jawab dalam menjaga ortodoksi Islam. Setiap
ulama’ selalu terkait dengan masjid tempat ia bertindak sebagai imam shalat dan
pembawa khutbah Jum’at. Sebagian besar ulama’ mengelola madrasah, tempat para
penduduk desa dan santri berkumpul untuk belajar membaca al-Qur’an dan
mendengarkan wejangan ulama’. Betapa di antara mereka juga memiliki dan
mengurus pesantrennya sendiri (pendidikan agama yang sistematis model
tradisional) di mana sejumlah besar santri belajar bersama dan menempati pondok-pondok sederhana.[26]
Kenyataan
sosiologis memperlihatkan keragaman yang terjadi di kalangan ulama. Pada tahap
pertama, Ulama mungkin dapat dibedakan dalam tiga kategori besar, yaitu ulama
bebas, pejabat agama, dan para tokoh organisasi Islam. Mereka ini masing-masing
mempunyai sifat, jangkauan pengaruh dan rekrutment yang berbeda-beda. “Ulama
Bebas” biasanya mempunyai pusat-pusat pendidikan seperti pesantren, madrasah
atau majlis taklim. Keulamaannya lebih disandarkan kepada pengakuan umatnya dan
legetimasi itu tidak jarang diikuti juga dengan hubungan yang bersifat
genealogis. Lazimnya tiada batas wilayah yang jelas menentukan pengaruh ulama
bebas ini. Wibawanya, tidak hanya ditentukan sejauh mana kedalaman ilmu dan
pengetahuan dan kemuliaan moral dan ibadahnya, tetapi juga seberapa luas ulama
itu terkait dengan jaringan sub-sub komunitas Islam dalam mata rantai guru dan
santri pesantren.[27]
Berbeda
dengan ulama bebas ialah pejabat agama yang mendasarkan legitimasinya
berdasarkan pengangkatan dari pemegang kekuasaan temporal. Perbedaan struktural
kedua tipe pemimpin Islam ini, yaitu penghulu dan ulama pesantren, seringkali
secara latent menempatkan mereka kedalam situasi konflik dan pada masa
kolonial dahulu, Belanda memperkokoh kedudukan penghulu ini untuk melakukan
kontrol terhadap pesantren dan sekolah agama. Karena legitimasinya didasarkan
jalur kekuasaan maka para pejabat agama mempunyai batas pengaruh tertentu,
sesuai dengan batas resmi di mana mereka ditugaskan.[28]
Kategori
yang ketiga ialah para pemimpin Islam yang menaiki kariernya melalui jenjang
organisasi-organisasi Islam. Sebagian para pemimpin organisasi ini memiliki
peralatan dan kapasitas keilmuan sebagai ulama, tetapi juga banyak diantaranya
hanya didasarkan pada concern, cita-cita keislaman dan keikhlasan saja.
Kualifikasi keulamaan golongan ini tidak terlalu sentral sebab mereka lebih
tertarik bagaimana melakukan artikulasi aspirasi umat dalam konteks nasional.
Oleh sebab itu para pemimpin Islam ini biasanya potensial untuk menjadi
pemimpin nasional dibandingkan dengan ulama pesantren yang kokoh secara
mendalam di lingkungan komunitas lokalnya. Kategori di atas hanyalah kerangka
konseptual semata, sebab kadang-kadang juga ditemui adanya seorang ulama yang
sekaligus memiliki fungsi dan karakteristik ketiganya. [29]
Pluralitas
keulamaan Islam juga dapat dilihat dari segi perbedaan corak pemahaman
teologisnya. Adanya sekelompok ulama yang menyatakan dirinya sebagai penganut ahlussunnah
wa al-jama’ah, pemegang mazhab empat begitu ketat dan taat, sedangkan di
pihak lain terdapat sekelompok umat Islam lainnya yang secara keras menolak
bermazhab. Begitu pula dalam masyarakat Islam dikenal adanya ulama tarekat dan
non-tarekat, tarekat mu’tabarah dan ghair mu’tabarah dan ada juga
yang mengkhususkan dirinya sebagai figur magie-religie Islam atau bisa
disebut sebagai ulama kanuragan.[30]
Gelar ulama’ tidak disebabkan karena dilahirkan dalam
keluarga ulama’, dan tidak pula dilahirkan karena hasil pendidikan. Gelar itu
diberi oleh masyarakat muslim tidak hanya karena kealiman, tetapi juga karena
pelayanan dan pengaruhnya yang menguasai masyarakat muslim. Contoh yang umum
terjadi di masyarakat misalnya, seorang kyai berpengaruh dikurangi statusnya
menjadi hanya sebagai ustadz (guru ngaji) ketika fungsi agama dan sosialnya
terlepas darinya sebagai akibat pengucilan keluarga dan masyarakat atau karena
tiba-tiba ada menderita cacat mental dan kehilangan kepercayaan.[31] Kualitas individu ulama’ melebihi masyarakat dan
keterampilan untuk melakukan fungsi sosial agama adalah demikian penting bagi
pencapaian kekuatan dan pengaruh serta pengukuhan posisi mereka dalam
masyarakat.[32]
Menurut Ali Musthafa Ya’qub, ulama dapat dilihat minimal
dari lima kriteria, sehingga baru disebut sebagai ulama yang mewarisi kenabian[33] :
Pertama, memiliki ilmu agama Islam, dalam arti ia bukan sekedar
mengetahui ilmu-ilmu agama Islam untuk diamalkan pada dirinya sendiri,
melainkan juga mampu memberikannya kepada orang lain, minimal dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang disampaikan kepada orang lain. Jadi ulama
ahli waris Nabi hanyalah orang-orang yang ahli agama Islam yang batasan
mudahnya adalah mampu memahami al-Qur’an dan al-Hadis, atau dengan kata lain
mampu membaca kitab kuning, sebab orang yang tidak mampu membaca kitab kuning,
keahlian agamanya belum meyakinkan. Sementara kaum intelektual, cendikiawan,
dan sebagainya dapat saja disebut sebagai ulama hutan, seperti yang ahli bidang
kehutanan, tetapi dalam batas pengertian
ulama secara kebahasaan (lugathan), bukan secara terminologis ulama
sebagai pewaris para nabi.[34] Kedua, khasyah
kepada Allah ( rasa takut kepada Allah yang dibarengi dengan penghormatan dan
ketundukan. Ketiga, Zuhud dan orientasi ukhrawi, dalam pengertian sikap
untuk tidak mencintai dunia setelah dunia dia kuasainya. Keempat, akrab
dengan rakyat kecil. Kelima, berumur
empat puluh tahun, karena umur empat puluh tahun merupakan umur atau usia yang
matang bagi seseorang, dimana tidak lagi memiliki kegejolakan jiwa dan
ketidakstabilan kepribadian. Di sinilah rahasia kenapa para Nabi kecuali Nabi
Isa diangkat menjadi nabi pada usia yang keempat puluh. [35]
b. Tuan guru
Istilah tuan guru yang berkembang di kalangan
masyarakat Lombok identik dengan sebutan kyai haji yang berkembang pada
masyarakat Islam Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ia adalah tokoh agama Islam
yang dipandang sangat menguasai ajaran agama dalam segala aspeknya.[36] Para tuan guru dianggap oleh masyarakat sebagai
orang yang menguasai berbagai ilmu keislaman, termasuk bahasa Arab dengan
berbagai cabangnya, meskipun anggapan itu terkadang berlebihan dan belum tentu
benar. Sebab tidak semua kyai atau tuan guru belajar semua ilmu-ilmu
keislaman, baik di tanah suci Mekkah ataupun di tanah air dalam waktu yang cukup
untuk membekali diri sebagai tuan guru yang ideal. Di antara mereka
terdapat orang-orang yang sebenarnya belum pantas diangkat sebagai tuan
guru, namun karena kharismanya, atau kharisma orang tuanya yang menonjol,
sehingga yang bersangkutan disebut oleh masyarakat sebagai tuan guru dan
menjadi panutan mereka. Terlepas dari itu semua, keberhasilan tuan guru
dalam mengakulturasikan nilai-nilai Islam ke dalam kebudayaan Sasak biasanya
didukung oleh para tokoh elite kekuasaan meskipun hanya pada tingkat bawah atau
tingkat menengah.[37]
Dalam konteks keindonesiaan, tuan guru dapat
disamakan dengan kyai dalam masyarakat Jawa. Penyamaan kategorisasi ini
didasarkan pada kriteria yang ada kesamaan dalam berbagai aspek meskipun ada perbedaan
yang jelas antara gelar kyai dalam penyebutan komunitas masyarakat Lombok.[38]
Dalam terminologi masyarakat Sasak[39], Asnawi menyebutkan kriteria Tuan guru sebagai salah satu figur elite yang mempunyai kedudukan terhormat
dan menjadi panutan masyarakat. Dengan kualifikasi sebagai kelompok yang
memiliki ilmu pengetahuan agama Islam, mereka diakui sebagai penyebar dan
pemelihara ajaran Islam, khususnya dalam menegakkan amar ma'ruf nahi munkar.[40]
Berbeda persepsi dan penamaan masyarakat Sasak tentang
kyai, mereka menyebut kyai bukan seperti kriteria masyarakat Jawa, tapi kyai
dalam perspektif masyarakat Sasak adalah orang yang bertugas sebagai penghulu
nikah dapat disebut sebagai kyai, bahkan semua orang yang hadir dalam suatu
acara keagamaan seperti acara aqad nikah, tahlilan, atau syukuran (roah:
Sasak). Kesemua orang yang menghadiri acara tersebut diberikan gelar oleh
masyarakat sendiri sebagai kyai, kyai
dalam arti orang yang diundang dalam acara roahan (syukuran).[41]
Ahmad Abd. Syakur menjelaskan kata kyai dipakai di pulau
Lombok dengan mengandung beberapa pengertian. Pertama, kyai adalah tokoh agama
Islam dalam arti orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas. Kedua,
kyai bermakna sebagai orang yang sering diundang dalam acara do’a bersama
seperti upacara kenduren berkaitan dengan kematian, perkawinan, dan lain
sebagainya. Untuk pengertian ini di Lombok Timur, khususnya di Pancor, kyai
yang diundang untuk memimpin do’a bersama pada acara kenduren disebut kyai
tuan, kata tuan yang dimaksud adalah seseorang yang pernah
menunaikan ibadah haji. Ketiga, di kalangan masyarakat Islam Wetu Telu,
kata Kyai adalah sebutan untuk pemimpin agama di kalangan mereka, yaitu
penghulu yang berfungsi sebagai penghubung antara mereka dengan Tuhan.[42]
Reposisi Terminologi Tuan guru Sebagai Ulama
Terminologi tuan guru penting untuk dipertegas
kembali legalitasnya, sebab di kalangan masyarakat Sasak terjadi kekaburan
pemahaman tentang siapa dan bagaimana kriteria tokoh panutan yang biasa mereka
sebut dengan tuan guru haji .
Permasalahan sekarang adalah proses pendidikan atau
persiapan menjadi ulama sudah berubah, sedangkan dasar-dasar pengakuan
masyarakat umumnya tetap belum berubah. Orang-orang yang mempunyai pengetahuan
keulamaan dan syarat-syarat lain mungkin terus berkembang, tetapi ukuran yang
dipakai masyarakatnya
Ada beberapa kategorisasi dan persyaratan non-formal yang
biasa digunakan masyarakat untuk menyebut seseorang itu tuan guru dan
dapat juga disamakan dengan Ulama.[43] Namun demikian,
persyaratan dan kategorisasi tersebut selalu berubah seiring dengan tuntunan zaman.
Ada beberapa kriteria umum yang menyebabkan orang disebut
tuan guru:
1. Pengetahuan keagamaannya
Jangkauan
pengaruh tuan guru ini sangat tergantung pula pada keluasan pengetahuan
yang dimilikinya. Oleh karena itu, di tingkat yang lebih besar seperti
kabupaten dalam arti longgar, ada lagi tuan guru dengan penguasaan ilmu
yang sangat tinggi dan lengkap dengan jaringan komunitasnya yang juga lebih
luas.
2. Kesalehannya
Faktor
kesalehan, Imam Gazhali membuat
kategorisasi ulama menjadi dua jenis. Pertama, Ulama Sû’ (buruk)
atau ulama dunia dan ulama ghairu sû’
(baik). Performance-nya sulit dikenali, namun ia sekarang menurut
al-Gazali, mendominasi wacana keulamaan. Ulama model ini mendalam
pengetahuannya dalam bidang agama, tapi ia mempergunakannya untuk melegitimasi
kekuasaan, kepentingan pribadi dan perbuatan buruk. Kedua, ulama ghairu su’
(baik) yaitu ulama yang asketis dan memiliki unsur ortopraksi (kesalehan). [44]
Hanya saja, ortopraksi di sini tidaklah diukur dari berbagai aspek bentuk
aksesoris luar semisal pakaiannya yang lusuh, tasbihnya yang berat, sorbannya
yang menjuntai atau jalannya yang membungkuk. Kesalehan yang dimaksudkan disini
bukan juga membentuk lari dari dunia ramai yang sering digunakan oleh
agama-agama lain. [45]
Konsep
kesalehan dan asketisme ulama adalah seperti perkataan sahabat Umar, Kunnâ
fi annahâr rukbâna, wa fi al-laili ruhbâna, kita adalah pasukan kuda di
siang hari, dan pendeta di malam hari.[46] Tanpa
pretensi (berpura-pura) bahwa apa yang dipaparkan tentang ulama yang saleh di
atas telah memberikan gambaran yang lengkap tentang model itulah yang dikehendaki masyarakat, namun agaknya
faktor yang tidak bisa ditinggalkan adalah untuk seseorang sehingga ia disebut tuan
guru adalah faktor ilmu pengetahuannya, mengajar tanpa lelah, bersedia
kesana kemari, doa, puasa dan ibadah sunat, membaca al-Qur’an, masih tetap
dihargai namun itu bukan unsur yang paling dominan.
3. Keturunannya
Untuk
pengangkatan tuan guru karena faktor keluarga atau keturunan, dengan
pengertian bahwa seseorang karena silsilahnya dengan tokoh tertentu mendapat
hak dan status istimewa di kalangan masyarakat Sasak. Sekarang faktor ini sudah
mengalami kepudaran meskipun masih ada yang melekat bagi sosok tuan guru
yang disebabkan karena faktor keturunan. Siapa saja dapat menjadi tuan guru
asal diterima masyarakat sebagai tuan guru dan siapa pun dapat membuka
pesantren asal ada murid yang belajar kepadanya.
Pengangkatan
tuan guru karena unsur keturunan
sehingga pesantren menjadi milik dinasti
feodal pemimpin pesantren, menyebabkan lemahnya semangat pembaharuan dan
dinamika pengembangan intelektual generasi penerus pemimpin pesantren itu. “tuan
guru dinasti” ini menyebabkan hilangnya kontinuitas institusi atau
pesantren tersebut, karena keturunan belum tentu seorang yang baik. Sehingga,
apabila keturunannya kurang pandai memimpin pesantren, institusi tersebut dapat
runtuhdan yang lebih penting lagi adanya tuan guru dinasti ini
menyebabkan kultus pribadi yang secara teologis dilarang agama. Adanya system
kurikulum dan klasikal yang membutuhkan banyak tenaga pengajar juga meruntuhkan
eksistensi “dinasti tuan guru” ini.[47]
4. Jumlah muridnya.
Vedenbregt
memberikan batasan orang disebut ulama sebagai berikut: faktor keturunan,
faktor pengetahuan agama, faktor jumlah muridnya, dan cara pengabdian diri
kepada masyarakat. Karel A. Streenbrink menambahkan satu faktor lagi bagi
seseorang yang disebut ulama/tuan guru, yaitu ‘’prinsip wahyu’’, atau
ulama sebagai perantara wahyu.[48]
5. Ahli Membaca Kitab Kuning [49]
Fenomena
di tengah-tengah masyarakat tentang siapa yang lanyak disebut tuan guru
memang terlalu mudah dan gampang, padahal tuan guru tersebut pada
hakikatnya sama dengan ulama atau kyai, yang notabene mereka harus mampu
menggali sumber ajaran agama dari al-Qur’an, al-Hadis dan karya-karya ulama
berupa kitab-kitab berbahasa Arab.[50]
Tuntutan
persyaratan ini bukannya tidak beralasan sebab bagaimana tuan guru akan
menjawab segala persoalan keagamaan yang berhubungan dengan aspek hukum agama (syariah:
fiqh), jika tidak mampu mencari sendiri dari referensi aslinya, berupa
karya-karya ulama terdahulu, bahkan menurut penuturan Lukman al-Hakim, bahwa
baru layak disebut tuan guru adalah yang pernah bermukim mengaji di
Makkah, Mesir, Madinah. Sepulang mereka dari sana kemudian mengajarkan ajaran
Islam, maka sepantasnya seperti itulah yang dikategorisasikan sebagai tuan
guru.[51]
Persepsi
Masyarakat Tentang Kategori Tuan guru
Tuan guru dalam perspektif masyarakat Lombok merupakan sosok
profil yang amat disegani karena faktor keilmuan dan kiprahnya dalam
mengembangkan kepentingan masyarakat, dan kharisma yang dimilikinya merupakan
gelar kehormatan yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri.[52]
Pendapat Darmawansah tentang penamaan tuan guru
dalam perspektif masyarakat adalah individu-individu yang memiliki pemahaman
keagamaan yang luas serta mampu mengamalkannya dan memiliki akhlak yang mulia
serta melekat pada dirinya kharisma yang membedakan dirinya dengan masyarakat
umum.[53]
Asnawi menjelaskan bahwa tuan guru adalah
fungsionaris agama Islam yang memiliki kharismatik pada etnis Sasak. Pada
umumnya gelar itu diberikan oleh masyarakat kepada mereka yang sudah menunaikan
ibadah haji dan memiliki tempat memberikan
pengajaran agama Islam seperti majlis ta’lim dan sejenisnya. Gelar ini
disingkat dengan T.G.H. (tuan guru Haji)[54]
Mamiq Shohimun Faishal menegaskan bahwa tuan guru
merupakan gelar keagamaan yang disandang oleh orang yang memiliki basis jama’ah
dikarenakan memiliki kharisma dan wibawa di tengah-tengah komunitasnya,
meskipun tidak disyaratkan menguasai kitab kuning dan tidak mesti sudah
melaksanakan ibadah haji.[55]
Definisi yang disebutkan oleh Haji Lalu Sohimun Faisol ini
agaknya berbeda dengan apa yang dikatakan oleh komunitas masyarakat secara
umum, bahwa tuan guru itu mesti harus berhaji, sebab penyebutan tuan
itu merupakan implikasi dari kata haji (Al-haj: Arab) sedangkan bahasa
Sasak menyebutnya tuan, contoh bapak tuan (baca: Sasak) artinya
bapak yang telah berhaji, Songkok tuan (Baca: Sasak) artinya peci haji.
Ciri yang paling esensial bagi suatu komunitas Sasak adalah adanya tuan guru
di masing-masing komunitas mereka. Tuan guru pada hakekatnya adalah
gelar yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai ilmu di bidang agama dalam
hal ini agama Islam. Terlepas dari anggapan tuan guru sebagai gelar yang
sakral, maka sebutan tuan guru
muncul di dunia pondok pesantren.[56]
Pendapat lain tentang tuan guru disampaikan oleh TGH.
M.Zainul Madji, MA yang mengatakan bahwa tuan guru merupakan tokoh
sentral persoalan keagamaan bagi masyarakat sehingga bobot tuan guru itu harus
tinggi, terutama penguasaannya terhadap kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab.
Dengan penguasaannya terhadap kajian-kajian keagamaan tersebut, baru pantas
disebut sebagai tuan guru, meskipun di kalangan masyarakat gelar
tuan guru tersebut sangat mudah
diberikan kepada seseorang. [57]
Secara sederhana TGH. M. Sibawaihi memberikan batasan
tentang tuan guru itu adalah orang yang memiliki rasa takut yang
mendalam kepada Allah (Khasyah) karena ilmu yang dia miliki, bukan berarti
harus memiliki ilmu yang tinggi tapi yang terpenting adalah akhlak mulia dan
mampu menjadi panutan masyarakat serta dapat mengayomi masyarakatnya sesuai
dengan kemampuannya. Dengan demikian kharismatik itu akan dianugerahkan oleh
Allah.[58]
Berbeda dengan komentar TGH.L.Anas Hasry, yang mensyaratkan
harus mampu membaca kitab kuning dan berakhlak layaknya seorang ulama, sebab
ulama itu pewaris para nabi sehingga secara otomatis sifat siddiq
(jujur), amânah (terpercaya) tablîgh (menyampaikan pesan dakwah),
fathânah (cerdas), melekat pada tuan guru yang berakhlak ulama. [59]
Ditambahkan oleh TGH. Shafwan Hakim, bahwa syarat utama
dikatakan sebagai seorang tuan guru adalah keterpaduan antara ilmu ma’al amal
dengan khasyatullah, artinya seorang yang berilmu agama yang baik serta ilmunya
diamalkan sekaligus diajarkan kepada orang yang membutuhkannya, dan secara umum
orang disebut tuan guru jika pernah menunaikan ibadah haji.[60]
Amaq Mariani menegaskan bahwa tuan guru adalah
orang yang pernah melakukan ibadah haji sehingga disebut dengan tuan aji,
kemudian aktif menjadi guru masyarakat, menjadi panutan masyarakat, terlepas
dari keilmuan yang dimilikinya, apa mendalam atau tidak, yang penting adalah
ada pengakuan dari masyarakat tentang status sosialnya.[61]
H.Sahri Ramadhan, mengungkapkan konsepnya tentang Tuan
guru bahwa tuan guru itu mutlak diguru dan ditiru karena ilmunya yang
memumpuni, pengayom masyarakat dan aktif membina masyarakat melalui pengajian
maupun melalui lembaga pendidikan formal.[62]
Inak Sinaref mengungkapkan pendapatnya tentang konsep
tuan guru sebagai tempat orang berguru, tempat orang mengaji, tak ubahnya
seperti tuan tanah yang memiliki banyak tanah. Artinya bahwa tuan guru
merupakan sosok yang menjadi panutan masyarakat sehari-hari.[63]
Amiq Ajar, menegaskan bahwa tuan guru itu orang yang taat
kepada Allah dan memiliki akhlak yang mulia serta bisa membimbing masyarakat ke
jalan yang benar.[64]
TGH. M. Habib Thantawi, memberikan paparan tentang konsep
tuan guru sebagai tokoh agama yang mengerti selukbeluk agama secara baik dan
benar sesuai kaidah-kaidah al-Qur’an dan al-Hadis serta dapat menggali secara
lansung dari sumber hukum agama, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, di samping
memiliki murid atau jamaah juga harus memiliki lembaga pendidikan seperti
pondok pesantren.[65]
Kepala Desa persiapan Saribaye Sarawan Sukadani, ST memberikan
batasan-batasan tentang penyebutan tuan guru pada aspek keilmuan dan kepedulian
sosial kepada masyarakat dengan mengedepankan etika keilmuan yang mumpuni,
etika yang termulia, serta keahlian membaca kitab secara lansung dari sumber
aslinya.[66]
Muhammad Sa’i menegaskan bahwa tuan guru itu merupakan sosok
manusia yang memang berbeda perlakuannya dengan manusia secara umum karena
kharisma yang dia miliki, ilmu agama yang mendalam dan memiliki majelis ta’lim
kemasyarakatan sekaligus memimpin pondok pesantren. Kreteria ini memang ideal
tapi terkadang di tengah-tengah masyarakat penyebutan gelar tuan guru kepada
seseorang menjadi bias, karena ada faktor-faktor lain yang mengindikasikan
kearah penyebutan gelar tersebut. [67]
Pendapat-pendapat lain yang peneliti analisa dari 200
responden yang mengisi kuesioner tentang konsep tuan guru, berkisar pada
aspek; 1) kepribadian; kharima, akhlak,
kesalehan 2) Kapabilitas; keilmuan, kecerdasan 3) Kapasitas; pengayom
masyarakat, guru ngaji, da’i, 4) Pengakuan
sosial; adanya legitimasi dari masyarakat tentang kepantasan disebut sebagai tuan guru.
Intinya adalah tuan guru dalam masyarakat Lombok ada
sedikit perubahan konsep, yang dulunya masyarakat sangat sulit memberikan
legitimasi kepada seseorang untuk disebut menjadi tuan guru, gelar tuan
guru baru diberikan, jika dilihat dalam aspek pengabdiannya kepada masyarakat
karena ilmu yang dimilikinya dan berinteraksi dengan masyarakat dalam tempo
yang relatif lama. Namun seiring dengan perkembangan zaman, penyebutan
seseorang menjadi tuan guru begitu longgar dan gampang, sekedar bisa ceramah,
pidato, kemudian pernah berhaji, tanpa dilihat sepakterjangnya di tengah-tengah
masyarakat, gelar tuan guru begitu cepat disematkan kepada orang tersebut.
Tipologi Tuan guru Dalam Konteks Masyarakat Lombok
Dalam
kajian sosiologi dapat dipetakan stratum sosial
masyarakat menjadi stratum sosial kelas bawah, kelas menengah dan kelas
atas. Stratifikasi masyarakat itu merupakan suatu hal yang berjalan sebanding
dengan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan agama masyarakat setempat. [68]
Dalam
konteks keislaman stratum sosial masyarakat pada esensinya tidak ada perbedaan,
yang membedakan adalah kadar keagamaan masyarakat itu sendiri. Dalam pengertian
tambah tinggi nilai penghayatan mereka terhadap nilai keagamaan, secara tidak
lansung pengamalan dan pengaflikasian nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan
sehari-hari mereka akan tercipta dan terrealisasikan. Pengamalan nilai-nilai
keagamaan ini merupakan barometer ketaqwaan seseorang di hadapan Allah dan
inilah yang biasa disebut dengan ''amalun solihun'', yang menjadi
pengejawantahan iman dan ihsan seseorang kepada Allah SWT.[69]
Dalam
konteks keberagamaan masyarakat Sasak di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat,
dapat disebutkan bahwa stratum keagamaan mereka dapat dikatakan sangat
bervariatif. Hal ini dapat dilihat dari corak pemahaman masyarakat Sasak tentang
pemahaman mereka terhadap agama secara umum masih sangat parsial, dan sangat
tergantung kepada ajaran tokoh yang menjadi tokoh panutan mereka terhadap
agama. Tokoh panutan mereka itu lazim disebut dengan Tuan guru, Guru,
atau Maulanassyeikh, hadhratussyaikh, dll.[70]
Secara
sederhana masyarakat memahami arti tuan guru yaitu orang yang sudah
melaksanakan ibadah haji yang kemudian ditambah namanya di awal nama aslinya,
dan orang yang telah berhaji tersebut memiliki keahlian di bidang agama sesuai
dengan kadar pengakuan masyarakatnya, dan memiliki akhlak yang dipandang mulia
oleh agama dan masyarakat sehingga di saat membimbing dan mengayomi
masyarakatnya diberikan sebuah sebutan gelar kehormatan yang mereka sebut tuan
guru Haji (disingkat T.G.H.).
Berdasarkan
pemaknaan sederhana tersebut diatas, dapat diklasifikasikan tuan
guru dalam perspektif
masyarakat Sasak secara umum.
1.
Tuan guru dato’, tuan guru toak, tuan guru wayah,tuan
guru lingsir[71]: adalah tuan guru yang berusia lanjut diatas umur
60-an tahun, dan biasa tuan guru lingsir ini menjadi panutan dan anutan
dalam segala tindak tanduk kehidupan masyarakat, baik dalam urusan dunia
seperti akan membangun rumah minta do'a berkat dari sang tuan guru lingsir (lingsir: tua: Sasak), lebih-lebih
dalam urusan akhirat. [72]
2.
Tuan guru bajang: tuan guru yang relatif masih muda dan
segar bugar, berumur sekitar 30-an sampai 40-an, dan memiliki keahlian dalam
bidang agama dan memimpin majlis taklim atau jama'ah pengajian. (bajang:
muda: Sasak).[73]
Dalam
aspek kehidupan sosial kemasyarakatan tuan guru di kalangan masyarakat
Sasak dapat dipetakan menjadi beberapa kriteria, antara lain:
a)
Tipe Pertama, tuan guru yang menguasai kitab kuning tetapi wawasan
keilmuan dan kemasyarakatannya terbatas atau pas-pasan.
b)
Tipe Kedua, tuan guru yang memiliki kemampuan
handal dalam ilmu agama (kitab kuning), dan memiliki wawasan yang luas terhadap
perkembangan zaman.
c)
Tipe Ketiga, tuan
guru yang terjun ke dunia politik praktis.
Di dekade akhir-akhir ini
profesi yang ditekuni tuan guru beraneka ragam, sehingga mengakibatkan banyak tifologi tuan guru,
yaitu: Pertama, tuan guru politisi adalah tuan guru yang memiliki
kecendrungan pada persoalan politik dan memilih belantara dunia politik sebagai
ladang perjuangannya. Kedua, tuan guru pengusaha, adalah tuan guru
yang menekuni dunia usaha dan bisnis, di samping pengasuh pondok pesantren. Ketiga,
tuan guru budayawan, adalah tuan guru yang menekuni bidang seni
dan budaya dan menjadikan bidang itu sebagai media dakwah. Keempat, tuan
guru intelektual, adalah tuan guru yang menggeluti dunia pemikiran
dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Meminjam
istilah Endang Turmuzi dalam temuannya di Jombang tentang pembedaan kyai
menjadi empat.[74]
Di Lombok juga dapat dibedakan menjadi
empat kategorisasi tuan guru; tuan guru pesantren, tuan
guru tarekat, tuan guru politik, dan tuan guru panggung.
Tuan
guru
pesantren, memusatkan perhatiannya pada aspek pendidikan dan pengajaran di
pesantren dalam upaya mentransformasikan sumber daya manusia (SDM) ke arah yang
lebih baik.[75]
Tuan guru tarekat memusatkan kegiatannya dalam aspek membangun
spiritual/ dunia hati umat Islam. Karena tarekat di Lombok dapat
dikategorisasikan sebagai sebuah lembaga yang tumbu subur, dan memiliki banyak
akses terhadap perubahan prilaku masyarakat.[76]
Tuan
guru
politik, dapat dikatakan hanya merupakan kategori campuran ia merujuk pada para
tuan guru yang mempunyai concern terhadap politik guna mengembangkan
pesantren, lembaga, organisasi yang mereka pimpin secara politis.[77]
Sedangkan tuan guru panggung adalah para da’i, aktivitas mereka
menyebarkan dan mengembangkan Islam melalui kegiatan dakwah, tuan guru
panggung biasanya bersifat lokal, dikenal di komunitas mereka sendiri, tapi
bisa juga tuan guru panggung melewati batas-batas territorial, karena
sudah dikenal kepiawaiannya dalam berdakwah.[78]
Kategori
pembedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan melekat pada satu sosok tuan
guru di samping sebagai tokoh pesantren, tokoh tarekat, atau tokoh politik,
atau seorang da’i.[79]
Kategori
lain dari pemahaman masyarakat Sasak tentang tipologi tuan guru, jika
dilihat dari aspek cakupan wilayah dakwah dan keluasan keilmuannya, dapat
dipetakan menjadi bagian:
Pertama,
tuan guru beleq (Sasak: Besar). Pengertian tuan guru beleq
ini merupakan pengakuan masyarakat bahwa tuan guru tersebut memiliki
keilmuan yang tinggi dan memiliki karya ilmiah yang diakui oleh masyarakat lokal,
nasional bahkan internasional. Pengakuan ini didasari pada aspek pengaruh
keilmuan tuan guru dalam masyarakat, sehingga cakupan wilayah dakwah
tidak hanya terbatas pada wilayah di mana tuan guru itu berdomisili.[80]
Kedua adalah tuan guru kodeq (kecil:
Sasak). Pengkategorisasian ini dilandasi pada aspek wilayah cakupan dakwah yang
hanya terbatas pada komunitas tuan guru itu sendiri, sehingga masyarakat
di luar komunitasnya tidak terlalu dikenal, meski secara keilmuan keagamaan tidak diragukan.[81]
Tipologi atau pengkategorisasian tuan
guru seperti di atas, secara sosiologis dapat dilihat sebagai suatu
keragaman dan varian kondisional tergantung dari aspek apa masyarakat melihat
kategorisasi tersebut.
SIMPULAN
Berdasarkan permasalahan pokok pada kajian ini, dapat
disimpulkan bahwa
Pertama, dilihat dari asal muasalnya, kata tuan guru
berasal dari bahasa Melayu, tuan yang berarti orang yang dimuliakan,
atau tuan berarti majikan, atau tuan berarti yang mulia.
Sedangkan guru dimaknai sebagai orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada
orang lain, atau guru juga berarti yang
ditiru dan diguru. Kekhususan aktivitas yang dimiliki oleh tuan guru menjadi
pembeda yang jelas antaraguru pesantren, guru madrasah, da’i, dan sebagainya.
Seleksi terhadap siapa yang layak menjadi tuan guru terjadi secara
alamiyah. Bisa diangkat dari masyarakat setempat atau mengambil orang dari
lingkungan lain yang dianggap mumpuni untuk melakukan tugas sebagai tuan
guru. Keberadaan secara individu lebih terbentuk dari lingkungan keluarga
muslim. Standar kepantasan diukur dari segi keilmuaannya, pola pikir, pola
sikap, dan pola perilakunya yang senantiasa berpijak pada ajaran al-Qur’an.
Kedua, gelar tuan guru harus dilihat dari dua sisi yang
berbeda; pertama; sisi normatif (al-Qur’an, al-Hadist dan pendapat-pendapat
mayoritas Ulama) yang menunjukkan idealnya seseorang disebut sebagai tuan guru
sehingga dengan demikian posisi tuan guru sebagai tokoh agama (religious
leader) dapat diposisikan sebagaimana mestinya. Kedua; sisi sosiologi,
artinya bahwa masyarakatlah yang memberikan gelar kepada seseorang yang mereka
anggap sebagai tuan guru bukan orang itu sendiri yang mengklaim dirinya sebagai
tuan guru. Sehingga gelar tuan guru itu dapat diposisikan sebagai gelar
informal yang memiliki legalitas dan pengakuan masyarakat secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
al-Gazhali,
Abu Hamid, Ihya’ Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1413)
al-Gar,
Hamid, Religion and State in Iran:
The Role of the Ulama’ in the Qajar Period, (Berkeleyu: University
of California Press, 1969).
al-Majlisi,
Syaikh Muhammad Baqir, Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah
al-Athar, Juz II,) Beirut : Dar Ihya’ al-Turast al-Arabi, tt
Ali,
A. Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali Press,
1987)
Asnawi, Agama dan Paradigma Sosial: Menyingkap
Pemahaman Masyarakat Sasak Tentang Taqdir Allah Dan Kematian Bayi (Jakarta:
Sentra Media, 2006), cet. 1.
Azra,
Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta:
Paramadina, 1997)
Baer,Gabriel, The Ulama’ in Modern History: Asian African
Studies. Vol. 7, (Jerusalem: Israel Oriental Society, 1971)
Buchari, Muchtar, Nurcholis Madjid,
Taufiq Abdullah, Muslim Abdurrahman, Pandangan & Sikap Hidup Ulama:
Acuan Penelitian, dalam Jurnal Nadhar Buletin Tak Berkala Penelitian Agama
dan Masyarakat, Seri 1 Juli 1986.
Burhanuddin, Jajat, dan Dina Afrianty
(Ed), Mencetak Muslim Modern: Peta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Rajawali Press dan PPIM, 2006) cet. 1.
-----------------, Jajat, The
Fragmentation of Religious Authority: Islamic Print Media in Early 20th
Century Indonesia, dalam Studia Islamika, Volume II, Number, 1.
Dhofier, Zamakhsari, The Pesantren
Tradition: The Role of The Kyai in Meintenance of Traditional Islam in Java
(USA: Shouthest Asian Studies, 1999)
Eksan, Much, Kiai Kelana: Biografi
Kiai Muchith Muzadi (Yogyakarta: LKiS, 2000), Cet.1.
Hasan, Muhammad Tholchah, Islam dalam
Perspektif Sosio-Kultural (Jakarta: Lantabora Press, 2000) cet.1.
Haris, Samsuddin, Dua Tradisi
Keulamaan di NTB, dalam Jurnal Nadhar: Buletin Tak Berkala Penelitian Agama
dan Masyarakat, Seri 2 September 1986.
Horikoshi, Hiroko, A Tradisional
Leader in a Time of Change: The Kijaji and Ulama in West Java (USA:
Urbana-Champaign, 1976).
Izutsu, Toshihiko, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Institute of Islamic
Studies: McGill University Press, 1996)
Kingley, Devis, Human Society (
New York: The McMillan Company, 1960), Cet. 2.
Madjid, Nurcholis, Tradisi Islam Peran dan Fungsi dalam
Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997)
Mas'ud, Abdurrahman, Dari
Haramain Ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
(Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006), Cet. 1.
---------, Abdurrahman, The
Pesantren Architects and Their socio-Religious Teaching, (UCLA: New York,
1997), PhD Dissertation.
Marthin, Richard C., Encylopedia of
Islam and The Muslim World (USA: MacMillan Reference, Thomson Glate, cet.
V. Vol. 2.
Mukhtar, Maksum, Madrasah: Sejarah
dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), cet.3.
Raharjo, M.Dawam, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996)
Rahman,Abdul, Guru Ngaji,
Masyarakat dan Pemimpin Yang Baik (Menuju Reformasi Kultural) (Jakarta:
Lisantara, 2007), cet.1.
Syakur, Ahmad Abd, Islam dan
Kebudayaan: Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Budaya Sasak (Yogyakarta:
Adab Press, 2006).
Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Misbah
Pesan-pesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002) cet.
1.
Subki,
Badarudin H, Dilema Ulama’ dalam Perubahan Zaman (Jakarta: Pelita, 1995)
Sonhaji, A. Munir, “Pesantren As Model
Of Non-Formal Islamic Education” dalam International Journal of Pesantren
Studies (Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren in Collabortion
with The Ministry of Religious Affairs of Indonesia and Institute for the Study
of Religion and Democracy (IRD), Volume 1, Number 1, 2007.
Streenbrink, Karel A., Pesantren,
Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3S,1987) cet. 1.
Turmudi, Endang, Perselingkuhan
Kyai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2003)
Ya’qub, Ali Musthafa, Islam Masa
Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet. 1.
Zaman, Muhammad Qasim, The
Ulama’ in Contemporary Islam: Custodians of Change (New Jersey: Princeton
University Press, 2002, cet.1.
Ziemek, Mamfred, Pesantren Dalam Perubahan Sosial
(Jakarta : P3M,1986)
* Alumni Program Strata Tiga Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dosen Tetap Fakultas Dakwah IAIN
Mataram NTB, Jln. Pendidikan No. 35 Mataram, Email: roziqi_iain@yahoo.co.id. HP.081
803 669 310.
[1]Materi-materi
keagamaan yang dijadikan referensi oleh pimpinan pesantren/Tuan Guru/Kyai,
meliputi, Fiqh, Tafsir, Tauhid, Tarikh, Adab, Hadist, Nahwu, Sharaf, Ushul
Fiqh, Ilmu Manthiq, Balagah, Ilmu Falaq, dll. dengan kitab-kitab yang
bervariatif sesuai kecendrungan pimpinan pesantren itu sendiri, Lihat, Maksum
Mukhtar, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001), cet.3. 104.
[2]Social
recognition mensyaratkan adanya sifat-sifat yang dinilai istimewa oleh
suatu komunitas, sehingga konsep dan ide yang diutarakan oleh orang yang
menerima pengakuan tersebut selalu menjadi referensi bagi kehidupan suatu
masyarakat. Diantara syarat-syarat tersebut adalah, seseorang tersebut arif dan
bijak dalam menyikapi persoalan dalam masyarakat, tidak melanggar mainstream
yang menjadi pemahaman umum masyarakat, serta memiliki etika, dan
intelektualitas.
[3]Jajat Burhanuddin
dan Dina Afrianty (Ed), Mencetak Muslim Modern: Peta Pendidikan Islam di
Indonesia (Jakarta: Rajawali Press dan PPIM, 2006) cet. 1. 48. Lihat juga,
Masnun, Perkembangan Islam di Nusa Tenggara Barat: Studi Tentang Pemikiran
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (Jakarta: Perpustakaan
Pascasarjana UIN Jakarta), disertasi, 2004,289.
[4]Istilah
Abdurrahman Mas’ud, bahwa kebiasaan dan kesederhanaan kyai (Tuan guru: pen)
yang bersikap konsumerisme, sehingga sifat kesederhanaannya tidak tercermin
dalam pola sikap dan tingkah laku sehari-harinya. Budaya ini yang kemudian dia
sebut sebagai cultural maintenance, yaitu mempertahankan budaya dan
tetap bersandar pada ajaran dasar Islam. Dalam konteks ini bisa dipahami jika
pesantren sebagai basis sosial Tuan Guru, selalu dihubungkan dengan khazanah
yang berupa kesinambungan ideologis dan historis serta mempertahankan budaya
lokal (a historical and idealogical continum with its cultural maintenance).
Lihat, Abdurrahman Mas’ud, The Pesantren Architects and Their
socio-Religious Teaching (UCLA: New York, 1997), PhD Dissertation,
258.
[5]Mengutip penjelasan
Kyai Hazim Muzadi dalam Peringatan Hari Ulang Tahun (HULTAH) Nahdlatul Wathan
Diniyah Islamiyah (NWDI) ke-73 dan Haul Wafatnya Maulanassyeikh TGKH M.
Zainuddin Abdul Majid di Pancor Lombok Timur,Tgl 8 Sya’ban 1429 H/10 Agustus
2008 M. Hasyim menjelaskan tentang
perbedaan ulama dan cendikiawan sebagai berikut: Ulama
adalah sebutan lansung dari Allah dan Rasulnya dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
Sedangkan gelar-gelar sejenisnya seperti: Tuan Guru: masyarakat Sasak Lombok, Buya
oleh masyarakat Sumatera Barat, seperti Buya Hamka, Abu/Tengku oleh
masyarakat Aceh, Mbah sebutan
masyarakat Jawa Tengah, Kyai
sebutan masyarakat Jawa Timur, sedangkan masyarakat Kalimantan menyebutnya
dengan sebutan Guru. Jadi gelar-gelar keagamaan tersebut sebetulnya yang
menyebut adalah lingkungannya. Lebih lanjut Hasyim Muzadi menjelaskan
bahwa ulama itu orang yang alim dengan
ilmunya cocok dengan tindakannya, cocok dengan keilmuannya itu adalah khasyatallah
dan ilmu amaliah dan amal ilmiyya,
Jika ilmu itu hanya untuk ilmu maka cukup menjadi cendikiawan.
[6] Much Eksan, Kiai
Kelana: Biografi Kiai Muchith Muzadi (Yogyakarta: LKiS, 2000), Cet.1. 16.
[7] Safri Sairi dkk, Materi Kuliah
Metodelogi Penelitian Administrasi Publik (Yogyakarta: MAP UGM, 2002). 8.
[8] Dalam perkembangan Ilmu Sosiologi dan Anthropologi ada paradigma yang
dibangun dalam aspek representasi sampel penelitian, yang tidak selalu
menggunakan standarisasi sampling penelitian, satu atau dua orang dijadikan
sebagai informan asalkan dapat memberikan data yang dikaji dapat dijadikan
sebagai sumber data, tidak mesti harus rendom sesuai dengan jumlah populasi
yang ada dalam setting penelitian. (lihat, M. Bambang Pranowo, Dr. Prof), Islam
Faktual Antara Tradisi dan Relasi Kuasa (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa,
1998) h. 12. lihat juga, M. Bambang Pranowo, Creating Islamic Tradition in
Rural Java, Melbourne: Department of Anthropology and Sociology Monash
University, 1991) h. 45.
[9] Moleong, Metodelogi Penelitian.,
225.
[10]Kata ulama adalah bentuk jamak (plural) dari kata ‘âlim, yang
terambil dari kata ‘alima yang mengetahui secara jelas. Oleh karena itu,
semua kata yang terbentuk dari huruf-huruf ‘ain, lam, mim, selalu
menunjuk pada makna kejelasan, seperti ‘a’lam (bendera), ‘âlam
(alam raya, makhluk yang memiliki rasa atau kecerdasan), alâmah
(alamat). Lihat, M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan-pesan dan
Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002) cet. 1. 466.
[11]M.Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Quran
Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina,
1996) 688.
[12]Muhammad Thalhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural
(Jakarta: Lantabora Press, 2000), ed.ke-2.187.
[13]Richard C. Marthin, Encylopedia
of Islam and The Muslim World (USA: MacMillan Reference, Thomson Glate,
cet. V. Vol. 2-M-Z, index, 703-705. Ulema: literally “those who have
knowledge” or those who know”, singular ‘alim, plural Ulama’. The term is most
widely used to refer to the scholary class of muslim societies, whose main
accupation is the study of the texts that make up the Islamic tradition
religious sciences such as Quran, hadits.
[14] Jajat Burhanuddin,
The Fragmentation of Religious Authority: Islamic Print Media in Early 20th
Century Indonesia, dalam Studia Islamika, Volume II, Number, 1.23.
[15] M.Dawam Raharjo, Ensiklopedi, 689.
[16] Sayyid Quthub, Tafsir
Fi Zhilal al-Qur’an (Beirut : Dar al-Fikr, 1416), cet.1.56.
[17]Hujjatul Islam Abu
Hamid al-Gazhali, Ihya’ Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Kutub
al-Mishriyyah, 1413), Cet. 1, Juz. 1. 68.
[20]Hamid Al-Gar, Religion and State in Iran: The Role of the
Ulama’ in the Qajar Period (Berkeley: University of California
Press, 1969)11.
[21] Gabriel Baer, The Ulama’ in Modern History: Asian African
Studies. Vol. 7 (Jerusalem: Israel Oriental Society, 1971) 12.
[22]Nur Yalman, Some Observations on Secularism in Islam: The
Cultural Revolution in Turkey (Deadales: Winter 1973, Post
Traditional Societies: 139.
[23]Menurut Ibn Abbas
dalam suatu riwayat menyatakan bahwa ulama ialah orang yang tidak
mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu apapun, yang menghalalkan yang telah
dihalalkan Allah dan mengharamkan yang telah diharamkan-Nya, menjaga perintah
Allah, dia akan bertemu dengan-Nya. Sedangkan menurut Ibn Katsir, ulama adalah
orang yang benar-benar ma’rifatnya kepada Allah SWT sehingga mereka takut
kepada-Nya. (Lihat Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Beirut: Dar
al-Ma’arif, 1418) Juz. 3. 553.
[24] Dalam bahasa
Indonesia, ulama berarti sebagai orang yang ahli dalam pengetahuan agama Islam
(Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), cet.ke-2.1239.
[25]Nurcholis Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsi dalam
Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997) 33.
[26]Hiroko Horikoshi, A
Tradisional Leader in a Time of Change: The Kijaji and Ulama in West Java (USA:
Urbana-Champaign, 1976). A Thesis for the degree of Doctor of Philosophy in
Anthropology in Graduate College of University of Illinois.35.
[27]Muchtar Buchari,
Nurcholis Madjid, Taufiq Abdullah, Muslim Abdurrahman, Pandangan & Sikap
Hidup Ulama: Acuan Penelitian, dalam Jurnal Nadhar Buletin Tak Berkala
Penelitian Agama dan Masyarakat, Seri 1 Juli 1986. 7.
[28]Muchtar Buchari,
Nurcholis Madjid, Taufiq Abdullah, Muslim Abdurrahman, Pandangan. 7.
[29] Muchtar
Buchari,Dkk., Pandangan. 8.
[30]Muchtar
Buchari,Dkk., Pandangan, 8.
[31]Zamakhsyari, Tradisi
Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1993) 44.
[32]Multiple discourses
have long existed side by side in the
world of the ulama ; and in respect egain, the modern ulama’ are often
not altogether different from their precursors. (Muhammad Qasim
Zaman, The Ulama’ in Contemporary Islam: Custodians of Change (New
Jersey: Princeton University Press, 2002, cet.1. 187). The ulama see every where only injustice,
conspiracy, and affliction, but not the new opportunities that are aqually the
product of transformations of modernity. (Muhammad Qasim Zaman, The
Ulama’, 181).
[33] Lihat Ibnu Majah, Sunan
Ibnu Majah, dalam riwayat hadist, Ulama itu ahli waris para nabi,
sementara para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mewariskan ilmu.
[34] Ali Musthafa
Ya’qub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet. 1.118.
[35] Ali Musthafa
Ya’qub, Islam., 119-122.
[38]
Istilah M. Dawam Raharjo yang mengatakan bahwa pada umumnya di masyarakat kata kyai
dalam masyarakat Jawa dapat disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam
khazanah Islam, malahan yang disebut istilah kyai oleh masyarakat awam
al-muslimin lebih popular, yaitu orang-orang yang memiliki pengetahuan yang
disinyalir oleh al-Qur’an sebagai hamba-hamba Allah yang paling takut (Q.S.
Fathir: 28) dan orang-orang yang menjadi pewaris sah para nabi (H.R.Turmuzi)
(lihat M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi
al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci ( Jakarta:
Paramadina, 1996) 691.
[39]Agar tidak menimbulkan kesimpulan yang keliru, kiranya
perlu diberikan batasan terlebih dahulu istilah “masyarakat Sasak” yang
dimaksud disini. “Sasak” dalam tulisan ini adalah masyarakat yang beretnis
Sasak yang masih komitmen terhadap kebudayaannya dan ada semangat ikatan
primordialisme yang kuat. (Lihat, Asnawi, Agama dan Paradigma Sosial:
Menyingkap Pemahaman Masyarakat Sasak Tentang Taqdir Allah Dan Kematian Bayi
(Jakarta: Sentra Media, 2006), cet. 1.10.
[41]Batasan “masyarakat Sasak” tidak membedakan orang Sasak
dalam varian mereka sebagai keturunan menak (ningrat: Jawa) seperti
sebutan Lalu, Lale, Baiq, Mamiq, atau keturunan Jajar Karang (orang
biasa yang bukan keturunan raja). Kesemuanya menyatu dalam ikatan kesasakan
yang mereka sandang, bahkan varian-varian strata sosial tersebut sudah mulai
berakulturasi dengan yang lain sehingga strata sosial tersebut tidak menjadi
suatu hal yang membuat jarak sosial yang satu dengan yang lain menjadi
renggang, melainkan bisa diterima sebagai suatu keniscayaan dalam pergaulan,
baik pergaulan dalam bidang budaya, adat, sosial, lebih-lebih dalam bidang
agama.(Lihat, Asnawi, Agama dan Paradigma Sosial: Menyingkap
Pemahaman Masyarakat Sasak Tentang Taqdir Allah dan Kematian Bayi (Jakarta:
Sentra Media, 2006), cet. 1. 11.
[43] Penyamaan gelar Tuan
Guru dengan ulama dapat dilihat dari aspek keilmuan yang dimiliki oleh seorang
Tuan Guru sebagai orang yang ahli dalam bidang agama, keikhlasan dalam
berjuang, kesederhanaan dalam kesahajaan, khasyyatullah (selalu merasa
diawasi oleh Allah/takut kepada Allah), dan sifat-sifat keulamaan yang melekat
pada gelar Tuan Guru itu sendiri.
[44] Abu Hamid AL-Gazaly, Bidayatul Mujtahid (Kairo: Dar al-Israq, ttp),
jilid. 1, 67.
[45] Ghazali mempertegas bahwa ulama itu dalam aspek lain dibagi menjadi tiga
macam ; pertama, ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain dengan
mengejar-ngejar kesenangan duniawi. Kedua, ulama yang menyelamatkan dirinya dan
orang lain dengan menyeru dan memanggil manusia untuk berbakti kepada Allah
SWT secara lahir dan bathin. Ketiga,
ulama yang membinasakan dirinya, tapi menyelamatkan orang lain, pada lahirnya
dia memanggil masnusia untuk mengerjakan kebaikan tetapi secara diam-diam dia
sendiri hanya mengejar-ngejar harta untuk mencari kekayaan dan kedudukan dunia,
(Lihat, Imam Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm al-Din (Beirut: Darul Ma’arif, 1415
H), jilid 2.cet..2.,37.
[46] Abu Hamid AL-Gazaly, Bidayatul, 68
[47]Dalam banyak kasus di pesantren di Lombok, sepeninggal pencetus dan pendiri
pesantren tidak jarang terjadi kekosongan kepemimpinan bahkan keruntuhan
pesantren itu sendiri disebabkan karena tidak ada keturunan pendiri yang
melanjutkan pesantren itu sendiri dan tidak sedikit pesantren di Lombok yang
memiliki pimpinan karena factor keturunan dan charisma orang tuanya, meskipun
penerus ini tidak ahli betul dalam bidang agama, bahkan menejemen, tapi karena
menjadi anak Tuan Guru secara otomatis masyarakat mengklaim menjadi pengganti
dan penerus perjuangan orang tuanya, yang selanjutnya mereka sebut sebagai Tuan
Guru.
[48]Karel A. Streenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta:
LP3S,1987) cet. 1.,109-110.
[49]Kitab yang berbahasa Arab dengan tanpa harakat, biasanya dalam komunitas
pesantren penyebutan kitab kuning diidentikkan dengan kitab yang berbahasa Arab
yang lazim mereka sebut kitab gundul. Bagi masyarakat pesantren, istilah kitab
kuning tidak asing lagi. Menurut mereka, kitab kuning selalu dikonotasikan
sebagai kitab-kitab yang ditulis oleh ulama klasik atau kitab-kitab kontemporer
yang bermuatan ajaran klasik. Disebut kuning karena pada umumnya kitab-kitab
itu ditulis di atas kertas yang berwarna kuning. Sementara orang-orang di luar
pesantren masih banyak yang tdak mengetahui apa yang dimaksud dengan kitab
kuning.(Lihat Al Musthafa Ya’qub, Islam.., 184.
[50]Ada banyak preferensi masyarakat akademik tentang terminologi kitab rujukan
keagamaan seperti syarah al-Qur’an dan syarah al-Hadis yang ditulis dengan
bahasa Arab tanpa baris yang lazim disebut kitab kuning; pertama, kitab kuning
itu diganti saja dengan istilah kitab Turats, (warisan, peninggalan)atau
kitab klasik, atau kitab salaf, biar
tidak terkesan melecehkan. Kedua, istilah internasional seperti disebutkan oleh
Prof. Dr. ‘Abd al-Rahman Raf’at Basya dalam menulis sahabat nabi dengan menukil
dari al-kutub al-shofro’ al-qadimah (kitab-kitab kuning terdahulu). Jadi
sebetulnya terminologi kitab kuning itu bukan saja dikenal di Indonesia tapi
dikenal juga di negara-negara muslim lainnya.( lihat Ali Musthafa Ya’qub, Islam..,185-186).
[68] Devis Kingley, Human
Society ( New York : The McMillan Company, 1960), Cet. 2. 35.
[69] Muhammad Tholchah
Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio-Kultural (Jakarta: Lantabora Press,
2000) cet.1. 19.
[70]Penyebutan dengan
Maulanasyekh untuk konteks masyarakat Sasak adalah penyebutan khusus kepada
TGH.M.Zainuddin Abdul Majid pendiri ormas Islam terbesar di NTB, yaitu
Nahdlatul Wathan (NW) yang secara umum penyebutan tersebut merupakan gelar khusus
kepada Syeikh Zainuddin disebabkan karena tuan guru-tuan guru yang masih hidup
saat ini merupakan murid-murid beliau atau jika tidak menjadi murid beliau tapi
faktor usia beliau yang paling senior diantara tuan guru-tuan guru yang masih
hidup pada masanya.
[71]Istilah
datu’ dalam konteks Sasak, bukan dalam konteks Melayu, merupakan sebutan
kehormatan bagi orang yang dituakan dan biasanya orang tersebut sudah lanjut
usia. Datu dalam konteks Sasak juga dapat disamakan dengan kakek. Sedangkan
penamaan tuan guru datu’, Secara sosiologis menunjukkan bahwa orang tersebut
telah berusia lanjut dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai. Masyarakat
Sasak biasa menyebut tuan guru besar dan berpengaruh dengan Datu’. Datu’
maulanassyaikh, untuk sebutan TGH.Zainuddin Pancor, Datuk Brahim, untuk sebutan
TGH.Ibrahim Kediri, Datu’ Udin untuk sebutan TGH.Najamuddin Praya, Datu’
Hafizh, untuk sebutan TGH.Abdul Hafizh Kediri… dll.
[72]Abdul Hayyi Nu’man,
Maulanasyeikh TGKH, Muhammad Zainuddin Abdul Majid: Riwayat Hidup dan
Perjuangan, Mataram: PB NW, 1999, Cet.2. ,175. Buku ini hanya menyebutkan
istilah -istilah tersebut dengan tanpa ada batasan definisi yang jelas antara
criteria masing-masing istilah tersebut.
[73] Definisi ini
penulis olah dari data kuisioner yang menyatakan bahwa tuan guru bajang
yang belum berumur 40 tahun.
[74]Endang Turmudi, Perselingkuhan
Kyai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2003),32.
[75]Di antara tokoh Tuan
Guru pesantren, TGH.L.Turmuzi Badaruddin, di Bagu Lombok Tengah, TGH. Musthafa
Umar di Ponpes Gunung Sari ,Tuan Guru Shofwan Hakim, di Ponpes Nurul Hakim
Kediri, TGH.Mahmud Yasin,di Ponpes Ishlahul Ummah Mantang, TGH Zainul Majdi, di Ponpes Darunnahdlatain
NW Pancor, TGH.Tajuddin Ahmad di Pondok Pesantren Darunnajihin, TGH. Hilmi
Najamuddin di Ponpes Raudhatutthalibin,TGH.Muhammad Anwar di Lombok Tengah dll,
mereka adalah tokoh pesantren, pengurus suatu organisasi massa Islam, dan aktif
sebagai Tuan Guru di masing-masing pondok pesantren yang mereka kelola.
[76]Tuan Guru yang
konsen dalam bidang thareqat antara lain, TGH Mustiadi Abhar Ampenan, yang
terkenal dengan thareqat Naqsyabandiyahnya, TGH.M.Sibawaihi dengan Thareqat
Syaziliyyah, TGH.Najamuddin Ma’mun dengan thareqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,
dll.
[77]Untuk menyebut
kategori ini ada beberapa Tuan Guru yang terlibat lansung dalam dunia politik
praktis, seperti TGH.Zainul Madji, TGH.Mukhlis Ibrahim, TGH. Zainul Mukhlis, TGH.Taqiyuddin,
TGH. Mujiburrahman, TGH.Hazmi Hazmar, dan masih banyak lagi tuan guru yang
duduk sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/DPRD) melalui partai politik yang
berbeda-beda. Adalagi Tuan Guru yang berpolitik akomudatif-pragmatis dimana
tidak terlibat praktis dalam politik tapi mengikuti alur politik tertentu
berdasarkan sumbangan dan subsidi partai dan tokoh politik yang mendekatinya,
sekedar untuk mengambil contoh, TGH.Fadhil Tahir Bodak, TGH. Zahid Syarif
Salut, Dll.
[78]Secara fungsional,
Tuan Guru memang bertugas sebagai da’i, maka secara otomatis melekat pada
pribadi mereka sebagai dai panggung, di mana dalam melaksanakan aktivitas
dakwahnya berangkat dari satu fodium ke fodium lainnya di sekitar masyarakatnya
atau bahkan di luar komunitasnya yang mengenal pribadi Tuan Guru tersebut. dapat
dikatakan semua tuan guru adalah da’i panggungan, karena memang sentral
fungsional mereka dalam bidang dakwah.
[79]Dapat dicontohkan
untuk kriteria ini adalah TGH.M. Zainul Madji, tokoh Pesantren, tokoh Politik
sekaligus, TGH.Sibawaihi, Tokoh pesantren, juga tokoh “politik” dan juga tokoh
tharekat dan seterusnya.
[80]Contoh untuk
kategori ini adalah T.G.H,M.Zainuddin Abdul Majid, pendiri organisasi
masyarakat islam di NTB dengan nama Nahdlatul Wathan (NW). Melalui organisasi
ini Zainuddin dapat mengembangkan sayap dakwahnya ke seluruh Indonesia bahkan
merambah ke Saudi Arabia. Begitu juga TGH.Ibrahim Khalidi, sosok yang memimpin
Rabithah Alam Islami, contoh lain dari kategori ini adalah TGH. L.Abdul Hafizh
Sulaiman Kediri, TGH. Mukhtar Kediri, TGH. Ibrahim Lomban, TGH.Umar Kelayu.
0 komentar:
Post a Comment