Oleh:
Fahrurrozi[1]
ABSTRAK
Konflik antarumat beragama
atau Konflik kemanusiaan yang terjadi di tengah-tengah komunitas masyarakat
akhir-akhir ini telah mendorong berkembangnya dialog di tahan air secara
intensif dan konstruktif. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya komunikasi
antartokoh-tokoh dari berbagai latar belakang agama serta tumbuh kembangnya
berbagai lembaga maupun aktivitas yang mempromosikan dialog, toleransi dan
pluralisme. Wacana-wacana
tersebut menyeruak dalam diskusi, seminar maupun debat publik. Gejala ini
memiliki arti penting bagi peningkatan kerukunan antara umat beragama, meski
intoleransi serta pertentangan atas nama agama masih terus terjadi dengan
tingkat intensitas yang lebih rendah. Secara teoritik dapat dikatakan bahwa
konflik antarumat beragama secara otomatis akan mendorong prakarsa-prakarsa
dialog. Aktivitas dialog kemudian akan meredakan pertentangan. Karenanya
pertentangan yang masih terus
terjadi di tengah berlangsungnya dialog, menimbulkan
pertanyaan soal efektivitas dialog yang digelar serta faktor apa yang
sesungguhnya menjadi penghambatnya. Secara
sosiologis, iman, islam dan ihsan dapat diibaratkan sebagai tahapan-tahapan
perkembangan kebudayaan relijiusitas masyarakat Islam. Iman merupakan fase
teologisnya, Islam adalah fase historisnya, sementara Ihsan merupakan tahapan
kebudayaan yang lebih kosmopolit. Agenda ke depan adalah objektifikasi epistemologi ihsan sebagai konstruk baru
kehidupan umat Islam dalam realitas baru yang lebih kompleks. Baik teologi
relasional maupun Ihsan sesungguhnya dapat menjadi landasan yang kuat bagi
pengembangan etika dialog di kemudian hari. Untuk
memperkaya analisa di atas, perlu
dilihat sisi etika dialog dan komunikasi dialogis dalam perspektif
sosiologi komunikasi untuk membuka tabir terhadap persoalan dialog dan etika
dialog di tengah-tengah konflik yang terjadi.