oleh:
Fahrurrozi Dahlan
MAKNA SILATURRAHMI
Islam mempertegas konsep
tentang manusia sebagai makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri, manusia yang
tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, manusia yang tidak akan bisa
berkembang secara dinamis tanpa kontribusi orang lain. Upaya untuk menyeimbangkan
kehidupan manusia di muka bumi ini, Islam menetapkan sistem yang sangat
fungsional dan kontributif, yang disebut dengan “Silaturrahmi”.
Islam juga mempertegas
bahwa kehidupan ini tidak akan inovatif dan konstributif tanpa kreativitas dan
karya nyata yang dilandasi dengan semangat kerja tanpa pamrih, semangat
kreativitas dengan motivasi transendental, kreativitas nyata yang dilandasi
kerja keras, kerja cerdas dan
kerja ikhlas. Eksistensi dan substansi semua amal dan kerja nyata, tidak akan bernilai signifikan bahkan secara
normatif, dianggap sia-sia, tanpa diawali dan dibarengi dengan niat yang
ikhlas. Inti dari silaturrahmi
adalah saling mengikhlaskan, saling melepaskan, saling pengertian, dan saling
memahami satu dengan yang lain. Ini akan
maksimal jika dibarengi dengan Komunikasi Sosial.
A. KONSEP SHILATURRAHMI
atau HALAL BIL HALAL.
Kalimat silaturahmi dari bahasa Arab, tersusun dari dua
kata silah yaitu, ‘alaqah (hubungan) dan kata al-rahmi
yaitu, al-Qarabah (kerabat) atau mustauda’ al-janîn artinya “rahim
atau peranakan”.[1] Kata al-Rahim seakar
dengan kata al-Rahmah dari kata rahima “menyayangi-mengasihi”.
Jadi secara harfiyah Silaturahmi artinya “Menghubungkan tali kekerabatan,
menghubungkan kasih sayang”.
Al-Raghib mengkaitkan kata rahim dengan rahim
al-mar`ah (rahim seorang perempuan) yaitu tempat bayi di perut ibu. Yang
bayi itu punya sifat disayangi pada saat dalam perut dan menyayangi orang lain
setelah keluar dari perut ibunya. Dan kata rahim
diartikan “kerabat” karena kerabat itu keluar dari satu rahim yang sama.
Al-Raghib juga mengutip sabda Nabi, yang isinya menyebutkan, ketika Allah Swt
menciptakan rahim, Ia berfirman, “Aku al-Rahman dan engkau al-Rahim, aku ambil
namamu dari namaku, siapa yang menghubungkan padamu Aku menghubungkannya dan
siapa yang memutuskan denganmu Aku memutuskannya”.[2]
Ini memberi isyarat bahwa rahmah-rahim mengandung
makna al-Riqqatu (belas-kasihan) dan al-Ihsân (kedermawanan,
kemurahan hati). Ini sejalan dengan pendapat Abdurrahman Faudah yang menyebutkan, “Rahmah adalah belas kasihan dalam hati
yang menghendaki keutamaan dan kebaikan”.[3]
Dengan makna di atas, secara harfiyah arti silaturahmi
dapat dikatakan pula, menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang
menghendaki kebaikan. Dan secara istilah makna silaturahmi, antara lain dapat
dipahami dari apa yang dikemukakan Al-maraghi
yang menyebutkan, “Yaitu menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang
merugikan dengan sekemampuan”.[4]
TELAAH USLUB BAHASA.
Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata shilat
dan rahim. Kata shilat berakar dari kata yang berarti
“menyambung”, dan “menghimpun”. Ini berarti bahwa hanya yang putus dan yang
berseraklah yang dituju oleh kata shilat. Sedangkan kata rahim
pada mulanya berarti “kasih sayang” kemudian berkembang sehingga berarti pula
“peranakan” (kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih
sayang.
Kalimat silaturahmi merupakan uslub Qur’ani, bahasa
Al-Qur’ân, bahasa yang digunakan oleh Rasul Saw. Tentu tidak ada bahasa Arab
yang lebih baik kecuali bahasanya Alqur’ân , bahasanya yang digunakan oleh
Nabi, bukan bahasa Arab Ashriyah (modern) bukan pula bahasa Arab ‘Amiyah
(bahasa Arab pasar) Alqur’ân telah mengisyaratkan tentang hal itu, antara lain
firman Allah Swt, dalam al-Ra’du: 21, "Walladziina yashiluuna maa
amarallahu bihi an yuushala wa yakhsyauna rabbahum wa yakhaafuuna suu`al
hisaab."
Terhadap lafadz Yashiluna para mufashir, seperti
Al-Maraghi (V:93) Mahmud Hijazi (II:228) dan Shawi (II:336) Jalaludin
al-Syuyuthi (IV:637) tidak berbeda pendapat, bahwa yang dimaksud adalah yashiluuna
arrahmi menyambungkan kekerabatan, kasih sayang yang merupakan haq semua
hamba. Dan kata Arrahmi ditunjukan pula oleh al-Kahfi dalam ayat 81
dengan kalimat Aqrabu rahman lebih dalam kasih sayangnya) Jadi
silaturahmi itu bahasa Alqur’ân. Sementara kalimat silaturahmi yang disabdakan
oleh Nabi dan sebagai bahasanya Nabi, banyak kita jumpai dalam hadits-hadits,
antara lain: "Asra'ul khairi tsawaaban albirru wa shilaturrahmi."
kebaikan yang paling cepat balasannya, yaitu berbuat kebaikan dan silaturahmi.
Allah menjelaskan bahwa kata
al-arhâm adalah bentuk jamak dari kata rahîm, yaitu tempat peranakan.[5] Di sanalah benih anak
tinggal, tumbuh dan lahir, selanjutnya berkembang biak. Rahim adalah yang
menghubungkan seseorang dengan lainnya, bahkan melalui rahim persamaan sifat,
fisik dan psikis yang tidak dapat diingkari, kalaupun persamaan itu tidak
banyak tetapi ia pasti ada. Rahim ibu yang mengandung pertemuan sperma bapak
dan indung telur ibu, dapat membawa gen dari nenek dan kakeknya yang dekat
maupun yang jauh. Betapapun, dengan rahim telah terjalin hubungan yang erat,
atau tepatnya Allah menjalin hubungan yang erat antarmanusia. Karena itu, Allah
mengancam siapa yang memutuskan dan menjanjikan keberkahan dan usia panjang
bagi siapa yang memeliharanya. Rahim tergantung di singgasana Ilahi (Arasy), di
sana Ia berkata: “Siapa yang menyambungku akan disambung Allah dengan
rahmat-Nya dan barang siapa yang memutuskanku akan diputuskan oleh Allah dari
rahmat-Nya.[6]
Di kali lain Rasul SAW bersabda:”Siapa yang senang diperluas
resekinya dan diperpanjang usianya, maka hendaklah ia menyambung hubungan
rahim/kekeluargaannya.[7] Di sisi lain, dengan
jalinan rahim seseorang akan merasa dekat, sehingga atas nama-Nya seseorang
saling membantu dan tolong menolong.
Bacaan populer dari kata al-arhâm adalah “fathah”,
al-arhâma sehingga dia dipahami sebagai bagian yang mengikuti (ma’thuf)
dari objek taqwa. Yakni bertaqwalah kepada Allah dan al-Arham.
Sebagaimana diketahui kata taqwa dari segi bahasa berarti memelihara.
Bertaqwa kepada Allah berarti memelihara diri dari siksa-Nya akibat pelanggaran
atas perintahnya, dan bertaqwa dalam kaitannya dengan al-arham adalah
memeliharanya agar tidak putus akibat perlakuan yang tidak wajar. [8]
Q.S.Ali Imran (3): 112, Allah menjelaskan, kata Habl atau
tali dalam ayat ini, terulang dua kali dan keduanya terulur datang dari siapa,
yakni yang pertama dari Allah dan yang kedua dari manusia. Pengulangan kata
yang sama dengan bentuk difinite (isim al-nakirah) yang sama pula
mengisyaratkan tali yang pertama berbeda dengan tali yang kedua. Tali yang
terulur dari Allah adalah tali Agama, yang bila berpegang teguh dengannya
mereka tidak akan terkena sanksi yang disebut Al-Zillah dan
Al-Maskanah. Atas dasar bahwa yang dimaksud adalah tali agama. Habl
dari kata ini menuntun agar seorang muslim tetap menjalin hubungan, sehingga
dengan demikian, dia dituntut untuk aktif, dia dituntut mengulurkan tali
silaturrahmi.[9]
Adapun Halal bihalal, dua kata berangkai
yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri, adalah satu dari
istilah-istilah “keagamaan” yang hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia.
Istilah tersebut seringkali menimbulkan tanda tanya tentang maknanya, bahkan
kebenarannya dalam segi bahasa, walaupun semua pihak menyadari tujuannya adalah
menciptakan keharmonisan antara sesama. Paling tidak ada dua makna yang dapat dikemukakan
menyangkut pengertian istilah tersebut, yang ditinjau dari dua pandangan. Yaitu, pertama, bertitik
tolak dari pandangan hukum Islam dan kedua berpijak pada arti kebahasaan.[10]
Menurut pandangan pertama
–dari segi hukum– kata halal biasanya dihadapkan dengan kata haram.
Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga pelanggarannya berakibat dosa
dan mengundang siksa, demikian kata para pakar hukum. Sementara halal adalah
sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Jika demikian halal
bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram
dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.
Pengertian seperti yang
dikemukakan di atas pada hakikatnya belum menunjang tujuan keharmonisan
hubungan, karena dalam bagian halal terdapat sesuatu yang makruh atau yang
tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan. Pemutusan hubungan (suami-istri,
misalnya) merupakan sesuatu yang halal tapi paling dibenci Tuhan. Atas dasar
itu, ada baiknya makna halal bihalal tidak dikaitkan dengan pengertian hukum.
Menurut pandangan -kedua dari segi bahasa-akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai bentukan
kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian
kata berikutnya. Makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut,
antara lain, berarti “menyelesaikan problem”, “meluruskan benang kusut”,
“melepaskan ikatan”, dan “mencairkan yang beku”.
Jika demikian, ber-halal
bihalal merupakan suatu bentuk aktifitas yang mengantarkan para pelakunya untuk
meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga
cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan kesulitan
dan problem yang menghalang terjalinnya keharmonisan hubungan. Boleh jadi
hubungan yang dingin, keruh, dan kusut tidak ditimbulkan oleh sifat yang haram.
Ia menjadi begitu karena Anda lama tidak berkunjung kepada seseorang, atau ada
sikap adil yang Anda ambil namun menyakitkan orang lain, atau timbul keretakan
hubungandari kesalahpahaman akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak
disengaja. Kesemuanya ini, tidak haram menurut pandangan hukum, namun perlu
diselesaikan secara baik; yang beku dihangankan, yang kusut diluruskan, dan
yang mengikat dilepaskan.[11]
Itulah makna serta substansi halal bihalal, atau jika
istilah tersebut enggan digunakan, katakanlah bahwa itu merupakan hakikat Idul
Fitri, sehingga semakin banyak dan seringnya mengulurkan tangan dan melapangkan
dada, dan semakin parah luka hati yang kita obati dengan memaafkan, maka
semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan kita terhadap hakikat halal
bihalal. Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat
ajaran Islam.
SILATURRAHMI DI ORGANISASI NAHDHATUL WATHAN SEBAGAI ENTITAS
KOMUNIKASI SOSIAL
Pertama, Mempertegas Identitas.
Dalam hal bersilaturrahmi misalnya kita
bisa mencontoh semut dan lebah. Semut binatang kecil pemakan gula tapi tidak
pernah sakit gula (diabetes). Resepnya, pertama karena semut senang
bersilaturrahmi. Tengoklah setiap berpapasan antara sesama semut sejenis mereka
saling "bersalaman" yang terlihat dari kedua kepalanya saling ketemu.
Kedua, bila seekor semut menemukan rezeki, mereka tidak mau makan sendiri tapi
memberi tahu semut-semut lainnya. Setelah berkumpul, baru makanan itu mereka
bawa kesatu tempat dan dinikmati bersama. Demikian juga lebah. "Lebah
sangat disiplin dan mengenal pembagian kerja yang sangat baik. Sarangnya
dibangun berbentuk segi enam, yang telah terbukti sangat ekonomis dan kuat
dibandingkan bila segi empat atau lima".[12]
Ada ungkapan nabi yang mengatakan;
Di
sekitar Arasy ada menara-menara cahaya di dalamnya ada orang-orang yang
pakiannya dari cahaya dan wajah mereka bercahaya, mereka bukan para nabi bukan
pula para syuhada’, hingga semua kagum kepada mereka, ketika ditanya,
Rasulullah pun menjawab, mereka adalah: Orang-orang yang saling mencintai
karena Allah, Saling bersahabat karena Allah, dan saling berkunjung berinteksi
sosial karena Allah, dan saling memaafkan antarsesama karena Allah.[13]
Kedua, Memperkokoh Solidaritas.
Silaturahmi adalah perbuatan mulia,
merupakan amalan para nabi. Silaturahmi dapat menghilangkan sifat dengki,
menambah persaudaraan, dapat mendatangkan rizqi, juga bisa menambah wawasan
dalam pergaulan dan bersosialisasi dalam bermasyarakat. Nabi Ibrahim Al-Khalil
as bersabda:
“Barang siapa berkunjung
kepada seorang saudaranya karena Allah, maka Allah menuliskan baginya seribu
kebaikan, menghapuskan darinya seribu keburukan, mengangkat baginya seribu
derajat dan menyelamatkan dia dari siksa pada hari kiamat, karena mengunjungi
saudaranya itu dia akan dikumpulkan dengan saudaranya didalam surga,
sebagaimana jari telunjuk dengan jari tengah.”
Abu Laits Samarqandi menerangkan bahwa di dalam silaturahmi
itu ada sepuluh macam manfaat, yaitu:
1.
Mendapatkan ridho Allah SWT.
2.
Membuat orang yang dikunjungi berbahagia. Hal
ini amat sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, "Amal yang paling utama
adalah membuat seseorang berbahagia."
3.
Menyenangkan malaikat, karena malaikat juga
sangat senang bersilaturahmi.
4.
Disenangi oleh manusia.
5.
Membuat iblis dan setan marah.
6.
Memanjangkan usia.
7.
Menambah banyak dan berkah rejekinya.
8.
Membuat senang orang yang telah wafat.
Sebenarnya mereka itu tahu keadaan kita yang masih hidup, namun mereka tidak
dapat berbuat apa-apa. Mereka merasa bahagia jika keluarga yang ditinggalkannya
tetap menjalin hubungan baik.
9.
Memupuk rasa cinta kasih terhadap sesama,
meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa kekeluargaan, mempererat dan memperkuat
tali persaudaraan dan persahabatan.
10.
Menambah pahala setelah kematiannya, karena
kebaikannya (dalam hal ini, suka bersilaturahmi) akan selalu dikenang sehingga
membuat orang lain selalu mendoakannya.
Ash-Shiddiqi membagi silaturahmi kepada
dua bagian, silaturahmi umum dan silaturahmi khusus; Silaturahmi umum yaitu,
silaturahmi kepada siapa saja; seagama dan tidak seagama, kerabat dan bukan
kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan diantaranya; menghubungi,
mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur dan berbuat baik dan lain sebagainya yang
bersifat kemanusiaan. Silaturahmi ini disebut silaturahmi kemanusiaan.[14]
Silaturrahmi umum ini sesungguhnya tidak
jauh beda maksud dan tujuannya dari komunikasi sosial, sebab esensinya sama
yaitu bagaimana menjalin komunikasi kepada masyarakat dengan tidak melihat
komunikan dari stratum sosial apapun. Komunikasi sosial sesungguhnya
berorientasi pada saling terjalinnya interaksi dan komunikasi antarsesama. Dari
sisi ini silaturrahmi memiliki dimensi yang sama yaitu menjalin hubungan
personal dan sosial dengan mengedepankan etika komunikasi persuasif, komunikasi
kekeluargaan, yang sesungguhnya Islam memberikan ruang dan peluang bagi pemeluknya untuk menjalin
silaturrahmi atau komunikasi sosial dengan siapapun selama dalam kolidor yang
benar dan bermanfaat demi keselamatan dan kesejahteraan bersama.
Silaturahmi
khusus yaitu, silaturahmi kepada kerabat, kepada yang seagama, yaitu dengan
cara membantunya dengan harta, dengan tenaga, menolong, menyelesaikan hajatnya,
berusaha menolak kemadharatan yang menimpanya, dan berdo’a, dan membimbing
agamanya karena takut adzab Allah. Al-Maraghi menyebutkan silaturahmi kepada
kerabat mu’min, yaitu menghubungkan karena imannya, ihsan, memberi pertolongan,
mengasihi, menyampaikan salam, menengok yang sakit, membantu dan memperhatikan
haknya.“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan:dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.[15]
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan
takut kepada hisab yang buruk”.[16] Dengan
memperhatikan dan membandingkan dua hal di atas (Silaturahmi dan Halal bi
halal) Silaturahmi lebih bermakna dari pada halal bi halal. Suatu kegiatan yang
mengandung nilai baik, alangkah baiknya jika diberi nama yang baik pula.
Tradisi berkumpul, bersalaman, saling memaafkan yang dilakukan sebagian orang
di Indonesia setelah I’dul Fitri yang suka disebut halal bi halal, lebih
bermakna jika disebut silaturahmi.Silaturahmi dalam pandangan Islam tidak
terikat waktu, dan tidak terikat pada yang seagama, tetapi kapan waktu, dan
kepada siapa saja, seagama juga berbeda agama dengan cara-cara yang tertentu.[17]
Ketiga, Mempererat Ukhuwwah dan Wihdah AL-Ummah Wa AL-Nahdhiyyah
Silaturrahmi tidak akan bermanfaat signifikan jika tidak
memenuhi elemen-elemen dasar dari silaturrahmi itu sendiri, antaralain:
Pertama: al-Tawâsul (interaksi dan
koneksi, saling sambung-menyambung)
Konsep ini dalam Islam sangat relevan
untuk menjadi perekat dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, dalam
kapasitas apa saja dengan tidak memandang dari mana asal muasal mereka, dan
interaksi ini sebetulnya mencerminkan; Ukhuwwah Basyariyah, Atau Ukhuwwah Insaniyyah, artinya, setiap orang semestinya tetap
menjalin komunikasi dan interaksi sosial dengan siapa pun, dengan orang yang
berbeda agama sekalipun, sebab dalam Islam Allah sangat menghargai orang-orang
yang saling menghargai satu dengan yang lain. Jika manusia saling berinteraksi
sosial dengan satu sama lainnya dengan mengedepankan sisi kemanusiaan, maka
tidak akan muncul apa yang disebut dengan Konflik.
Kedua: al-Ta’âruf (saling
kenal-mengenal, saling menemukenali)
Ta’ruf (pengenalan), secara
substansi mengandung makna bahwa setiap manusia dituntut untuk saling
kenal-mengenal satu dengan yang lain, sebab Allah menciptkan makhluk ini dengan
segala keragaman dan perbedaan sehingga konsep pengenalan itu menjadi suatu
keharusan.
Dengan Konsep Ta’aruf ini akan melahirkan semangat saling menghargai satu sama
yang lain yang mencerminkan keharmonisan dalam masyarakat. Konsep ta’ruf ini mencerminkan prinsip dasar
dalam ukhuwwah wathaniyyah
persaudaraan setanah air, semangat nasionalisme, semangat kebangsaan. Hal ini
membuktikan bagaimana Islam memberikan apresiasi yang tinggi terhadap semangat
kebangsaan.
Sejatinya semangat kebangsaan akan
tumbuh dan bersemi jika diawali dengan
memperkenalkan satu sama lainnya, sehingga dengan konsep ini jika
dipahami dengan maksimal tidak akan pernah terjadi gesekan-gesekan dalam bernegara
dan berbangsa.
Ketiga: al-Tafâhum
(saling pengertian, saling memupuk solidaritas, toleransi)
Saling pengertian dalam segala hal
sangat dituntut dalam segala hal, artinya bahwa saling pengertian artinya
diberikan kebebesan kepada seseorang untuk memilih jalan kehidupan sesuai
dengan prinsip yang dia yakini, dengan tidak ada paksaan dalam segala hal.
Sebab yang dituntut sebenarnya adalah bukan pada apa yang mereka yakini, tapi
bagaimana menghargai dan memahami pilihan orang yang berbeda.
Keempat:
al-Tarâhum (saling kasihmengasihi, saling empaty)
Tarahum,
dalam makna yang esensi adalah memberikan kasih sayang secara universal, bukan
hanya dengan sesama manusia, bahkan dituntut berkasih sayang dengan
makhluk-makhluk Allah yang lain, seperti kasih sayang dengan binatang,
tumbuh-tumbuhan. Dengan semangat kasih sayang ini memberikan pengajaran bahwa
tidak akan terjadi bencana alam jika manusia berkasih sayang dengan
tumbuh-tumbuhan dengan cara memelihara Alam, melestarikan lingkungan, menjaga
hutan, dan seterusnya. Inilah konsep yang mencerminkan ukhuwwah al-kauniyyah
(persaudaraan dengan sesama alam semesta)
Kelima: al-Ta’âwun(memupuk
semangat kebersamaan, kerjasama, dan team work)
Substansi silaturrahmi adalah
mempertegas dan memperkokoh solidaritas, sekaligus mempererat persatuan dan
kesatuan. Kesemuanya tercermin dalam dimensi: Ukhuwwah Islamiyyah, Ukhuwwah Basyariyah/Insaniyyah,
Ukhuwwah Wathaniyah dan Ukhuwwah Kauniyyah.
Karakter yang terbangun dari Ramadhan dan silaturrahmi
adalah penerapan konsep kehidupan pribadi dan sosial yang tercermin dengan;
tenang tanpa dendam, tenteram tanpa dengki, sejuk karena cinta kasih, lembut
karena ketulusan, indah kerena kesabaran, harum karena kejujuran, bersih karena
doa. Begitu juga indahnya manusia karena ahklaknya, indahnya bulan karena
cahayanya, indahnya persahabatan karena kejujurannya, indahnya cinta karena
kasih sayang, indahnya iedul fithri karena saling memaafkan. Hati laksana
pohon, jika tidak disiram akan cepat layu dan mati, semoga pohon iman yang
terlalu diguyur air Ramadhan tetap mendapat siraman rutin di bulan-bulan
berikutnya.
Personal Strength menyadari bahwa
yang jauh itu waktu, yang dekat itu kematian, yang besar itu nafsu, yang berat
itu amanah, yang mudah itu berbuat dosa, yang sulit itu amal shaleh, dan yang
terindah adalah yang saling memaafkan antarsesama. Manusia
adalah agent sosial yang akrab dengan kekhilafan dan dosa, maka di hari iedul
fithri merupakan hari ”reinkarnasi” dalam Islam yang diawali dengan puasa dan
silaturrahmi (al-afwu), sehingga diharapkan ke depan dapat mempengaruhi
kehidupan yang baru dengan membuka lembaran baru (asshafhu,
as-shahifah, al-mushafahah) menjadi lebih positif dan progresif.
·
SILATURRAHMI PENDIDIKAN
·
SILATURRAHMI ORGANISASI
·
SILATURRAHMI PRIBADI
·
SILATURRAHMI IEDUL FITRI
Tujuan akhir dari
pengendalian diri yang dilatih dan dilambangkan dengan puasa Ramadhan
sebenarnya adalah mencapai sebuah keberhasilan, bukan merupakan pelarian diri
dari kenyataan hidup di dunia yang seharusnya dihadapi. Selama ini, begitu
banyak orang menganggap bahwa puasa adalah “menihilkan” dunia nyata, yang
akhirnya menghasilkan orang-orang yang mengabaikan realitas kehidupan atau lari
dari tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosialnya, tanpa melakukan suatu
perjuangan sebagai rahmatan li al-alamin, yaitu suatu tugas yang telah
diberikan oleh Allah kepada manusia sehingga ia dijuluki sebagai “khalifah”
oleh Allah.[18]
Tujuan esensial dari puasa
ramadhan sebenarnya adalah “menahan diri”, dalam arti yang sangat luas. Menahan
diri dari belenggu nafsu duniawi yang berlebihan dan tidak terkendali, atau nafsu
bathiniyah yang tidak seimbang. Di mana kesemuanya itu, apabila tidak
diletakkan pada porsi yang benar akan mengakibatkan suatu ketidakseimbangan
hidup yang akan berakhir pada kegagalan.
Kata min al-âidîn wa al-fâizîn
wa al-maqbûlîn, sejatinya mengandung makna pembangunan karakter yang
paripurna.
“Minal ‘aidin wal faizin,” demikian harapan dan doa yang kita ucapkan kepada sanak
keluarga dan handai taolan pada Idul Fitri. Apakah yang dimaksud dengan ucapan
ini? Sayang, kita tidak dapat merujuk kepada Al-Quran untuk mengetahui apa yang
dimaksud dengan kata ‘aidin, karena bentuk kata tersebut tidak bisa kita
temukan di sana. Namun dari segi bahasa, minal ‘aidin berarti “(semoga kita)
termasuk orang-orang yang kembali.” Kembali di sini adalah kembali kepada
fitrah, yakni “asal kejadian”, atau “kesucian”, atau “agama yang benar”.
Setelah mengasah dan
mengasuh jiwa – yaitu berpuasa – selama satu bulan, diharapkan setiap Muslim
dapat kembali ke asal kejadiannya dan menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali
suci sebagai mana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran
agama yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, karena – menurut
Rasulullah – al-aidin al-mu’amalah, yakni keserasian dengan sesama manusia,
lingkungan, dan alam.
Sementara itu, al-faizin
diambil dari kata fawz yang berarti “keberuntungan”. Apakah
“keberuntungan” yang kita harapkan itu? Di sini kita dapat merujuk pada
Al-Quran, karena 29 kali kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang.
Menarik juga untuk diketengahkan bahwa Al-Quran hanya sekali menggunakan bentuk
afuzu (saya beruntung). Itupun menggambarkan ucapan orang-orang munafik
yang memahami “keberuntungan” sebagai keberuntungan yang bersifat material.[19]
Bila kita telusuri
Al-Quran yang berhubungan dengan konteks dan makna ayat-ayat yang menggunakan
kata fawz, ditemukan bahwa seluruhnya
(kecuali QS 4:73) mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta
kebahagiaan surgawi.” Kalau demikian halnya, wal faizin harus dipahami
dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita termasuk orang-orang yang
memperoleh ampunan dan ridha Allah SWT sehingga kita semua mendapatkan
kenikmatan surga-Nya.
Salah satu syarat untuk
memperoleh anugerah tersebut ditegaskan oleh al-Qur’an dalam surah An-Nur ayat 22, yang menurut sejarah
turunnya berkaitan dengan kasus Abu Bakar r.a. dengan salah
seorang yang ikut ambil bagian dalam menyebarkan gosip terhadap putrinya
sekaligus istri Nabi, Aisyah. Begitu marahnya Abu Bakar
sehingga ia bersumpah untuk tidak memaafkan dan tidak memberi bantuan apapun
kepadanya. Tuhan memberi petunjuk dalam ayat tersebut:
Hendaklah mereka meaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah
mengampunimu? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[20]
·
IJTIMA’ RAMADHAN
RAMADHAN, SILATURRAHMI SEBAGAI SARANA
CHARACTER BUILDING.[21]
Disiplin
diri merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun dan membentuk karakter
seseorang. Sebab karakter mengandung pengertian:
·
Suatu kualitas positif
yang dimiliki seseorang, sehingga membuatnya menarik dan atraktif;
·
Reputasi seseorang; dan
·
Seseorang yang unusual atau memiliki
kepribadian yang eksentrik.
Tentang
proses pembentukkan karakter ini dapat disebutkan sebuah nama besar : Helen
Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini--ia menjadi buta dan tuli di usia 19
bulan, namun berkat bantuan keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan (yang juga
buta dan setelah melewati serangkaian
operasi akhirnya dapat melihat secara terbatas) kemudian menjadi manusia
buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904--
pernah berkata:
"Character cannot be develop in ease and quite. Only through
experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared,
ambition inspired, and success achieved".
Kalimat
itu boleh jadi merangkum sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat
perjuangan panjang dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian
menjadi salah seorang pahlawan besar
dalam sejarah Amerika yang mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional
dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya.
Helen Keller adalah model
manusia berkarakter (terpuji). Dan sejarah hidupnya mendemonstrasikan bagaimana
proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah
mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat
rentetan moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi
nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah
waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak
atau tabiat seseorang.
Dalam kacamata Islam, Character itu merupakan Thabi’ah,
Sifat bawaan, Instinktif, atau Gharizhah, yang tidak muncul begitu saja
tapi membutuhkan proses yang berkelanjutan (sustainable).
Proses itu di antaranya adalah pengkaderan watak melalui Puasa Ramadhan dan
dirangkaiakan dengan Shilaturrahmi, media sosialisasi terhadap terciptanya
hubungan sosial yang harmonis, sehingga dengan demikian karakter yang ingin
dibentuk adalah karakter manusia yang bertaqwa.
Selanjutnya, tentang nilai atau makna pentingnya karakter
bagi kehidupan manusia dewasa ini dapat dikutip pernyataan seorang Hakim Agung
di Amerika, Antonin Scalia, yang pernah mengatakan:
"Bear in mind that brains and learning,
like muscle and physical skills, are
articles of commerce. They are bought and sold. You can hire them by the
year or by the hour. The only thing in the world Not For Sale Is Character. And
if that does not govern and direct your brains and learning, they will do you
and the world more harm than good".
Scalia
menunjukkan dengan tepat bagaimana karakter harus menjadi fondasi bagi
kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Sebab kecerdasan dan
pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri memang dapat diperjualbelikan. Dan
sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di abad ke-21 ini knowledge is power.
Masalahnya,
bila orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan tidak menunjukkan
karakter (terpuji), maka tak diragukan lagi bahwa dunia akan menjadi lebih dan
semakin buruk. Dengan kata lain ungkapan knowledge is power akan menjadi
lebih sempurna jika ditambahkan menjadi-
but character is more.
Demikianlah
makna penting sebuah karakter dan proses pembentukkannya yang tidak pernah
mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli. Ke arah yang demikian
itulah pendidikan dan pembelajaran - termasuk pengajaran di institusi formal
dan pelatihan di institusi nonformal--seharusnya bermuara, yakni membangun
manusia-manusia berkarakter (terpuji), manusia-manusia yang memperjuangkan agar
dirinya dan orang-orang yang dapat dipengaruhinya agar menjadi lebih manusiawi,
menjadi manusia yang utuh atau memiliki integritas.
Tujuan akhir dari pengendalian diri yang
dilatih dan dilambangkan dengan puasa Ramadhan sebenarnya adalah mencapai
sebuah keberhasilan, bukan merupakan pelarian diri dari kenyataan hidup di
dunia yang seharusnya dihadapi. Selama ini, begitu banyak orang menganggap
bahwa puasa adalah “menihilkan” dunia nyata, yang akhirnya menghasilkan
orang-orang yang mengabaikan realitas kehidupan atau lari dari tanggung jawab
pribadi dan tanggung jawab sosialnya, tanpa melakukan suatu perjuangan sebagai rahmatan
li al-alamin, yaitu suatu tugas yang telah diberikan oleh Allah kepada
manusia sehingga ia dijuluki sebagai “khalifah” oleh Allah.[22]
Tujuan esensial dari puasa
ramadhan sebenarnya adalah “menahan diri”, dalam arti yang sangat luas. Menahan
diri dari belenggu nafsu duniawi yang berlebihan dan tidak terkendali, atau nafsu
bathiniyah yang tidak seimbang. Di mana kesemuanya itu, apabila tidak
diletakkan pada porsi yang benar akan mengakibatkan suatu ketidakseimbangan
hidup yang akan berakhir pada kegagalan.
Wallahu
a'lam bi asshawab
[1] Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir,
(Yogyakarta: Krapyak Press, 1999), Cet. 1. h. 1638- 1668
[2] Al-Raghib (tt, 191)
[3] Abdurrahman Faudah (tt,
13)
[4] Al-Maraghi, Tafsir
al-Maraghi, (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1971), V:93, h. 246.
[5]Q.S.An-Nisa’ (4): 1.
[14] Ash-Shiddiqi, Al-Islam, (Damascus: Dar al-Kutub al-Arabiyyah, 1977), cet. II. h. 374
[15] Imam al-Maraghi, Tafsir al-Maraghy,
(Cairo: Dar al-Mishriyyah, 1412), Cet. 2. Jilid V. h.73
[16] QS. 17:26
[17] QS. 13:21
[19] baca QS 4:73
[20]QS 24:22
[21]Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter,
kharassein, dan kharax, yang maknanya "tools for marking",
"to engrave", dan "pointed stake". Kata ini mulai banyak
digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan
kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya
menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter
diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat
dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses
mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk' unik, menarik,
dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam
alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah
orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk
dengan yang tidak/belum berkarakter atau `berkarakter' tercela).
Semoga lbh banyak lagi bermunculan penulis2 handal di NW sprti cendekiawan NW kita yg satu ini
ReplyDelete