Thursday, September 17, 2015

NW DAN SILATURRAHMI


oleh: Fahrurrozi Dahlan

MAKNA SILATURRAHMI
Islam mempertegas konsep tentang manusia sebagai makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri, manusia yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, manusia yang tidak akan bisa berkembang secara dinamis tanpa kontribusi orang lain. Upaya untuk menyeimbangkan kehidupan manusia di muka bumi ini, Islam menetapkan sistem yang sangat fungsional dan kontributif, yang disebut dengan “Silaturrahmi”.
Islam juga mempertegas bahwa kehidupan ini tidak akan inovatif dan konstributif tanpa kreativitas dan karya nyata yang dilandasi dengan semangat kerja tanpa pamrih, semangat kreativitas dengan motivasi transendental, kreativitas nyata yang dilandasi kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Eksistensi dan substansi semua amal dan kerja nyata, tidak akan bernilai signifikan bahkan secara normatif, dianggap sia-sia, tanpa diawali dan dibarengi dengan niat yang ikhlas. Inti dari silaturrahmi adalah saling mengikhlaskan, saling melepaskan, saling pengertian, dan saling memahami satu dengan yang lain. Ini akan maksimal jika dibarengi dengan Komunikasi Sosial.


A. KONSEP SHILATURRAHMI atau HALAL BIL HALAL.
Kalimat silaturahmi dari bahasa Arab, tersusun dari dua kata silah yaitu, ‘alaqah (hubungan) dan kata al-rahmi yaitu, al-Qarabah (kerabat) atau mustauda’ al-janîn artinya “rahim atau peranakan”.[1]  Kata al-Rahim seakar dengan kata al-Rahmah dari kata rahima “menyayangi-mengasihi”. Jadi secara harfiyah Silaturahmi artinya “Menghubungkan tali kekerabatan, menghubungkan kasih sayang”.
Al-Raghib mengkaitkan kata rahim dengan rahim al-mar`ah (rahim seorang perempuan) yaitu tempat bayi di perut ibu. Yang bayi itu punya sifat disayangi pada saat dalam perut dan menyayangi orang lain setelah keluar dari perut ibunya. Dan kata rahim diartikan “kerabat” karena kerabat itu keluar dari satu rahim yang sama. Al-Raghib juga mengutip sabda Nabi, yang isinya menyebutkan, ketika Allah Swt menciptakan rahim, Ia berfirman, “Aku al-Rahman dan engkau al-Rahim, aku ambil namamu dari namaku, siapa yang menghubungkan padamu Aku menghubungkannya dan siapa yang memutuskan denganmu Aku memutuskannya”.[2]
Ini memberi isyarat bahwa rahmah-rahim mengandung makna al-Riqqatu (belas-kasihan) dan al-Ihsân (kedermawanan, kemurahan hati). Ini sejalan dengan pendapat Abdurrahman Faudah yang menyebutkan, “Rahmah adalah belas kasihan dalam hati yang menghendaki keutamaan dan kebaikan”.[3]
Dengan makna di atas, secara harfiyah arti silaturahmi dapat dikatakan pula, menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang menghendaki kebaikan. Dan secara istilah makna silaturahmi, antara lain dapat dipahami dari apa yang dikemukakan Al-maraghi  yang menyebutkan, “Yaitu menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan dengan sekemampuan”.[4]
TELAAH USLUB BAHASA.
        Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata yang berarti “menyambung”, dan “menghimpun”. Ini berarti bahwa hanya yang putus dan yang berseraklah yang dituju oleh kata shilat. Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti “kasih sayang” kemudian berkembang sehingga berarti pula “peranakan” (kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.
Kalimat silaturahmi merupakan uslub Qur’ani, bahasa Al-Qur’ân, bahasa yang digunakan oleh Rasul Saw. Tentu tidak ada bahasa Arab yang lebih baik kecuali bahasanya Alqur’ân , bahasanya yang digunakan oleh Nabi, bukan bahasa Arab Ashriyah (modern) bukan pula bahasa Arab ‘Amiyah (bahasa Arab pasar) Alqur’ân telah mengisyaratkan tentang hal itu, antara lain firman Allah Swt, dalam al-Ra’du: 21, "Walladziina yashiluuna maa amarallahu bihi an yuushala wa yakhsyauna rabbahum wa yakhaafuuna suu`al hisaab."
Terhadap lafadz Yashiluna para mufashir, seperti Al-Maraghi (V:93) Mahmud Hijazi (II:228) dan Shawi (II:336) Jalaludin al-Syuyuthi (IV:637) tidak berbeda pendapat, bahwa yang dimaksud adalah yashiluuna arrahmi menyambungkan kekerabatan, kasih sayang yang merupakan haq semua hamba. Dan kata Arrahmi ditunjukan pula oleh al-Kahfi dalam ayat 81 dengan kalimat Aqrabu rahman lebih dalam kasih sayangnya) Jadi silaturahmi itu bahasa Alqur’ân. Sementara kalimat silaturahmi yang disabdakan oleh Nabi dan sebagai bahasanya Nabi, banyak kita jumpai dalam hadits-hadits, antara lain: "Asra'ul khairi tsawaaban albirru wa shilaturrahmi." kebaikan yang paling cepat balasannya, yaitu berbuat kebaikan dan silaturahmi.
Allah menjelaskan bahwa kata al-arhâm adalah bentuk jamak dari kata rahîm, yaitu tempat peranakan.[5] Di sanalah benih anak tinggal, tumbuh dan lahir, selanjutnya berkembang biak. Rahim adalah yang menghubungkan seseorang dengan lainnya, bahkan melalui rahim persamaan sifat, fisik dan psikis yang tidak dapat diingkari, kalaupun persamaan itu tidak banyak tetapi ia pasti ada. Rahim ibu yang mengandung pertemuan sperma bapak dan indung telur ibu, dapat membawa gen dari nenek dan kakeknya yang dekat maupun yang jauh. Betapapun, dengan rahim telah terjalin hubungan yang erat, atau tepatnya Allah menjalin hubungan yang erat antarmanusia. Karena itu, Allah mengancam siapa yang memutuskan dan menjanjikan keberkahan dan usia panjang bagi siapa yang memeliharanya. Rahim tergantung di singgasana Ilahi (Arasy), di sana Ia berkata: “Siapa yang menyambungku akan disambung Allah dengan rahmat-Nya dan barang siapa yang memutuskanku akan diputuskan oleh Allah dari rahmat-Nya.[6]
        Di kali lain Rasul SAW bersabda:”Siapa yang senang diperluas resekinya dan diperpanjang usianya, maka hendaklah ia menyambung hubungan rahim/kekeluargaannya.[7] Di sisi lain, dengan jalinan rahim seseorang akan merasa dekat, sehingga atas nama-Nya seseorang saling membantu dan tolong menolong.
        Bacaan populer dari kata al-arhâm adalah “fathah”, al-arhâma sehingga dia dipahami sebagai bagian yang mengikuti (ma’thuf) dari objek taqwa. Yakni bertaqwalah kepada Allah dan al-Arham. Sebagaimana diketahui kata taqwa dari segi bahasa berarti memelihara. Bertaqwa kepada Allah berarti memelihara diri dari siksa-Nya akibat pelanggaran atas perintahnya, dan bertaqwa dalam kaitannya dengan al-arham adalah memeliharanya agar tidak putus akibat perlakuan yang tidak wajar. [8]
        Q.S.Ali Imran (3): 112, Allah menjelaskan, kata Habl atau tali dalam ayat ini, terulang dua kali dan keduanya terulur datang dari siapa, yakni yang pertama dari Allah dan yang kedua dari manusia. Pengulangan kata yang sama dengan bentuk difinite (isim al-nakirah) yang sama pula mengisyaratkan tali yang pertama berbeda dengan tali yang kedua. Tali yang terulur dari Allah adalah tali Agama, yang bila berpegang teguh dengannya mereka tidak akan terkena sanksi yang disebut Al-Zillah dan Al-Maskanah. Atas dasar bahwa yang dimaksud adalah tali agama. Habl dari kata ini menuntun agar seorang muslim tetap menjalin hubungan, sehingga dengan demikian, dia dituntut untuk aktif, dia dituntut mengulurkan tali silaturrahmi.[9]
        Adapun Halal bihalal, dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri, adalah satu dari istilah-istilah “keagamaan” yang hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Istilah tersebut seringkali menimbulkan tanda tanya tentang maknanya, bahkan kebenarannya dalam segi bahasa, walaupun semua pihak menyadari tujuannya adalah menciptakan keharmonisan antara sesama. Paling tidak ada dua makna yang dapat dikemukakan menyangkut pengertian istilah tersebut, yang ditinjau dari dua pandangan. Yaitu, pertama, bertitik tolak dari pandangan hukum Islam dan kedua berpijak pada arti kebahasaan.[10]
Menurut pandangan pertama –dari segi hukum– kata halal biasanya dihadapkan dengan kata haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga pelanggarannya berakibat dosa dan mengundang siksa, demikian kata para pakar hukum. Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Jika demikian halal bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.
Pengertian seperti yang dikemukakan di atas pada hakikatnya belum menunjang tujuan keharmonisan hubungan, karena dalam bagian halal terdapat sesuatu yang makruh atau yang tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan. Pemutusan hubungan (suami-istri, misalnya) merupakan sesuatu yang halal tapi paling dibenci Tuhan. Atas dasar itu, ada baiknya makna halal bihalal tidak dikaitkan dengan pengertian hukum.
Menurut pandangan -kedua dari segi bahasa-akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai bentukan kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya. Makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut, antara lain, berarti “menyelesaikan problem”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, dan “mencairkan yang beku”.
Jika demikian, ber-halal bihalal merupakan suatu bentuk aktifitas yang mengantarkan para pelakunya untuk meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghalang terjalinnya keharmonisan hubungan. Boleh jadi hubungan yang dingin, keruh, dan kusut tidak ditimbulkan oleh sifat yang haram. Ia menjadi begitu karena Anda lama tidak berkunjung kepada seseorang, atau ada sikap adil yang Anda ambil namun menyakitkan orang lain, atau timbul keretakan hubungandari kesalahpahaman akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak disengaja. Kesemuanya ini, tidak haram menurut pandangan hukum, namun perlu diselesaikan secara baik; yang beku dihangankan, yang kusut diluruskan, dan yang mengikat dilepaskan.[11]
        Itulah makna serta substansi halal bihalal, atau jika istilah tersebut enggan digunakan, katakanlah bahwa itu merupakan hakikat Idul Fitri, sehingga semakin banyak dan seringnya mengulurkan tangan dan melapangkan dada, dan semakin parah luka hati yang kita obati dengan memaafkan, maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan kita terhadap hakikat halal bihalal. Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam.

SILATURRAHMI DI ORGANISASI NAHDHATUL WATHAN SEBAGAI ENTITAS KOMUNIKASI SOSIAL
         
Pertama, Mempertegas Identitas.
        Dalam hal bersilaturrahmi misalnya kita bisa mencontoh semut dan lebah. Semut binatang kecil pemakan gula tapi tidak pernah sakit gula (diabetes). Resepnya, pertama karena semut senang bersilaturrahmi. Tengoklah setiap berpapasan antara sesama semut sejenis mereka saling "bersalaman" yang terlihat dari kedua kepalanya saling ketemu. Kedua, bila seekor semut menemukan rezeki, mereka tidak mau makan sendiri tapi memberi tahu semut-semut lainnya. Setelah berkumpul, baru makanan itu mereka bawa kesatu tempat dan dinikmati bersama. Demikian juga lebah. "Lebah sangat disiplin dan mengenal pembagian kerja yang sangat baik. Sarangnya dibangun berbentuk segi enam, yang telah terbukti sangat ekonomis dan kuat dibandingkan bila segi empat atau lima".[12]
          Ada ungkapan nabi yang mengatakan;
    Di sekitar Arasy ada menara-menara cahaya di dalamnya ada orang-orang yang pakiannya dari cahaya dan wajah mereka bercahaya, mereka bukan para nabi bukan pula para syuhada’, hingga semua kagum kepada mereka, ketika ditanya, Rasulullah pun menjawab, mereka adalah: Orang-orang yang saling mencintai karena Allah, Saling bersahabat karena Allah, dan saling berkunjung berinteksi sosial karena Allah, dan saling memaafkan antarsesama karena Allah.[13]
Kedua, Memperkokoh Solidaritas.
        Silaturahmi adalah perbuatan mulia, merupakan amalan para nabi. Silaturahmi dapat menghilangkan sifat dengki, menambah persaudaraan, dapat mendatangkan rizqi, juga bisa menambah wawasan dalam pergaulan dan bersosialisasi dalam bermasyarakat. Nabi Ibrahim Al-Khalil as bersabda:
“Barang siapa berkunjung kepada seorang saudaranya karena Allah, maka Allah menuliskan baginya seribu kebaikan, menghapuskan darinya seribu keburukan, mengangkat baginya seribu derajat dan menyelamatkan dia dari siksa pada hari kiamat, karena mengunjungi saudaranya itu dia akan dikumpulkan dengan saudaranya didalam surga, sebagaimana jari telunjuk dengan jari tengah.”
        Abu Laits Samarqandi menerangkan bahwa di dalam silaturahmi itu ada sepuluh macam manfaat, yaitu:
1.   Mendapatkan ridho Allah SWT.
2.   Membuat orang yang dikunjungi berbahagia. Hal ini amat sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, "Amal yang paling utama adalah membuat seseorang berbahagia."
3.   Menyenangkan malaikat, karena malaikat juga sangat senang bersilaturahmi.
4.   Disenangi oleh manusia.
5.   Membuat iblis dan setan marah.
6.   Memanjangkan usia.
7.   Menambah banyak dan berkah rejekinya.
8.   Membuat senang orang yang telah wafat. Sebenarnya mereka itu tahu keadaan kita yang masih hidup, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka merasa bahagia jika keluarga yang ditinggalkannya tetap menjalin hubungan baik.
9.   Memupuk rasa cinta kasih terhadap sesama, meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa kekeluargaan, mempererat dan memperkuat tali persaudaraan dan persahabatan.
10.               Menambah pahala setelah kematiannya, karena kebaikannya (dalam hal ini, suka bersilaturahmi) akan selalu dikenang sehingga membuat orang lain selalu mendoakannya.
        Ash-Shiddiqi membagi silaturahmi kepada dua bagian, silaturahmi umum dan silaturahmi khusus; Silaturahmi umum yaitu, silaturahmi kepada siapa saja; seagama dan tidak seagama, kerabat dan bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan diantaranya; menghubungi, mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur dan berbuat baik dan lain sebagainya yang bersifat kemanusiaan. Silaturahmi ini disebut silaturahmi kemanusiaan.[14]
        Silaturrahmi umum ini sesungguhnya tidak jauh beda maksud dan tujuannya dari komunikasi sosial, sebab esensinya sama yaitu bagaimana menjalin komunikasi kepada masyarakat dengan tidak melihat komunikan dari stratum sosial apapun. Komunikasi sosial sesungguhnya berorientasi pada saling terjalinnya interaksi dan komunikasi antarsesama. Dari sisi ini silaturrahmi memiliki dimensi yang sama yaitu menjalin hubungan personal dan sosial dengan mengedepankan etika komunikasi persuasif, komunikasi kekeluargaan, yang sesungguhnya Islam memberikan ruang dan  peluang bagi pemeluknya untuk menjalin silaturrahmi atau komunikasi sosial dengan siapapun selama dalam kolidor yang benar dan bermanfaat demi keselamatan dan kesejahteraan bersama.
Silaturahmi khusus yaitu, silaturahmi kepada kerabat, kepada yang seagama, yaitu dengan cara membantunya dengan harta, dengan tenaga, menolong, menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemadharatan yang menimpanya, dan berdo’a, dan membimbing agamanya karena takut adzab Allah. Al-Maraghi menyebutkan silaturahmi kepada kerabat mu’min, yaitu menghubungkan karena imannya, ihsan, memberi pertolongan, mengasihi, menyampaikan salam, menengok yang sakit, membantu dan memperhatikan haknya.“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan:dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.[15]
         “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk”.[16] Dengan memperhatikan dan membandingkan dua hal di atas (Silaturahmi dan Halal bi halal) Silaturahmi lebih bermakna dari pada halal bi halal. Suatu kegiatan yang mengandung nilai baik, alangkah baiknya jika diberi nama yang baik pula. Tradisi berkumpul, bersalaman, saling memaafkan yang dilakukan sebagian orang di Indonesia setelah I’dul Fitri yang suka disebut halal bi halal, lebih bermakna jika disebut silaturahmi.Silaturahmi dalam pandangan Islam tidak terikat waktu, dan tidak terikat pada yang seagama, tetapi kapan waktu, dan kepada siapa saja, seagama juga berbeda agama dengan cara-cara yang tertentu.[17]

Ketiga, Mempererat Ukhuwwah dan Wihdah AL-Ummah Wa AL-Nahdhiyyah
         
          Silaturrahmi tidak akan bermanfaat signifikan jika tidak memenuhi elemen-elemen dasar dari silaturrahmi itu sendiri, antaralain:
        Pertama: al-Tawâsul (interaksi dan koneksi, saling sambung-menyambung)
        Konsep ini dalam Islam sangat relevan untuk menjadi perekat dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, dalam kapasitas apa saja dengan tidak memandang dari mana asal muasal mereka, dan interaksi ini sebetulnya mencerminkan; Ukhuwwah Basyariyah, Atau Ukhuwwah Insaniyyah, artinya, setiap orang semestinya tetap menjalin komunikasi dan interaksi sosial dengan siapa pun, dengan orang yang berbeda agama sekalipun, sebab dalam Islam Allah sangat menghargai orang-orang yang saling menghargai satu dengan yang lain. Jika manusia saling berinteraksi sosial dengan satu sama lainnya dengan mengedepankan sisi kemanusiaan, maka tidak akan muncul apa yang disebut dengan Konflik. 
        Kedua: al-Ta’âruf (saling kenal-mengenal, saling menemukenali)
        Ta’ruf (pengenalan), secara substansi mengandung makna bahwa setiap manusia dituntut untuk saling kenal-mengenal satu dengan yang lain, sebab Allah menciptkan makhluk ini dengan segala keragaman dan perbedaan sehingga konsep pengenalan itu menjadi suatu keharusan.
        Dengan Konsep Ta’aruf ini akan melahirkan semangat saling menghargai satu sama yang lain yang mencerminkan keharmonisan dalam masyarakat. Konsep ta’ruf ini mencerminkan prinsip dasar dalam ukhuwwah wathaniyyah persaudaraan setanah air, semangat nasionalisme, semangat kebangsaan. Hal ini membuktikan bagaimana Islam memberikan apresiasi yang tinggi terhadap semangat kebangsaan.
        Sejatinya semangat kebangsaan akan tumbuh dan bersemi jika diawali dengan  memperkenalkan satu sama lainnya, sehingga dengan konsep ini jika dipahami dengan maksimal tidak akan pernah terjadi gesekan-gesekan dalam bernegara dan berbangsa.    
Ketiga: al-Tafâhum (saling pengertian, saling memupuk solidaritas, toleransi)
        Saling pengertian dalam segala hal sangat dituntut dalam segala hal, artinya bahwa saling pengertian artinya diberikan kebebesan kepada seseorang untuk memilih jalan kehidupan sesuai dengan prinsip yang dia yakini, dengan tidak ada paksaan dalam segala hal. Sebab yang dituntut sebenarnya adalah bukan pada apa yang mereka yakini, tapi bagaimana menghargai dan memahami pilihan orang yang berbeda.
Keempat: al-Tarâhum (saling kasihmengasihi, saling empaty)
        Tarahum, dalam makna yang esensi adalah memberikan kasih sayang secara universal, bukan hanya dengan sesama manusia, bahkan dituntut berkasih sayang dengan makhluk-makhluk Allah yang lain, seperti kasih sayang dengan binatang, tumbuh-tumbuhan. Dengan semangat kasih sayang ini memberikan pengajaran bahwa tidak akan terjadi bencana alam jika manusia berkasih sayang dengan tumbuh-tumbuhan dengan cara memelihara Alam, melestarikan lingkungan, menjaga hutan, dan seterusnya. Inilah konsep yang mencerminkan ukhuwwah al-kauniyyah (persaudaraan dengan sesama alam semesta)
Kelima: al-Ta’âwun(memupuk semangat kebersamaan, kerjasama, dan team work)

        Substansi silaturrahmi adalah mempertegas dan memperkokoh solidaritas, sekaligus mempererat persatuan dan kesatuan. Kesemuanya tercermin dalam dimensi: Ukhuwwah Islamiyyah, Ukhuwwah Basyariyah/Insaniyyah, Ukhuwwah Wathaniyah dan Ukhuwwah Kauniyyah.  
          Karakter yang terbangun dari Ramadhan dan silaturrahmi adalah penerapan konsep kehidupan pribadi dan sosial yang tercermin dengan; tenang tanpa dendam, tenteram tanpa dengki, sejuk karena cinta kasih, lembut karena ketulusan, indah kerena kesabaran, harum karena kejujuran, bersih karena doa. Begitu juga indahnya manusia karena ahklaknya, indahnya bulan karena cahayanya, indahnya persahabatan karena kejujurannya, indahnya cinta karena kasih sayang, indahnya iedul fithri karena saling memaafkan. Hati laksana pohon, jika tidak disiram akan cepat layu dan mati, semoga pohon iman yang terlalu diguyur air Ramadhan tetap mendapat siraman rutin di bulan-bulan berikutnya.
        Personal Strength menyadari bahwa yang jauh itu waktu, yang dekat itu kematian, yang besar itu nafsu, yang berat itu amanah, yang mudah itu berbuat dosa, yang sulit itu amal shaleh, dan yang terindah adalah yang saling memaafkan antarsesama. Manusia adalah agent sosial yang akrab dengan kekhilafan dan dosa, maka di hari iedul fithri merupakan hari ”reinkarnasi” dalam Islam yang diawali dengan puasa dan silaturrahmi (al-afwu), sehingga diharapkan ke depan dapat mempengaruhi kehidupan yang baru dengan membuka lembaran baru (asshafhu, as-shahifah, al-mushafahah) menjadi lebih positif dan progresif.

·         SILATURRAHMI PENDIDIKAN
·         SILATURRAHMI ORGANISASI
·         SILATURRAHMI PRIBADI
·         SILATURRAHMI IEDUL FITRI

Tujuan akhir dari pengendalian diri yang dilatih dan dilambangkan dengan puasa Ramadhan sebenarnya adalah mencapai sebuah keberhasilan, bukan merupakan pelarian diri dari kenyataan hidup di dunia yang seharusnya dihadapi. Selama ini, begitu banyak orang menganggap bahwa puasa adalah “menihilkan” dunia nyata, yang akhirnya menghasilkan orang-orang yang mengabaikan realitas kehidupan atau lari dari tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosialnya, tanpa melakukan suatu perjuangan sebagai rahmatan li al-alamin, yaitu suatu tugas yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia sehingga ia dijuluki sebagai “khalifah” oleh Allah.[18]
Tujuan esensial dari puasa ramadhan sebenarnya adalah “menahan diri”, dalam arti yang sangat luas. Menahan diri dari belenggu nafsu duniawi yang berlebihan dan tidak terkendali, atau nafsu bathiniyah yang tidak seimbang. Di mana kesemuanya itu, apabila tidak diletakkan pada porsi yang benar akan mengakibatkan suatu ketidakseimbangan hidup yang akan berakhir pada kegagalan.
Kata min al-âidîn wa al-fâizîn wa al-maqbûlîn, sejatinya mengandung makna pembangunan karakter yang paripurna.
“Minal ‘aidin wal faizin,” demikian harapan dan doa yang kita ucapkan kepada sanak keluarga dan handai taolan pada Idul Fitri. Apakah yang dimaksud dengan ucapan ini? Sayang, kita tidak dapat merujuk kepada Al-Quran untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kata ‘aidin, karena bentuk kata tersebut tidak bisa kita temukan di sana. Namun dari segi bahasa, minal ‘aidin berarti “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali.” Kembali di sini adalah kembali kepada fitrah, yakni “asal kejadian”, atau “kesucian”, atau “agama yang benar”.
Setelah mengasah dan mengasuh jiwa – yaitu berpuasa – selama satu bulan, diharapkan setiap Muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dan menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci sebagai mana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, karena – menurut Rasulullah – al-aidin al-mu’amalah, yakni keserasian dengan sesama manusia, lingkungan, dan alam.
Sementara itu, al-faizin diambil dari kata fawz yang berarti “keberuntungan”. Apakah “keberuntungan” yang kita harapkan itu? Di sini kita dapat merujuk pada Al-Quran, karena 29 kali kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang. Menarik juga untuk diketengahkan bahwa Al-Quran hanya sekali menggunakan bentuk afuzu (saya beruntung). Itupun menggambarkan ucapan orang-orang munafik yang memahami “keberuntungan” sebagai keberuntungan yang bersifat material.[19]
Bila kita telusuri Al-Quran yang berhubungan dengan konteks dan makna ayat-ayat yang menggunakan kata fawz, ditemukan bahwa seluruhnya (kecuali QS 4:73) mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi.” Kalau demikian halnya, wal faizin harus dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah SWT sehingga kita semua mendapatkan kenikmatan surga-Nya.
Salah satu syarat untuk memperoleh anugerah tersebut ditegaskan oleh al-Qur’an dalam surah An-Nur ayat 22, yang menurut sejarah turunnya berkaitan dengan kasus Abu Bakar r.a. dengan salah seorang yang ikut ambil bagian dalam menyebarkan gosip terhadap putrinya sekaligus istri Nabi, Aisyah. Begitu marahnya Abu Bakar sehingga ia bersumpah untuk tidak memaafkan dan tidak memberi bantuan apapun kepadanya. Tuhan memberi petunjuk dalam ayat tersebut: Hendaklah mereka meaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[20]

·         IJTIMA’ RAMADHAN

RAMADHAN, SILATURRAHMI SEBAGAI SARANA CHARACTER BUILDING.[21]  
Disiplin diri merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun dan membentuk karakter seseorang. Sebab karakter mengandung pengertian:
·         Suatu kualitas positif yang dimiliki seseorang, sehingga membuatnya menarik dan atraktif;
·         Reputasi seseorang; dan
·         Seseorang yang unusual atau memiliki kepribadian yang eksentrik.
        Tentang proses pembentukkan karakter ini dapat disebutkan sebuah nama besar : Helen Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini--ia menjadi buta dan tuli di usia 19 bulan, namun berkat bantuan keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan (yang juga buta dan setelah  melewati serangkaian operasi akhirnya dapat melihat secara terbatas) kemudian menjadi manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904-- pernah berkata:
"Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved".
        Kalimat itu boleh jadi merangkum sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat perjuangan panjang dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian menjadi  salah seorang pahlawan besar dalam sejarah Amerika yang mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya.
        Helen Keller adalah model manusia berkarakter (terpuji). Dan sejarah hidupnya mendemonstrasikan bagaimana proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang.
        Dalam kacamata Islam, Character itu merupakan Thabi’ah, Sifat bawaan, Instinktif, atau Gharizhah, yang tidak muncul begitu saja tapi membutuhkan proses yang berkelanjutan (sustainable). Proses itu di antaranya adalah pengkaderan watak melalui Puasa Ramadhan dan dirangkaiakan dengan Shilaturrahmi, media sosialisasi terhadap terciptanya hubungan sosial yang harmonis, sehingga dengan demikian karakter yang ingin dibentuk adalah karakter manusia yang bertaqwa.  
        Selanjutnya, tentang nilai atau makna pentingnya karakter bagi kehidupan manusia dewasa ini dapat dikutip pernyataan seorang Hakim Agung di Amerika, Antonin Scalia, yang pernah mengatakan:
"Bear in mind that brains and learning, like muscle and physical skills, are  articles of commerce. They are bought and sold. You can hire them by the year or by the hour. The only thing in the world Not For Sale Is Character. And if that does not govern and direct your brains and learning, they will do you and the world more harm than good".
        Scalia menunjukkan dengan tepat bagaimana karakter harus menjadi fondasi bagi kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Sebab kecerdasan dan pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri memang dapat diperjualbelikan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di abad ke-21 ini knowledge is power.
        Masalahnya, bila orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan tidak menunjukkan karakter (terpuji), maka tak diragukan lagi bahwa dunia akan menjadi lebih dan semakin buruk. Dengan kata lain ungkapan knowledge is power akan menjadi lebih sempurna jika  ditambahkan menjadi- but character is more.
        Demikianlah makna penting sebuah karakter dan proses pembentukkannya yang tidak pernah mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli. Ke arah yang demikian itulah pendidikan dan pembelajaran - termasuk pengajaran di institusi formal dan pelatihan di institusi nonformal--seharusnya bermuara, yakni membangun manusia-manusia berkarakter (terpuji), manusia-manusia yang memperjuangkan agar dirinya dan orang-orang yang dapat dipengaruhinya agar menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang utuh atau memiliki integritas.
          Tujuan akhir dari pengendalian diri yang dilatih dan dilambangkan dengan puasa Ramadhan sebenarnya adalah mencapai sebuah keberhasilan, bukan merupakan pelarian diri dari kenyataan hidup di dunia yang seharusnya dihadapi. Selama ini, begitu banyak orang menganggap bahwa puasa adalah “menihilkan” dunia nyata, yang akhirnya menghasilkan orang-orang yang mengabaikan realitas kehidupan atau lari dari tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosialnya, tanpa melakukan suatu perjuangan sebagai rahmatan li al-alamin, yaitu suatu tugas yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia sehingga ia dijuluki sebagai “khalifah” oleh Allah.[22]
        Tujuan esensial dari puasa ramadhan sebenarnya adalah “menahan diri”, dalam arti yang sangat luas. Menahan diri dari belenggu nafsu duniawi yang berlebihan dan tidak terkendali, atau nafsu bathiniyah yang tidak seimbang. Di mana kesemuanya itu, apabila tidak diletakkan pada porsi yang benar akan mengakibatkan suatu ketidakseimbangan hidup yang akan berakhir pada kegagalan.

Wallahu a'lam bi asshawab




[1] Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir, (Yogyakarta: Krapyak Press, 1999), Cet. 1. h. 1638- 1668
[2] Al-Raghib (tt, 191)
[3] Abdurrahman Faudah (tt, 13)
[4] Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1971), V:93, h. 246.
[5]Q.S.An-Nisa’ (4): 1.  
                [6] H.R. Muslim dari ‘Aisyah r.a, lihat Shahih Muslim, Jilid II, h. 235.
                [7] H.R. Bukhari melalui Abu Hurairah r.a, Lihat Shahih Bukhari Jilid III. 
                [8] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, cet. XI, Volume 2, h. 334-335. 
                [9] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, cet. XI, Volume 2, h. 187-188. 
                [10] M.Quraish Shihab, Lentera Hati, Jakarta: Yayasan Lentera Hati, 1999, Cet 3, h. 25.
                [11] M.Quraish Shihab, Lentera…, h. 29.
                [12] Permadi Alibasyah, Bahan Renungan Kalbu, Jakarta: GIP, 2000, cet. 1. h. 23.
                [13] H.R Turmuzi, baca Sunan at-Tirmizi,
[14] Ash-Shiddiqi, Al-Islam, (Damascus: Dar al-Kutub al-Arabiyyah, 1977), cet. II. h. 374
[15] Imam al-Maraghi, Tafsir al-Maraghy, (Cairo: Dar al-Mishriyyah, 1412), Cet. 2. Jilid V. h.73
[16] QS. 17:26
[17] QS. 13:21
                [18]Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001, cet. 1, h. 218-219.  
[19] baca QS 4:73
[20]QS 24:22
[21]Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya "tools for marking", "to engrave", dan "pointed stake". Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk' unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau `berkarakter' tercela).
                [22]Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001, cet. 1, h. 218-219.  

1 komentar:

  1. Semoga lbh banyak lagi bermunculan penulis2 handal di NW sprti cendekiawan NW kita yg satu ini

    ReplyDelete