Monday, September 14, 2015

EKSPRESI KEBERAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM INDONESIA ( MOZAIK KEBHINEKAAN INDONESIA )


Oleh: Fahrurrozi



Abstrak

Ekspresi religiusitas umat Islam Indonesia merupakan respons ummat Islam terhadap perkembangan modernitas zaman, sehingga payung besar dari kebangkitan Islam tersebut terbagi dalam tiga kelompok, yakni revivalisme Islam, reformisme Islam dan fundamentalisme Islam. Islam revivalis melahirkan beberapa kelompok gerakan, di antaranya: Islam puritan, Islam tradisionalis, Islam ortodoks, Neo-revivalis, Islam konservatif. Sedangkan Islam reformis melahirkan beberapa gerakan, seperti: Islam modernis, Islam liberal, Islam subtansial, dan Neo-modernis. Sementara Islam fundamentalis melahirkan Islam radikal, Islam militan bahkan terorisme. Secara metodologis pemahaman terhadap Islam, gerakan pemikiran Islam abad modern dan kontemporer, sebagaimana yang dikatakan oleh Lauay Safi terdiri dari dua, yakni, kelompok yang menggunakan dan menerapkan sistem Islam klasik dan kelompok yang memakai paradigma metodologi epistemologi modern Barat secara total atau dengan proses integrasi antara keilmuan modern Barat dengan khazanah keilmuan Islam. Berdasarkan hal tersebut, layak disebut bahwa kebhinekaan Umat Islam Indonesia sebagai khazanah bangsa yang harus dirajut sehingga tercipta keharmonisan antarumat beragama sebagai ciri karakter bangsa Indonesia yang sesungguhnya.




PENDAHULUAN

Gerakan keislaman atau kebangkitan Islam dimulai sejak Islam bersentuhan dengan Barat melalui kolonialisasi dan imperialisasi wilayah kekuasaan Islam,[1] dan ini merupakan awal dari abad modern di dunia Islam, atau dalam pandangan Harun Nasution merupakan masa kebangkitan Islam.[2] Islam dihadapkan dengan kondisis zaman yang begitu progresif, berada di luar bayangan ummat Islam sebelumnya, Barat datang dengan seperangkat temuan-temuan canggih dalam bentuk sains dan teknologi, sistem sosial yang begitu apik, semuanya merupakan cermin atau ciri dari modernisme yang berkembang di Barat. Napoleon Banoparte (1798-1801) yang datang ke Mesir misalnya datang dengan segenap perangkat modernisme, seperti, disertakannya para ilmuan, perpustakaan, literatur Eropa modern, laboratorium ilmiah, serta alat-cetak dengan huruf Latin, Yunani dan Arab.[3]

Dari kondisi inilah maka dimulailah apa yang dinamakan dengan gerakan kebangkitan Islam, yang dalam pandangan Fazlur Rahman melihat bahwa respons Islam terhadap Barat justru melahirkan Muslim modernis dalam pandangan yang modernis pula.[4] Terkait dengan ini maka tokoh-tokoh yang lahir adalah mereka yang telah berinteraksi dengan budaya luar terutama budaya pemikiran dan pendidikan Barat, sehingga pandangan keislaman yang mereka ajukan lebih kontekstual dan demokratis, sebab dalam pandangan mereka bahwa trasformasi budaya modern Barat yang progresif ke wilayah Islam sudah tidak terbendung, maka agar Islam relevan dengan kondisi zaman yang dihadapi maka harus ada reinterpretasi ulang yang lebih edukatif, kontekstual, progresif dan akomodatif, atau rethinking Islam.[5] Rethinking Islam yang ditawarkan Mohammed Arkoun bertujuan untuk menggunakan nalar kritis bebas rasional untuk mengelaborasi sebuah visi baru dan koheren yang mengintegrasikan kondisi baru yang dihadapi umat dengan unsur-unsur tradisi muslim yang masih ada, atau integrasi antara kemajuan budaya modern Barat dengan khazanah-khazanah keilmuan Islam.[6] Maka dalam bahasa Islam upaya tersebut dinamakan ijtihad yang kontinyu dan intensif dalam segala aspek, baik fiqh, kalam dan lain sebagainya.

Azyumardi Azra juga melihat respons umat Islam terhadap modernisme dan modernisasi Barat dilakukan dengan tiga bentuk, pertama, apoligetik, kedua identifikatif dan ketiga afirmatif.[7] Secara garis besarnya sebagai sebuah dampak dari kehadiran bangsa Barat di dunia Islam telah melahirkan tiga kelompok Islam yang berskala luas di seluruh belahan dunia Islam, yakni, Islam revivalisme, Islam reformis dan Islam fundamentalisme.[8]



KEHADIRAN AGAMA DAN EKSPRESI KEBERAGAMAAN 



Agama hadir dalam diri manusia sepanjang sejarah eksistensinya di muka bumi, agama juga hadir derdasarkan kebutuhan yang amat manusiawi, paling tidak dari segi emosional manusia itu sendiri.[9] Atas sifatnya yang sejalan dengan sifat-sifat manusia inilah kemudian agama diyakini dan dijadikan sebagai landasan hidup worldview, karena agama dalam posisinya yang sakral dianggap sebagai blue print Tuhan yang diformulasikan untuk selanjutnya dijadikan rujukan untuk menyelesaikan segala permasalahan hidup.[10] Dalam konteks yang demikian, agama sejatinya diturunkan dan dianut oleh masyarakat dikarenakan memiliki sebab dan tujuan-tujuan tertentu, dan yang paling fundamen dari sebab dan tujuan tersebut adalah harapan tempat menyandarkan kedamaian, kebaikan dan keselamatan di dunia dan akherat. Agama juga telah dijadikan sebagai idiologi dalam menciptakan dan menggerakkan spirit motivasional bagi manusia sebagai bentuk mengaktualisasi diri dalam kehidupan,[11] dan sebagai gerakan revolusioner untuk pembebasan diri dari tirani, hegemoni dan ketidakadilan sosial politik, budaya serta ekonomi.[12] Atas dasar sifat dan fungsi agama yang demikianlah masyarakat memeluk agama, disamping karena beragama atau bertuhan sudah menjadi fitrah manusia.  

 Dengan karakteristik dan peran agama yang demikian maka tidak heran jika terdapat pandangan yang mengatakan bahwa jika kita mau mengetahui peradaban dunia atau suatu kelompok masyarakat dan negara, maka yang harus dibuka adalah pintu jendela agama. Dalam pandangan yang demikian maka kesimpulannya adalah, bahwa peradaban terbentuk berdasarkan keyakinan dan nilai religiusitas masyarakat, sehingga mempelajari kebudayaan atau peradaban tidak akan mencapai hasil maksimal jika penelitian tentang agama diabaikan. Dalam teori budaya yang dikembangkan Clifford Geerth terlihat bahwa agama menjadi fondasi bagi terbentuknya suatu kultur dan tradisi dalam masyarakat, yakni manifestasi agama dalam budaya. Jika dilihat dari fakta historis berupa data-data arkeologis, karya-karya seni dan bangunan-bangunan sejarah, maka teori tersebut terbukti dengan sendirinya sebagai seuah kebenaran sosial-kultural dan historis, seperti bangunan-bangunan candi yang masih berdiri kokoh di Jawa, seperti candi Borobudur, candi Prambanan, candi Loro Jonggrang dan lain sebagainya, semua itu merefleksikan kuatnya agama dalam kehidupan masyrakat Jawa, dan candi merupakan simbol dari peradaban yang dibangun diatas fondasi agama, yakni Hindu dan Budha. Ini dalam konteks Indonesia, jika kita melangkah ke wilayah dunia lain juga akan  ditemukan bukti-bukti historis yang sama, seperti Masjid Tajmahal di India, Piramida di Mesir dan lain sebagaianya. Yang semua itu merefleksiokan sebuah peradan keyakinan manusia atas agamanya.

Agama sebagai sistem nilai yang universal, memiliki daya tarik secara an sich dan begitu menarik untuk ditawarkan kepada manusia, sebagaimana yang dikatakan Joachim Wach, ia melihat agama memiliki tiga bentuk dalam pengungkapan nilai universalnya, yakni, belief sistem (pengungkapan teoritik yang terwujud sebagai sistem kepercayaan), sistem of worshif (sebagai sistem penyembahan), sistem of social relation (sebagai sistem hubungan masyarakat).[13] Sedangkan dalam tataran nilai religiusitas, agama memiliki lima dimensi, yaitu, dimensi belief (ideologi), dimensi practice (praktek agama), dimensi feeling (pengalaman), dimensi knowledge (pengetahuan), dimensi effect (konsekwensi).[14]

Disamping itu agama merupakan wilayah atau bagian dari fenomena hidup yang susah untuk difahami, sebab agama yang sama akan berubah bentuk pemahaman pada wilayah yang berbeda, tergantung dari seting social-kultural masyarakat. Sebab itu kita menemukan beberapa pendefinisian agama oleh para pakar, sosiolog dan antropolog, seperti Clifford Geertz, dengan merumuskan agama sebagai : (1) Sebuah sistem simbol yang berfungsi untuk (2) membangun perasaan dan motivasi yang penuh kekuatan, pervasif dan tanpa akhir dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep mengenai tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsepsi-konsepsi  tersebut dengan suatu aura faktualitas sehingga (5) perasaan dan motivasi diatas menjadi  realistis[15]

William James mendefinisakan agama sebagai ‘... perasaan, tindakan, dan pengalaman manusia secara individual saat berada dalam perenungan atau kontemplasi saat sendiri sejauh tindakan menyendiritersebut membawanya ke dalam kondisi yang membawanya untuk berhubungan dengan apa pun yang dianggap sacral.[16] Sementara Joachim Wach (1892-1967), menerapkan beberapa persyaratan mutlak untuk sampai kepada pemahaman yang benar dan utuh terhadap agama yang diteliti, diantaranya adalah syarat intelektual, kondisi emosional yang cukup, kemauan yang keras dan pengalaman yang memadai.[17] Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang memberikan gambaran tentag apa itu agama, bagaimana memahami agama. Dari pendefinisian agam tersebut tampak bahwa agama seakan-akan menjadi sebuah daya sacral bagi manusia yang dimanifestasikan kedalam pola hidup sehari-hari

            Maka deskripsi di atas memberikan sebuah acauan dan pemahaman kepada manusia bahwa semua itu merefleksikan bentuk dari manifestasi agama dalam kehidupan sosial-kultural masyarakat. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana masyarakat mempersepsikan agama kedalam dirinya, terinternalisasi menjadi sebuah keyakinan mutlak, dan mampu diterjemahkan kedalam kehidupan sehari-hari sebagai sebuah worldview dalam memahamai, mempersepsi dan menjalankan kompleksitas hidup di dunia yang profan dan ambigu ini?. Sebgaimana yang diulas di atas, bahwa telah terdapat perhatian para sosiolog dan antropolog terahdap upaya penelitian untuk memahami agama. Paling tidak kesimpulan sementara yang bisa kita ambil adalah, bahwa pengambilan dan penentuan sikap keberagamaan tidak lepas dari upaya hermetisasi[18] atu interpreatsi terhadap agama. Proses hermetisasi inilah yang akan melahirkan bentuk dan warna agama dalam diri manusia, namun upaya hermetisasi ini tidak lepas dari keterpengaruhan seseorang atas kultur, pendidikan, ekonomi, politik dan kepentingan-kepentingan hidup yang akan dicapai. Sehingga perbedaan kondisi kultur, pendidikan dan tingkat intlektualitas seseorang akan melahirkan perbedaan bentuk pemahaman dan ekspresi religiusitasnya.[19]

Masalah tersebut paling tidak diungkapkan oleh Prof. Mukti Ali, bahwa (a) persoalan dan pengalaman keagamaan bersifat subyektif dan individualistik. Tiap orang mengartikan agama sesuai dengan pengalaman keagamaannya sendiri. (b) karena dimensi kesakralannya, tak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional selain membicarakan agama. (c) konsepsi tentang agama akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang (backround), disiplin ilmu dan tujuan orang yang memberikan pengertian tentang agama.[20] Islam sebagai agama juga telah melahirkan beragam bentuk pemahaman dan praktek pengamalan dari ummatnya, sebagaimana yang akan kita lihat nanti.

Dalam sejarah peradaban[21] Islam[22] ditemukan beberapa contoh perbedaan pemahaman dan ekspresi keberislaman, terutama setelah nabi Muhammad meninggal dunia, tepatnya pada masa khalifah Usman dan Ali. Maka pada masa awal Islam ditemukan kelompok-kelompok Islam dalam bentuk aliran-aliran terutama antara kubu Umayyah dan Abbasiyah. Dan pada masa pertengahan atau Islam klasik ditemukan beragam kelompok atau mazhab, seperti kelompok Islam aliran kalam (Khawarij, Maturidyah, Mu’tazilah, Asyariyah, Qadiriyah, Jabariyah, Syiah dan Sunni). Mazhab Fiqh (Maliki, Hambali, Hanafi dan Syafi’i). Dalam bidang filsafat, Islam pernah meiliki tokoh-tokoh yang begitu briliam dalam melahrkan ide-ide filosfisnya, diantranya, pertama, aliran Peripatetik.[23] Kedua, aliran iluminasionis (Isyraqiyyah).[24] Ketiga, aliran teosofi transenden atau al-Hikmah al-Mutaaliyyah (979-1050/1571-160).[25] Dalam bidang tasawuf juga ditemukan tokoh-tokoh yang melahirkan bentuk dan ekspresi Islam dalam beragam konsep dan ajaran, terutama dalam masalah persepsi dan pengalaman eksistensialnya setelah melakukan pengembaraan transkosmik dan menyatu dengan Zat Allah.

Semua bentuk aliran dalam Islam tersebut selanjutnya melahirkan bentuk persepsi dan sikap keagamaan yang berbeda-beda, seorang filosof akan melihat dan mengamalkan Islam dalam konteks rasionalitas yang mendalam. Seorang sufi akan memahami dan mempraktekkan Islam secara esoteris atau subtatif. Seorang yang ahli fiqh akan mengamalkan Islam secaraformalistis dan ritualistic. Seorang teolog akan mengamalkan Islam secara teologis pula. Pleksibilitas Islam tersebutlah yang memungkinkan lahirnya wajah baru kebersilaman sesuai dengan metode pendekatan yang dilakukan, namun yang jelas tiap pemahaman dan penafsiran harus tetap berada dalam wilayah-wilayah yang dibenarkan oleh Islam.

Demikianlah gambaran historis tentang persepsi dan sikap keberislaman pada masa awal dan klasik Islam. Jika pada masa awal dan pertengahan saja sudah sedemaikian kompleks dan plural bentuk Islam yang diekspresikan oleh ummatnya, pertanyaannya sekaranga adalah, bagaimana dengan konteks sekarang yang telah begitu jauh tertinggal dengan periode sejarah keislam awal dan pertengahan, yang mana pertemuan budaya yang satu dengan yang lainnya begitu kuat, pemikiran progresif abad modern yang lahir dibarat masuk kedalam ide intlektual dan sikap masyarakat Islam, terutama dalam konteks Indonesia yang secara historis, geografis dan kultural jauh berbeda dengan sumber Islam yakni Arab?. Dan bahkan masyarakat Indonesia lebih banyak bersentuhan dengan ide-ide progresif modern Barat ketimbang Arab, baik dalam bentuk ide-ide idiologi sosial politik modern Barat. Ahirnya sebagai sebuah konsekwensi logis-kultural-teologis, maka sudah pasti pemahaman dan ekspresi keberislaman akan menjadi plural,[26] terutama jika kita mengacu pada teori determinisme lingkungan,[27] yakni, perubahan sosial, teori pembangunan, teori budaya dan lain sebagainya.  

            Keragaman pemahaman dan ekspresi Islam yang ditampilkan oleh ummat Islam Indonesia inilah yang akan dikaji dalam tulisan ini, sebuah perkembangan tipologis peta pemikiran keislaman di Indonesia. Semua kelompok dan aliran pemikiran Islam tersebut hadir sebagai respons terhadap proses globalisasi dan modernisasi di Indonesia. Gerakan pemikiran tersebut terlihat baik dalam pemikiran individu, kelompok maupun organisasi keislaman. Dalam sejarah perkembangan teologi di Indonesia terjadi dan dipengaruhi oleh konteks situasi dan kondisi historis tertentu yang dihadapi kaum muslim Indonesia, yang mana untuk kemudian meransang nalar intlektualitas para cendikiawan muslim untuk memberikan respons-respons tertentu, yang mana respons tersebut mengarah pada gerakan pembaruan.



Corak Kebhinekaan Umat Islam Indonesia: Upaya Menemukenali Karakter Bangsa

Ada berapa corak kebhinekaan keberagamaan masyarakat Islam Indonesia yang dapat penulis elaborasikan dalam artikel ini.

Pertama:  Islam Aktual

Islam Aktual merupakan sebuah gerakan yang mencoba membangun suatu tindakan aktif religius dalam menyikapi permasalahan hidup. Islam aktual yang mencoba merintis kartu riligius pada ummat untuk mengaktualisasikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai normatif doktrinal Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, bahkan dalam khazanah intelektual Islam yang ada. Islam Aktual berusaha untuk melakukan empirisasi atas ajaran Islam dalam kehidupan yang riil dan dalam beragam bentuk kehidupan yang kompleks. Hal ini sesuai dengan makna actual tersebut, yakni keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya.[28]

Dari sini kita dapat mengambil sebuah identitas dari Islam aktual ini, yakni sebuah gerakan yang mengedepankan pengamalan atau action agama dalam kehidupan empirik, sehingga kebenaran Islam tidak hanya bersifat skripturalis belaka, tapi mampu terinternalisasi dalam pribadi yang menjadi spirit to action dalam kehidupan nyata. Gerakan pembangunan manusia dan masyarakat yang religius, mandiri dan maju. Hal ini sesuai dengan makna pembangunan manusia jika dikaji secara sosiologis, yakni suatu proses perubahan sosial masyarakat dari suatu keadaan tertentu ke suatu keadaan yang lebih baik dari segala segi.[29]

Gagasan-gagasan Islam aktual yang diarahkan pada pembangunan sosial ummat Islam dapat ditemukan dalam pemikiran Jalaluddin Rahmat dengan bukunya Islam Aktual, di mana ia membahas bagaimana gambaran kondisi Indonesia dan ummat Islam yang berada dalam proses pembangunan dan modernisasi. Tema-tema permasalahan yang diangkat dalam tulisan Rahmat ini cukup aktual, seperti apa itu pembangunan, apa itu organsiasi-organisasi sosial non-agama dan organiasasi keagamaan, apa itu masjid dan lain sebagainya.[30]

Agama dalam pandangan Kang Jalal akan berperan tergantung pada pemeluknya, bergantung pada peranan yang kita berikan, dan bergantung pada bagaiman kita memandang agama.[31] Cara pandangan ini sama dengan yang diungkapkan Ali Syari’ati (lahir 24 November 1933)[32] bahwa suatu agama akan menjadi penting dan bermamfaat­­ bukan karena agama itu sendiri, melainkan tergantung pada kualitas pikiran dan intelektualitas para pemeluknya, jika pemeluknya berfikiran dangkal dan tekstual-skripturalis maka agama tersebut akan menjadi sempit dan tidak bernilai universal, melainkan akan menjadi agama yang kering nilai, dan pemeluknya akan menjadi dogmatis, konservatif, ekslusif, fundamentalis-radikal dan militan, namun jika pemeluknya kritis, berwawasan luas, edukatif serta progresif, maka agama akan menjadi lebih bernilai universal, modern dan responsif.[33]

Kedua, Islam Fundamentalis

            Jika dilihat secara geneologis historisnya, fundamentalsime untuk pertama kali lahir di Amerika sekitar abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 pada berbagai gerakan keagamaan sekte kristen Protestan.[34] Fundamentalsime Kristen AS hadir sebagai reaksi terhadap gerakan modernisme Amerika yang sekuler, namun di samping itu para tokoh Kristen berjuang untuk menyelaraskan ajaran agama dengan kemajuan ilmu pengetahuan, evolusionisme dan liberalisme. Kaum fundamentalis tetap berpegang teguh pada lima ajaran mutlak Kristen, yakni: 1. Injil tidak dapat salah. 2. Ketuhanan Yesus Kristus. 3. Yesus lahir dari Perawan Mariam. 4. Penebusan dosa. 5. Kebangkitan kembali Yesus ke dunia secara fisik.[35]

Dalam kajian selama ini bahwa pelabelan fundamentalisme pada kelompok Islam berdasarkan kesamaan ciri, baik dalam prinsip dan prakteknya, seperti yang diungkapkan oleh Ibrahim Abu Bakar melihat terdapat bebarapa kesamaan antara Fundamentalsime Kristen dengan Fundamentalisem Islam, di antaranya: 1) penafisran yang literalis terhadap kitab suci. 2) fundamentalisme mirip dengan sikap fanatisme, ekslusivisme, radikalisme, intolaran dan militan. 3) fundamentalisme menekankan pada penolakan terhadap modernism, liberalism, dan humanism. 4) kaum fundamentalsime melihat orang di luar dirinya sebagai yang sesat dan kelompok merekalah yang paling benar dalam menafsirkan agama.[36]

            Dari kalangan ummat Islam sendiri juga cenderung tidak mau menggunakan istilah fundamentalsime, seperti Yusuf Qordhawi memakai istilah Sahwah Islamiyah, Mohammed Arkoun dengan istilah Islamawiyah,[37] Hasan Hanafi dengan istilah al-Usuliyyah Islamiyyah.[38] Sedangkan yang melatar belakangi lahirnya fundamentalsime Islam adalah hampir sama dengan fundamentalisme Kristen, yakni penolakan atas gerakan modernisme sekulerisme di negara Islam, karena dipandang bertentangan dengan doktrin Islam. Jadi fundamentalisme Islam lahir untuk membendung permasalah internal yang diakibatkan oleh kelompok Islam sendiri yang berusaha mengembangkan budaya modernisme sekulerisme Barat.[39]

            Sebagian lagi lebih melihat Fundamentalisme dari aspek rigid dan riteralis dalam memahami agama. Seperti, Allan Taylor melihat fundamentalisme Islam sebagai kelompok yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis dan lebih menekankan gerakan furitanisasi ajaran agama. Sementara itu Bannerman melihat kaum fundamentalis sebagai kelompok ortodoks yang bercorak rigid  dan ta’ashub yang bertujuan untuk menegakkan konsep-konsep keagamaan dari abad klasik. Daniel Pipes melihat fundamentalis sebagai kelompok yang meyakini syariah sebagai peraturan yang abadi sepanjang zaman tanpa melakukan reinterpretasi untuk menyeselesaikannya dengan perkembangan zaman, sehingga kaum fundamentalis sebagai kaum legalis yang konservatif. Bassam Tibi mengartikan fundamentalis sebagai kelompok yang menolak segala sesuatu yang baru dalam kehidupan sosial selain dari apa yang sudah tersedia dalam doktrin agama.[40]

Dari paradigma pemahaman yang rigid dan literalis tersebut, kaum fundamentalsime Islam menganggap Islam sebagai agama yang total, sehingga tidak perlu lagi memasukkan unsur-unsur luar Islam atau Barat untuk menyelesaikan permasalahan ummat Islam, yang perlu dilakukan adalah menerapkan hukum-hukum Islam menjadi sebuah system nilai yang universal dalam hidup, baik dalam masyarakat maupun negara.

Ketiga, Islam Emansifatoris

Islam emansipatoris atau Islam untuk pembebasan, bisa dikatakan sebagai sebuah gerakan yang muncul untuk mengatasi kesenjangan antaragama yang hanya dilihat sebagai jalinan teks belaka, namun tidak mampu menjangkau realitas sosial yang ada. Islam emansipatoris terkait dengan nalar kristis Islam yang pernah ada, terutama yang beraliran kiri, itulah sebabnya dikatakan sebagai jaringan Islam emansipatoris atau jaringan tafsir emansipatoris atau Islam kritis. Titik tolak dari Islam emansipatoris adalah problem kemanusiaan, dan teks dilihat sebagai subordinat terhadap pesan moral atau etika atau spiritual, dan tidak dipahami sebagai hukum atau undang-undang melainkan sebagai sinaran pembebasan.

Di sini Islam emansipatoris membongkar teks untuk aksi, sehingga dalam tataran praktis hal-hal yang menjadi target pembebasannya adalah: 1) bagaimana mendefiniskan secara adil apa yang dipahami sebagai problem kemanusiaan. 2) bagaimana memperlakukan teks dalam tahap refleksi kritis. Di sini teks diperlakukan untuk mengasah nurani dalam melihat problem kemanusiaan karena teks bukan satu-satunya rujukan dalam melakukan refleksi kritis. 3) bagaimana teks diperlakukan sebagai sumber kritik. Di sini membutuhkan metode pemahaman yang mungkin akan berbeda dengan metode konvensional. 4) karena teks bukan satu-satunya alat, maka cara apa lagi yang akan dipakai untuk melakukan pembebasan dan pencerahan, salah satu caranya adalah dengan memperlakukan teks secara lebih ringan dan mendekonstruksinya, yaitu dengan mengabaikan teks dan tidak terlalu mengagungkannya dalam pembahasan[41]

Islam emansipatoris lahir untuk memberikan warna yang praktis dari Islam untuk penyelesaian problem sosial dan keagamaan manusia. Paling tidak ada tiga kelompok keislaman yang dinilai oleh Islam emansipatoris sebagai yang gagal memainkan peran sebagai agenda pembebasan, yakni, pertama Islam skripturalis, dilihat sebagai kelompok yang mendasarkan diri pada teks, titik awal dan akhir adalah teks. Kedua Islam ideologis, Islam yang tidak berangkat dari teks dan tidak pula berakhir pada teks, melainkan dari pilihan kebenaran dan idenya sendiri yang diideologikan. Teks hanya dijadikan sebagai legitimasi dan jastifikasi atas apa yang diinginkan. Ketiga Islam modernis yang hanya melakukan pendalilan terhadap realitas kemodernan atas nama agama.[42]

             Maka terkait dengan studi agama ini, Islam emansipatoris melakukan tiga bentuk, pertama agama dilihat sebagai realitas sosial. Di sini agama terkadang dilihat sebagai produk sejarah, sebagaimana agama juga membentuk sejarah. Hal ini dilihat dengan alasan bahwa pesan-pesan agama merupakan pesan sosial dan sejarah, sehingga terjadilah akulturasi antara agama dan realitas. Kedua kritik wacanan agama. Ketiga melakukan reinterpretasi atas doktrin-doktrin keagamaan.[43]

Inilah langkah pertama yang dilakukan Islam emansipatoris sebagai jalan menuju agenda selanjutnya. Kemudian setelah itu Islam emansipatoris merumuskan tiga hal dalam merumuskan Islam yang ingin diletakkan dalam tataran praktis diskursif. Pertama memberikan pandangan baru tentang teks, yakni melihat teks dari permasalahan kontekstual dan problem kemanusiaan, karena teks lahir dari situasi sosiokultural masyarakat pada zamannya. Kedua menempatkan manusia sebagai subjek penafsiran keagamaan. Selama ini pemahaman agama berangkat dari teks yang kemudian diturunkan menjadi hukum dalam rangka memberi status hukum kepada realitas. Akibtnya teks menjadi kehilangan semangat transformatifnya. Ketiga Islam emansipatoris fokus pada permasalahan manusia bukan pada perdebatan teologis, dalam artian bahwa persoalan agama dialihkan ke permasalahan praktis bukan permasalahan ritualistik, atau dari permasalahan teosentris menuju antroposentris. Dengan demikian agama selain berperan sebagai ritual peribadatan tapi agama juga berperan sebagai sarana pembebasan.[44]  

Keempat, Islam Kultural

Islam kultural merupakan gerakan pemikiran keislaman yang berkembang di Indonesia dengan pendekatan ilmu sosial, seperti antropologi, ilmu budaya, sosiologi, dan sejarah. Sebagaimana pengertian kebudayaan tersebut sebagai sebuah hasil karya budi daya manusia. Ini merupakan pengertian yang sangat umum, namun jika kita melihat dari bentuk kebudayaan yang dihasilkan yakni dalam dua bentuk, intelektual (pemikiran kefilsafatan, seni sastra), dan benda (benda-benda bersejarah). Istilah kultural berasal dari kata culture yang berarti kesopanan, kebudayaan, dan pemeliharaan.[45]

Islam kultural dapat dimaknai sebagai sebuah pemikiran yang dibangun berdasarkan perspektif kebudayaan untuk memahami Islam.

Kelima, Islam  Liberal

            Istilah Islam liberal[46] sejatinya didasarkan atau mengacu pada kesadaran akan pentingnya sebuah gerakan memikirkan dan menafsirkan Islam secara kontektual, kritis, dinamis, progresif dan modern. Maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Islam liberal merupakan kelompok Islam yang mencoba melakukan ijtihad secara bebas dalam arti tidak lagi mau dipenjara dalam sistem pemahaman keislaman yang sifatnya diwarisi dari Islam klasik saja, atau kelompok Islam yang mencoba lepas dari penjara tradisi dalam memahami agama dan melihat realitas kehidupan. Atau kelompok Islam yang mengusung kebebasan dalam melakukan ijtihad dalam artian tidak dimonopoli oleh kaum tua atau ulama semata.

Inti dari Islam liberal adalah meramu Islam berdasarkan realitas dan kondisi globalitas zaman yang empirik, dengan cara melakukan reinterpretasi Islam agar sesuai dengan kondisi zaman yang ada, mereka berangkat dari realitas baru kepada teks, naumn teks agama tidak dijadikan sebagai legitimasi atas realitas yang ada, melainkan yang ingin dilakukan dengan cara tersebut adalah sebuah pemahaman yang lebih aktual dan progresif sehingga agama menjadi tidak kering dan mandul, atau agama tidak menjadi penghalang bagi pluralisme, agama tidak lagi menjadi alasan untuk memarjinalkan perempuan, agama tidak lagi menjadi penghalang bagi demokrasi, agama tidak lagi menjadi penjara bagi kebebasan dalam mengekspresikan keyakinan dan peribadatan masyarakat.

 Di era millennium ini muncul tokoh-tokoh muda Islam yang terhimpun dari berbagai golongan dan propesi, yakni dari kalangan NU, Paramadina, Aktivis Jurnalis, IAIN Jakarta, di samping juga golongan tua di era tahun 1980-an yang berpendidikan luar negeri terutama di Amerika. Mereka terhimpun dalam satu komunitas Islam yang disebut Islam Liberal Indonesia. Kelompok Islam liberal boleh dipandang sebagai sintesis dari demokrasi dan Islam. Mereka menafsirkan sejarah dan doktrin Islam menjadi paralel dengan prinsip-prinsip demokrasi yang berkembang di Indonesia, dan pluralisme kebudayaan modern.[47] 

Keenam, Islam Modernis

Mengenai definisi Islam modernis ini, para peneliti memberikan pandangan yang berbeda namun subtansinya sama, yakni ingin melakukan perubahan dalam pola fikir dan cara pandang terhadap Islam dengan melakukan reinterpretasi secara kontekstual. Fazlur Rahman melihat modernisme sebagai upaya untuk menyesuaikan atau mengharmoniskan antaraagama dan pengaruh modernitas serta westernisasi yang sedang berlansung di dunia Islam. Usaha tersebut dilakukan dengan cara menafsirkan dasar-dasar doktrin Islam agar relevan dengan semangat zaman.[48] Sementara itu Bassam Tibi yang melihat gerakan modernis Islam sebagai upaya untuk melakukan akulturasi budaya yakni dengan melakukan integrasi sains dan teknologi modern ke dalam Islam sambil melakukan preventitifikasi atas konsekuensi negatif yang akan muncul dari penerapannya.[49] Sedangkan Mukti Ali melihat modernism Islam sebagai gerakan yang berupaya melakukan purifikasi agama dan kebebasan berpikir. Maka Islam modernis adalah gerakan ke arah puritanisasi untuk mengajak ummat Islam kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah serta mengajak untuk diberikannya ruang bagi akar untuk mengeksplorasi Islam sepanjang eksplorasi tersebut tidak bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah.[50] 

Dari definisi di atas maka kita dapat memberikan identitas kepada kelompok Islam modernis sebagai: 1) kelompok yang menganjurkan ijtihad terutama mengenai persoalan muamalah atau sosial kemasyarakatan. Dalam upaya ini mereka cenderung bersifat inklusif dalam melakukan penafsiran, baik bersumber dari peradaban lain dengan cara akulturasi, maupun dengan cara adaptif. Kedua dengan penekanan pada ijtihad maka sudah pasti mereka tidak membenarkan sikap jumud dan taklid buta, sebab yang demikian tidak mencerminkan penggunaan akal, melainkan sikap dogmatis belaka. Pelabelan di atas pada kelompok modernis Islam dapat dilihat pada pandangan Fazlur Rahman (Islam), A. Mukti Ali (Islam dan modernisme), Deliar Noer (Gerakan Modern Islam).

Ketujuh, Islam Pluralis  

Pluralisme adalah paham kemajemukan atau paham kebhinekaan yang berorientasi pada kemajemukan yang memiliki berbagai penerapan yang berbeda dalam filsafat agama, moral, hukum dan politik yang mana batas kolektifnya ialah pengakuan atas kemajemukan di depan ketunggalan.[51] Artinya adalah bahwa dalam eksistensi segala sesuatu, baik dalam ilmu pengetahuan, kepercayaan, ekonomi, politik, budaya dan agama adalah hal yang bersifat mutlak sebagai hukum kehidupan. Jika itu mutlak, maka tidak ada yang berhak untuk diunggulkan atau didiskriminasikan satu dari yang lainnya, melainkan harus sejajar.

Di Indonesia isu pluralisme agama mulai marak digulirkan oleh ummat Islam. gerakan ini marak digulirkan mengingat sering terjadinya kekerasan dan perang antarummat beragama, seperti kekerasan antarIslam dan Kristen di Ambon, pengikut Ahmadiyah dan lain sebagainya. Ide pluralisme digulirkan dalam rangka menciptakan kehidupan beragama yang kondusif dan harmonis di Indonesia. Secara yuridis kebebasan beragama memang dibenarkan dalam undang-undang, bahkan jika dilihat dari sila pertama Pancasila yang memakai bahasa Tuhan, ini mengindikasikan pluralitas agama di Indonesia.

Atas dasar kondisi dan legitimasi undang-undang tersebutlah, maka gerakan harmonisasi antarummat beragama digalakkan oleh pemikir Islam Indonesia, seperti Nurcholis Madjid dengan karyanya seperti Pintu-pintu Menuju Tuhan, Alwi Shihab dengan idenya tentang Islam Inklusif, dan masih banyak yang lainnya.

Alwi merumuskan pengertian konsep pluralism ke dalam empat bentuk, Pertama, pluralisme tidak serta merta menunjuk pada adanya kemajemukan. Melainkan yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dari sini pluralisme dimaknai sebagai tiap pemeluk agama dituntut untuk bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan agar tercapai kerukunan dalam keragaman. Kedua adalah pluralism harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Sebab kosmopolitanisme belum tentu mengarah pada interaksi yang baik antarperbedaan yang ada, walaupun semua masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah atau kota saling bertemu setiap saat. Ketiga adalah, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Ralitivisme berpandangan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran dan nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakat. Keempat, pluralsime bukan sinkretisme, yakni menciptakan agama baru dengan mengambil ajaran atau unsur tentu dari agama-agama yang ada dan dintegrasikan ke dalam agama baru tersebut.[52]

Jika ditilik dari tujuannya menciptakan harmoni antarummat beragama, maka Islam pluralisme boleh dikatakan sebuah gerakan yang harus didukung, sebab agama merupakan hal yang rawan konflik, oleh sebab itu perlu adanya sebuah pemahaman yang lebih subtantif terhadap agama itu sendiri. Islam pluralis sejatinya harus ditempatkan pada posisi tersebut, sehingga dengan kelahirannya pun tidak mendatangkan konflik baru dalam agama. Hal ini perlu disadari oleh para perintis gerakan Islam pluralis ini, sebab apa bedanya jika orang yang tidak paham agama dan bertengakar antaragama dengan orang yang paham agama namun bertengkar pula dengan kefahamannya tersebut. Maka Islam pluralis harus kembali kepada jalur perdamaian dengan tidak terlalu mengotak-atikkan doktrin fundamental agama, dalam hal ini adalah Islam, sebab jika demikian maka Islam pluralis sebetulnya hadir untuk membuat konflik di dalam konflik.

Kedelapan, Islam Radikal

Secara sosilogis bisa diterangkan bahwa radikalisme kerap kali muncul bila terjadi banyak kontradiksi dalam orde sosial yang ada. Bila masyarakat yang mengalami anatomi atau kesenjangan antaranilai-nilai dengan pengalaman, dan para masyarakat tidak mempunyai daya lagi untuk mengatasi kesenjangan itu, maka radikalisme dapat muncul  ke dalam permukaan. Dengan kata lain akan timbul proses radikalisme dalam lapisan-lapisan masyarakat,[53] terutama di kalangan anak muda.

Berpijak pada tataran sosiologis tersebut di atas radikalisme dapat dicirikan dan ditandai oleh tiga kecenderungan umum.

Pertama, radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung, biasanya respon tersebut muncul dalam bentuk evaluasi penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap kondisi yang ditolak.

Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan-tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan yang lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkadang suatu program atau pandangan dunia (worl view) tersendiri. Kaum radikal berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut menjadi ganti dari tatanan yang sudah ada.

Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis terhadap kebenaran yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penafian kebenaran dengan sistem lain yang akan diganti. Dalam gerakan sosial keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti kerakyatan atau kemanusiaan, akan tetapi kuatnya keyakinan ini dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.[54]

Kesembilan, Islam Rasional

Islam Rasional berarti Islam yang diproses melalui akal pikiran manusia dalam membentuk keyakinannya terhadap Islam. Sebagaimana pengertian rational (bahasa Inggris) yang berarti masuk akal atau logis,[55] atau jika dikembangkan menjadi pemikiran, persepsi atau pandangan yang berlandaskan pada akal yang sistematis dan logis. Namun perlu ditegaskan di sini, bahwa penggunaan akal dalam konteks Islam tidak dimaksudkan sebagai sebuah  tolok ukur merumuskan kebenaran atau menjadi panduan hidup sebagaimana di Barat yang bersifat antroposentris, yang menitikberatkan kebebasan berpikir sebagai tolok ukur kebenaran, apa yang ada dalam pikiran mesti bersesuaian dengan apa yang ada dalam tataran realitas empiric, dan jika realitas yang empiric tidak bersesuaian dengan akal maka realitas tersebut diabaikan.

Dalam konteks Indonesia tokoh yang dianggap rasional adalah Nurcholis Madjid, Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, Amin Rais, dan masih banyak yang lainnya. Bagaimana paradigma Islam yang dikembangkan Islam rasional ini? Inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini, terutama pandangan harun Nasution. Sedangkan yang lainnya telah dilabelkan dalam kelompok pemikiran yang lain, seperti Nurchlis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid lebih dilihat sebagai tokoh Neo-Modernisme Islam oleh Greg Barton Ph.D,[56] Fachry Ali dengan sebutan Islam yang wajar atau Islam kultural (terutama Nurcholis Madjid dan Gus Dur).[57]

Harun Nasution (1919-1998)[58] dikenal sebagai tokoh yang rasionalis, sehingga karya-karya yang dilahirkannya hampir tidak lepas dari pandangan beliau yang rasional tersebut, seperti, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Teoplogi Islam Aliran-Aliran Sejarah analisa Perbandingan, Filsafat Agama, Falsafah dan Mistik dalam Islam, Akal dan Wahyu dalam Islam, Perkembangan Modern dalam Islam, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah dan Islam Rasional Gerakan dan Pemikiran. Dengan sikapnya yang rasional itulah, maka Harun merupakan tokoh modernis yang dimiliki oleh Ummat Islam Indonesia. Namun perlu dari awal ditekankan bahwa akal dalam pandangan Harun tidaklah bisa menghapus wahyu, wahyu tetap dianggap sebagai yang unggul dan mutlak benar akal hanya menginterpretasi teks wahyu sesuai dengan kebutuhan manusia.[59]

Kesepuluh: Islam Revivalisme

Revivalisme Islam (kebangkitan kembali Islam) memiliki cakupan yang sangat luas, baik yang bersifat elegan (tanpa kekerasan) yang intisifikasinya lebih diarahkan pada penghayatan dan pengamalan Islam secara individual maupun secara kolektif atau berkelompok yang tujuannya hanya menghidupkan kembali Islam secara damai dalam kehidupan sehari-hari untuk membendung arus modernisasi yang mengarah pada terciptanya budaya vulgar dalam diri ummat Islam. Di samping itu gerakan revivalisme Islam juga bisa berbentuk radikal-militan, yang bernaung di bawah payung fundamentalisme Islam, yang bertujuan untuk menciptakan system sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang bercirikan Islam.[60]

Berbeda dengan pandangan di atas, bahwa Revivalisme Islam dalam konteks Indonesia, sebagaimana yang dikatakan oleh Azyumardi Azra merupakan gerakan keislaman yang bertujuan untuk mengembalikan Islam pada ajaran yang murin. Argumentasi mereka dalam hal ini adalah, bahwa ummat Islam mengalami kemunduran di era modern yang berhadapan dengan Barat, dikarenakan Islam yang diamalkan telah mengalami distorsi, sudah bercampur dengan bid’ah, khurafat, tahayul, kepercayaan dan tradisi  lokal, serta pemikiran dan ideologi sosial modern Barat. Karena itulah maka Islam harus dimurnikan kembali. Dalam upaya pelaksanaan puritanisasi Islam tersebut, langkah yang diambil oleh kaum revivalis adalah penerapan dan pengembangan ijtihad, khususnya dalam masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum.[61]

Kesebelas: Islam Spiritualis-Sufistik

            Pertama Islam spiritualis-sufistik dalam bentuk gagasan pemikiran. Hal ini terkait dengan gagasan untuk membangun perdamaian antar ummat beragama di Indonesia agar tidak terjadi konflik atas nama Tuhan. Islam sebagai agama yang mayoritas pengikutnya di Indonesia harus menjadi kekuatan untuk menebarkan perdamaian, sebab Islam memiliki perangkap yang kuat dan banyak secara doktrinal dan historis. Sebagaimana yang diungkapkan Gamal Albana, jika umat Islam mengakui keesaan Tuhan dan kekelan-Nya, maka sebetulnya sudah mengakui pluralitas di luar Tuhan, bahwa yang Tunggal hanyalah Allah dan di luar Allah adalah plural. Jika ini tidak diyakini maka secara tidak sadar ummat Islam telah menyekutukan Allah.[62]

            Kedua adalah gerakan Islam spiritualis-sufistik dalam tataran praktek dan pengamalan. Ini merupakan paham yang mempraktekkan unsur batiyah atau esoteric dalam Islam, yang dapat diperoleh melalui peran aktif pada kelompok-kelompok ekslusif spiritualis, tasawuf atau tarekat. Kelompok ini tidak mau terlibat atau tidak peduli dengan permasalahan sosial baik ekonomi, politik dan sebagainya, yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan kesucian batin dan dekat dengan Tuhan. Kelompok ini muncul di Indonesia lebih disebabkan oleh proses modernisasi dan globalisasi yang terkadang menimbulkan disorientasi dan dislokasi psikologis pada masyarakat tertentu, di samping juga disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap bentuk agama yang dikembangkan oleh ulama atau organisasi keagamaan yang lebih bersifat normative-ritualistik semata atau eksoteris.[63]

Islam Spiritualis-sufistik dalam tatarn pemikiran para intelektual Islam Indonesia bertujuan untuk mendamaikan dan menciptakan kehidupan yang harmonis antar umat beragama, sebab pluralitas merupakan kepastian yang tidak bisa dihindarkan selama kita masih berstatus hamba dan sebagai mahluk. Dengan ide pluarlisme atau kesatuan teologis diharapkan akan tercapai kehidupan yang toleran, egalitarian dan harmonis di Indonesia yang pluralistis ini. Di samping itu Islam spiritualis-sufistik dalam tataran praktis adalah untuk mengembalikan Tuhan dalam diri kehidupan masyarakat yang modern yang berada dalam hegemoni kebutuhan material, sehingga nilai-nilai transcendental menjadi terabaikan, dan ini merupakan implikasi dari munculnya isme-isme Barat yang bernuansa sekuler. Maka Islam eso-ritualis-sufistik hadir untuk mengembalikan Tuhan ke dalam diri.

Keduabelas: Islam Transformatif

Islam transformatif lahir untuk mengubah, membentuk dan untuk selanjutnya menjadikan Islam yang berfungsi dalam segala aspek kehidupan. Hal ini sesuai dengan makna dari kata transformation (bahasa Inggris) yang berarti perubahan atau menjadi.[64] Dari definisi ini maka secara umum, bahwa Islam transformatif mengemban tugas ke depan sebagai tujuan, yakni, 1) pemikiran Islam yang bertujuan mengaktualisasikan Islam yang rahmatan lil alamin. 2) Islam transformatif bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang integral dan holistic dalam kehidupan, yakni pemaduan antara kesalehan vertikal yang kemudian terwujud dalam kesalehan sosial-horizontal. Atau dengan kata lain aktualisas nilai ritual ibadah yang dikerjakan ke dalam kehidupan sosial dalam bentuk cinta, kasih sayang, toleran dan egalitarian terhadap sesama manusia, bahkan mungkin terhadap lingkungan alam. 3) bertujuan untuk mengembangkan Islam yang actual pada kondisi zaman yang dihadapi.         

Salah satu tokoh yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah pemikir Islam Indonesia yang begitu popular dan memiliki ide-ide transformatif yang luar biasa, yakni Kuntowijoyo. Ide transformasi masyarakat Kuntowijoyo dilakukan dengan pendekatan historis, sehingga pemikiran Kuntowijoyo lebih bersifat metodologis ketimbang subtantif. Terkait dengan formulasi system dan keilmuan Islam yang rasional dan empiris tersebut Kuntowijoyo menawarkan lima cara reaktualisasi ajaran Islam sebagai bentuk kebangkitan dan respons ummat Islam terhadap kebudayaan yang dihadapi.

Pertama, perlunya dikembangkan interpretasi atau penafsiran sosial struktural lebih dari pada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu di dalam al-Qur’an. Kedua mengubah cara berfikir subjektif menjadi cara berfikir objektif. Ketiga adalah mengubah Islam yang normative menjadi teoritis. Keempat mengubah pemahaman yang a-historis menjadi pemahaman yang historis. Kelima merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang bersifat spesifik dan empiric. Dengan diaktualisasikannya kelima cara tersebut Kuntowijoyo optimis bahwa ummat Islam Indonesia akan mampu menjawab tantangan zaman yang dihadapi.[65]          

Ketigabelas: Neo-Modernisme Islam

Gerakan Neo-Modernisme Islam untuk pertama kali ditegaskan oleh Fazlurrahman. Baginya, Neo-Modernisme merupakan sintesa dari rasionalitas kaum modernis dengan dan tradisi klasik Islam. Sebelumnya Rahman memaparkan bahwa sejarah gerakan Islam pada dua abad terakhir terbagi ke dalam empat bentuk:  Pertama, gerakan revivalis di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Kedua, gerakan modernis. Ketiga Neo-revivalis yang modern namun agak reaksionis. Dan keempat adalah Neo-modernis, yakni yang diusung oleh Fazlur Rahman sendiri.[66]

Neo-modernsme Islam ini untuk pertama kali digagas di Indonesia pada sosok seorang Nurcholis Madjid dengan ide mengembangkan pembaruan pemikiran dalam Islam sekitar tahun 70-an pada sebuah seminar yang diisi oleh Nurcholis Madjid yang menyampaikan makalah berjudul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Makalah ini kemudian disebarluaskan oleh media masa baik cetak maupun tulis tanpa sepengetahuan Cak Nur.[67] Tokoh-tokoh yang tergolong dalam kelompok neo-modernis ini adalah Nurcholis Madjid, Djohan Efendi, Abdur Rahman Wahid, Ahmad Wahid, Jalaluddin Rahmat, Amin Rais dan lain sebagainya.

Neo-modernisme Islam Indonesia juga merupakan sebuah kontinuitas atau merupakan kombinasi dari dua unsur penting tradisi pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, yakni modernisme dan tradisionalisme. Maka neo-modernisme mencoba mengkombinasikan kedua kelompok tersebut. Namun tetap memiliki perbedaan dengan modernisme sebelumnya (Muhammadiyah dan Persatuan Islam) yakni Neo-modernisme lebih berani untuk menerima dan mengakomodasi ide-ide yang paling maju dan progresif, meskipun itu datang dari budaya sekularisme Barat (inilah sikap inklusif yang ditampilkan) namun di samping itu juga menerima pandangan kaum tradisionalis.[68] Namun dalam rangka menerima gagasan modernisme dan tradisionalisme tersebut, kelompok neo-modernisme tetap melakukan klasifikasi dan interpretasi sebagai sikap selektif bukan reseptif, dengan maksud akan melahirkan sebuah sintesis baru yang siap untuk dipakai dalam upaya pembaharuan, hal ini terlihat dengan penguasaan pada ilmu pengetahuan klasik Islam dan perkembangan keilmuan modern Barat.



Penutup

            Keragamaan keberislaman masyarakat Islam Indonesia membuktikan bahwa pemahaman dan pengamalan terhadap agama Islam di kalangan masyarakat menunjukkan multikulturalisme yang sangat konpleks. Artinya agama yang dipahami oleh masyarakat Islam Indonesia jelas memiliki ciri dan karakter tersendiri dibanding dengan cara pemahaman masyarakat Timur terutama Masyarakat Jazirah Arab tentang Islam itu sendiri. Keragaman masyarakat Islam Indonesia menunjukkan betapa indahnya khazanah kebhinekaan Indonesia jika diramu dengan semangat keagamaan yang toleran, moderat akan membentuk karakter bangsa Indonesia yang tercermin pada sila-sila Pancasila yang secara subtantif sangat relevan dengan ajaran-ajaran Islam.







DAFTAR PUSTAKA



Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi terj., M. S. Nasrulloh dan Afip Muhammad, (Bandung: Mizan, 1995), cet. II.   

-----------, Tugas Cendikiawan Muslim, terj., M. Amin Rais (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), cet. I.

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Posmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), cet. I.

----------, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. I.

-----------, Islam Reformis; Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: PT Grapindo Persada, 1999), cet. I.

A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini  (Jakarta: Rajawali, 19988).

A. R. Golpeigani, Kebenaran Itu Banyak: Menggugat Pluralisme, Terj., Muhammad Musa (Jakarta: AL-HUDA, 2005), cet. I.

 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan 1999), cet. I  

Bassan Tibbi, The Crisis of Modern Islam: A preindustrial Culture in the Scientific-Teknologikal Age (Slat Lake City: The University of Utah Press, 1988)

Bruce B. Lawrence, Islam Tidak Tunggal: Melepaskan Islam Dari Kekerasan, terj., Harimukti Bagus Oka (Jakarta: Serambi, 2004), cet. II.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek (Jakarta: UI Press, 1995), cet. 5., jilid I.

-----------, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. II., jilid. VI.

Hasan Hanafi, Aku Bagian Dari Fundamentalsime Islam, terj., Kamran As’ad Irsady Mufliha Wijayanti (Yogyakarta: Islamika, 2003), cet. I.

Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia  (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet. I.

 ----------- dan Bahtiar Efendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Or de Baru  (Bandung: Mizan, 1986)

Fazlu Rahman, Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1982)

Gamal Al-Bana, Pluralitas dalam Masyarakat Islam, terj., Tim MataAir Publishing (Jakarta: MataAir Publishing, 2006)

Greg Barton., Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq (Jakarta: UIN Press, 1999)

Jamesa Barr, Fundamentalisme, terj., Stephan Suleman (Jakarta: BPK Gunung Mulya, 1996), cet. 2.

Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus (Bandung: Ghanesa, 1998), cet. 2.

Karn Armstrong, Islam Sejarah Singkat, terj., Fungky Kusnaendy Timur (Yogyakarta: Jendela, 2003)

----------, Berperang Demi Tuhan, terj., Sartio Wahono dkk (Bandung: Mizan, 2001), cet

Mohamed Arkoun, Membongkar Wacana Hegemoni dalam Islam dan Postmodernis, (ed), terj. Jaohari dkk  (Surabaya: al-Fikri, 1999), cet. I.

----------, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antaragama, terj. Ruslani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet. I.

Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: P3M, 2004), cet. I.

Zaim Uchrowi, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: Panitia Penerbit Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasutio dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989)




* Dosen Tetap Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, Pembantu Dekan III Fakultas Dakwah IAIN Mataram 2010-2014
[1]Baca, Karn Armstrong, Islam Sejarah Singkat, terj., Fungky Kusnaendy Timur (Yogyakarat: Jendela, 2003), cet. I., 169-192.
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek  (Jakarta: UI Press, 1995), cet. 5., jilid I., h. 88.
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, h. 95.
[4] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhamad  (Bandung: Pustaka, 2001), cet. I., h. 316.
[5]Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antaragama, terj. Ruslani. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet. I., h. 6.
[6] Gerakan pembaharuan ini dimulai sejak Islam bersentuhan dengan dunia Barat melalui kolonialisasi dan imperialisasi wilayah kekuasaan Islam, dan ini merupakan awal dari abad modern di dunia Islam, Karn Armstrong, Islam Sejarah Singkat, terj., Fungky Kusnaendy Timur (Yogyakarat: Jendela, 2003), cet. I., 169-192.
[7] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Posmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), cet. I., h. iv-vi.
[8] Bruce B. Lawrence, Islam Tidak Tunggal: Melepaskan Islam dari Kekerasan, terj., Harimukti Bagus Oka (Jakarta: Serambi, 2004), cet. II., h. 59.
[9] Azyumardi Azra, “Intraksi Agama dan Kebudayaan” dalam pengantar, Fachry Ali, Agama, Islam, dan Pembangunan (Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. I, h. 10.
[10] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan: Bandung, 1998), cet. XVIII, h. 209.
[11] Sebagai sebuah spirit disini bisa diwujudkan dalam bentuk falsafah hidup, idiologi dan lain sebagainya. Seperti Pancasila bagi Bangsa Indonesia.
[12]Sebagai mana yang dikatakan oleh Godfrey Gunnatilleke dalam bukunya Religion and Development in Asian Societies:.......sepanjang sejarah, agama telah menjadi kekuatan yang paling berarti dalam perubhan dan transformasi Eropa, reformasi proterstan dengan kehancuran fiodalisme, Budhisme yang telah memberikan ajaran etika humanisme, awal pertumbuhan Islam dengan menyatukan bangsa-bangsa Arab, kita melihat gerakan agama telah memberikan bentuk idiologi kepada sebagian besar kekuatan sosial menyelenggarakan perubahan hidup dan masyarakat. Sebagaimana yang dikutif dalam, Fachry Ali, Agama, Islam dan Pembangunan  (Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. I., h. 20.
[13] Joachim Wach, Sociology of Religion  (The university of Chicago Press, 1948), h. 37.
[14] Roland Robertson, ed., Agama Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj., Achmad Fedyani Saifuddin  (Jakarta: CV Rajawali, 1992), h., 295-297.
[15] Clifford Geertz, “Religion as a Cultural System” dalam R. Banton (ed.) Anthropological Approach to the Study of Religion, 1965, h. 42
[16] William James, Varietes of Religious Experience  (New York : Longmans, 1929), h. 31.
[17] Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan, (terj.) Djamannuri (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 15-18. Lihat juga H.A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 61-63

[18] Hermenetik ditemukan dari Yunani, yakni pada Hermes atau Nabi Idris dalam Islam yang mencoba menyebarkan ajaran Tuhan dengan upaya penerjemahan ajaran agama atau bahasa Tuhan kedalam bahasa masyarakat agar mudah difahami dan diyakini.
[19] Dalam Islam perbedaan tersebut hanya berlaku pada masalah-masalah yang bersifat furu’iyah semata bukan masalah qot’i (solat, puasa, zakat, haji, Tauhid, kenabian dan lain sebagainya).
[20] Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 5-6
[21] Mengenai kemajuan peradaban yang telah dicapai ummat Islam, baca Marsal G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia, terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Paramadina, 2002). Baca juga Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT RajaLapindo Persada, 1999).
[22] Dalam pandangan Harun Nasution, peradaban Islam terbagi dalam tiga periode, yakni, Pertama, periode klasik (650-1250), kedua, peridoe pertenagahan (1250-1800), dan ketiga periode modern (1800-sekarang). Harun Nasutioan, Pembaruan dalam Islam: Sejaarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: bulan Bintang, 1975), h. 25.
[23] Yakni aliran yang identik dengan filosof-filosof seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Aliran ini direfresentasikan pada Aristoteles yang dalam mengajar filsafat selalu degan berjalan-jalan. H. Muzairi, dkk. Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemolgis, Aksiologis, Historis, Prospektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992), ce. I., h. 76.
[24] Aliran yang mengedepankan sumber perolehan ilmu pada konsep pengabungan akal dan intuisi. Toko utama aliran ini adalah Syihab al-Din Yahya al-Syuhrawardi (549-587/1154-1191). Aliran ini lahir dalam rangka meresfons aliran Aristotelianisme di kalangan islam diatas. dari segi ontologis aliran ini menggap bahwa esensi lebih penting dari apda eksistensi, sebabeksistensi hanya ada dalam pikiran, gagasan umum dan konsep sekunder yang tidak erdapat dalam realitas, sedangkan yang benar-benar ada atau realitas yang sesungguhnya adalah esensi-esensi yang tidak lain adalah bentuk cahaya. Untuk lebih jelasnya, baca, Syihab al-Din Yahya al-Syuhrawardi, Hikmah Al Israq: Teosofi Cahaya Dan Metafsika Khuduri, terj. Muhammad`al- Fayyadl, (Yogyakarta: Islamika, 2003), cet. I.  
[25] Muhsin Labib, Para Filososf Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra, (Jakarta; al-Huda, 2005), cet. I., h. 35. Aliran ini merupakan sintesis dari disiplin ilmu yang pernah ada di dunia Islam, tercata ada empat aliran yang  mempengaruhi pemikiran Shadra, yakni kalam, pemikiran peripatetik, pemikiran iluminasionis, pemikiran tasawuf.
[26] Tentunya masalah ini tidak akan dikaji secara historis, dalam arti mengkaji sejarah awal masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, namun lebih kepada masa dimana Islam mengalami pluralitas pemahaman dan ekspresi pada masyarakat Indonesia, terutama pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi. Atau pada masa modern di Indonesia.
[27] Teori yang mengacu pada konsekwensi atau kepastian yang mengarah pada dealektika sinergis antara diri dengan lingkungan
[28]Johan M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 10.
[29] Rosiyadi Sayuti, Status Attainment, Human Capital and Religiousity in Indonesia: A case of West Nusa Tenggara, Dissertation for the Degree Doctor of Philosophy in the Graduate School of the Ohio State University (Ohio: State University, 1995), h. 35.
[30] Baca, Jalaluddin rahmat, Islam Aktual.
[31] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif;Cerama-Cerama di Kampus, h. 36.
[32]Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj., M. S. Nasrulloh dan Afip Muhammad (Bandung: Mizan, 1995), cet. II., h. xiii.   
[33]Ali Shariati, Tugas Cendikiawan Muslim, terj., M. Amin Rais  (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), cet. I., h. 103. Semua ini diambil dari konsep piramida pemikiran Shariati untuk membaca perkembangan kemajuan peradaban Barat saat ini. Bagian bawah dari piramida berbentuk tebal dan besar (itulah masyarakat), bagian tengah yang lebih kecil adalah para cendikiawan, dan puncak dari piramida yang kecil adalah para bintang yang berkilau dan jumlahnya relatif sedikit, namun berpengaruh besar dalam melakukan revolusi sosial pada masyarakat Barat, h. 96-102.
[34] Karn Armstrong, Berperang Demi Tuhan, terj., Sartio Wahono dkk  (Bandung: Mizan, 2001), cet. 2., h. x. Istilah fundamentalisme diambil dari jidul buku The Fundamentals: a Testimony to the Truth,  Jamesa Barr, Fundamentalisme, terj., Stephan Suleman  (Jakarta: BPK Gunung Mulya, 1996), cet. 2., h. 2.
[35] untuk lebih jelasnya, baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. I., h. 133-142.
[36] Seperti yang dikutif Hadimulyono, “Fundamentalisme: Istilah Yang Dapat Menyesatkan”, Ulumul Qur’an, No., 3 Vol. IV, 1993, h. 5
[37] Mohamed Arkoun, Membongkar Wacana Hegemoni Dalam Islam dan Postmodernis (ed), terj. Jaohari dkk (Surabaya: AL-FIKRI, 1999), cet. I., h. 209.
[38] Hasan Hanafi, Aku Bagian Dari Fundamentalsime Islam, terj., Kamran As’ad Irsady Mufliha Wijayanti  (Yogyakarta: Islamika, 2003), cet. I., h. 107.
[39] Untuk lebih jelasnya gambaran mengenai Fundamentalsime Islam beserta tokoh-tokohnya, baca, Karn Armstrong, Islam Sejarah Singkat, h. 194-206.
[40]Sebagaimana yang dikutif dalam, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), h. 17-18.
[41]Masdar F. Mas’ud, dalam pengantar umum “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris” dalam, Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan  (Jakarta: P3M, 2004), cet. I., h. I-xvi.
[42] Masdar F. Mas’ud, .... h. xi-xv.
[43] Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, h. 80-81.
[44] Very Verdiansyah, Islam., h. 77.
[45] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 159.
[46] Adalah istilah yang dipakai oleh Charles Krzman dalam bukunya Liberal Islam; a Source Book. Dalam buku ini termuat beberapa tokoh Islam kontemporer yang dilihat sebagai pemikkir liberal, progresif, indevenden, kritis dan modern. Sebelumnya terdapat buku yang ditulis oleh Leonard Binder Islamic Liberalizm. Dan dalam buku Albert Hourani Arabic Thought in The Liberal Age.
[47] Denny J.A., dkk “Berharap Kepada Islam Liberal” dalam dalam Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia, h.  20.
[48] Fazlu Rahman, Islam  (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 215-216.
[49] Sekularisme alinasi dan ambruknya pilar-pilar moral atau dekadensi spiritual masyarakat Barat merupakan implikasi negatif dari sains dan teknologi modern. Itulah sebabnya kaum modernis berusaha untuk mensintesiskan nilai-nilai ruhani dan moral Islam dengan sains dan teknologi tersebut. Bassan Tibbi, The Crisis of Modern Islam: A preindustrial Culture in the Scientific-Teknologikal Age (Slat Lake City: The University of Utah Press, 1988), h. 1143.
[50] A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali, 19988).
[51] A. R. Golpeigani, Kebenaran Itu Banyak: Menggugat Pluralisme, Terj., Muhammad Musa  (Jakarta: AL-Huda, 2005), cet. I. h. 13.
[52]Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, h. 41-42.  
[53]  Ibid. h. 5.
[54]  Khamani Zada, Op cit., h. 16-17, Lihat juga Bakhtiar Efendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama dalam pengantar, hal. 1.
[55] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1979), cet. VII., h. 466.
[56] Baca, Greg Barton Ph.D., Gagasan Islam Liberal Di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq  (Jakarta: UIN Press,1999)
[57] Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet. I., h. 121.
[58] Mengenai bigrafi Harun Nasution, baca, Zaim Uchrowi, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: Panitia Penerbit Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasutio dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), h. 3-62.
[59] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam  (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. II., jilid. VI., h. 25-31.
[60] Azyumardi Azra, Islam Reformis; Dinamika Intelektual dan Gerakan  (Jakarta: PT Grapindo Persada, 1999), cet. I., h. 47.
[61] Contoh yang dapat diamani adalah gerakan Padri di Minang Kabau pada awal abad ke-19, dan organisasi keislaman Muhammadiyah. Keduanya menyerukan gerakan kembali pada Qur’an dan hadits. Dismaping kedua kelompok tersebut terdapat juga kelompomk Jama’ah Tabliqh. Disamping menyuarakan puritanisasi, gerakan revivalis Islam juga mengajarkan untu melakukan penafsiran dan Hijrah. Azyunardi Azra, Islam Reformis; Dinamika Intelektual dan Gerakan, h. 47-50.
[62] Gamal Al-Bana, Pluralitas dalam Masyarakat Islam, terj., Tim MataAir Publishing  (Jakarta: MataAir Publishing, 2006), h. 5.
[63] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, h. 10.
[64] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 601.
[65] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, h. 283-285.
[66] Greg Barton Ph.D., Gagasan Islam Liberal Di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq, (Jakarta: 1999), cet. I., h. 9. 
[67] Untuk lebih jelasnya latar belakang lahirnya gerakan neo-modernisme Islam di Indonesia, baca, Greg Barton Ph.D., Gagasan Islam Liberal Di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, h. 9-68.
[68] Fachry Ali dan Bahtiar Efendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru  (Bandung: Mizan, 1986), h. 175-177.

0 komentar:

Post a Comment