Abstrak
Ekspresi religiusitas umat Islam Indonesia merupakan respons
ummat Islam terhadap perkembangan modernitas zaman, sehingga payung besar dari
kebangkitan Islam tersebut terbagi dalam tiga kelompok, yakni revivalisme
Islam, reformisme Islam dan fundamentalisme Islam. Islam revivalis melahirkan
beberapa kelompok gerakan, di antaranya: Islam puritan, Islam tradisionalis,
Islam ortodoks, Neo-revivalis, Islam konservatif. Sedangkan Islam reformis melahirkan
beberapa gerakan, seperti: Islam modernis, Islam liberal, Islam subtansial, dan
Neo-modernis. Sementara Islam fundamentalis melahirkan Islam radikal,
Islam militan bahkan terorisme. Secara metodologis pemahaman terhadap Islam,
gerakan pemikiran Islam abad modern dan kontemporer, sebagaimana yang dikatakan
oleh Lauay Safi terdiri dari dua, yakni, kelompok yang menggunakan dan
menerapkan sistem Islam klasik dan kelompok yang memakai paradigma metodologi epistemologi modern
Barat secara total atau dengan proses integrasi antara keilmuan modern Barat dengan
khazanah keilmuan Islam. Berdasarkan hal tersebut, layak disebut bahwa kebhinekaan
Umat Islam Indonesia sebagai khazanah bangsa yang harus dirajut sehingga
tercipta keharmonisan antarumat beragama sebagai ciri karakter bangsa Indonesia
yang sesungguhnya.
PENDAHULUAN
Gerakan keislaman atau kebangkitan Islam dimulai sejak
Islam bersentuhan dengan Barat melalui kolonialisasi dan imperialisasi wilayah
kekuasaan Islam,[1] dan ini merupakan awal dari abad modern di dunia Islam,
atau dalam pandangan Harun Nasution merupakan masa kebangkitan Islam.[2] Islam dihadapkan dengan kondisis zaman yang begitu
progresif, berada di luar bayangan ummat Islam sebelumnya, Barat datang dengan
seperangkat temuan-temuan canggih dalam bentuk sains dan teknologi, sistem
sosial yang begitu apik, semuanya merupakan cermin atau ciri dari modernisme
yang berkembang di Barat. Napoleon Banoparte (1798-1801) yang datang ke Mesir
misalnya datang dengan segenap perangkat modernisme, seperti, disertakannya
para ilmuan, perpustakaan, literatur Eropa modern, laboratorium ilmiah, serta
alat-cetak dengan huruf Latin, Yunani dan Arab.[3]
Dari kondisi inilah maka dimulailah apa yang dinamakan
dengan gerakan kebangkitan Islam, yang dalam pandangan Fazlur Rahman melihat
bahwa respons Islam terhadap Barat justru melahirkan Muslim modernis dalam
pandangan yang modernis pula.[4] Terkait dengan ini maka tokoh-tokoh yang lahir adalah
mereka yang telah berinteraksi dengan budaya luar terutama budaya pemikiran dan
pendidikan Barat, sehingga pandangan keislaman yang mereka ajukan lebih
kontekstual dan demokratis, sebab dalam pandangan mereka bahwa trasformasi
budaya modern Barat yang progresif ke wilayah Islam sudah tidak terbendung,
maka agar Islam relevan dengan kondisi zaman yang dihadapi maka harus ada
reinterpretasi ulang yang lebih edukatif, kontekstual, progresif dan
akomodatif, atau rethinking Islam.[5] Rethinking Islam yang ditawarkan Mohammed Arkoun bertujuan untuk menggunakan nalar
kritis bebas rasional untuk mengelaborasi sebuah visi baru dan koheren yang
mengintegrasikan kondisi baru yang dihadapi umat dengan unsur-unsur tradisi muslim
yang masih ada, atau integrasi antara kemajuan budaya modern Barat dengan
khazanah-khazanah keilmuan Islam.[6] Maka dalam bahasa Islam upaya tersebut dinamakan ijtihad
yang kontinyu dan intensif dalam segala aspek, baik fiqh, kalam dan lain sebagainya.
Azyumardi Azra juga melihat respons umat Islam terhadap
modernisme dan modernisasi Barat dilakukan dengan tiga bentuk, pertama,
apoligetik, kedua identifikatif dan ketiga afirmatif.[7] Secara garis besarnya sebagai sebuah dampak dari
kehadiran bangsa Barat di dunia Islam telah melahirkan tiga kelompok Islam yang
berskala luas di seluruh belahan dunia Islam, yakni, Islam revivalisme, Islam reformis
dan Islam fundamentalisme.[8]
KEHADIRAN AGAMA DAN EKSPRESI KEBERAGAMAAN
Agama hadir dalam diri manusia sepanjang sejarah eksistensinya di muka
bumi, agama juga hadir derdasarkan kebutuhan yang amat manusiawi, paling tidak
dari segi emosional manusia
itu sendiri.[9]
Atas sifatnya yang sejalan dengan sifat-sifat manusia inilah kemudian agama diyakini
dan dijadikan sebagai landasan hidup worldview, karena agama dalam
posisinya yang sakral dianggap sebagai blue print Tuhan yang
diformulasikan untuk selanjutnya dijadikan rujukan untuk menyelesaikan segala
permasalahan hidup.[10] Dalam konteks yang demikian, agama
sejatinya diturunkan dan dianut oleh masyarakat dikarenakan memiliki sebab dan
tujuan-tujuan tertentu, dan yang paling fundamen dari sebab dan tujuan tersebut
adalah harapan tempat menyandarkan kedamaian, kebaikan dan keselamatan di dunia
dan akherat. Agama juga telah dijadikan sebagai idiologi dalam menciptakan dan
menggerakkan spirit motivasional bagi manusia sebagai bentuk mengaktualisasi
diri dalam kehidupan,[11] dan sebagai gerakan
revolusioner untuk pembebasan diri dari tirani, hegemoni dan ketidakadilan
sosial politik, budaya serta ekonomi.[12] Atas dasar sifat dan
fungsi agama yang demikianlah masyarakat memeluk agama, disamping karena
beragama atau bertuhan sudah menjadi fitrah manusia.
Dengan karakteristik dan peran agama yang
demikian maka tidak heran jika terdapat pandangan yang mengatakan bahwa jika
kita mau mengetahui peradaban dunia atau suatu kelompok masyarakat dan negara,
maka yang harus dibuka adalah pintu jendela agama. Dalam pandangan yang
demikian maka kesimpulannya adalah, bahwa peradaban terbentuk berdasarkan
keyakinan dan nilai religiusitas masyarakat, sehingga mempelajari kebudayaan
atau peradaban tidak akan mencapai hasil maksimal jika penelitian tentang agama
diabaikan. Dalam teori budaya yang dikembangkan Clifford Geerth terlihat bahwa
agama menjadi fondasi bagi terbentuknya suatu kultur dan tradisi dalam
masyarakat, yakni manifestasi agama dalam budaya. Jika dilihat dari fakta
historis berupa data-data arkeologis, karya-karya seni dan bangunan-bangunan
sejarah, maka teori tersebut terbukti dengan sendirinya sebagai seuah kebenaran
sosial-kultural dan historis, seperti bangunan-bangunan candi yang masih
berdiri kokoh di Jawa, seperti candi Borobudur, candi Prambanan, candi Loro
Jonggrang dan lain sebagainya, semua itu merefleksikan kuatnya agama dalam
kehidupan masyrakat Jawa, dan candi merupakan simbol dari peradaban yang
dibangun diatas fondasi agama, yakni Hindu dan Budha. Ini dalam konteks
Indonesia, jika kita melangkah ke wilayah dunia lain juga akan ditemukan bukti-bukti historis yang sama,
seperti Masjid Tajmahal di India, Piramida di Mesir dan lain sebagaianya. Yang
semua itu merefleksiokan sebuah peradan keyakinan manusia atas agamanya.
Agama sebagai sistem nilai yang universal, memiliki daya tarik secara an
sich dan begitu menarik untuk ditawarkan kepada manusia, sebagaimana yang
dikatakan Joachim Wach, ia melihat agama memiliki tiga bentuk dalam
pengungkapan nilai universalnya, yakni, belief sistem (pengungkapan
teoritik yang terwujud sebagai sistem kepercayaan), sistem of worshif (sebagai
sistem penyembahan), sistem of social relation (sebagai sistem hubungan
masyarakat).[13]
Sedangkan dalam tataran nilai religiusitas, agama memiliki lima dimensi, yaitu,
dimensi belief (ideologi), dimensi practice (praktek agama),
dimensi feeling (pengalaman), dimensi knowledge (pengetahuan),
dimensi effect (konsekwensi).[14]
Disamping itu agama merupakan
wilayah atau bagian dari fenomena hidup yang susah untuk difahami, sebab agama
yang sama akan berubah bentuk pemahaman pada wilayah yang berbeda, tergantung
dari seting social-kultural masyarakat. Sebab itu kita menemukan beberapa
pendefinisian agama oleh para pakar, sosiolog dan antropolog, seperti Clifford
Geertz, dengan merumuskan agama sebagai : (1) Sebuah sistem simbol yang
berfungsi untuk (2) membangun perasaan dan motivasi yang penuh kekuatan,
pervasif dan tanpa akhir dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep
mengenai tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aura faktualitas
sehingga (5) perasaan dan motivasi diatas menjadi realistis[15]
William James mendefinisakan agama sebagai ‘... perasaan, tindakan,
dan pengalaman manusia secara individual saat berada dalam perenungan atau
kontemplasi saat sendiri sejauh tindakan menyendiritersebut membawanya ke dalam
kondisi yang membawanya untuk berhubungan dengan apa pun yang dianggap sacral.[16] Sementara
Joachim Wach (1892-1967), menerapkan beberapa persyaratan mutlak untuk sampai
kepada pemahaman yang benar dan utuh terhadap agama yang diteliti, diantaranya
adalah syarat intelektual, kondisi emosional yang cukup, kemauan
yang keras dan pengalaman yang memadai.[17] Dan
masih banyak lagi tokoh-tokoh yang memberikan gambaran tentag apa itu agama,
bagaimana memahami agama. Dari pendefinisian agam tersebut tampak bahwa agama
seakan-akan menjadi sebuah daya sacral bagi manusia yang dimanifestasikan
kedalam pola hidup sehari-hari
Maka
deskripsi di atas memberikan sebuah acauan dan pemahaman kepada manusia bahwa
semua itu merefleksikan bentuk dari manifestasi agama dalam kehidupan sosial-kultural
masyarakat. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana masyarakat
mempersepsikan agama kedalam dirinya, terinternalisasi menjadi sebuah keyakinan
mutlak, dan mampu diterjemahkan kedalam kehidupan sehari-hari sebagai sebuah worldview
dalam memahamai, mempersepsi dan menjalankan kompleksitas hidup di dunia
yang profan dan ambigu ini?. Sebgaimana yang diulas di atas, bahwa telah
terdapat perhatian para sosiolog dan antropolog terahdap upaya penelitian untuk
memahami agama. Paling tidak kesimpulan sementara yang bisa kita ambil adalah,
bahwa pengambilan dan penentuan sikap keberagamaan tidak lepas dari upaya
hermetisasi[18]
atu interpreatsi terhadap agama. Proses hermetisasi inilah yang akan melahirkan
bentuk dan warna agama dalam diri manusia, namun upaya hermetisasi ini tidak
lepas dari keterpengaruhan seseorang atas kultur, pendidikan, ekonomi, politik
dan kepentingan-kepentingan hidup yang akan dicapai. Sehingga perbedaan kondisi
kultur, pendidikan dan tingkat intlektualitas seseorang akan melahirkan
perbedaan bentuk pemahaman dan ekspresi religiusitasnya.[19]
Masalah tersebut paling tidak diungkapkan oleh Prof. Mukti Ali, bahwa (a)
persoalan dan pengalaman keagamaan bersifat subyektif dan individualistik. Tiap
orang mengartikan agama sesuai dengan pengalaman keagamaannya sendiri. (b)
karena dimensi kesakralannya, tak ada orang yang begitu bersemangat dan
emosional selain membicarakan agama. (c) konsepsi tentang agama akan sangat
dipengaruhi oleh latar belakang (backround), disiplin ilmu dan tujuan
orang yang memberikan pengertian tentang agama.[20] Islam
sebagai agama juga telah melahirkan beragam bentuk pemahaman dan praktek
pengamalan dari ummatnya, sebagaimana yang akan kita lihat nanti.
Dalam sejarah peradaban[21] Islam[22]
ditemukan beberapa contoh perbedaan pemahaman dan ekspresi keberislaman,
terutama setelah nabi Muhammad meninggal dunia, tepatnya pada masa khalifah
Usman dan Ali. Maka pada masa awal Islam ditemukan kelompok-kelompok Islam
dalam bentuk aliran-aliran terutama antara kubu Umayyah dan Abbasiyah. Dan pada
masa pertengahan atau Islam klasik ditemukan beragam kelompok atau mazhab,
seperti kelompok Islam aliran kalam (Khawarij, Maturidyah, Mu’tazilah,
Asyariyah, Qadiriyah, Jabariyah, Syiah dan Sunni). Mazhab Fiqh (Maliki,
Hambali, Hanafi dan Syafi’i). Dalam bidang filsafat, Islam pernah meiliki
tokoh-tokoh yang begitu briliam dalam melahrkan ide-ide filosfisnya,
diantranya, pertama, aliran Peripatetik.[23] Kedua,
aliran iluminasionis (Isyraqiyyah).[24] Ketiga,
aliran teosofi transenden atau al-Hikmah al-Mutaaliyyah (979-1050/1571-160).[25]
Dalam bidang tasawuf juga ditemukan tokoh-tokoh yang melahirkan bentuk dan
ekspresi Islam dalam beragam konsep dan ajaran, terutama dalam masalah persepsi
dan pengalaman eksistensialnya setelah melakukan pengembaraan transkosmik dan
menyatu dengan Zat Allah.
Semua bentuk aliran dalam Islam tersebut selanjutnya melahirkan bentuk
persepsi dan sikap keagamaan yang berbeda-beda, seorang filosof akan melihat
dan mengamalkan Islam dalam konteks rasionalitas yang mendalam. Seorang sufi
akan memahami dan mempraktekkan Islam secara esoteris atau subtatif. Seorang
yang ahli fiqh akan mengamalkan Islam secaraformalistis dan ritualistic.
Seorang teolog akan mengamalkan Islam secara teologis pula. Pleksibilitas Islam
tersebutlah yang memungkinkan lahirnya wajah baru kebersilaman sesuai dengan
metode pendekatan yang dilakukan, namun yang jelas tiap pemahaman dan
penafsiran harus tetap berada dalam wilayah-wilayah yang dibenarkan oleh Islam.
Demikianlah gambaran historis tentang persepsi dan sikap keberislaman
pada masa awal dan klasik Islam. Jika pada masa awal dan pertengahan saja sudah
sedemaikian kompleks dan plural bentuk Islam yang diekspresikan oleh ummatnya,
pertanyaannya sekaranga adalah, bagaimana dengan konteks sekarang yang telah
begitu jauh tertinggal dengan periode sejarah keislam awal dan pertengahan,
yang mana pertemuan budaya yang satu dengan yang lainnya begitu kuat, pemikiran
progresif abad modern yang lahir dibarat masuk kedalam ide intlektual dan sikap
masyarakat Islam, terutama dalam konteks Indonesia yang secara historis,
geografis dan kultural jauh berbeda dengan sumber Islam yakni Arab?. Dan bahkan
masyarakat Indonesia lebih banyak bersentuhan dengan ide-ide progresif modern
Barat ketimbang Arab, baik dalam bentuk ide-ide idiologi sosial politik modern
Barat. Ahirnya sebagai sebuah konsekwensi logis-kultural-teologis, maka sudah
pasti pemahaman dan ekspresi keberislaman akan menjadi plural,[26]
terutama jika kita mengacu pada teori determinisme lingkungan,[27] yakni,
perubahan sosial, teori pembangunan, teori budaya dan lain sebagainya.
Keragaman
pemahaman dan ekspresi Islam yang ditampilkan oleh ummat Islam Indonesia inilah
yang akan dikaji dalam tulisan ini, sebuah perkembangan tipologis peta
pemikiran keislaman di Indonesia. Semua kelompok dan aliran pemikiran Islam
tersebut hadir sebagai respons terhadap proses globalisasi dan modernisasi di
Indonesia. Gerakan pemikiran tersebut terlihat baik dalam pemikiran individu,
kelompok maupun organisasi keislaman. Dalam sejarah perkembangan teologi di
Indonesia terjadi dan dipengaruhi oleh konteks situasi dan kondisi historis
tertentu yang dihadapi kaum muslim Indonesia, yang mana untuk kemudian
meransang nalar intlektualitas para cendikiawan muslim untuk memberikan
respons-respons tertentu, yang mana respons tersebut mengarah pada gerakan
pembaruan.
Corak Kebhinekaan Umat Islam Indonesia: Upaya
Menemukenali Karakter Bangsa
Ada berapa corak kebhinekaan keberagamaan masyarakat
Islam Indonesia yang dapat penulis elaborasikan dalam artikel ini.
Pertama: Islam
Aktual
Islam Aktual merupakan
sebuah gerakan yang mencoba membangun suatu tindakan aktif religius dalam
menyikapi permasalahan hidup. Islam aktual yang mencoba merintis kartu riligius
pada ummat untuk mengaktualisasikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai normatif
doktrinal Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, bahkan dalam
khazanah intelektual Islam yang ada. Islam Aktual berusaha untuk melakukan
empirisasi atas ajaran Islam dalam kehidupan yang riil dan dalam beragam bentuk
kehidupan yang kompleks. Hal ini sesuai dengan makna actual tersebut,
yakni keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya.[28]
Dari sini kita dapat mengambil
sebuah identitas dari Islam aktual ini, yakni sebuah gerakan yang mengedepankan
pengamalan atau action agama dalam kehidupan empirik, sehingga kebenaran
Islam tidak hanya bersifat skripturalis belaka, tapi mampu
terinternalisasi dalam pribadi yang menjadi spirit to action dalam
kehidupan nyata. Gerakan pembangunan manusia dan masyarakat yang religius,
mandiri dan maju. Hal ini sesuai dengan makna pembangunan manusia jika dikaji
secara sosiologis, yakni suatu proses perubahan sosial masyarakat dari suatu
keadaan tertentu ke suatu keadaan yang lebih baik dari segala segi.[29]
Gagasan-gagasan Islam aktual yang diarahkan pada
pembangunan sosial ummat Islam dapat ditemukan dalam pemikiran Jalaluddin
Rahmat dengan bukunya Islam Aktual, di mana ia membahas bagaimana gambaran
kondisi Indonesia dan ummat Islam yang berada dalam proses pembangunan dan
modernisasi. Tema-tema permasalahan yang diangkat dalam tulisan Rahmat ini
cukup aktual, seperti apa itu pembangunan, apa itu organsiasi-organisasi sosial
non-agama dan organiasasi keagamaan, apa itu masjid dan lain sebagainya.[30]
Agama dalam pandangan Kang
Jalal akan berperan tergantung pada pemeluknya, bergantung pada peranan yang
kita berikan, dan bergantung pada bagaiman kita memandang agama.[31] Cara pandangan ini sama dengan yang diungkapkan Ali
Syari’ati (lahir 24 November 1933)[32] bahwa suatu agama akan menjadi penting dan bermamfaat
bukan karena agama itu sendiri, melainkan tergantung pada kualitas pikiran dan intelektualitas
para pemeluknya, jika pemeluknya berfikiran dangkal dan tekstual-skripturalis
maka agama tersebut akan menjadi sempit dan tidak bernilai universal, melainkan
akan menjadi agama yang kering nilai, dan pemeluknya akan menjadi dogmatis,
konservatif, ekslusif, fundamentalis-radikal dan militan, namun jika pemeluknya
kritis, berwawasan luas, edukatif serta progresif, maka agama akan menjadi
lebih bernilai universal, modern dan responsif.[33]
Kedua, Islam Fundamentalis
Jika
dilihat secara geneologis historisnya, fundamentalsime untuk pertama kali lahir
di Amerika sekitar abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 pada berbagai gerakan
keagamaan sekte kristen Protestan.[34]
Fundamentalsime Kristen AS hadir sebagai reaksi terhadap gerakan modernisme
Amerika yang sekuler, namun di samping
itu para tokoh Kristen berjuang untuk menyelaraskan ajaran agama dengan
kemajuan ilmu pengetahuan, evolusionisme
dan liberalisme. Kaum fundamentalis tetap berpegang teguh pada lima ajaran
mutlak Kristen, yakni: 1. Injil tidak dapat salah. 2. Ketuhanan Yesus Kristus.
3. Yesus lahir dari Perawan Mariam. 4. Penebusan dosa. 5. Kebangkitan kembali
Yesus ke dunia secara fisik.[35]
Dalam kajian selama ini bahwa pelabelan fundamentalisme
pada kelompok Islam berdasarkan kesamaan ciri, baik dalam prinsip dan
prakteknya, seperti yang diungkapkan oleh Ibrahim Abu Bakar melihat terdapat
bebarapa kesamaan antara Fundamentalsime Kristen dengan Fundamentalisem Islam,
di antaranya: 1) penafisran yang literalis terhadap kitab suci. 2)
fundamentalisme mirip dengan sikap fanatisme, ekslusivisme, radikalisme,
intolaran dan militan. 3) fundamentalisme menekankan pada penolakan terhadap
modernism, liberalism, dan humanism. 4) kaum fundamentalsime melihat orang di luar
dirinya sebagai yang sesat dan kelompok merekalah yang paling benar dalam
menafsirkan agama.[36]
Dari
kalangan ummat Islam sendiri juga cenderung tidak mau menggunakan istilah fundamentalsime,
seperti Yusuf Qordhawi memakai istilah Sahwah Islamiyah, Mohammed Arkoun
dengan istilah Islamawiyah,[37] Hasan Hanafi dengan
istilah al-Usuliyyah Islamiyyah.[38] Sedangkan yang melatar
belakangi lahirnya fundamentalsime Islam adalah hampir sama dengan fundamentalisme
Kristen, yakni penolakan atas gerakan modernisme sekulerisme di negara Islam,
karena dipandang bertentangan dengan doktrin Islam. Jadi fundamentalisme Islam
lahir untuk membendung permasalah internal yang diakibatkan oleh kelompok Islam
sendiri yang berusaha mengembangkan budaya modernisme sekulerisme Barat.[39]
Sebagian
lagi lebih melihat Fundamentalisme dari aspek rigid dan riteralis dalam
memahami agama. Seperti, Allan Taylor melihat fundamentalisme Islam sebagai
kelompok yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi
keagamaan, bercorak literalis dan lebih menekankan gerakan furitanisasi ajaran agama.
Sementara itu Bannerman melihat kaum fundamentalis sebagai kelompok ortodoks
yang bercorak rigid dan ta’ashub
yang bertujuan untuk menegakkan konsep-konsep keagamaan dari abad klasik.
Daniel Pipes melihat fundamentalis sebagai kelompok yang meyakini syariah
sebagai peraturan yang abadi sepanjang zaman tanpa melakukan reinterpretasi
untuk menyeselesaikannya dengan perkembangan zaman, sehingga kaum fundamentalis
sebagai kaum legalis yang konservatif. Bassam Tibi mengartikan fundamentalis
sebagai kelompok yang menolak segala sesuatu yang baru dalam kehidupan sosial
selain dari apa yang sudah tersedia dalam doktrin agama.[40]
Dari paradigma pemahaman yang rigid dan literalis
tersebut, kaum fundamentalsime Islam menganggap Islam sebagai agama yang total,
sehingga tidak perlu lagi memasukkan unsur-unsur luar Islam atau Barat untuk
menyelesaikan permasalahan ummat Islam, yang perlu dilakukan adalah menerapkan
hukum-hukum Islam menjadi sebuah system nilai yang universal dalam hidup, baik
dalam masyarakat maupun negara.
Ketiga, Islam
Emansifatoris
Islam emansipatoris atau Islam untuk pembebasan, bisa
dikatakan sebagai sebuah gerakan yang muncul untuk mengatasi kesenjangan antaragama
yang hanya dilihat sebagai jalinan teks belaka, namun tidak mampu menjangkau
realitas sosial yang ada. Islam emansipatoris terkait dengan nalar kristis
Islam yang pernah ada, terutama yang beraliran kiri, itulah sebabnya dikatakan
sebagai jaringan Islam emansipatoris atau jaringan tafsir emansipatoris atau
Islam kritis. Titik tolak dari Islam emansipatoris adalah problem kemanusiaan,
dan teks dilihat sebagai subordinat terhadap pesan moral atau etika atau
spiritual, dan tidak dipahami sebagai hukum atau undang-undang melainkan
sebagai sinaran pembebasan.
Di sini Islam emansipatoris membongkar teks untuk aksi,
sehingga dalam tataran praktis hal-hal yang menjadi target pembebasannya
adalah: 1) bagaimana mendefiniskan secara adil apa yang dipahami sebagai
problem kemanusiaan. 2) bagaimana memperlakukan teks dalam tahap refleksi
kritis. Di sini teks diperlakukan untuk mengasah nurani dalam melihat problem
kemanusiaan karena teks bukan satu-satunya rujukan dalam melakukan refleksi
kritis. 3) bagaimana teks diperlakukan sebagai sumber kritik. Di sini
membutuhkan metode pemahaman yang mungkin akan berbeda dengan metode konvensional.
4) karena teks bukan satu-satunya alat, maka cara apa lagi yang akan dipakai
untuk melakukan pembebasan dan pencerahan, salah satu caranya adalah dengan
memperlakukan teks secara lebih ringan dan mendekonstruksinya, yaitu dengan mengabaikan
teks dan tidak terlalu mengagungkannya dalam pembahasan[41]
Islam emansipatoris lahir untuk memberikan warna yang
praktis dari Islam untuk penyelesaian problem sosial dan keagamaan manusia.
Paling tidak ada tiga kelompok keislaman yang dinilai oleh Islam emansipatoris
sebagai yang gagal memainkan peran sebagai agenda pembebasan, yakni, pertama
Islam skripturalis, dilihat sebagai kelompok yang mendasarkan diri pada teks,
titik awal dan akhir adalah teks. Kedua Islam ideologis, Islam yang
tidak berangkat dari teks dan tidak pula berakhir pada teks, melainkan dari
pilihan kebenaran dan idenya sendiri yang diideologikan. Teks hanya dijadikan
sebagai legitimasi dan jastifikasi atas apa yang diinginkan. Ketiga
Islam modernis yang hanya melakukan pendalilan terhadap realitas kemodernan
atas nama agama.[42]
Maka terkait dengan studi agama ini, Islam
emansipatoris melakukan tiga bentuk, pertama agama dilihat sebagai
realitas sosial. Di sini agama terkadang dilihat sebagai produk sejarah,
sebagaimana agama juga membentuk sejarah. Hal ini dilihat dengan alasan bahwa
pesan-pesan agama merupakan pesan sosial dan sejarah, sehingga terjadilah
akulturasi antara agama dan realitas. Kedua kritik wacanan agama.
Ketiga melakukan reinterpretasi atas doktrin-doktrin keagamaan.[43]
Inilah langkah pertama yang dilakukan Islam emansipatoris
sebagai jalan menuju agenda selanjutnya. Kemudian setelah itu Islam
emansipatoris merumuskan tiga hal dalam merumuskan Islam yang ingin diletakkan
dalam tataran praktis diskursif. Pertama memberikan pandangan baru
tentang teks, yakni melihat teks dari permasalahan kontekstual dan problem
kemanusiaan, karena teks lahir dari situasi sosiokultural masyarakat pada
zamannya. Kedua menempatkan manusia sebagai subjek penafsiran keagamaan.
Selama ini pemahaman agama berangkat dari teks yang kemudian diturunkan menjadi
hukum dalam rangka memberi status hukum kepada realitas. Akibtnya teks menjadi
kehilangan semangat transformatifnya. Ketiga Islam emansipatoris fokus
pada permasalahan manusia bukan pada perdebatan teologis, dalam artian bahwa
persoalan agama dialihkan ke permasalahan praktis bukan permasalahan
ritualistik, atau dari permasalahan teosentris menuju antroposentris. Dengan
demikian agama selain berperan sebagai ritual peribadatan tapi agama juga
berperan sebagai sarana pembebasan.[44]
Keempat, Islam Kultural
Islam kultural merupakan gerakan pemikiran keislaman yang
berkembang di Indonesia dengan pendekatan ilmu sosial, seperti antropologi,
ilmu budaya, sosiologi, dan sejarah. Sebagaimana pengertian kebudayaan tersebut
sebagai sebuah hasil karya budi daya manusia. Ini merupakan pengertian yang
sangat umum, namun jika kita melihat dari bentuk kebudayaan yang dihasilkan
yakni dalam dua bentuk, intelektual (pemikiran kefilsafatan, seni sastra), dan
benda (benda-benda bersejarah). Istilah kultural berasal dari kata culture
yang berarti kesopanan, kebudayaan, dan pemeliharaan.[45]
Islam kultural dapat dimaknai sebagai sebuah pemikiran
yang dibangun berdasarkan perspektif kebudayaan untuk memahami Islam.
Kelima, Islam
Liberal
Istilah Islam liberal[46] sejatinya didasarkan atau mengacu pada kesadaran akan
pentingnya sebuah gerakan memikirkan dan menafsirkan Islam secara kontektual,
kritis, dinamis, progresif dan modern. Maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
Islam liberal merupakan kelompok Islam yang mencoba melakukan ijtihad secara
bebas dalam arti tidak lagi mau dipenjara dalam sistem pemahaman keislaman yang
sifatnya diwarisi dari Islam klasik saja, atau kelompok Islam yang mencoba
lepas dari penjara tradisi dalam memahami agama dan melihat realitas kehidupan.
Atau kelompok Islam yang mengusung kebebasan dalam melakukan ijtihad dalam
artian tidak dimonopoli oleh kaum tua atau ulama semata.
Inti dari Islam liberal adalah meramu Islam berdasarkan realitas
dan kondisi globalitas zaman yang empirik, dengan cara melakukan reinterpretasi
Islam agar sesuai dengan kondisi zaman yang ada, mereka berangkat dari realitas
baru kepada teks, naumn teks agama tidak dijadikan sebagai legitimasi atas
realitas yang ada, melainkan yang ingin dilakukan dengan cara tersebut adalah sebuah
pemahaman yang lebih aktual dan progresif sehingga agama menjadi tidak kering dan
mandul, atau agama tidak menjadi penghalang bagi pluralisme, agama tidak lagi
menjadi alasan untuk memarjinalkan perempuan, agama tidak lagi menjadi
penghalang bagi demokrasi, agama tidak lagi menjadi penjara bagi kebebasan
dalam mengekspresikan keyakinan dan peribadatan masyarakat.
Di era millennium
ini muncul tokoh-tokoh muda Islam yang terhimpun dari berbagai golongan dan
propesi, yakni dari kalangan NU, Paramadina, Aktivis Jurnalis, IAIN Jakarta, di
samping juga golongan tua di era tahun 1980-an yang berpendidikan luar negeri
terutama di Amerika. Mereka terhimpun dalam satu komunitas Islam yang disebut
Islam Liberal Indonesia. Kelompok Islam liberal boleh dipandang sebagai
sintesis dari demokrasi dan Islam. Mereka menafsirkan sejarah dan doktrin Islam
menjadi paralel dengan prinsip-prinsip demokrasi yang berkembang di Indonesia,
dan pluralisme kebudayaan modern.[47]
Keenam, Islam Modernis
Mengenai definisi Islam modernis
ini, para peneliti memberikan pandangan yang berbeda namun subtansinya sama,
yakni ingin melakukan perubahan dalam pola fikir dan cara pandang terhadap
Islam dengan melakukan reinterpretasi secara kontekstual. Fazlur Rahman melihat
modernisme sebagai upaya untuk menyesuaikan atau mengharmoniskan antaraagama
dan pengaruh modernitas serta westernisasi yang sedang berlansung di dunia
Islam. Usaha tersebut dilakukan dengan cara menafsirkan dasar-dasar doktrin
Islam agar relevan dengan semangat zaman.[48] Sementara itu Bassam Tibi yang melihat gerakan modernis Islam
sebagai upaya untuk melakukan akulturasi budaya yakni dengan melakukan
integrasi sains dan teknologi modern ke dalam Islam sambil melakukan
preventitifikasi atas konsekuensi negatif yang akan muncul dari penerapannya.[49] Sedangkan Mukti Ali melihat modernism Islam sebagai gerakan yang
berupaya melakukan purifikasi agama dan kebebasan berpikir. Maka Islam modernis
adalah gerakan ke arah puritanisasi untuk mengajak ummat Islam kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah serta mengajak untuk diberikannya ruang bagi akar untuk
mengeksplorasi Islam sepanjang eksplorasi tersebut tidak bertentangan dengan
Qur’an dan Sunnah.[50]
Dari definisi di atas maka
kita dapat memberikan identitas kepada kelompok Islam modernis sebagai: 1)
kelompok yang menganjurkan ijtihad terutama mengenai persoalan muamalah atau sosial
kemasyarakatan. Dalam upaya ini mereka cenderung bersifat inklusif dalam
melakukan penafsiran, baik bersumber dari peradaban lain dengan cara
akulturasi, maupun dengan cara adaptif. Kedua dengan penekanan pada
ijtihad maka sudah pasti mereka tidak membenarkan sikap jumud dan taklid buta,
sebab yang demikian tidak mencerminkan penggunaan akal, melainkan sikap
dogmatis belaka. Pelabelan di atas pada kelompok modernis Islam dapat dilihat
pada pandangan Fazlur Rahman (Islam), A. Mukti Ali (Islam dan modernisme),
Deliar Noer (Gerakan Modern Islam).
Ketujuh, Islam Pluralis
Pluralisme adalah paham kemajemukan
atau paham kebhinekaan yang berorientasi pada kemajemukan yang memiliki
berbagai penerapan yang berbeda dalam filsafat agama, moral, hukum dan politik
yang mana batas kolektifnya ialah pengakuan atas kemajemukan di depan
ketunggalan.[51]
Artinya adalah bahwa dalam eksistensi segala sesuatu, baik dalam ilmu pengetahuan,
kepercayaan, ekonomi, politik, budaya dan agama adalah hal yang bersifat mutlak
sebagai hukum kehidupan. Jika itu mutlak, maka tidak ada yang berhak untuk diunggulkan
atau didiskriminasikan satu dari yang lainnya, melainkan harus sejajar.
Di Indonesia isu pluralisme agama
mulai marak digulirkan oleh ummat Islam. gerakan ini marak digulirkan mengingat
sering terjadinya kekerasan dan perang antarummat beragama, seperti kekerasan
antarIslam dan Kristen di Ambon, pengikut Ahmadiyah dan lain sebagainya. Ide
pluralisme digulirkan dalam rangka menciptakan kehidupan beragama yang kondusif
dan harmonis di Indonesia. Secara yuridis kebebasan beragama memang dibenarkan
dalam undang-undang, bahkan jika dilihat dari sila pertama Pancasila yang
memakai bahasa Tuhan, ini mengindikasikan pluralitas agama di Indonesia.
Atas dasar kondisi dan legitimasi undang-undang
tersebutlah, maka gerakan harmonisasi antarummat beragama digalakkan oleh
pemikir Islam Indonesia, seperti Nurcholis Madjid dengan karyanya seperti Pintu-pintu
Menuju Tuhan, Alwi Shihab dengan idenya tentang Islam Inklusif, dan masih
banyak yang lainnya.
Alwi merumuskan pengertian konsep pluralism ke dalam
empat bentuk, Pertama, pluralisme tidak serta merta menunjuk pada adanya kemajemukan.
Melainkan yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan
tersebut. Dari sini pluralisme dimaknai sebagai tiap pemeluk agama dituntut
untuk bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam
usaha memahami perbedaan dan persamaan agar tercapai kerukunan dalam keragaman.
Kedua adalah pluralism harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Sebab
kosmopolitanisme belum tentu mengarah pada interaksi yang baik antarperbedaan
yang ada, walaupun semua masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah atau kota
saling bertemu setiap saat. Ketiga adalah, konsep pluralisme tidak dapat
disamakan dengan relativisme. Ralitivisme berpandangan bahwa hal-hal yang
berkaitan dengan kebenaran dan nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta
kerangka berpikir seseorang atau masyarakat. Keempat, pluralsime bukan sinkretisme,
yakni menciptakan agama baru dengan mengambil ajaran atau unsur tentu dari
agama-agama yang ada dan dintegrasikan ke dalam agama baru tersebut.[52]
Jika ditilik dari tujuannya menciptakan harmoni antarummat
beragama, maka Islam pluralisme boleh dikatakan sebuah gerakan yang harus
didukung, sebab agama merupakan hal yang rawan konflik, oleh sebab itu perlu
adanya sebuah pemahaman yang lebih subtantif terhadap agama itu sendiri. Islam
pluralis sejatinya harus ditempatkan pada posisi tersebut, sehingga dengan kelahirannya
pun tidak mendatangkan konflik baru dalam agama. Hal ini perlu disadari oleh
para perintis gerakan Islam pluralis ini, sebab apa bedanya jika orang yang
tidak paham agama dan bertengakar antaragama dengan orang yang paham agama
namun bertengkar pula dengan kefahamannya tersebut. Maka Islam pluralis harus
kembali kepada jalur perdamaian dengan tidak terlalu mengotak-atikkan doktrin
fundamental agama, dalam hal ini adalah Islam, sebab jika demikian maka Islam
pluralis sebetulnya hadir untuk membuat konflik di dalam konflik.
Kedelapan, Islam Radikal
Secara sosilogis bisa diterangkan bahwa
radikalisme kerap kali muncul bila terjadi banyak kontradiksi dalam orde sosial
yang ada. Bila masyarakat yang mengalami anatomi atau kesenjangan antaranilai-nilai
dengan pengalaman, dan para masyarakat tidak mempunyai daya lagi untuk
mengatasi kesenjangan itu, maka radikalisme dapat muncul ke dalam permukaan. Dengan kata lain akan
timbul proses radikalisme dalam lapisan-lapisan masyarakat,[53]
terutama di kalangan anak muda.
Berpijak pada tataran
sosiologis tersebut di atas radikalisme dapat dicirikan dan ditandai oleh tiga
kecenderungan umum.
Pertama, radikalisme
merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung, biasanya respon
tersebut muncul dalam bentuk evaluasi penolakan atau bahkan perlawanan.
Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai
yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap kondisi yang ditolak.
Kedua, radikalisme tidak
berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti
tatanan-tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan yang lain. Ciri ini
menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkadang suatu program atau pandangan
dunia (worl view) tersendiri. Kaum radikal berupaya kuat untuk
menjadikan tatanan tersebut menjadi ganti dari tatanan yang sudah ada.
Ketiga, kuatnya keyakinan
kaum radikalis terhadap kebenaran yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang
sama dibarengi dengan penafian kebenaran dengan sistem lain yang akan
diganti. Dalam gerakan sosial keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi
sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai
ideal seperti kerakyatan atau kemanusiaan, akan tetapi kuatnya keyakinan ini
dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.[54]
Kesembilan, Islam Rasional
Islam Rasional berarti Islam yang diproses melalui akal
pikiran manusia dalam membentuk keyakinannya terhadap Islam. Sebagaimana
pengertian rational (bahasa Inggris) yang berarti masuk akal atau logis,[55] atau jika dikembangkan menjadi pemikiran, persepsi atau
pandangan yang berlandaskan pada akal yang sistematis dan logis. Namun
perlu ditegaskan di sini, bahwa penggunaan akal dalam konteks Islam tidak dimaksudkan sebagai
sebuah tolok ukur merumuskan
kebenaran atau menjadi panduan hidup sebagaimana di Barat yang bersifat
antroposentris, yang menitikberatkan kebebasan berpikir sebagai tolok ukur kebenaran, apa yang
ada dalam pikiran mesti bersesuaian dengan apa yang ada dalam tataran realitas
empiric, dan jika realitas yang empiric tidak bersesuaian dengan akal maka
realitas tersebut diabaikan.
Dalam konteks Indonesia tokoh yang dianggap rasional
adalah Nurcholis Madjid, Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, Amin
Rais, dan masih banyak yang lainnya. Bagaimana paradigma Islam yang
dikembangkan Islam rasional ini? Inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini,
terutama pandangan harun Nasution. Sedangkan yang lainnya telah dilabelkan
dalam kelompok pemikiran yang lain, seperti Nurchlis Madjid, Djohan Effendi,
Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid lebih dilihat sebagai tokoh Neo-Modernisme
Islam oleh Greg Barton Ph.D,[56] Fachry Ali dengan sebutan Islam yang wajar atau Islam kultural
(terutama Nurcholis Madjid dan Gus Dur).[57]
Harun Nasution (1919-1998)[58] dikenal sebagai tokoh yang rasionalis,
sehingga karya-karya yang dilahirkannya hampir tidak lepas dari pandangan
beliau yang rasional tersebut, seperti, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,
Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Teoplogi Islam
Aliran-Aliran Sejarah analisa Perbandingan, Filsafat Agama, Falsafah dan Mistik
dalam Islam, Akal dan Wahyu dalam Islam, Perkembangan Modern dalam Islam,
Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah dan Islam Rasional Gerakan dan
Pemikiran. Dengan sikapnya yang rasional itulah, maka Harun merupakan tokoh
modernis yang dimiliki oleh Ummat Islam Indonesia. Namun perlu dari awal
ditekankan bahwa akal dalam pandangan Harun tidaklah bisa menghapus wahyu,
wahyu tetap dianggap sebagai yang unggul dan mutlak benar akal hanya menginterpretasi
teks wahyu sesuai dengan kebutuhan manusia.[59]
Kesepuluh: Islam
Revivalisme
Revivalisme Islam (kebangkitan kembali Islam) memiliki
cakupan yang sangat luas, baik yang bersifat elegan (tanpa kekerasan) yang
intisifikasinya lebih diarahkan pada penghayatan dan pengamalan Islam secara
individual maupun secara kolektif atau berkelompok yang tujuannya hanya
menghidupkan kembali Islam secara damai dalam kehidupan sehari-hari untuk
membendung arus modernisasi yang mengarah pada terciptanya budaya vulgar dalam
diri ummat Islam. Di samping itu gerakan revivalisme Islam juga bisa berbentuk
radikal-militan, yang bernaung di bawah payung fundamentalisme Islam, yang
bertujuan untuk menciptakan system sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang
bercirikan Islam.[60]
Berbeda dengan pandangan di atas, bahwa Revivalisme Islam
dalam konteks Indonesia, sebagaimana yang dikatakan oleh Azyumardi Azra
merupakan gerakan keislaman yang bertujuan untuk mengembalikan Islam pada
ajaran yang murin. Argumentasi mereka dalam hal ini adalah, bahwa ummat Islam
mengalami kemunduran di era modern yang berhadapan dengan Barat, dikarenakan
Islam yang diamalkan telah mengalami distorsi, sudah bercampur dengan bid’ah,
khurafat, tahayul, kepercayaan dan tradisi
lokal, serta pemikiran dan ideologi sosial modern Barat. Karena itulah maka
Islam harus dimurnikan kembali. Dalam upaya pelaksanaan puritanisasi Islam
tersebut, langkah yang diambil oleh kaum revivalis adalah penerapan dan
pengembangan ijtihad, khususnya dalam masalah-masalah yang berkenaan dengan
hukum.[61]
Kesebelas: Islam Spiritualis-Sufistik
Pertama
Islam spiritualis-sufistik dalam bentuk gagasan pemikiran. Hal ini terkait
dengan gagasan untuk membangun perdamaian antar ummat beragama di Indonesia
agar tidak terjadi konflik atas nama Tuhan. Islam sebagai agama yang mayoritas
pengikutnya di Indonesia harus menjadi kekuatan untuk menebarkan perdamaian,
sebab Islam memiliki perangkap yang kuat dan banyak secara doktrinal dan
historis. Sebagaimana yang diungkapkan Gamal Albana, jika umat Islam mengakui
keesaan Tuhan dan kekelan-Nya, maka sebetulnya sudah mengakui pluralitas di
luar Tuhan, bahwa yang Tunggal hanyalah Allah dan di luar Allah adalah plural.
Jika ini tidak diyakini maka secara tidak sadar ummat Islam telah menyekutukan
Allah.[62]
Kedua
adalah gerakan Islam spiritualis-sufistik dalam tataran praktek dan pengamalan.
Ini merupakan paham yang mempraktekkan unsur batiyah atau esoteric dalam Islam,
yang dapat diperoleh melalui peran aktif pada kelompok-kelompok ekslusif
spiritualis, tasawuf atau tarekat. Kelompok ini tidak mau terlibat atau tidak
peduli dengan permasalahan sosial baik ekonomi, politik dan sebagainya, yang
terpenting adalah bagaimana mendapatkan kesucian batin dan dekat dengan Tuhan.
Kelompok ini muncul di Indonesia lebih disebabkan oleh proses modernisasi dan
globalisasi yang terkadang menimbulkan disorientasi dan dislokasi psikologis
pada masyarakat tertentu, di samping juga disebabkan oleh ketidakpuasan
terhadap bentuk agama yang dikembangkan oleh ulama atau organisasi keagamaan
yang lebih bersifat normative-ritualistik semata atau eksoteris.[63]
Islam Spiritualis-sufistik dalam tatarn pemikiran para intelektual
Islam Indonesia bertujuan untuk mendamaikan dan menciptakan kehidupan yang
harmonis antar umat beragama, sebab pluralitas merupakan kepastian yang tidak
bisa dihindarkan selama kita masih berstatus hamba dan sebagai mahluk. Dengan
ide pluarlisme atau kesatuan teologis diharapkan akan tercapai kehidupan yang toleran,
egalitarian dan harmonis di Indonesia yang pluralistis ini. Di samping itu
Islam spiritualis-sufistik dalam tataran praktis adalah untuk mengembalikan
Tuhan dalam diri kehidupan masyarakat yang modern yang berada dalam hegemoni
kebutuhan material, sehingga nilai-nilai transcendental menjadi terabaikan, dan
ini merupakan implikasi dari munculnya isme-isme Barat yang bernuansa sekuler. Maka Islam eso-ritualis-sufistik hadir untuk mengembalikan Tuhan ke dalam diri.
Keduabelas: Islam Transformatif
Islam transformatif lahir untuk mengubah, membentuk dan untuk selanjutnya
menjadikan Islam yang berfungsi dalam segala aspek kehidupan. Hal ini sesuai
dengan makna dari kata transformation (bahasa Inggris) yang
berarti perubahan atau menjadi.[64] Dari definisi ini maka secara umum, bahwa Islam
transformatif mengemban tugas ke depan sebagai tujuan, yakni, 1) pemikiran Islam yang bertujuan
mengaktualisasikan Islam yang rahmatan lil alamin. 2) Islam transformatif bertujuan untuk
menciptakan kehidupan yang integral dan holistic dalam kehidupan, yakni
pemaduan antara kesalehan vertikal yang kemudian terwujud dalam kesalehan sosial-horizontal.
Atau dengan kata lain aktualisas nilai ritual ibadah yang dikerjakan ke dalam kehidupan sosial dalam bentuk cinta, kasih
sayang, toleran dan egalitarian terhadap sesama manusia,
bahkan mungkin terhadap lingkungan alam. 3) bertujuan untuk mengembangkan Islam
yang actual pada kondisi zaman yang dihadapi.
Salah satu tokoh yang akan diangkat dalam tulisan ini
adalah pemikir Islam Indonesia yang begitu popular dan memiliki ide-ide
transformatif yang luar biasa, yakni Kuntowijoyo. Ide transformasi
masyarakat Kuntowijoyo dilakukan dengan pendekatan historis, sehingga pemikiran
Kuntowijoyo lebih bersifat metodologis ketimbang subtantif. Terkait dengan formulasi
system dan keilmuan Islam yang rasional dan empiris tersebut Kuntowijoyo menawarkan
lima cara reaktualisasi ajaran Islam sebagai bentuk kebangkitan dan respons
ummat Islam terhadap kebudayaan yang dihadapi.
Pertama, perlunya dikembangkan interpretasi atau penafsiran sosial
struktural lebih dari pada penafsiran individual ketika memahami
ketentuan-ketentuan tertentu di dalam al-Qur’an. Kedua mengubah cara
berfikir subjektif menjadi cara berfikir objektif. Ketiga adalah mengubah
Islam yang normative menjadi teoritis. Keempat mengubah pemahaman yang
a-historis menjadi pemahaman yang historis. Kelima merumuskan formulasi
wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang bersifat spesifik dan
empiric. Dengan diaktualisasikannya kelima cara tersebut Kuntowijoyo optimis bahwa
ummat Islam Indonesia akan mampu menjawab tantangan zaman yang dihadapi.[65]
Ketigabelas: Neo-Modernisme Islam
Gerakan Neo-Modernisme Islam untuk pertama kali
ditegaskan oleh Fazlurrahman. Baginya, Neo-Modernisme merupakan sintesa dari
rasionalitas kaum modernis dengan dan tradisi klasik Islam. Sebelumnya Rahman memaparkan
bahwa sejarah gerakan Islam pada dua abad terakhir terbagi ke dalam empat bentuk: Pertama, gerakan revivalis
di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Kedua, gerakan
modernis. Ketiga Neo-revivalis yang modern namun agak reaksionis. Dan keempat
adalah Neo-modernis, yakni yang diusung oleh Fazlur Rahman sendiri.[66]
Neo-modernsme Islam ini untuk pertama kali digagas di
Indonesia pada sosok seorang Nurcholis Madjid dengan ide mengembangkan pembaruan
pemikiran dalam Islam sekitar tahun 70-an pada sebuah seminar yang diisi oleh
Nurcholis Madjid yang menyampaikan makalah berjudul Keharusan Pembaharuan
Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Makalah ini kemudian disebarluaskan
oleh media masa baik cetak maupun tulis tanpa sepengetahuan Cak Nur.[67] Tokoh-tokoh yang tergolong dalam kelompok neo-modernis
ini adalah Nurcholis Madjid, Djohan Efendi, Abdur Rahman Wahid, Ahmad Wahid,
Jalaluddin Rahmat, Amin Rais dan lain sebagainya.
Neo-modernisme Islam Indonesia juga merupakan sebuah
kontinuitas atau merupakan kombinasi dari dua unsur penting tradisi pemikiran dan
gerakan Islam di Indonesia, yakni modernisme dan tradisionalisme. Maka neo-modernisme
mencoba mengkombinasikan kedua kelompok tersebut. Namun tetap
memiliki perbedaan dengan modernisme sebelumnya (Muhammadiyah dan Persatuan Islam)
yakni Neo-modernisme lebih berani untuk menerima dan mengakomodasi ide-ide yang
paling maju dan progresif, meskipun itu datang dari budaya sekularisme Barat
(inilah sikap inklusif yang ditampilkan) namun di samping itu juga menerima
pandangan kaum tradisionalis.[68] Namun dalam rangka menerima gagasan modernisme dan
tradisionalisme tersebut, kelompok neo-modernisme tetap melakukan klasifikasi
dan interpretasi sebagai sikap selektif bukan reseptif, dengan maksud akan
melahirkan sebuah sintesis baru yang siap untuk dipakai dalam upaya pembaharuan,
hal ini terlihat dengan penguasaan pada ilmu pengetahuan klasik Islam dan
perkembangan keilmuan modern Barat.
Penutup
Keragamaan
keberislaman masyarakat Islam Indonesia membuktikan bahwa pemahaman dan
pengamalan terhadap agama Islam di kalangan masyarakat menunjukkan
multikulturalisme yang sangat konpleks. Artinya agama yang dipahami oleh
masyarakat Islam Indonesia jelas memiliki ciri dan karakter tersendiri
dibanding dengan cara pemahaman masyarakat Timur terutama Masyarakat Jazirah
Arab tentang Islam itu sendiri. Keragaman masyarakat Islam Indonesia
menunjukkan betapa indahnya khazanah kebhinekaan Indonesia jika diramu dengan
semangat keagamaan yang toleran, moderat akan membentuk karakter bangsa
Indonesia yang tercermin pada sila-sila Pancasila yang secara subtantif sangat
relevan dengan ajaran-ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Syari’ati, Islam
Mazhab Pemikiran dan Aksi terj., M. S. Nasrulloh dan Afip Muhammad,
(Bandung: Mizan, 1995), cet. II.
-----------, Tugas
Cendikiawan Muslim, terj., M. Amin Rais (Jakarta: PT Grafindo Persada,
1996), cet. I.
Azyumardi Azra,
Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga
Posmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), cet. I.
----------, Konteks
Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), cet.
I.
-----------, Islam
Reformis; Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: PT Grapindo Persada,
1999), cet. I.
A. Mukti Ali, Beberapa
Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta:
Rajawali, 19988).
A. R.
Golpeigani, Kebenaran Itu Banyak: Menggugat Pluralisme, Terj., Muhammad
Musa (Jakarta: AL-HUDA, 2005), cet. I.
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap
Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan 1999), cet. I
Bassan Tibbi, The
Crisis of Modern Islam: A preindustrial Culture in the Scientific-Teknologikal
Age (Slat Lake City: The University of Utah Press, 1988)
Bruce B.
Lawrence, Islam Tidak Tunggal: Melepaskan Islam Dari Kekerasan, terj.,
Harimukti Bagus Oka (Jakarta: Serambi, 2004), cet. II.
Harun Nasution,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek (Jakarta: UI Press, 1995), cet. 5.,
jilid I.
-----------, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta:
UI-Press, 1986), cet. II., jilid. VI.
Hasan Hanafi, Aku
Bagian Dari Fundamentalsime Islam, terj., Kamran As’ad Irsady Mufliha Wijayanti
(Yogyakarta: Islamika, 2003), cet. I.
Fachry Ali, Golongan
Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet. I.
----------- dan Bahtiar Efendy, Merambah
Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Or de Baru (Bandung: Mizan, 1986)
Fazlu Rahman, Islam
(Chicago: The University of Chicago Press, 1982)
Gamal Al-Bana, Pluralitas
dalam Masyarakat Islam, terj., Tim MataAir Publishing (Jakarta: MataAir
Publishing, 2006)
Greg Barton., Gagasan
Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan
Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq (Jakarta:
UIN Press, 1999)
Jamesa Barr, Fundamentalisme,
terj., Stephan Suleman (Jakarta: BPK Gunung Mulya, 1996), cet. 2.
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus (Bandung: Ghanesa, 1998), cet. 2.
Karn Armstrong,
Islam Sejarah Singkat, terj., Fungky Kusnaendy Timur (Yogyakarta:
Jendela, 2003)
----------, Berperang
Demi Tuhan, terj., Sartio Wahono dkk (Bandung: Mizan, 2001), cet
Mohamed Arkoun,
Membongkar Wacana Hegemoni dalam Islam dan Postmodernis, (ed), terj.
Jaohari dkk (Surabaya: al-Fikri, 1999),
cet. I.
----------, Islam
Kontemporer Menuju Dialog Antaragama, terj. Ruslani (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), cet. I.
Very
Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan (Jakarta:
P3M, 2004), cet. I.
Zaim Uchrowi, Refleksi
Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: Panitia
Penerbit Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasutio dan Lembaga Studi Agama dan
Filsafat, 1989)
* Dosen Tetap Fakultas Dakwah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, Pembantu Dekan III Fakultas Dakwah
IAIN Mataram 2010-2014
[1]Baca, Karn Armstrong, Islam
Sejarah Singkat, terj., Fungky Kusnaendy Timur (Yogyakarat: Jendela, 2003),
cet. I., 169-192.
[2] Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspek (Jakarta:
UI Press, 1995), cet. 5., jilid I., h. 88.
[3] Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspek, h. 95.
[4] Fazlur Rahman, Islam,
terj. Ahsin Muhamad (Bandung: Pustaka,
2001), cet. I., h. 316.
[5]Mohammed Arkoun, Islam
Kontemporer Menuju Dialog Antaragama, terj. Ruslani. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), cet. I., h. 6.
[6] Gerakan pembaharuan ini
dimulai sejak Islam bersentuhan dengan dunia Barat melalui kolonialisasi dan
imperialisasi wilayah kekuasaan Islam, dan ini merupakan awal dari abad modern
di dunia Islam, Karn Armstrong, Islam Sejarah Singkat, terj., Fungky
Kusnaendy Timur (Yogyakarat: Jendela, 2003), cet. I., 169-192.
[7] Azyumardi Azra, Pergolakan
Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Posmodernisme
(Jakarta: Paramadina, 1996), cet. I., h. iv-vi.
[8] Bruce B. Lawrence, Islam
Tidak Tunggal: Melepaskan Islam dari Kekerasan, terj., Harimukti Bagus Oka (Jakarta:
Serambi, 2004), cet. II., h. 59.
[9] Azyumardi
Azra, “Intraksi Agama dan Kebudayaan” dalam pengantar, Fachry Ali, Agama,
Islam, dan Pembangunan (Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. I, h. 10.
[10]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat
(Mizan: Bandung, 1998), cet. XVIII, h. 209.
[11] Sebagai sebuah spirit disini
bisa diwujudkan dalam bentuk falsafah hidup, idiologi dan lain sebagainya.
Seperti Pancasila bagi Bangsa Indonesia.
[12]Sebagai mana
yang dikatakan oleh Godfrey Gunnatilleke dalam bukunya Religion and
Development in Asian Societies:.......sepanjang sejarah, agama telah
menjadi kekuatan yang paling berarti dalam perubhan dan transformasi Eropa,
reformasi proterstan dengan kehancuran fiodalisme, Budhisme yang telah
memberikan ajaran etika humanisme, awal pertumbuhan Islam dengan menyatukan
bangsa-bangsa Arab, kita melihat gerakan agama telah memberikan bentuk idiologi
kepada sebagian besar kekuatan sosial menyelenggarakan perubahan hidup dan
masyarakat. Sebagaimana yang dikutif dalam, Fachry Ali, Agama, Islam dan
Pembangunan
(Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. I.,
h. 20.
[13] Joachim Wach, Sociology
of Religion (The university of
Chicago Press, 1948), h. 37.
[14] Roland
Robertson, ed., Agama Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj.,
Achmad Fedyani Saifuddin
(Jakarta: CV Rajawali, 1992), h.,
295-297.
[15] Clifford Geertz,
“Religion as a Cultural System” dalam R. Banton (ed.) Anthropological
Approach to the Study of Religion, 1965, h. 42
[16] William James, Varietes
of Religious Experience (New York :
Longmans, 1929), h. 31.
[17] Joachim Wach, Ilmu
Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan, (terj.)
Djamannuri (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 15-18. Lihat juga H.A.
Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998),
h. 61-63
[18] Hermenetik ditemukan
dari Yunani, yakni pada Hermes atau Nabi Idris dalam Islam yang mencoba
menyebarkan ajaran Tuhan dengan upaya penerjemahan ajaran agama atau bahasa
Tuhan kedalam bahasa masyarakat agar mudah difahami dan diyakini.
[19] Dalam
Islam perbedaan tersebut hanya berlaku pada masalah-masalah yang bersifat
furu’iyah semata bukan masalah qot’i (solat, puasa, zakat, haji, Tauhid, kenabian
dan lain sebagainya).
[20] Mukti Ali, Beberapa
Persoalan Agama Dewasa ini (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 5-6
[21] Mengenai kemajuan
peradaban yang telah
dicapai
ummat Islam, baca Marsal G. S.
Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia,
terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Paramadina, 2002). Baca juga Ira M.
Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta:
PT RajaLapindo Persada, 1999).
[22] Dalam
pandangan Harun Nasution, peradaban Islam terbagi dalam tiga periode, yakni, Pertama, periode klasik
(650-1250), kedua, peridoe pertenagahan (1250-1800), dan ketiga periode modern
(1800-sekarang). Harun Nasutioan, Pembaruan dalam Islam: Sejaarah
Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: bulan Bintang, 1975), h. 25.
[23] Yakni aliran yang identik dengan
filosof-filosof seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Aliran ini direfresentasikan
pada Aristoteles yang dalam mengajar filsafat selalu degan berjalan-jalan. H.
Muzairi, dkk. Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemolgis, Aksiologis,
Historis, Prospektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992), ce. I., h. 76.
[24] Aliran yang mengedepankan
sumber perolehan ilmu pada konsep pengabungan akal dan intuisi. Toko utama
aliran ini adalah Syihab al-Din Yahya al-Syuhrawardi (549-587/1154-1191).
Aliran ini lahir dalam rangka meresfons aliran Aristotelianisme di kalangan
islam diatas. dari segi ontologis aliran ini menggap bahwa esensi lebih penting
dari apda eksistensi, sebabeksistensi hanya ada dalam pikiran, gagasan umum dan
konsep sekunder yang tidak erdapat dalam realitas, sedangkan yang benar-benar ada
atau realitas yang sesungguhnya adalah esensi-esensi yang tidak lain adalah
bentuk cahaya. Untuk lebih jelasnya, baca, Syihab al-Din Yahya al-Syuhrawardi, Hikmah
Al Israq: Teosofi Cahaya Dan Metafsika Khuduri, terj. Muhammad`al- Fayyadl,
(Yogyakarta: Islamika, 2003), cet. I.
[25] Muhsin Labib, Para
Filososf Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra, (Jakarta; al-Huda, 2005), cet.
I., h. 35. Aliran ini merupakan sintesis dari disiplin ilmu yang pernah ada di
dunia Islam, tercata ada empat aliran yang
mempengaruhi pemikiran Shadra, yakni kalam, pemikiran peripatetik,
pemikiran iluminasionis, pemikiran tasawuf.
[26] Tentunya masalah ini
tidak akan dikaji secara historis, dalam arti mengkaji sejarah awal masuk dan
berkembangnya Islam di Nusantara, namun lebih kepada masa dimana Islam
mengalami pluralitas pemahaman dan ekspresi pada masyarakat Indonesia, terutama
pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi. Atau pada masa modern di
Indonesia.
[27] Teori
yang mengacu pada konsekwensi atau kepastian yang mengarah pada dealektika
sinergis antara diri dengan lingkungan
[28]Johan M. Echols dan
Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 10.
[29] Rosiyadi Sayuti, Status Attainment, Human Capital and
Religiousity in Indonesia: A case of West Nusa Tenggara, Dissertation for
the Degree Doctor of Philosophy in the Graduate School of the Ohio State
University (Ohio: State University, 1995), h. 35.
[30] Baca, Jalaluddin rahmat,
Islam Aktual.
[31] Jalaluddin
Rahmat, Islam Alternatif;Cerama-Cerama di Kampus, h. 36.
[32]Ali Syari’ati, Islam
Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj., M. S. Nasrulloh dan Afip Muhammad
(Bandung: Mizan, 1995), cet. II., h. xiii.
[33]Ali Shariati, Tugas
Cendikiawan Muslim, terj., M. Amin Rais (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), cet. I.,
h. 103. Semua ini diambil dari konsep piramida pemikiran Shariati untuk membaca
perkembangan kemajuan peradaban Barat saat ini. Bagian bawah dari piramida
berbentuk tebal dan besar (itulah masyarakat), bagian tengah yang lebih kecil adalah
para cendikiawan, dan puncak dari piramida yang kecil adalah para bintang yang
berkilau dan jumlahnya relatif sedikit, namun berpengaruh besar dalam melakukan
revolusi sosial pada masyarakat Barat, h. 96-102.
[34] Karn Armstrong, Berperang
Demi Tuhan, terj., Sartio Wahono dkk (Bandung: Mizan, 2001), cet. 2., h. x. Istilah
fundamentalisme diambil dari jidul buku The Fundamentals: a Testimony to the
Truth, Jamesa Barr, Fundamentalisme,
terj., Stephan Suleman (Jakarta: BPK
Gunung Mulya, 1996), cet. 2., h. 2.
[35] untuk lebih jelasnya,
baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta:
Paramadina, 1999), cet. I., h. 133-142.
[36] Seperti yang dikutif
Hadimulyono, “Fundamentalisme: Istilah Yang Dapat Menyesatkan”, Ulumul
Qur’an, No., 3 Vol. IV, 1993, h. 5
[37] Mohamed Arkoun, Membongkar
Wacana Hegemoni Dalam Islam dan Postmodernis (ed), terj. Jaohari dkk
(Surabaya: AL-FIKRI, 1999), cet. I., h. 209.
[38] Hasan Hanafi, Aku
Bagian Dari Fundamentalsime Islam, terj., Kamran As’ad Irsady Mufliha
Wijayanti (Yogyakarta: Islamika, 2003), cet.
I., h. 107.
[39] Untuk lebih jelasnya
gambaran mengenai Fundamentalsime Islam beserta tokoh-tokohnya, baca, Karn
Armstrong, Islam Sejarah Singkat, h. 194-206.
[40]Sebagaimana yang dikutif
dalam, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik
Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami
(Pakistan), h. 17-18.
[41]Masdar F. Mas’ud, dalam
pengantar umum “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris” dalam, Very
Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: P3M, 2004), cet. I., h. I-xvi.
[42] Masdar F. Mas’ud, ....
h. xi-xv.
[43] Very
Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan,
h. 80-81.
[44] Very Verdiansyah, Islam.,
h. 77.
[45] John M. Echols dan
Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 159.
[46] Adalah istilah yang
dipakai oleh Charles Krzman dalam bukunya Liberal Islam; a Source Book.
Dalam buku ini termuat beberapa tokoh Islam kontemporer yang dilihat sebagai
pemikkir liberal, progresif, indevenden, kritis dan modern. Sebelumnya terdapat
buku yang ditulis oleh Leonard Binder Islamic Liberalizm. Dan dalam buku Albert
Hourani Arabic Thought in The Liberal Age.
[47] Denny J.A., dkk
“Berharap Kepada Islam Liberal” dalam dalam Luthfi Assyaukanie, Wajah
Liberal Islam di Indonesia, h. 20.
[48] Fazlu
Rahman, Islam (Chicago: The
University of Chicago Press, 1982), h. 215-216.
[49] Sekularisme
alinasi dan ambruknya pilar-pilar moral atau dekadensi spiritual masyarakat Barat
merupakan implikasi negatif dari sains dan teknologi modern. Itulah sebabnya
kaum modernis berusaha untuk mensintesiskan nilai-nilai ruhani dan moral Islam
dengan sains dan teknologi tersebut. Bassan Tibbi, The Crisis of Modern
Islam: A preindustrial Culture in the Scientific-Teknologikal Age (Slat
Lake City: The University of Utah Press, 1988), h. 1143.
[50] A.
Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali,
19988).
[51] A.
R. Golpeigani, Kebenaran Itu Banyak: Menggugat Pluralisme, Terj.,
Muhammad Musa (Jakarta: AL-Huda, 2005),
cet. I. h. 13.
[52]Alwi Shihab, Islam
Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, h. 41-42.
[53] Ibid. h. 5.
[54] Khamani Zada, Op cit., h. 16-17, Lihat
juga Bakhtiar Efendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama dalam
pengantar, hal. 1.
[55] John M. Echols dan
Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1979), cet.
VII., h. 466.
[56] Baca, Greg Barton Ph.D.,
Gagasan Islam Liberal Di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid,
Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq (Jakarta: UIN Press,1999)
[57] Fachry Ali, Golongan
Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia
(Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet. I., h. 121.
[58] Mengenai bigrafi Harun
Nasution, baca, Zaim Uchrowi, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70
Tahun Harun Nasution (Jakarta: Panitia Penerbit Buku dan Seminar 70 Tahun
Harun Nasutio dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), h. 3-62.
[59] Harun
Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), cet.
II., jilid. VI., h. 25-31.
[60] Azyumardi Azra, Islam
Reformis; Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: PT Grapindo Persada, 1999), cet.
I., h. 47.
[61] Contoh yang dapat
diamani adalah gerakan Padri di Minang Kabau pada awal abad ke-19, dan
organisasi keislaman Muhammadiyah. Keduanya menyerukan gerakan kembali pada
Qur’an dan hadits. Dismaping kedua kelompok tersebut terdapat juga kelompomk
Jama’ah Tabliqh. Disamping menyuarakan puritanisasi, gerakan revivalis Islam
juga mengajarkan untu melakukan penafsiran dan Hijrah. Azyunardi Azra, Islam
Reformis; Dinamika Intelektual dan Gerakan, h. 47-50.
[62] Gamal Al-Bana, Pluralitas
dalam Masyarakat Islam, terj., Tim MataAir Publishing (Jakarta: MataAir Publishing, 2006), h. 5.
[63] Azyumardi
Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, h. 10.
[64] John M.
Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 601.
[65] Kuntowijoyo,
Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, h. 283-285.
[66] Greg Barton Ph.D., Gagasan
Islam Liberal Di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan
Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq, (Jakarta:
1999), cet. I., h. 9.
[67] Untuk lebih jelasnya
latar belakang lahirnya gerakan neo-modernisme Islam di Indonesia, baca, Greg
Barton Ph.D., Gagasan Islam Liberal Di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme
Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, h.
9-68.
[68] Fachry Ali dan Bahtiar
Efendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia
Masa Orde Baru (Bandung: Mizan,
1986), h. 175-177.
0 komentar:
Post a Comment