ABSTRAK
Dakwah transformatif adalah suatu model pendekatan dan metode dakwah yang
tidak hanya mengandalkan dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan
materi-materi keagamaan kepada masyarakat, yang memposisikan da’i sebagai penyebar
pesan-pesan keagamaan, tetapi juga menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan
ke dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan komunikasi relasional
dan pendampingan masyarakat secara langsung. Dengan demikian dakwah tidak hanya
untuk memperkuat aspek religiusitas masyarakat, melainkan memperkokoh basis
sosial untuk mewujudkan transformasi sosial dan menghilangkan kesenjangan
sosial yang terjadi selama ini.
Starting point dari persoalan di atas, permasalahan utama dalam kajian
ini adalah bagaimana dakwah
transformatif Tuan Guru perspektif
komunikasi relasional? Dari sini dapat dipertegas dengan memunculkan sub-sub
pertanyaan sebagai berikut: bagaimana kriteria dakwah transformatif tuan guru
di Lombok? bagaimana signifikansi komunikasi relasional tuan guru dalam
melakukan dakwah transformatif di Lombok?
Keberhasilan dakwah islamiyah sangat ditentukan oleh komunikasi relasional
antara individu dan masyarakat, semakin intensif komunikasi da'i dengan
masyarakat, semakin terjalin semangat keberagamaan dalam menyikapi berbagai
problem umat.
Pendekatan utama dalam menyikapi stagnasi dakwah dapat diterapkan teori komunikasi relasional (Katrin Miller : 1998 : 86) yang menyatakan, hubungan berkelanjutan antara individu dan masyarakat yang terus dikomunikasikan akan terjalin ikatan yang berkelanjutan pula. Teori ini diperkuat oleh Alvin L. Bertrand : 1980 : 161 yang menyatakan, awal dari perubahan yang ingin dicapai dalam segala aspek tergantung pada komunikasi berkelanjutan di antara para individu-individu yang satu dengan yang lain.
Tuan Guru sebagai komunikator umat tidak akan terlepas dari dua aspek komunikasi relasional yaitu, dialektik relasional yang meliputi internal dan eksternal yang merupakan bagian terpenting dari teori komunikasi relasional. Dengan dilektik komunikasi internal Tuan Guru dapat dengan mudah membenahi persoalan-persoalan yang terjadi di kalangan mad'u (objek dakwah), begitu juga dialektik eksternal dapat membantu Tuan Guru dalam mengkomunikasikan persoalan-persoalan yang terjadi di luar objek dakwah.
Agenda dakwah ke depan harus mampu merubah paradigma yang selama ini salah dan telah mengkristal di kalangan umat dengan paradigma komunikasi relasional. Da’i diharapkan tidak berperan sebagai juru dakwah yang hanya menyampaikan Islam bil lisan (konvensional) di atas mimbar saja, tapi lebih dari itu, juru dakwah dituntut menjadi cultural broker (makelar budaya), bahkan menjadi intermediary forces (kekuatan perantara) bagi permasalahan sosial ummat.
Komunikasi relasional yang mengedepankan dialektik internal dan eksternal akan memberikan dampak transformatif bagi perkembangan dakwah menuju kesejahteraan umat.
- PENDAHULUAN
Pelaksanaan dakwah oleh
Tuan Guru menunjukkan bagaimana tingkat jarak
kesenjangan sosial di antara pembawa pesan dan masyarakat yang menerima
pesan-pesan Islam. Sepanjang pelaksanaannya masih merupakan usaha-usaha mengintroduksi
suatu yang baru dengan tanpa berorientasi pada nilai-nilai dan tatanan
kontekstual sehingga diterimanya pesan tersebut tidak akan pernah mengakar
dalam masyarakat. Dakwah seharusnya dipahami sebagai suatu upaya terencana dan
terprogram, bukan seperti mengisi suatu gelas kosong dengan air, sehingga perlu
ada paradigma baru dalam melihat perkembangan dakwah ke depan, seperti
pendekatan dakwah transformatif, di samping pendekatan-pendekatan yang lain.[1]
Tuan Guru sebagai da'i
sekaligus agent of change memberikan dasar filosofi ''eksistensi diri''
dalam dimensi individual, keluarga, dan sosio-kultural, sehingga dapat memiliki
kesiapan untuk berinteraksi dan menafsirkan kenyataan-kenyataan yang dihadapi
secara mendasar dan menyeluruh menurut ajaran Islam. Jadi Islam yang telah internalized
menjadi paradigma untuk memberi struktur dan makna terhadap realitas sosial dan
fisik serta menjadi kerangka dasar pemecahan masalah. Oleh karena perubahan
sosial atau tranformasi sosial menuju pada arah tertentu, maka dakwah Islam
berfungsi memberikan arah dan corak ideal tatanan masyarakat baru yang akan
datang. Aktualitas dakwah berarti upaya penataan masyarakat terus menerus di
tengah-tengah dinamika perubahan sosial sehingga tidak ada satu sudut kehidupan
pun yang lepas dari perhatian dan penggarapannya. Dengan demikian dakwah Islam
senantiasa harus bergumul dengan kenyataan baru yang pemunculannya kadangkala
sulit diperhitungkan sebelumnya.
Sejalan dengan hal
tersebut, agama seharusnya selalu berani tampil dalam setiap keadaan, bukan
saja untuk menunjukkan hal-hal yang ma'ruf (positif), tetapi juga hal-hal
yang munkar (negatif). Mekanisme kritis dalam agama sangat ditekankan
terhadap perubahan. Itu tercermin dalam ajaran tentang perlunya saling
mengingatkan dalam kritik yang membangun (wasiat dalam kebenaran) atau dengan
istilah lain dalam sosiologi komunikasi adanya interaksi sosial dalam melihat
dinamika sosial masyarakat, yang sekaligus
juga sesuai fungsi kekhalifahan
yang diamanatkan Tuhan kepada umat manusia di bumi.[2]
Selain pendekatan dari
dalam, pemegang peranan selanjutnya adalah pemimpin kharismatik agama dalam
konteks ini adalah Tuan Guru. Prinsip uswah hasanah (suri teladan)
merupakan salah satu ujung pangkal keberhasilan dakwah Rasullullah SAW.
Kepemimpinan yang kharismatik tidak selalu hanya dipahami melekat dalam
tubuh individu seorang tokoh masyarakat
(Tuan Guru), tetapi juga bisa dipahami sebagai
suatu lembaga yang merujuk pada kepemimpinan kolektif.
Tumbuh berkembangnya
Islam hendaknya selalu berjalan seiring dengan terselesaikannya segala
problematika pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, terutama sektor ekonomi.
Dengan demikian, dakwah haruslah berorientasi pada kebutuhan mendasar
masyarakat, sehingga sasaran dakwah hendaknya ditujukan kepada masyarakat
secara keseluruhan, bukan
individu/anggotanya. Intinya adalah penyebaran Islam lebih dibidikkan
pada suatu sistem sosial, baik itu menyangkut nilai dan kaidah yang berlaku dalam
masyarakat maupun tata hubungan organisasi sosial yang ada.
Dalam konteks
keberagamaan di Lombok, dapat dikatakan bahwa pulau kecil ini memiliki beberapa potensi daerah; a) Lombok
dengan komposisi masyarakat berpenduduk mayoritas muslim.[3]
b) Lombok dengan pondok pesantrennya yang menyebar di seluruh pelosok kota dan
desa berjumlah sekitar 290 pondok pesantren dengan berbagai macam tipe.[4]
c) Lombok dengan basis masjid dan mushalla[5]
yang berdiri megah di setiap kampung, sehingga Lombok lebih dikenal dengan
sebutan ''pulau seribu masjid''.[6]
d) Lombok dengan basis organisasi Islam seperti organisasi Nahdlatul Wathan
(NW) sebagai organisasi terbesar di NTB yang berpusat di Lombok Timur, NU,
Muhamadiyah, Maraqith Ta'limat, dll.[7]
e)Lombok dengan sumber daya alam yang melimpah ruah, seperti lahan pertanian,
perikanan, dan parawisatanya.[8]
Di samping potensi-potensi
tersebut, masih menyisakan berbagai agenda problematika yang belum tuntas
dilaksanakan :
Pertama, agenda
pengembangan sumber daya manusia( IPM) Masyarakat NTB, khususnya yang
berdomisili di pulau Lombok sumber daya manusianya masih tergolong rendah jika
dibandingkan dengan IPM (Indek Pembangunan Manusia) rata-rata nasional.[9]
Kedua, aspek pendidikan
masyarakat yang rata-rata tamat sekolah dasar dan sekolah tingkat pertama. Indek
ini sangat tidak sebanding dengan tingkat rata-rata pendidikan nasional.[10]
Ketiga, aspek ekonomi masyarakat yang masih tergolong menengah ke bawah,
bahkan masih hidup dalam kehidupan prasejahtra.[11]
Keempat, aspek kesehatan. Aspek ini mencakup banyak hal antara lain, angka
kematian bayi tinggi, kematian ibu melahirkan, angka harapan hidup pendek.[12]
Kelima, konflik sosial. Fenomena di kalangan masyarakat Lombok tentang
masalah konflik sangat memprihatinkan, konflik antar pemeluk agama, seperti
konflik antara warga penganut salafi dengan non-salafi, konflik penganut warga
Ahmadiyah, konflik antar kampung yang disebabkan faktor sepele, dan lain-lain.[13]
Memperhatikan berbagai kenyataan obyektif kehidupan umat sebagai mayoritas
penduduk Indonesia, kegiatan dakwah perlu diarahkan untuk mendorong
berkembangnya suatu tatanan kehidupan sosial yang mandiri, berkualitas dan
sejahtera. Dakwah, dengan demikian merupakan kegiatan bertahap dan sistemik
mengembangkan kualitas hidup dalam rangka menghampiri keredhaan Allah.[14]
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penulis akan mencoba
memotret kembali sepak terjang sosok Tuan Guru sebagai tokoh agama dan panutan
masyarakat sejauh mana kreadibilitas dan efektivitas dakwah yang dilakukan di
tengah-tengah masyarakat dengan mengedepankan paradigma dakwah
transformatif perpektif komunikasi
relasional sebagai barometer keberhasilan dalam upaya mewujudkan perubahan sosial
di Lombok dengan mengemukakan persoalan utama:
Bagaimana
dakwah transformatif Tuan Guru perspektif
komunikasi relasional?
- TEORI KOMUNIKASI RELASIONAL SEBAGAI LANDASAN OPERASIONAL DAKWAH TRANSFORMATIF.
Pengakuan bahwa relasi (hubungan) merupakan suatu yang penting dalam
komunikasi sudah ada paling tidak sejak tahun 1950-an. Meskipun penelitian
tentang hubungan telah dari berbagai sudut pandang. Kebanyakan dari apa yang
dirujuk sebagai ''komunikasi relasional'' didasarkan pada inti dari
asumsi-asumsi umum.
Asumsi Pertama, hubungan selalu dihubungkan dengan komunikasi dan tidak
dapat dipisahkan. Asumsi Kedua, sifat hubungan didefinisikan oleh komunikasi
dengan para anggotanya. Asumsi Ketiga, hubungan biasanya didefinisikan lebih
secara implisit ketimbang eksplisit. Asumsi Keempat, hubungan-hubungan
berkembang sepanjang waktu melalui sebuah negosiasi di antara mereka yang
terlibat.[15]
Konsep sistem ala group Palo Alto:
Teori sistem adalah seperangkat hal-hal yang berhubungan satu sama lain dan
membentuk suatu keseluruhan. Pada bagian ini dapat dilihat pada dua jalur awal
teori yang merupakan benih dari studi komunikasi tentang hubungan, mulai dengan
karya klasik dari kelompok Palo Alto.[16]
Lima Aksioma Dasar Tentang Komunikasi Menurut Kelompok
Palo Alto
a)
Aksioma Pertama, orang
tidak bisa tidak berkomunikasi.
b)
Aksioma Kedua,
setiap percakapan -betapapun singkatnya- meliputi dua pesan- yaitu pesan isi
dan sebuah pesan hubungan-metakomunikasi (non-verbal).
c)
Aksioma Ketiga, bahwa
orang menggunakan kode-kode digital dan analog. Digital komunikasi memiliki
kekuatan penuh dan dapat dipahami melalui syintac bahasa yang baik dan
juga dapat disetujui. Contoh On-Of diungkap maupun tidak dapat dipahami
maksudnya sebagai kode untuk menghidupkan atau untuk mematikan sesuatu. Analog;
tidak memiliki kejelasan (non-verbal) tapi bisa dikomunikasikan dengan makna
yang banyak tentang hubungan itu. contoh gerakan tubuh (non-verbal) tapi bisa
dimaknai untuk mengexspresikan kesetujuan atau keikutsertaan atau emosional.
d)
Aksioma Keempat,
pengelompokan, artinya tahapan-tahapan interaksi seperti kata, kalimat, tidak
bisa dipahami sebagai rangkaian elemen-elemen yang terpisah, supaya bisa
diterima ia harus dikelompokkan dan pengelompokan ini umumnya merupakan masalah
persepsi pribadi.
e)
Aksioma Kelima,
komunikasi berhubungan dengan kecocokan atau pengaitan pesan-pesan di dalam
suatu interaksi, baik secara simetris (dua komunikator dalam suatu hubungan
yang berperilaku sama dan perbedaan-perbedaan diupayakan untuk diminimalkan)
maupun secara komplementer (perbedaan respon komunikator dimaksimalkan).[17]
a.
Klasifikasi Teori Dialektik
Relasional
Komunikasi relasional jika dilahat dari konsep operasionalnya dapat
dijabarkan sebagai komunikasi syiclic, dualistic, dualism dan
totality.[18] Dari
penjabaran ini dapat diklasifikasikan secara lebih mendetail menjadi dua bagian
penting ; dialektik internal dan eksternal.
a.i.
Dialektik Internal
Berbicara tentang dialektik internal ada beberapa komponen teori yang
termasuk dalam bagian ini antara lain :
- Dependency-indepedensi-Openness-privacy:Ketergantungan-kemandirian-Keterbukaan-kerahasiaan.
- Certainly-uncertainly dialectic : Dialektik pasti-tidak pasti ; level awal interaksi antara orang yang sudah diketahui dan orang lain dapat mengarahkan keinginannya untuk mereduksi yang tidak pasti/ jelas terhadap satu sama lainnya.
- Oppenness-closedness dialectic/expression-non-expression dialectic: Mengungkapkan perasaan secara terbuka-tertutup, dalam banyak hal ini merupakan sebuah ketegangan antara spontanitas dan strategi dan respon yang muncul terhadap dialektik ini adalah berusaha mencapai keduanya sekaligus, berlaku jujur tapi hati-hati dalam mengungkapkan kejujuran itu.
- Affection-intrumentality dialectic: Dialektik kesenangan-instrumentalitas; suatu dialiktik persahabatan seringkali terjadi antara menghargai teman sebagai teman versus memamfaatkan teman untuk tujuan lain.[19]
b. Dialektik
Eksternal
Dialektik eksternal memiliki teori tersendiri yang meliputi :
- Inclution-Seclution Dialectic: Pencakupan-pengasingan dialektik; tekanan dalam hubungan harus menegosiasi ketegangan antara melakukan sesuatu secara kelompok kecil (couple) atau melakukan sesuatu dalam kelompok yang lebih luas.
- Convensional Unique Dialectic: Sugestinya bahwa relasi adalah ditandai dengan adanya usaha/perjuangan untuk mereka komfirmasikan/ menyesuaikan terhadap ekspektasi (keinginan) dan kepercayaan kepada yang lain di dalam dunia sosial.
- Revalation-Concealment Dialectic: banyak pandangan yang terjadi dalam konteks ini dimana jika ingin menjaga sifat, atau eksistensi diri masing-masing hubungan yang disembunyikan atau dirahasiakan dari yang lain dan sifat dari hubungan ini dibuat sangat umum, seperti dalam acara perkawinan yang membutuhkan komitmen bersama, karena diantara masing-masing ada yang disembunyikan dari yang lainnya.[20]
- TUAN GURU DAN DAKWAH TRANSFORMATIF PERSPEKTIF KOMUNIKASI RELASIONAL
1.
Dakwah Sebagai
Konsep Sistem Ala Alto Paolo.
Komunikasi insani merupakan gejala yang hampir selalu melibatkan manusia.
Sebagai aktor komunikasi, baik perannya sebagai komunikator maupun komunikan,
manusia merupakan sosok yang sarat dengan muatan nilai. Sesuatu nilai yang
dianut manusia dapat bersumber dari budaya, tradisi, norma sosial yang berlaku
dalam masyarakat, atau bahkan agama dan kepercayaan. Latar belakang nilai
inilah yang kemudian ikut mempengaruhi faktor persepsi ketika seseorang
memaknai simbol yang diterima sekaligus merumuskan pesan yang akan disampaikan.
Karena itu, pesan dalam komunikasi selalu sarat nilai dan memerlukan suatu
sistem yang sistematis. [21]
Dakwah seharusnya dipahami sebagai suatu sistem yang melibatkan proses Tahawwul
wa taghayyur (transformasi dan perubahan), yang berarti sangat terkait
dengan upaya taghyirul ijtima'iyyah (rekayasa sosial). Sasaran utama
dakwah adalah terciptanya suatu tatanan sosial yang di dalamnya hidup
sekelompok manusia dengan penuh kedamaian, keadilan, keharmonisan di antara
keragaman yang ada, yang mencerminkan sisi Islam sebagai Rahmatan lilalamin.[22]
Dakwah
transformatif bisa dilihat dari kandungan ayat al-Qur'an (Q.S. AL-A'raf : 157,
Q. S. Ali Imran : 164), dengan formasi dakwah dalam empat dimensi.
لقد من
الله على المؤمنين اذ بعث فيهم رسولا من انفسهم يتلوا عليهم اياته ويزكيهم و يعلمهم
الكتاب و الحكمة وان كانوا من قبل لفى ضلال مبين –( سورة ال عمران-164)
- Dimensi Tilawah ; membacakan ayat-ayat Allah atau Oral Communication, komunikasi lansung dengan publik.
- Dimensi tazkiyah ; yaitu sugesti untuk melembagakan kebenaran dan keadilan sosial (amar ma'ruf) dan mendistorsi kejahatan dan kesenjangan sosial (nahi munkar).
- Dimensi ta'lim ; mentransformasi pengetahuan kognitif kepada masyarakat, sehingga tercipta masyarakat yang berpendidikan (educated people).
- Dimensi Ishlah ; upaya untuk perbaikan dan pembaharuan dalam konteks keberagamaan yang lebih luas.
Dari empat formasi
dakwah ini akan diharapkan dapat membawa pencerahan yanga memiliki semangat
transformatif dan dapat dijadikan landasan untuk mewujudkan trilogi dakwah;
pembentukan, restorasi dan pemeliharaan dan perubahan masyarakat islami.[23]
Dakwah transformatif
adalah suatu model pendekatan dan metode dakwah yang tidak hanya mengandalkan
dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan materi-materi keagamaan kepada
masyarakat, yang memposisikan da’i sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan,
tetapi juga menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan riil
masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung.
Dengan demikian dakwah tidak hanya untuk memperkuat aspek religiusitas
masyarakat melainkan juga memperkokoh basis sosial untuk mewujudkan
transformasi sosial.[24]
Selain dakwah
transformatif, dikenal juga istilah dakwah struktural. Dakwah struktural adalah
segenap kegiatan yang dilakukan negara (pemerintah) dengan berbagai
perangkatnya untuk mengkonstruksikan tatanan masyarakat sesuai dengan petunjuk
Allah dan Rasul-Nya serta tidak terlepas dari lingkaran amar ma’ruf (menyeru kepada kebaikan) dan nahy munkar
(mencegah kemungkaran). Dengan demikian aktivitas dakwah mencakup seluruh segi
dan aspek kehidupan masyarakat, seperti pendidikan, sosial, ekonomi, politik
dan aspek lainnya. Sehingga proses dakwah tidak terbatas pada dakwah di mimbar
(bil lisan) saja, tetapi mencakup dakwah bil hal (yaitu dengan
tindakan), bil hikmah (pendekatan keilmuan). Nabi menerangkan pentingnya
dakwah struktural tersebut, beliau bersabda:
من راء
منكم منكرا فليغيره بيده فان لم يستطع فبلسانه فان لم يستطع فبقلبه فذلك اضعف الايمان-
رواه البخارى و مسلم
Artinya, barang siapa
diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia merubah dengan tangannya, jika
tidak mampu hendaklah dengan lisannya, jika tidak mampu juga hendaklah ia
merubah dengan hatinya, yang demikian itu merupakan selemah-lemah iman.[25]
Perubahan dengan tangan
maksudnya adalah dengan struktural, dimana negara dengan perangkatnya sangat
mungkin untuk berperan sebagai pelaku dakwah (da’i), sedangkan dengan lisan
maksudnya adalah dengan kultural, dan dengan hati maksudnya adalah perubahan
dan mobilitas sosial.[26]
2. Dakwah
Mengedepankan Dialektik Internal Dan Eksternal.
Perubahan sosial yang
diakibatkan oleh aktivitas komunikasi rasional atau dakwah Tuan Guru dalam
berbagai aspek, mulai dari aktivitas lembaga pesantren yang dipimpinnya, sampai
kepada metode, sistem, dan pendekatan dakwah yang dilakukannya kepada
masyarakat, karena Tuan Guru dalam hal ini bisa dikategorikan sebagai pelopor
perubahan sosial (agents of Change). Pelopor perubahan penulis maksudkan, tuan guru yang
dipercayai oleh masyarakat sebagai pemimpin dalam salah satu lembaga atau
beberapa lembaga sosial. Orang seperti ini (tuan guru) mempelopori jalan
meninggalkan masa lampau menuju zaman baru, yakni menetapkan kaidah sistem baru atau yang diperbaharui yang
diikuti oleh para anggota masyarakat lainnya berdasarkan otoritas sang pemimpin
yang diakui.
Akses dari dakwah tuan
guru dalam perubahan sosial titik tekannya pada keseimbangan sosial, yaitu
syarat yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat bisa berfungsi sebagaimana
mestinya, dalam pengertian bahwa keseimbangan sosial atau ekuilibrum sosial,
merupakan suatu situasi di mana segenap lembaga sosial utama berfungsi dan
saling menunjang.[27]
Dalam keadaan seperti ini tiap warga masyarakatbisa memperoleh ketentraman
bathin karena tidak ada konflik norma
dan nilai dalam masyarakat.
Dakwah
transformatif dilakukan dalam dua
metode, yaitu metode refleksi dan aksi. Daur refleksi dan aksi ini meniscayakan
bahwa dakwah transformatif bukan sekedar dalam level verbal seperti pengajian,
majlis taklim, ceramah dialog di radio dan televisi melainkan seorang da’i
harus menyentuh persoalan-persoalan riil yang menjadi problema masyarakat,
dimana tujuan esensi dari komunikasi itu tidak hanya pada perubahan sikap (attitude
change), perubahan pendapat (opinion change), perubahan perilaku (behavioral
change), tapi yang utama adalah terjadinya perubahan sosial dalam segala
aspek (social change).[28]
Dalam upaya penerapan
komunikasi relasional dialektik dapat diimplementasikan dalam aspek-aspek
berikut ini :
Pertama: Dependency-indepedensi-Openness-privacy:
Ketergantungan-kemandirian-Keterbukaan-kerahasiaan.
Tuan Guru dalam
menjalankan misi dakwah harus mampu memiliki sifat ketergantungan kepada mad'u
yang menjadi sasaran dakwah, sebab tanpa memiliki sifat ini dikhawatirkan Tuan
Guru hanya sebatas memberikan materi dakwah yang bersifat konvensional. Dengan
demikian dilektik komunikasi keterbukaan dan kemandirian akan mengarah kepada
perubahan pada aspek materi dakwah, dari aspek materi yang disampaikan harus
ada perubahan, yaitu dari materi ‘ubudiyah atau ukhrawi ke materi
dakwah yang bersifat sosial.
Dalam konteks ini, da’i dituntut untuk
memperluas masalah isu-isu sosial yang terjadi dimasyarakat dan menjadi
patologi sosial seperti korupsi, kolusi, nepotisme, penindasan, pelanggaran HAM
dan lainnya. Perubahan yang lainnya adalah materi dakwah eksklusif ke materi
dakwah inklusif, dimana da’i dituntut untuk menghilangkan sifat memojokkan atau
memusuhi non-muslim, karena kecendrungan selama ini, da’i sering menyampaikan
dakwah yang bernada permusuhan dengan agama lain. [29]
Kedua, Certainly-uncertainly
dialectic : Dialektik pasti-tidak pasti ; level awal interaksi antara orang
yang sudah diketahui dan orang lain dapat mengarahkan keinginannya untuk
mereduksi yang tidak pasti/ jelas terhadap satu sama lainnya.
Teori dialektik ini menekankan pada aspek metodologi, harus dilakukan perubahan dari
monolog ke dialog. Sebab interaksi ini
tidak akan berjalan oftimal tanpa diawali dengan mengarahkan visi dari yang
diajak bicara. Esensi dari teori ini adalah menformat dialog antara komunikan
dan komunikator sehingga ada kejelasan visi dan isi dari kedua belah pihak.
Teori tersebut jika diterapkan kepada aspek dakwah,
maka dakwah dengan monolog sering melakukan indoktrinisasi kepada jama’ah,
padahal Islam juga menganjurkan dialog yang mampu memberikan pencerahan dengan
komunikasi langsung dengan jama’ah sehingga da’i tahu masalah ummat yang
sebenarnya. Dakwah dengan pendekatan dialog akan memancing keaktifan jama’ah
untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial yang berdimensi religius. Jika
hanya mengandalkan pendekatan monolog, maka dakwah hanya mampu menghilangkan
dahaga spiritual, bukan melakukan perubahan pemahaman, sikap dan prilaku
sosial.
Ketiga, Affection-intrumentality
dialectic: Dialektik kesenangan-instrumentalitas ; suatu dialiktik
persahabatan seringkali terjadi antara menghargai teman sebagai teman versus
memamfaatkan teman untuk tujuan lain.
Teori ini menekankan pada efektifitas komunikasi dalam
membujuk komunikan untuk bekerja sama dalam kesepakatan.
Relevansinya dengan berdakwah adalah menggunakan
institusi yang bisa diajak bersama dalam aksi. Dalam dakwah transformatif,
institusi merupakan indikator penting untuk memuluskan jalan perubahan.
Kekuatan dakwah transformatif bukan saja pada diri sang da’i, tetapi juga basis
institusional yang dimilikinya, sehingga para da’i mempunyai bargaining
position (posisi tawar) yang tinggi terhadap negara dan masyarakat.
Keempat, Convensional
Unique Dialectic: Sugestinya bahwa relasi adalah ditandai dengan
adanya usaha/perjuangan untuk mereka komfirmasikan/ menyesuaikan terhadap
ekspektasi (keinginan) dan kepercayaan kepada yang lain di dalam dunia sosial.
Aplikasi teori ini dalam aspek dakwah Tuan Guru adalah
ada wujud keberpihakan pada kaum mustad’afin (kaum lemah dan tertindas).
Para da’i, harus melakukan usaha-usaha sosial untuk kepentingan kaum tertindas
di daerahnya, seperti kasus penggusuran tanah, pencemaran lingkungan, nasib
nelayan dan petani atau kasus lainnya.
Da’i melakukan
pembimbingan dan pendampingan bahkan melakukan advokasi dan pengorganisasian
masyarakat terhadap kasus-kasus dan problema sosial masyarakat.[30]
Dakwah sangat terkait dengan perubahan sosial. Upaya dakwah seharusnya
diartikan sebagai suatu akitivitas yang membawa konsekuensi perubahan sosial
yang terencana, bukannya perubahan sosial yang terjadi begitu saja. Seorang
da'i oleh karenanya haruslah tahu apa yang menyebabkan terjadinya perubahan
sosial serta dampak-dampaknya.[31]
Kelima, Revalation-Concealment Dialectic: banyak pandangan yang
terjadi dalam konteks ini dimana jika ingin menjaga sifat, atau eksistensi diri
masing-masing hubungan yang disembunyikan atau dirahasiakan dari yang lain dan
sifat dari hubungan ini dibuat sangat umum.[32]
Teori ini dapat diterapkan dalam dimensi saling keterikatan antara
komunikan dan komunikator pada aspek perubahan sosial yang diinginkan bersama.
Titik tekannya terlihat pada konsekwensi dari komunikasi yang dilakukan, baik
komunikasi yang mengarah pada eksistensi diri maupun kepada masyarakat secara
umum.
Proses perubahan sosial yang dilakukan secara berencana dengan sasaran yang
jelas akan membawa perubahan yang intensif dan ekstensif serta menyentuh
nilai-nilai yang paling fundamental bagi umat Islam. Dakwah dalam hal ini
dihadapkan dengan serangkaian permasalahan yang harus dijawab secara simultan
dalam kerangka yang jelas. Di satu pihak dakwah Islam dipanggil untuk memberi
rasa aman kepada pemeluknya atas gejala keterasingan, goncangan psikologis, kepastian
hukum, ketidakmenentuan partisipasi politik, semakin hilangnya peran sejarah,
lingkungan, hidup semakin sumpek untuk bernafas, serta dihantui oleh situasi
internasional yang semakin tidak menentu dan mandulnya ilmu pengetahuan dalam
mendatangkan tatanan masyarakat yang adil dan makmur, di lain pihak dakwah
Islam dihadapkan dengan permasalahan untuk mencari solusi dari struktur yang semakin mencekam.
Perubahan sosial merupakan segala perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sebenarnya dalam kehidupan sehari-sehari,
acapkali tidak mudah untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan
sosial dengan kebudayaan. Hal itu disebabkan karena tidak ada masyarakat yang
tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang
tidak terjelma dalam masyarakat. Hal itu mengakibatkan bahwa garis pemisah di
dalam kenyataan hidup antara perubahan sosial dan kebudayaan lebih sukar lagi
untuk ditegaskan, tapi biasanya antara ke dua gejala itu, dapat diketemukan
hubungan timbal balik sebagai sebab akibat.[33]
Raimond Firth mengatakan perubahan
dalam masyarakat dapat terjadi karena adanya penggerak-penggerak tertentu. Daya
penggerak untuk proses-proses perubahan sosial itu dalam masyarakat datang dari
dua sumber dari dalam dan dari luar. Sesuatu yang datang dari dalam adalah
gerak yang berupa pendapatan-pendapatan baru di lapangan teknik,
perjuangan-perjuangan perseorangan untuk memperoleh tanah dan kekuasaan,
perumusan baru dari paham-paham orang-orang kritis yang dianugrahi bakat-nbakat
istimewa. Sedangakan yang datang dari luar untuk sebagian terletak dalam
lingkungan pergaulan itu sendiri dan untuk sebgaian lagi terletak dalam
kekuatan ekspansinya peradaban.[34]
Alvin. L. Bertrand berpendapat bahwa awal dari perubahan itu adalah
komunikasi, yaitu proses dengan mana informasi disampaikan dari
individu-individu yang satu ke individu yang lain. Maka yang dikomunikasikan
itu tidakada lain adalah gagasan-gagasan, ide-ide atau keyakinan-keyakinan
maupun hasil budaya yang berupa fisik
itu. [35]
Perubahan sosial dapat dilaksanakan jika memiliki kekuatan pendorong (motivational
force) di mana kekuatan pendorong itu dapat merubah masyarakat. Diantara
kekuatan itu adalah: ketidak puasan terhadap situasi yang ada karena itu ada
keinginan untuk situasi yang lain, adanya pengetahuan tentang perbedaan antara
yan ada dengan yang seharusnya bisa ada, adanya tekanan dari luar untuk
menyesuaikan diri dan lain-lain, kebutuhan dari dalam untuk mencapai efesiensi
dan peningkatan, misalnya produkitifitas, dan lain-lain.[36]
Dengan pendekatan komunikasi relasional, diharapkan da’i mempunyai peran
ganda yaitu melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan
pendampingan masyarakat untuk isu-isu sosial seperti korupsi, kolusi, perusakan
lingkungan hidup, dan menjadi advokasi terhadap pelanggaran hak rakyat oleh
negara seperti kasus penggusuran, hak-hak perempuan, konflik antar agama, dan
problem kemanusiaan lainnya. Oleh sebab itu, maka da’i disamping sebagai ahli
agama juga harus mampu menjadi agen perubahan sosial.[37]
D.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dakwah
transformatif Tun Guru berusaha
melakukan misinya untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, lahir dan
bathin. Upaya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat ini dilakukan dengan
membawa mereka kepada kehidupan yang islami, dengan meningkatkan iman dan taqwa serta kemampuan dalam
penguasaan ilmu teknologi. Dengan keunggulan jasmani dan ruhani ini, cita-cita
menuju masyarakat adil dan makmur serta sejahtera lahir dan bathin dapat
tercapai. Upaya dakwah transformatif ini, dengan begitu sesuai dengan misi
penyebaran Islam, yakni untuk membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi dunia
global (rahmatan lil alamin).[38]
Dalam konteks seperti itu, dakwah transformatif sangat
berpeluang dan harus mengambil tanggung jawab dengan memegang peranan aktif.
Dengan peran aktif Tuan Guru dalam pengembangan dakwah, maka pembangunan
manusia Indonesia akan mendapatkan jaminan moralitas dan etika keagamaan
sebagai landasannya. Jaminan moralitas dan etika keagamaan ini akan memberikan
arahan pembangunan manusia Indonesia untuk melahirkan manusia yang unggul
secara material dan spiritual. Sebaliknya, tanpa peran aktif aktor dakwah dalam
hal ini Tuan Guru atau yang seprofesi dengannya, akan mengulangi pengalaman
pahit dengan banyaknya penduduk, namun memiliki kualitas yang sangat rendah
dalam kedua aspek tersebut.
[1]Istilah Tuan Guru dalam perspektif
masyarakat Islam di pulau Lombok merupakan gelar atau title keagamaan yang
diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang memiliki kapasitas keilmuan
dalam bidang Agama secara mendalam, dan penamaan gelar ini tumbuh dari kalangan
masyarakat itu sendiri karna faktor-faktor
spesifik yang dimiliki oleh sosok tokoh tersebut dan secara umum bahwa sosok
yang disebut tuan guru memiliki pesantren dan basis masyarakat tertentu.
[2]Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigama
dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, (Jakarta : Kencana,
2007), Cet. 2.h. 31. Lihat juga
penjelasannya pada buku, Ketherine
Miller, Communication Theories Perspective, Processes, and Contexts,
(New York : McGraw Hill International Edition, 2005), second edition. h. 84.
Lihat juga, Stepehen W. Litteljohn &
Karen A. Foss, Theories of Human Communication, (Belmots : Thomson
Wadsworth, 2005), eight edition. h.154. Lihat juga, Wardi Bachtiar, Sosiologi
Klasik Dari Comte Hingga Parsons, (Bandung : Rosda, 2006), cet.1, h. 239.
[3] Lombok Barat Jumlah penduduk
muslimnya, 743.484 jiwa, Lombok Tengah : 793.440 jiwa, Lombok Timur: 1.033.669
jiwa, kota Mataram: 356.748. jiwa sehingga total penduduk muslim yang tinggal
di pulau Lombok berjumlah 2.897.331
jiwa. Sementara jumlah masyarakat muslim untuk pulau Sumbawa berjumlah 1.245.951, Sumber : Survey
Sosial Ekonomi Nasional, 2005.
[4]Sumber Data Emis
Departemen Agama NTB, 2005 Kota Mataram 22 Ponpes Kab. Lombok Barat 72 Ponpes
Kab. Lombok Tengah 87 Ponpes Kab. Lombok Timur 115 Ponpes Kab. Sumbawa 16
Ponpes Kab. Dompu 22 Ponpes Kab. Bima 26 Ponpes.
[5] Dalam data 2005 Kanwil Depag NTB,
Lombok Barat dengan jumlah masjid 829, Lombok Tengah 1.229 masjid,
Lombok Timur, 1.574 masjid, kota Mataram 225 masjid.
[6] John Ryan Bartholomen mengatakan bahwa
bila Lombok dicap sebagai ''sebuah pulau dengan 1000 masjid'' yang
mungkin meremehkan keberadaan sejumlah masjid kecil di pulau
tersebut, pesannya jelas, Lombok sangat terkenal di Indonesia sebagai sebuah
tempat Islam diterima secara serius dan tipe Islam yang dipraktekkan di sana
pada umumnya agak kaku dan bentuknya ortodoks bila dibandingkan dengan
kebanyakan daerah lain di negara ini. Lengkapnya baca, John Ryan Bartholomen, Alif Lam Mim : Reconciling Islam, Modernity
and Tradition in an Indonesian Kampung, 1999, cet.1. dalam edisi bahasa
Indonesianya; Alif Lam Mim : Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta : PT
Tiara Wacana, 2001), cet. 1, h. 86.
[7]Organisasi Islam yang paling dominan
di NTB adalah organisasi Nahdlatul Wathan (NW) yang didirikan oleh TGKH.M.Zainuddin Abdul Majid pada tahun 1952, yang dimana cikal bakal
berdirinya organisasi ini berawal dari didirikannya Pondok pesantren Darul
Mujahidin 1932 M pada zaman kolonial Belanda, tapi dalam perkembangan berikutnya,
pesantren ini berubah menjadi Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah
(NWDI) madrasah khusus untuk kaum pria, didirikan pada tahun 1935, dalam selanjutnya didirikan madrasah khusus untuk
kaum wanita yang disebut sebagai madrasah pertama di NTB yang mendirikan lembaga pendidikan khusus
untuk kaum wanita yang disebut Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah
(NBDI) pada tahun 1942 M. Dari dua madrasah induk ini menyebar cabang-cabangnya
ke seluruh pelosok Lombok, sehingga perlu dibentuk suatu wadah yang
mengorganisir madrasah-madrasah cabang di daerah-daerah, terbentuklah
organisasi Nahdlatul Wathan (NW) sebagai lembaga yang bergerak di bidang
pendidikan, sosial dan dakwah islamiyah. (lihat, Moh. Noer, dkk, Visi
Kebangsaan Religius TGKH M.Zainiddin Abdul Majid, (Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 2005, cet. 1. h. 35, lihat juga, Abdul Hayyi Nu'man & Sahafari
As'ary, Organisasi Nahdlatul Wathan Di Bidang Pendidikan, Sosial dan Dakwah
Islamiyah, (Pancor : Toko Buku Kita)1984, cet.1.h.12.
[8] Keterangan lengkap tentang potensi
SDA dijelaskan secara rinci pada Katalog BPS : 2108 : 52, Tentang Statistik
Potensi Desa Provinsi NTB, 2005
[9] Zaini Arroni dalam Statistik Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora NTB) 2005
[10] Sumber Kanwil Dikpora NTB, 2005
[11] Sumber Badan Pemberdayaan Masyarakat
NTB, 2006
[12] Sumber Kakanwil Departemen
Kesehatan, 2006
[13] Penelusuran terhadap beberapa peristiwa
konflik yang pernah terjadi di NTB, khususnya di Pulau Lombok berdasarkan
pengalaman (insight). Penelusuran peristiwa tersebut menggunakan metode
survei terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi dan dilengkapi dengan literatur
dan riset yang pernah dilakukan. Lokasi riset dilakukan di sekitar
Kabupaten-kabupaten yang ada di pulau Lombok. Lokasi-lokasi yang mewakili
daerah konflik adalah: 1. Konflik pernah terjadi dan berulang ; Karang Tapen
(Sasak/Islam), Karang Lede (Bali/Hindu), Kampung Petemon (Sasak/Islam), Karang Genteng (Sasak/Islam). 2. Konflik
pernah terjadi tapi tidak muncul lagi; Desa Kediri (Sasak/Islam), Desa Jagerage (Bali/Hindu).3. Harmoni; Desa
Lembuak, Narmada (Sasak/Islam-Bali/Hindu), Kampung Jawa, Praya, Lombok Tengah
dan sekitarnya (Sasak, Jawa dan ٍSٍٍumbawa/Islam–Bali/Hindu-Tionghoa/Kristen
dan Kong Hu Cu).
[14]Kenyataan perubahan sosial yang terjadi dewasa ini lain sekali sifatnya
dengan perubahan yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Kelainan ini
telah menempatkan sistem dakwah dipengaruhi oleh perubahan sosio-kultural. Ciri
yang menonjol bahwa perubahan yang terjadi dewasa ini adalah diawali oleh discovery,
invention dan innovation dalam bidang ilmu dan teknologi. Penerapan
ilmu dan teknologi ini menjadi penggerak perubahan yang dilatarbelakangi oleh
keinginan kebutuhan material. Dalam kerangka ini secara filosofis nilai
penggerak perubahan adalah filsafat materialism yang begitu jauh mewarnai indikator
kemajuan mayarakat yang sedang berkembang yang melaksanakan perubahan melalui
pembangunan. Jargon kemiskinan-kemakmuran, keterbelakangan-kemajuan dipahami
dalam ukuran material belaka. Aspek spiritual dan religius tidak menjadi ukuran
untuk menentukan pembangunan suatu bangsa. Sehingga pertumbuhan ekonomi nyaris menjadi
ideologi yang menentukan semua perilaku
masyarakat. (Baca:Abdul Munir Mulkan, Runtuhnya. ibid. h. 245).
[15] Ketherine Miller, Communication Theories
Perspective, Processes, and Contexts, (New York : McGraw Hill International
Edition, 2005 ), Second Edition, h. 187.
[16] Kebanyakan
teoritisasi hubungan mengakui pentingnya hasil karya Gregory Bateson, Paul
Watziawick, dan kolega-kolega mereka pada tahun-tahun awal dari studi
komunikasi interpersonal. Para pengikut awal Bateson dikenal dengan kelompok
Palo Alto, karena mereka mendirikan dan bekerja di Mental Research Institute
yang berpangkal di Palo Alto, California. Pemikiran- pemikiran mereka paling
jelas diuraikan dalam Pragmatics of Human Communication. Dalam buku itu,
Paul Watslawick, Janet Beavin, dan Don Jackson mengemukakan sebuah analisis
yang terkenal tentang komunikasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip Sistem.
Sistem ada enam hal : Objek, Atribut, Interaksi, Lingkungan, Equifinality,
Cybernetic. (lihat Miller, Communication, h. 187 )
[17]Katherine Miller, Communication.
h. 194.
[18] Syiclic ; Perkembangan
hubungan yang bergerak dalam lingkaran bolak balik. Dialictic ; Ketegangan
antara dua orang atau lebih dalam elemen yang bertentangan dari suatu sistem
yang menuntut setidaknya suatu penyelesaian sementara. Analisis Dealictic;
melihat cara-cara sistem berkembang atau berubah, bagaimana ia bergerak, dalam
menanggapi kontradiksi dan bagaimana ia melihat tindakan-tindakan strategis
yang diambil oleh sistem untuk menyelesaikan kontradiksi. Dualism ;
Ketegangan (oposisi)dari dua hubungan kutub yang tidak bisa eksis bersama. Totality
; Konsep totalitas; kembali kepada dugaan, perkiraan bahwa
ketegangan/kontradiksi dalam hubungan merupakan bagian yang menyatu dalam
keseluruhan dan tidak bisa dipahami jika dipisah-pisahkan. Implikasinya adalah
dapat disepakati dengan cepat atau tidak bisa dipisahkan dari yang lain. (Lihat Miller, Communication…h.198)
[19] Lihat Miller, Communication,
h.198.
[20] Katherine Miller, Communication.
h.199. untuk pola penerapan dialiktik komunikasi relasional dapat dijabarkan
sebagai; Danial: Kelaim bahwa ketegangan itu tidak ada, Pasangan
suami-istri yang selalu senang dan selalu ingin bersama. Disorientation;
Mengadopsi kebiasaan yang fatal dalam ketegangan adalah diakui sebagai
suatu yang tidak dapat dihindarkan. Spiraling Invension (tekanan): Pola
kontradiksi ini dominan pada berbagai permintaan setiap saat, dan ada pasang
surut antara dua pola dialektik. Segmentation: Masing-masing pola
kontradiksi itu dominan tergantung pada sifat tofik atau wilayah kegiatan. Balance :
Masing-masing pola diligitimasi dalam kompromi guna mencairkan pola
ketegangan yang terjadi. Integration: Bagian relasional
dapat diterima secara penuh terhadap opposan dalam satu waktu tanpa diawali
dengan kompromi atau pencairan suasana. Recalibration : Pola
dialektik ditransformasi dalam situasi yang khusus sehingga mereka tidak
terlalu lama diakui/disadari sebagai perlawanan. Reaffirmation:
Ketegangan atau perlawanan pola dialektik dapat dijadikan dalam memperkokoh
dan menambah kekayaan dalam menjalin hubungan. ( Miller, Ibid.
h.135).
[21] Santoso
S. Hamijoyo, Komunikasi Partisipatoris : Pemikiran dan Implementasi
Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat, ( Bandung : Humaniora, 200) cet.
1. h. 1.
[22]Moh.
Ali Aziz, Rr. Suhartini, A. Halim (editors), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat:
Paradigma Aksi Metodologi,( Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), cet. 1,
h. 26.
[23] Pembacaan
seperti ini penulis sadur dari berbagai macam refrensi tentang dakwah.seperti
dalam buku, Jum'ah Amin Abdul Aziz, Al-da'wah Qawaid Wa Ushul, (Mesir :
Dar al-Mishriyah) ttp. h.123. yang menjabarkan tiga hal yang dicakup dalam
dakwah ; pertama ; membangun masyarakat islami (ta'sis al-mujtma' al-islamy). Kedua, melakukan restorasi pada masyarakat
Islam (al-ishlah fi mujtama'al-muslimah). Ketiga, kesinambungan dakwah
pada masyarakat Islam (istimrar al-da'wah fi al-mujtmi'at al-qoimah bi
al-haq).
[24]Mustafa
Hamdi (editor), Dakwah Tranformatif, (Jakarta: PP Lakpesdam NU, 2006), h.
4.
[25] Lihat
Shahih Buhkari Muslim.
[26] M. Jakfar Puteh, Dakwah Tekstual dan Kontekstual; Peran dan
Fungsinya Dalam Pemberdayaan Ekonomi Ummat (Jogjakarta: AK. Group, 2006).
h. 145.
[27]Selo
Seomardjan, Perubahan Sosial di
Yogyakarta, (Yogyakarta : UGM Press), 1986, cet. 2, h. 306. Lihat
juga redaksi aslinya, Selo Seomardjan,
Social Changes in Jogjakarta,
(Itacha New York : Cornell University Press, 1962), h. 379.
[28]Jumroni
& Suhaimi, Metode-metode
Penelitian Komunikasi, (Jakarta :
UIN Press), 2006 cet.1, h.6
[29] Mustafa Hamdi
(editor), Dakwah Transformatif , (Jakarta : Lakpesdam NU), 2006, cet.1.
[30]Mustafa
Hamdi (editor), ibid., h.12. Dalam konteks inilah, Hasan al-Banna
mengilustrasikan bahwa seorang da’i ibarat gardu listrik yang menyebarkan
aliran listrik untuk menerangi seluruh pelesok dan sudut kota. Oleh sebab itu
tugas dan tanggung jawab da’i adalah menyampaikan sinar dan cahaya Islam
tersebut ke segenap lapisan masyarakat. Lihat, Suf Kasman, ibid., h.
127.
[31]Perubahan
sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup
sistem sosial, lebih tepatnya terdapat perbedaan antara sistem tertentu dalam
jangka waktu berlainan. Lebih lanjut, berbicara tentang perubahan kita
membayangkan suatu yang terjadi setelah jangka waktu tertentu, kita berurusan
dengan perbedaan keadaan sistem dalam jangka waktu tertentu. Untuk dapat
menyatakan perbedaannya ciri-ciri awal unit analisis harus diketahui dengan
cermat, meski terus berubah, sehingga perubahan sosial adalah setiap perubahan
yang tak terulang lagi sistem sosial sebagai satu kesatuan. Lihat, Piotr Sztompa, Sosiologi Perubahan
Sosial, (Jakarta: Prenada, 2007), Cet. 3.h. 3
[32]Katherine Miller, Communication. h.135. untuk pola penerapan
dialiktik komunikasi relasional dapat dijabarkan sebagai: Danial: Kelaim bahwa ketegangan itu tidak ada, Pasangan suami-istri yang
selalu senang dan selalu ingin bersama. Disorientation; Mengadopsi
kebiasaan yang fatal dalam ketegangan adalah diakui sebagai suatu yang tidak
dapat dihindarkan. Spiraling Invension (tekanan): Pola kontradiksi ini dominan pada berbagai permintaan setiap
saat, dan ada pasang surut antara dua pola dialektik. Segmentation:
Masing-masing pola kontradiksi itu dominan tergantung pada sifat tofik atau wilayah kegiatan. Balance:
Masing-masing pola diligitimasi dalam kompromi guna mencairkan pola
ketegangan yang terjadi. Integration: Bagian relasional
dapat diterima secara penuh terhadap opposan dalam satu waktu tanpa
diawali dengan kompromi atau pencairan suasana. Recalibration : Pola
dialektik ditransformasi dalam situasi yang khusus sehingga mereka tidak
terlalu lama diakui/disadari sebagai perlawanan. Reaffirmation:
Ketegangan atau perlawanan pola dialektik dapat dijadikan dalam memperkokoh
dan menambah kekayaan dalam menjalin hubungan. ( Miller, Ibid.
h.135).
[33]Soerjono
Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo,
1999), edisi Baru ke-4, cet.27 h. 388.
[34] Raymin
Firth, at all, Ciri-Ciri dan Alam Hidup Manusia : Suatu Pengantar
Antropologi Budaya, (Bandung : Sumur Bandung, 1960), cet.1, h.143.
[35]Alvin.
L. Bertrand, Sosiologi, alih bahasa Sanapiah S. Faisal, (Surabaya : PT
Bina Ilmu, 1980), h.161. Lihat juga, Soloman B Taneko, Struktur dan Proses
SosiaL : Suatu Pengantar Sosiologi Pembanguan,
(Jakarta : CV Rajawali, 1984), cet.1. h.
135.
[36] Alvin.
L. Bertrand, Sosiologi, h. 137.
[37]Dalam
konteks inilah seorang da’i harus berperan sebagai kekuatan perantara (intermediary
forces) bagi permasalahan sosial ummat, di samping tugasnya sebagai apa
yang disebut oleh Clifford Geertz sebagai peran makelar budaya (cultural
broker) yang harus menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan
memberdayakan masyarakat. Lebih lengkapnya tentang peran da’i sebagai kekuatan
perantara, baca hasil penelitian Hiroko Horikoshi di Garut, Kyai dan
Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987)
[38] Q.S.
al-Anbiya' : 107
Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh.. ust,kebetulan tiang mau tesis dan artikel ini ada kaitan dengan tesis tiang. Kira-kira boleh tiang minta file pdf atau doc
ReplyDeleteAssalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh.. ust,kebetulan tiang mau tesis dan artikel ini ada kaitan dengan tesis tiang. Kira-kira boleh tiang minta file pdf atau doc
ReplyDelete