Thursday, September 17, 2015

NAHDLATUL WATHAN DAN KEPEMIMPINAN PEREMPUAN


Oleh: H.Fahrurrozi Dahlan,QH
Kepemimpinan perempuan merupakan masalah yang selalu hangat dibicarakan di kalangan di kalangan ulama dan cendekiawan. Sebagian masyarakat muslim belum bisa menerima kepemimpinan perempuan. Mereka berkeyakinan bahwa perempuan secara mutlak tidak berhak menjadi pemimpin, baik dalam wilayah rumah tangga (domestic) maupun wilayah sosial politik (public). Kaum perempuan hanya berhak dipimpin oleh kaum laki-laki. Larangan perempuan untuk menduduki dan menempati posisi kepemimpinan dalam jabatan politik dan pemerintahan dari tingkat presiden sampai ketua RT, menurut mereka, merupakan monopoli laki-laki.

Pertanyaan kemudian adalah benarkah agama menjadi satu-satunya doktrin untuk mengganjal keterlibatan perempuan dalam wilayah domestic lebih-lebih wilayah public.? dan bagaimana respon agama yang sebenarnya dalam mendudukkan posisi kepemimpinan perempuan dalam wilayah publik?
PEMBAHASAN
Untuk mengelaborasi persoalan inti di atas, maka diperlukan pendekatan-pendekatan komprehensif guna mendapatkan pemahaman yang utuh dan melihat dialektika perbedaan pendapat dalam dimensi kearifan pluralistic sebagai suatu yang tidak bisa dihindari dalam semua dimensi kehidupan baik secara personal maupun social.
A.   KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM DIMENSI TEOLOGIS
Kepemimpinan perempuan dalam tataran teologis dogmatis agama dapat dilihat dari dua kategorisasi:
Pertama, dogma agama tentang tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin. Alasan normatifnya bersumber dari interpretasi al-Qur’an Surat An-Nisa’ : 34 dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Tirmizi dari Abi Bakrah (tidak akan beruntung suatu kaum jika menyerahkan urusan kepemimpinan kepada perempuan)
Al-Qurtuby memahami ayat tersebut bahwa laki-laki memiliki kelebihan atas perempuan, bukan hanya karena tanggungjawabnya dalam memberi nafkah kepada keluarganya, tetapi juga karena keunggulannya atas perempuan dalam kecerdasan (al-‘aql) dan kemampuannya memimpin (attadbir), sehingga kepemimpinan merupakan hak mutlak bagi kaum laki-laki. Jadi menurutnya perempuan tidak dibenarkan dan tidak memiliki hak untuk menduduki kepemimpinan dalam semua bidang kehidupan.[1] Pendapat al-Qurtuby ini mewakili umumnya pendapat para mufassir klasik.
Hadis tersebut dipahami sebagai  bentuk larangan untuk memilih dan mengangkat perempuan sebagai pemimpin. 
Kedua, dogma agama yang dipahami secara kontekstual, sehingga ada hak kepemimpinan bagi siapapun yang memiliki kompetensi untuk memimpin, tidak mengenal bias gender.
Pemahaman ini berlandaskan pada tataran normatif yang sama,  tapi berbeda jnterpretasi.
Al-qur’an memberikan hak kepada kaum  perempuan untuk menjadi pemimpin sebagaimana memberikan hak tersebut kepada kaum laki-laki. Persoalannya, bahwa hak saja untuk menduduki posisi kepemimpinan tidak cukup. Hak itu harus diikuti oleh kesanggupan, kompetensi, dan kedibilitas sebagai pemimpin. Oleh sebab itu yang seharusnya menjadi pertimbangan secara matang dalam memilih pemimpin, tidak terletak pada pilihan laki-laki atau perempuan, akan tetapi pertimbangan secara matang itu berpusat pada kesanggupan, kompetensi, dan kredibilitasnya sebagai pemimpin.[2]
Pandangan Ibn Katsir menegaskan bahwa di dalam al-qur’an tidak ada keunggulan tertentu di antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan itu adalah mitra yang setara dan rekanan yang sejajar dalam membangun solidaritas, perlindungan, dan cinta kasih di antara muslim yang satu dengan muslim yang lain dalam komunitas keummatan. Sementara itu soal al-walayah,  atau kepemimpinan dalam komunitas keummatan, tidak secara mutlak menjadi monopoli kaum lelaki. Perempuan pun dimungkinkan jika memenuhi kualifikasi dan persyaratan tertentu.[3]
Pendapat yang senada diungkapkan oleh Moh.Ali Asshabuny, ia memahami dengan kalimat yang bersifat umum dan mengandung makna kemitraan yang sejajar antara laki-laki dan perempuan dalam mengharumkan dan mengamalkan agama.[4]
Quraish Syihab memahami surat Annisa’ : 34, sebagai kepemimpinan laki-laki tidak bersifat mutlak, tetapi mengarah kepada kepemimimpinan para suami terhadap istri-istrinya dalam kehidupan berumah tangga. Pada wilayah public ada peluang bagi kaum perempuan untuk menduduki kepemimpinan, asalkan memenuhi persyaratan dan kualifikasi tertentu.  Sedangkan kata qawwamun yang secara kebahasaan berarti melaksanakan dengan sempurna. Kata ini sering diterjemahkan pemimpin, tetapi agaknya terjemahan itu belum menggambarkan keseluruhan makna yang dikehendaki. Meskipun demikian, harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Dengan perekataan lain, dalam pengertian kepemimpinan mencakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan. [5]
Jadi, pemahaman yang bisa disimpulkan dalam konteks ayat tersebut, bahwa 1) laki-laki secara umum dan para suami secara khusus, memiliki kecendrungan kuat untuk melaksanakan fungsi qawwamun- yakni fungsi kepemimpinan dalam arti memelihara, membela dan membina kaum perempuan, terutama istr-istri mereka dalam kehidupan berkeluarga,. 2) bahwa di luar ruang lingkup kehidupan keluarga, tidak tertutup kemungkinan perempuan melaksanakan fungsi – qawwamat- yakni fungsi kepemimpinan dalam arti memelihara, membela, dan membina umat, terutama berkenaan dengan kepemimpinan politik, yang dalam melaksakan tugasnya bersifat kolektif, dan dibantu oleh orang –orang yang ahli di bidangnya. Tentu saja, jika para perempuan itu memiliki syarat kualifikasi tertentu dalam aspek leadership.[6]
Adapun tentang hadis di atas, terdapat beberapa pandangan pemahaman. Pertama, pemahaman tekstual, di mana akan menghasilkan pengertian sebagaimana teks hadist. Kedua, pemahaman secara kontekstual, yang menunjukkan sikap rasulullah terhadap penobatan Bahran  bintiSiruyah bin Kisra sebagai ratu Persia. Sementara itu Siruyah bin Kisra, ayahanda Ratu Bahran adalah penguasa Persia yang merobek-robek surat rasulullah, ketika beliau mengirim para diplomat untuk menyampaikan pesan perdamaian islam kepada para tokoh, pejabat, kepala Negara, kepala pemerintahan di Timur Tengah. Jadi, hadist tersebut sangat mungkin hanya bersifat kontekstual berkenaan dengan penobatan ratu Persia tersebut yang diduga tidak memenuhi kualifikasi kepemimpinan.
B.  KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM DIMENSI HISTORIS ISLAM.
Keterlibatan perempuan dalam politik, lebih-lebih lagi, perwujudan akan adanya kenyataan bahwa mereka waspada dan menentang secara aktif terhadap penguasa yang menyeleweng dari prinsip-prinsip Islam dalam rangka memelihara sebuah masyarakat yang adil. Ada dua contoh yang dapat pemakalah paparkan dalam kajian ini. Pertama, ada seorang perempuan yang menentang khalifah Umar secara terang-terangan karena membuat aturan yang membatasi mahar bagi kaum perempuan. Setelah mengakui kesalahannya, umar akhirnya mencabut kebijakannya itu. Kedua, adalah kasus Aisyah yang secara terang-terangan menentang khalifah Ali bin Abi Thalib dan berperang dengannya, karena gagal menemukan para pembunuh Usman, yang kemudian dalam sejarah Islam disebut dengan mauqi’atu shiffin. Perang jamal/shiffin.
        Harus ditekankan disini bahwa aktivitas social-politik yang tinggi yang dilakukan oleh kaum perempuan awal Islam mustahil dapat tercapai tanpa merealisasikan tiga factor penting dan saling berkaitan. Pertama, pengakuan dan kompetensi politik kaum perempuan. Kedua, penghargaan atau pengakuan tersebut mencapai momentumnya ketika kaum perempuan menjadi sadar secara politik dan menyadari tanggungjawabnya di dalam masyarakat. Ketiga, memunculkan partisipasi politik yang luas di kalangan kaum perempuan yang dikondisikan oleh kemampuan-kemampuan dan tingkat kesadaran sendiri yang dipraktekkan dalam sebuah latar belakang social yang menyenangkan serta memberikan ransangan dan momentum bagi mereka.
C.  KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF TEORI GENDER
Kepemimpinan perempuan semestinya perlu dilihat dari perspektif barat untuk studi komparatif, mencoba memperbandingkan sisi persamaan atau perbedaan konsep tentang bagaimana melihat perempuan, bukan hanya dari sisi dogma agama, tapi melihatnya dari sisi biologis, sosiologis, feminis, dan lain-lain.
Ada banyak teori yang patut untuk dikaji dalam upaya melihat sisi kepemimpinan perempuan.
Pertama, Teori Psikoanalisa/Identifikasi. Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan keperibadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Sigmund Freud (1856-1939) menjelaskan kepribadian seseorang tersusun di atas tiga struktur yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu.
Berdasarkan teori ini laki-laki dan perempuan memilki kesamaan dan peluang untuk menjadi pemimpin, karena memiliki struktur psikologis yang sama.
Kedua, Teori Strukturalis Fungsional.
Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas  beberapa bagian yang saling mempengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsure dan menerangkan bagaimana fungsi-fungsi unsure-unsur tersebut dalam masyarakat.
Dari teori tersebut, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan itu adalah suatu yang bersifat fungsional. Karena fungsional maka ada peluang bagi laki-laki dan perempuan untuk memenuhi fungsionalisasi yang ada pada diri mereka.
Ketiga, Teori Konflik. Teori ini berasumsi, bahwa dalam susunan di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Siapa yang memiliki dan menguasai sumber-sumber produksi dan distribusi merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran utama di dalamnya.
Inti teori ini dalam melihat kepemimpinan perempuan, bahwa ketimpangan peran jender dalam masyarakat bukan karena factor ologis atau pemberian Tuhan (devine creation), tetapi kontruksi masyarakat (social contruction).
Keempat, Teori Feminis. A)fememisis liberal, semua manusia laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang lain.(Margaret Fuller, 1810-1850)-Harriet Martineau, 1802-1876,-Anglina Grimka, 1792-1873,-Susan Anthony, 1820-1902). B)Feminis Marxis-Sosialis. Aliaran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh factor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional dan teolog bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki karena factor biologis dan latar belakang sejarah. C)feminisme radikal, yang berpandapat bahwa perempuan memilki kebebasan untuk menentukan arah dan keinginannya dalam semua lini kehidupan, guna terbebas dari belenggu fatriarki yang dinilai merugikan perempuan.
Kelima, Teori Sosio-Biologis. Inti dari stetemen teori ini adalah, intensitas keunggulan laki-laki tidak saja ditentukan oleh factor biologis tetapi elaborasi kebudayaan atas biogram manusia. Teori ini disebut bio-sosial karena melibatkan factor biologis dan social dalam menjelaskan relasi jender.
Dari teori ini, dapat dikatakan  bahwa kepemimpinan perempuan dilihat dari sisi biologis, memang memiliki kelemahan, tapi dalam aspek social, mungkin perempuan bisa melebihi laki-laki, karena wataknya yang lebih emosional menempatkan posisinya sebagai manusia yang diperhitungkan. [7]
D.  MODEL PEMIMPIN PEREMPUAN DALAM AL-QUR’AN
Di Dalam Al-Quran terdapat model pemimpin perempuan yang cerdas dan memenuhi kualifikasi kepemimpinan yang baik, yaitu kisah Ratu Balqis dari negeri Saba’ yang memerintah kerajaan Sabaiyah pada zaman nabi Sulaiman, as.[8]
Secara garis besar dari kandungan surat Annaml, ayat 23-32, tergambar dengan jelas kecerdasan, keperibadian dan gaya kepemimpinan Ratu Balqis yang berkuasa pada kerajaan sabaiyah di Yaman, Arabia Selatan.
Pertama, Ratu Balqis merespon dan menyikapi surat Nabi Sulaiman yang berkedudukan di Yerussalem dengan serius. Ratu Balqis tidak terkesan sedikitpun meremehkan informasi yang diterimanya.
Kedua, Ratu Balqis tidak terburu-buru menyatakan pendapat pribadinya terhadap surat dari Nabi Sulaiman tersebut. Beliau menampilkan sosok pemimpin yang memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi, tenang dan matang namum bersikap demokratis dengan membawa masalah surat nabi Sulaiman ke rapat kabinet dengan mengundang para pejabat tinggi kerajaan (Q.S. Annaml : 29).
Ketiga,  dalam sidang kabinet tersebut, terungkap bahwa kerajaan Sabaiyah di bawah kepemimpinan Ratu Balqis merupakan kerajaan yang kuat. (Q.S. Annaml : 33).
Keempat, Ratu Balqis ridak terpengaruh oleh pernyataan para pembesarnya yang menyatakan siap untuk berperang melawan kemungkinan invasi raja Sulaiman dari Yerussalem, yang secara geografis berada di sebelah utara kerajaan Sabaiyah. Ratu Balqis memiliki pemikiran dan pendapat  sendiri yang lebih komprehensif, karena mempertimbangkan banyak aspek dengan pemikiran yang mendalam (Q.S. Annaml : 34-35).
Kelima, Ratu Balqis memutuskan untuk mengadakan diplomasi dan negosiasi dalam menyelesaikan urusan kenegaraan (Q.S.Annaml : 44).
Berdasarkan model kepemimpinan Ratu Balqis di atas, menjadi tolok ukur bagi kaum perempuan yang ingin mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin di ranah public dengan mengedepanprinsip-prinsip akuntabilitas, kredibilitas dan professional, sebagaimana model kepemimpinan Ratu Balqis sang raja perempuan Saba’.
EPILOG
Islam tidak mengatur wilayah perempuan dan laki-laki secara skematis. Islam menyisakan wilayah-wilayah tertentu untuk diatur oleh akal manusia berdasarkan tuntunan-tuntunan yang senantiasa berkembang. Hal ini secara implicit mendorong perempuan melakukan usaha-usaha aktif untuk mencapai prestasi diberbagai sector. Tentu saja, dengan catatan nilai-nilai agama tetap dijunjung tinggi.
Al-Qur’an memberikan rekomendasi kepada kaum lelaki untuk tampil menjadi pemimpin. Kepemimpinan ini bukan structural dimana satu jenis menguasai yang lain, melainkan bernuansa fungsional. Artinya, sebagai pemimpin, laki-laki harus memerankan beberapa fungsi yang sangat terkait dengan kebahagiaan keluarga itu sendiri. Namun demikian kepemimpinan tersebut tidak berlaku mutlak. Kepemimpinan di sini tidak sampai memutlakkan seorang istri untuk tunduk sepenuhnya pada suami. Istri tetap masih mempunyai hak untuk musyawarah dan melakukan tawar menawar keinginan dengan suami berdasarkan argument rasional dan kondisional. Bagaimanapun juga, prinsip syuro sebagaimana yang diajarkan al-qur’an menjadi cara terbaik dalam sebuah komunitas atau kelompok.
        Penghargaan terhadap perempuan perlu diberikan secara layak. Ketika perempuan berhenti atau istirahat dari profesi di ranah public karena keharusan menjalankan tugas-tugas kodrati di atas, maka ia harus diberi kompensasi ekonomis. Artinya, tugas-tugas seperti itu harus dimulai  sebagai pekerjaan yang produktif secara ekonomis. Hal ini juga berlaku bagi perempuan yang hanya memainkan peran sebagai ibu rumah tangga semata. Tugas-tugas kerumahtanggaanya harus dihargai dengan penghargaan yang setinggi-tingginya.

WAALLAHU A'LAM



[1] Abu abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 111, Beirut : dar al-fikr, 1999/1419, h, 118.
[2] Baca penafsiran para  ulama tentang konsep AULIYA’ dalam  surat attaubah : 71 yang secara umum ayat tersebut dipahami sebagai kesetaraan gender. Kesetaraan gender itu mengakar pada prinsip-prinsip : laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba, sama-sama sebagai khalifah, laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial, adam dan hawa terlibat secara aktif dalam drama konsmis, dan laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi. (lengkapnya lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender dalam AL-Qur’an, Jakarta ; Paramadina, 2001, cet. 11, h. 247-263).
[3] Al-hafiz Imaduddin Abul Fida Ismail Ibn Katsir Al-Qusyairi Addimsyiqy, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhiem, jilid 111, cet, 1, Beirut  : Dar al-Fikr, 1980/1400, h. 420.
[4] Muhammad Ali Asshabuny, Shafwat Attafasir, Jilid 1, ( Cairo :   al-Kutub   Islamiyah, 1980) h. 548.
[5] M. Quraih Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, cet. 1, volume 2, (Jakarta : Penerbit Lentera Hati, 2000),h. 403-404.
[6] Beberapa ahli tafsir mengemukakan tentang penafsiran ayat arrrjalu qawwamun….. diantaranya Ibnu Katsir menafsirkannya laki-laki memiliki wewenang untuk mendidik perempuan (istri). Sementara al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa laki-laki berkewajiban  melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar kepada perempuan, sebagaimana penguasa terhadap rakyatnya. Jalaluddin Assyuyuthi memaknainya dengan laki-laki sebagai penguasa (mushallithun) atas perempuan. 
[7] Teori-teori ini saya sadur dari buku Nasaruddin Umar, Lengkapnya Lihat, Kesetaraan Jender Dalam Al-Qur’an. Dari halaman 45-72.
[8] Ayat-ayat yang bercerita tentang ini adalah , Q.S. Annaml : 23, ayat 27-28, 29-32.33-44.

1 komentar:

  1. Thanks Pak, atas karya kecerdasannya.Sangat Bermanfaat dalam menambah cakrawala berpikir seputar kepemimpinan dan perempuan.

    ReplyDelete