Oleh:
H.Fahrurrozi Dahlan,QH
Kepemimpinan
perempuan merupakan masalah yang selalu hangat dibicarakan di kalangan di
kalangan ulama dan cendekiawan. Sebagian masyarakat muslim belum bisa menerima
kepemimpinan perempuan. Mereka berkeyakinan bahwa perempuan secara mutlak tidak
berhak menjadi pemimpin, baik dalam wilayah rumah tangga (domestic)
maupun wilayah sosial politik (public). Kaum perempuan hanya berhak
dipimpin oleh kaum laki-laki. Larangan perempuan untuk menduduki dan menempati
posisi kepemimpinan dalam jabatan politik dan pemerintahan dari tingkat
presiden sampai ketua RT, menurut mereka, merupakan monopoli laki-laki.
Pertanyaan
kemudian adalah benarkah agama menjadi satu-satunya doktrin untuk mengganjal
keterlibatan perempuan dalam wilayah domestic lebih-lebih wilayah public.?
dan bagaimana respon agama yang sebenarnya dalam mendudukkan posisi
kepemimpinan perempuan dalam wilayah publik?
PEMBAHASAN
Untuk
mengelaborasi persoalan inti di atas, maka diperlukan pendekatan-pendekatan
komprehensif guna mendapatkan pemahaman yang utuh dan melihat dialektika
perbedaan pendapat dalam dimensi kearifan pluralistic sebagai suatu yang tidak
bisa dihindari dalam semua dimensi kehidupan baik secara personal maupun
social.
A.
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM
DIMENSI TEOLOGIS
Kepemimpinan perempuan dalam
tataran teologis dogmatis agama dapat dilihat dari dua kategorisasi:
Pertama,
dogma agama tentang tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin. Alasan
normatifnya bersumber dari interpretasi al-Qur’an Surat An-Nisa’ : 34 dan hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Tirmizi dari Abi Bakrah
(tidak akan beruntung suatu kaum jika menyerahkan urusan kepemimpinan kepada
perempuan)
Al-Qurtuby
memahami ayat tersebut bahwa laki-laki memiliki kelebihan atas perempuan, bukan
hanya karena tanggungjawabnya dalam memberi nafkah kepada keluarganya, tetapi
juga karena keunggulannya atas perempuan dalam kecerdasan (al-‘aql) dan
kemampuannya memimpin (attadbir), sehingga kepemimpinan merupakan hak
mutlak bagi kaum laki-laki. Jadi menurutnya perempuan tidak dibenarkan dan
tidak memiliki hak untuk menduduki kepemimpinan dalam semua bidang kehidupan.[1]
Pendapat al-Qurtuby ini mewakili umumnya pendapat para mufassir klasik.
Hadis
tersebut dipahami sebagai bentuk
larangan untuk memilih dan mengangkat perempuan sebagai pemimpin.
Kedua,
dogma agama yang dipahami secara kontekstual, sehingga ada hak kepemimpinan
bagi siapapun yang memiliki kompetensi untuk memimpin, tidak mengenal bias
gender.
Pemahaman
ini berlandaskan pada tataran normatif yang sama, tapi berbeda jnterpretasi.
Al-qur’an
memberikan hak kepada kaum perempuan
untuk menjadi pemimpin sebagaimana memberikan hak tersebut kepada kaum
laki-laki. Persoalannya, bahwa hak saja untuk menduduki posisi kepemimpinan
tidak cukup. Hak itu harus diikuti oleh kesanggupan, kompetensi, dan
kedibilitas sebagai pemimpin. Oleh sebab itu yang seharusnya menjadi
pertimbangan secara matang dalam memilih pemimpin, tidak terletak pada pilihan
laki-laki atau perempuan, akan tetapi pertimbangan secara matang itu berpusat
pada kesanggupan, kompetensi, dan kredibilitasnya sebagai pemimpin.[2]
Pandangan
Ibn Katsir menegaskan bahwa di dalam al-qur’an tidak ada keunggulan tertentu di
antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan itu adalah mitra yang
setara dan rekanan yang sejajar dalam membangun solidaritas, perlindungan, dan
cinta kasih di antara muslim yang satu dengan muslim yang lain dalam komunitas
keummatan. Sementara itu soal al-walayah, atau kepemimpinan dalam komunitas keummatan,
tidak secara mutlak menjadi monopoli kaum lelaki. Perempuan pun dimungkinkan
jika memenuhi kualifikasi dan persyaratan tertentu.[3]
Pendapat
yang senada diungkapkan oleh Moh.Ali Asshabuny, ia memahami dengan kalimat yang
bersifat umum dan mengandung makna kemitraan yang sejajar antara laki-laki dan
perempuan dalam mengharumkan dan mengamalkan agama.[4]
Quraish
Syihab memahami surat Annisa’ : 34, sebagai kepemimpinan laki-laki tidak
bersifat mutlak, tetapi mengarah kepada kepemimimpinan para suami terhadap
istri-istrinya dalam kehidupan berumah tangga. Pada wilayah public ada peluang
bagi kaum perempuan untuk menduduki kepemimpinan, asalkan memenuhi persyaratan
dan kualifikasi tertentu. Sedangkan kata
qawwamun yang secara kebahasaan berarti melaksanakan dengan sempurna. Kata ini
sering diterjemahkan pemimpin, tetapi agaknya terjemahan itu belum
menggambarkan keseluruhan makna yang dikehendaki. Meskipun demikian, harus
diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Dengan
perekataan lain, dalam pengertian kepemimpinan mencakup pemenuhan kebutuhan,
perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan. [5]
Jadi,
pemahaman yang bisa disimpulkan dalam konteks ayat tersebut, bahwa 1) laki-laki
secara umum dan para suami secara khusus, memiliki kecendrungan kuat untuk
melaksanakan fungsi qawwamun- yakni fungsi kepemimpinan dalam arti
memelihara, membela dan membina kaum perempuan, terutama istr-istri mereka
dalam kehidupan berkeluarga,. 2) bahwa di luar ruang lingkup kehidupan
keluarga, tidak tertutup kemungkinan perempuan melaksanakan fungsi – qawwamat-
yakni fungsi kepemimpinan dalam arti memelihara, membela, dan membina umat,
terutama berkenaan dengan kepemimpinan politik, yang dalam melaksakan tugasnya
bersifat kolektif, dan dibantu oleh orang –orang yang ahli di bidangnya. Tentu
saja, jika para perempuan itu memiliki syarat kualifikasi tertentu dalam aspek leadership.[6]
Adapun
tentang hadis di atas, terdapat beberapa pandangan pemahaman. Pertama,
pemahaman tekstual, di mana akan menghasilkan pengertian sebagaimana teks
hadist. Kedua, pemahaman secara kontekstual, yang menunjukkan sikap rasulullah
terhadap penobatan Bahran bintiSiruyah
bin Kisra sebagai ratu Persia. Sementara itu Siruyah bin Kisra, ayahanda Ratu
Bahran adalah penguasa Persia yang merobek-robek surat rasulullah, ketika
beliau mengirim para diplomat untuk menyampaikan pesan perdamaian islam kepada
para tokoh, pejabat, kepala Negara, kepala pemerintahan di Timur Tengah. Jadi,
hadist tersebut sangat mungkin hanya bersifat kontekstual berkenaan dengan
penobatan ratu Persia tersebut yang diduga tidak memenuhi kualifikasi
kepemimpinan.
B. KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM DIMENSI HISTORIS ISLAM.
Keterlibatan
perempuan dalam politik, lebih-lebih lagi, perwujudan akan adanya kenyataan
bahwa mereka waspada dan menentang secara aktif terhadap penguasa yang
menyeleweng dari prinsip-prinsip Islam dalam rangka memelihara sebuah
masyarakat yang adil. Ada dua contoh yang dapat pemakalah paparkan dalam kajian
ini. Pertama, ada seorang perempuan yang menentang khalifah Umar secara
terang-terangan karena membuat aturan yang membatasi mahar bagi kaum perempuan.
Setelah mengakui kesalahannya, umar akhirnya mencabut kebijakannya itu. Kedua,
adalah kasus Aisyah yang secara terang-terangan menentang khalifah Ali bin Abi
Thalib dan berperang dengannya, karena gagal menemukan para pembunuh Usman,
yang kemudian dalam sejarah Islam disebut dengan mauqi’atu shiffin. Perang
jamal/shiffin.
Harus ditekankan disini bahwa aktivitas social-politik yang
tinggi yang dilakukan oleh kaum perempuan awal Islam mustahil dapat tercapai
tanpa merealisasikan tiga factor penting dan saling berkaitan. Pertama,
pengakuan dan kompetensi politik kaum perempuan. Kedua, penghargaan atau
pengakuan tersebut mencapai momentumnya ketika kaum perempuan menjadi sadar
secara politik dan menyadari tanggungjawabnya di dalam masyarakat. Ketiga,
memunculkan partisipasi politik yang luas di kalangan kaum perempuan yang
dikondisikan oleh kemampuan-kemampuan dan tingkat kesadaran sendiri yang
dipraktekkan dalam sebuah latar belakang social yang menyenangkan serta
memberikan ransangan dan momentum bagi mereka.
C. KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF TEORI GENDER
Kepemimpinan
perempuan semestinya perlu dilihat dari perspektif barat untuk studi
komparatif, mencoba memperbandingkan sisi persamaan atau perbedaan konsep
tentang bagaimana melihat perempuan, bukan hanya dari sisi dogma agama, tapi
melihatnya dari sisi biologis, sosiologis, feminis, dan lain-lain.
Ada
banyak teori yang patut untuk dikaji dalam upaya melihat sisi kepemimpinan
perempuan.
Pertama,
Teori Psikoanalisa/Identifikasi. Teori ini mengungkapkan bahwa
perilaku dan keperibadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh
perkembangan seksualitas. Sigmund Freud (1856-1939) menjelaskan kepribadian
seseorang tersusun di atas tiga struktur yaitu id, ego, dan superego.
Tingkah laku seseorang menurut freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur
itu.
Berdasarkan
teori ini laki-laki dan perempuan memilki kesamaan dan peluang untuk menjadi
pemimpin, karena memiliki struktur psikologis yang sama.
Kedua, Teori
Strukturalis Fungsional.
Teori
ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling mempengaruhi.
Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat,
mengidentifikasi fungsi setiap unsure dan menerangkan bagaimana fungsi-fungsi
unsure-unsur tersebut dalam masyarakat.
Dari
teori tersebut, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan itu adalah suatu yang
bersifat fungsional. Karena fungsional maka ada peluang bagi laki-laki dan
perempuan untuk memenuhi fungsionalisasi yang ada pada diri mereka.
Ketiga, Teori
Konflik. Teori ini berasumsi, bahwa dalam susunan di dalam suatu
masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan
kekuasaan. Siapa yang memiliki dan menguasai sumber-sumber produksi dan
distribusi merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran utama di
dalamnya.
Inti
teori ini dalam melihat kepemimpinan perempuan, bahwa ketimpangan peran jender
dalam masyarakat bukan karena factor ologis atau pemberian Tuhan (devine
creation), tetapi kontruksi masyarakat (social contruction).
Keempat,
Teori Feminis. A)fememisis liberal, semua manusia laki-laki dan
perempuan diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan
antara satu dengan yang lain.(Margaret Fuller, 1810-1850)-Harriet Martineau,
1802-1876,-Anglina Grimka, 1792-1873,-Susan Anthony, 1820-1902). B)Feminis
Marxis-Sosialis. Aliaran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam
masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan
peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh factor
budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional dan teolog bahwa status
perempuan lebih rendah daripada laki-laki karena factor biologis dan latar
belakang sejarah. C)feminisme radikal, yang berpandapat bahwa perempuan memilki
kebebasan untuk menentukan arah dan keinginannya dalam semua lini kehidupan,
guna terbebas dari belenggu fatriarki yang dinilai merugikan perempuan.
Kelima, Teori
Sosio-Biologis. Inti dari stetemen teori ini adalah, intensitas
keunggulan laki-laki tidak saja ditentukan oleh factor biologis tetapi
elaborasi kebudayaan atas biogram manusia. Teori ini disebut bio-sosial karena
melibatkan factor biologis dan social dalam menjelaskan relasi jender.
Dari
teori ini, dapat dikatakan bahwa
kepemimpinan perempuan dilihat dari sisi biologis, memang memiliki kelemahan,
tapi dalam aspek social, mungkin perempuan bisa melebihi laki-laki, karena
wataknya yang lebih emosional menempatkan posisinya sebagai manusia yang
diperhitungkan. [7]
D. MODEL
PEMIMPIN PEREMPUAN DALAM AL-QUR’AN
Di Dalam
Al-Quran terdapat model pemimpin perempuan yang cerdas dan memenuhi kualifikasi
kepemimpinan yang baik, yaitu kisah Ratu Balqis dari negeri Saba’ yang
memerintah kerajaan Sabaiyah pada zaman nabi Sulaiman, as.[8]
Secara
garis besar dari kandungan surat Annaml, ayat 23-32, tergambar dengan jelas
kecerdasan, keperibadian dan gaya kepemimpinan Ratu Balqis yang berkuasa pada
kerajaan sabaiyah di Yaman, Arabia Selatan.
Pertama,
Ratu Balqis merespon dan menyikapi surat Nabi Sulaiman yang berkedudukan di
Yerussalem dengan serius. Ratu Balqis tidak terkesan sedikitpun meremehkan
informasi yang diterimanya.
Kedua,
Ratu Balqis tidak terburu-buru menyatakan pendapat pribadinya terhadap surat
dari Nabi Sulaiman tersebut. Beliau menampilkan sosok pemimpin yang memiliki
tingkat kecerdasan emosi yang tinggi, tenang dan matang namum bersikap
demokratis dengan membawa masalah surat nabi Sulaiman ke rapat kabinet dengan
mengundang para pejabat tinggi kerajaan (Q.S. Annaml : 29).
Ketiga, dalam sidang kabinet tersebut, terungkap
bahwa kerajaan Sabaiyah di bawah kepemimpinan Ratu Balqis merupakan kerajaan
yang kuat. (Q.S. Annaml : 33).
Keempat,
Ratu Balqis ridak terpengaruh oleh pernyataan para pembesarnya yang menyatakan
siap untuk berperang melawan kemungkinan invasi raja Sulaiman dari Yerussalem,
yang secara geografis berada di sebelah utara kerajaan Sabaiyah. Ratu Balqis
memiliki pemikiran dan pendapat sendiri
yang lebih komprehensif, karena mempertimbangkan banyak aspek dengan pemikiran
yang mendalam (Q.S. Annaml : 34-35).
Kelima,
Ratu Balqis memutuskan untuk mengadakan diplomasi dan negosiasi dalam
menyelesaikan urusan kenegaraan (Q.S.Annaml : 44).
Berdasarkan
model kepemimpinan Ratu Balqis di atas, menjadi tolok ukur bagi kaum perempuan
yang ingin mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin di ranah public dengan
mengedepanprinsip-prinsip akuntabilitas, kredibilitas dan professional,
sebagaimana model kepemimpinan Ratu Balqis sang raja perempuan Saba’.
EPILOG
Islam
tidak mengatur wilayah perempuan dan laki-laki secara skematis. Islam
menyisakan wilayah-wilayah tertentu untuk diatur oleh akal manusia berdasarkan
tuntunan-tuntunan yang senantiasa berkembang. Hal ini secara implicit mendorong
perempuan melakukan usaha-usaha aktif untuk mencapai prestasi diberbagai
sector. Tentu saja, dengan catatan nilai-nilai agama tetap dijunjung tinggi.
Al-Qur’an
memberikan rekomendasi kepada kaum lelaki untuk tampil menjadi pemimpin.
Kepemimpinan ini bukan structural dimana satu jenis menguasai yang lain,
melainkan bernuansa fungsional. Artinya, sebagai pemimpin, laki-laki harus
memerankan beberapa fungsi yang sangat terkait dengan kebahagiaan keluarga itu
sendiri. Namun demikian kepemimpinan tersebut tidak berlaku mutlak.
Kepemimpinan di sini tidak sampai memutlakkan seorang istri untuk tunduk
sepenuhnya pada suami. Istri tetap masih mempunyai hak untuk musyawarah dan
melakukan tawar menawar keinginan dengan suami berdasarkan argument rasional
dan kondisional. Bagaimanapun juga, prinsip syuro sebagaimana yang diajarkan
al-qur’an menjadi cara terbaik dalam sebuah komunitas atau kelompok.
Penghargaan terhadap perempuan perlu diberikan secara layak.
Ketika perempuan berhenti atau istirahat dari profesi di ranah public karena
keharusan menjalankan tugas-tugas kodrati di atas, maka ia harus diberi
kompensasi ekonomis. Artinya, tugas-tugas seperti itu harus dimulai sebagai pekerjaan yang produktif secara
ekonomis. Hal ini juga berlaku bagi perempuan yang hanya memainkan peran
sebagai ibu rumah tangga semata. Tugas-tugas kerumahtanggaanya harus dihargai
dengan penghargaan yang setinggi-tingginya.
WAALLAHU A'LAM
[1] Abu abdillah
Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
jilid 111, Beirut : dar al-fikr, 1999/1419, h, 118.
[2] Baca
penafsiran para ulama tentang konsep
AULIYA’ dalam surat attaubah : 71 yang
secara umum ayat tersebut dipahami sebagai kesetaraan gender. Kesetaraan gender
itu mengakar pada prinsip-prinsip : laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai
hamba, sama-sama sebagai khalifah, laki-laki dan perempuan sama-sama menerima
perjanjian primordial, adam dan hawa terlibat secara aktif dalam drama konsmis,
dan laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi. (lengkapnya lihat,
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender dalam AL-Qur’an, Jakarta ;
Paramadina, 2001, cet. 11, h. 247-263).
[3] Al-hafiz
Imaduddin Abul Fida Ismail Ibn Katsir Al-Qusyairi Addimsyiqy, Tafsir
Al-Qur’an Al-Azhiem, jilid 111, cet, 1, Beirut : Dar al-Fikr, 1980/1400, h. 420.
[4] Muhammad Ali
Asshabuny, Shafwat Attafasir, Jilid 1, ( Cairo : al-Kutub
Islamiyah, 1980) h. 548.
[5] M. Quraih
Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, cet.
1, volume 2, (Jakarta : Penerbit Lentera Hati, 2000),h. 403-404.
[6] Beberapa ahli
tafsir mengemukakan tentang penafsiran ayat arrrjalu qawwamun….. diantaranya
Ibnu Katsir menafsirkannya laki-laki memiliki wewenang untuk mendidik perempuan
(istri). Sementara al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa laki-laki berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar
kepada perempuan, sebagaimana penguasa terhadap rakyatnya. Jalaluddin
Assyuyuthi memaknainya dengan laki-laki sebagai penguasa (mushallithun)
atas perempuan.
[7] Teori-teori
ini saya sadur dari buku Nasaruddin Umar, Lengkapnya Lihat, Kesetaraan
Jender Dalam Al-Qur’an. Dari halaman 45-72.
[8] Ayat-ayat yang
bercerita tentang ini adalah , Q.S. Annaml : 23, ayat 27-28, 29-32.33-44.
Thanks Pak, atas karya kecerdasannya.Sangat Bermanfaat dalam menambah cakrawala berpikir seputar kepemimpinan dan perempuan.
ReplyDelete