OLEH : FAHRURROZI DAHLAN
ABSTRAK
Dewasa ini penggunaan
istilah fundametalisme memang telah mengalami kesimpangsiuran makna, bahkan
cendrung menjadi istilah yang bias dan pejorative (bersifat
merendahkan),bahkan seringkali digunakan dengan konotasi negative. Pada
gilirannya fundamentalisme sering merujuk kepada kehidupan masa lalu, bahkan
lebih jauh lagi fundamentalisme sering disamakan sebagai ekstrimisme, fanatisme
politik, aktivisme politik, terorisme dan Anti Amerika.
Berdasarkan pandangan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan utama dalam
kajian ini adalah, bagaimana fundamentalis dianggap sebagai fenomena agama dan
kekerasan atas nama agama? Untuk mempermudah dalam menganalisa, penulis
memetakan pertanyaan pokok tersebut dalam sub-sub pertanyaan sebagai berikut;
bagaimana akar persoalan munculnya fundamentalisme? Bagaimana karakteristik Islam fundamentalis? Bagaimana
peran para fundamentalis dalam dakwah islamiyah?
Islam fundamentalisme merupakan corak keberagamaan di Indonesia yang
memiliki akar pemahaman ortodok sehingga dalam memahami teks agama dominan
rigid, statis dan eksklusif.
Secara teoritis, Abdul Salam Sidahmad dan Anonshiravan Ehteshami menegaskan
penegasan aktivis agama tertentu yang mendefinisikan agama tersebut secara
mutlak dan harfiah disebut fundamentalisme. Fundamentalisme melibatkan usaha
memurnikan atau mereformasi kepercayaan dan praktik para pemeluk menurut
dasar-dasar agama yang didefinisikan sendiri.
Istilah
fundamentalis bagi Esposito terasa lebih provokatif dan bahkan pejoratif
sebagai gerakan yang pernah dilekatkan pada Kristen sebagai kelompok literlis,
statis dan ekstrem. Pada gilirannya fundamentalisme sering merujuk kepada
kehidupan masa lalu, bahkan lebih jauh lagi fundamentalisme sering disamakan
sebagai ekstrimisme, fanatisme politik, aktivisme politik, terorisme dan anti
Amerika
Fundamentalisme yang lebih
operasional diungkapkan oleh Fazlurrahman dengan mempersoalkan tradisi Islam
yang hidup dengan jalan mengkonfrontasikannya pada sumber-sumber asli Islam.
Interpretasi fundamentalis menuntut usaha sadar diri untuk menghindari
kompromi, adaptasi, atau reinterpretasi kritis atas teks dasar dan
sumber-sumber kepercayaan.
Berdasarkan konsep di atas
dapat dianalis bahwa kajian fundamentalisme merupakan bagian dari corak
keragaman dalam keberagamaan umat beragama khususnya agama Islam yang memiliki
karakteristik tersendiri, paling tidak tercermin dalam interpretasi mereka yang
rigid dan literalis terhadap doktrin agama. Ini dilatarbelakangi oleh beberapa
factor di antaranya; penafsiran seperti itu penting bagi mereka demi menjaga
kemurnian doktrin dan pelaksanaannya. Ciri berikutnya bahwa penerapan doktrin
secara utuh merupakan satu-satunya cara dalam menyelamatkan manusia dari
kebodohan.
Kesimpulan
kajian ini adalah kebangkitan fundamentalisme dalam Islam, sebenarnya merupakan
reaksi keras atas pemikiran liberalisme Islam.
A.
LATAR BELAKANG
PEMIKIRAN
Bassam Tibi pernah menyinggung
tentang kekagumannya terhadap Islam di Indenesia. Menurut Tibi, Indonesia dapat
menjadi jantung Islam yang menentukan mainstream peradaban Islam. Ini
dikarenakan Islam di Indonesia adalah Islam yang mempraktikkan toleransi,
pluralisme, dan pandangan terbuka para pengikutnya, sebuah kondisi yang susah
ditemukan di saudara-saudara mereka di Timur Tengah. Kendati demikian,
Indonesia juga menyimpan bara fundamentalisme yang dapat membakar setiap saat.
Meski juga Tibi menyebut bahwa para kaum fundamentalis tersebut tidaklah
berbahaya selama berada di pinggiran kekuasaan dan tidak masuk dalam lingkaran
kekuasaan dan selama pandangan absolutis-arabosentris mereka menjadi preferensi
publik Indonesia.[1]
Seseorang tidak akan bisa menghindari label apabila membicarakan tentang
sesuatu, dan ia tidak akan bisa memahami sebuah kawasan seluas dan sekompleks
dunia muslim kecuali ia menganalisis berbagai fenomena ke dalam kategori yang
bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu, pertanyaannya bukan berkaitan dengan ia
bisa menggunakan label itu atau tidak, tetapi adalah bagaimana sehrusnya ia
menggunakan label.[2]
Beberapa sarjana tidak setuju istilah fundamentalisme diterapkan untuk
Islam, karena elemen-elemen lokal dari
tempat istilah itu muncul sangat mewarnai makna istilah tersebut, yang
selanjutnya sulit diterapkan ditempat lain.
Dalam konteks ini, Shepard menegaskan bahwa penggunaan istilah
fundamentalisme sering mengalami persoalan disebabkan karena :
1.
Digunakan tanpa
makna yang jelas.
2.
Sebenarnya cocok
untuk kasus tertentu tetapi kemudian digunakan untuk fenomena yang berbeda dan
luas.
3.
Terutama adanya value
judgment terhadap istilah tersebut.[3]
B.
PENGERTIAN FUNDAMENTALISME
Istilah fundamentalis bagi Esposito terasa lebih
provokatif dan bahkan pejoratif sebagai gerakan yang pernah dilekatkan pada Kristen
sebagai kelompok literlis, statis dan ekstrem. Pada gilirannya fundamentalisme
sering merujuk kepada kehidupan masa lalu, bahkan lebih jauh lagi
fundamentalisme sering disamakan sebagai ekstrimisme, fanatisme politik,
aktivisme politik, terorisme dan Anti Amerika. Karena itu, John L. Esposito
lebih memilih menggunakan istilah revivalisme (kebangkitan) Islam atau
aktivisme Islam yang memiliki akar tradisi Islam.[4]
Istilah fundamentalis
bukan berasal dari terminologi Islam, tetapi berasal dari kata bahasa Inggris
yaitu fundament. Sebuah terminologi yang lahir dalam konteks sejarah
keagamaan di dunia kristen Amerika Serikat. Disebutkan bahwa fundamentalisme
lahir dalam situasi konflik antar budaya urban dan budaya pedesaan di Amerika
pasca PD I, yang muncul bersamaan dengan situasi depresi nilai-nilai agraris
dalam proses industrialisasi dan
urbanisasi. Bentuknya yang agresif
sering muncul di daerah yang terisolasi
dan hanya sedikit saja yang mendapat simpati kalangan kota. Fundamentalisme merupakan gerakan
reaksi terhadap pola peradaban yang timbul dari proses industrialisasi dan
urbanisasi. Aliran Fundamentalisme di Amerika melawan arus pemikiran ilmiah
yang mendasarkan diri pada penalaran dan arus sekulerisme.[5]
Membaca fenomena fundamentalisme Amerika ini. Yusril Ihza mengatakan dua ciri
yang ditunjukkan mereka adalah cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara
rigid (kaku) dan literal
(harfiah).[6]
Dua ciri ini berimplikasi pada sikap mereka yang sering kali
fundamentalis, militan, dan berfikiran sempit,
bersemangat secara berlebihan (ultra-zealous)
atau cenderung ingin mencapai tujuan
dengan cara-cara memakai kekerasan.[7]
C.
SEJARAH KEMUNCULAN ISLAM FUNDAMENTALIS
Menilik fakta sejarah
Islam, memang dapat dijumpai adanya kelompok-kelompok dalam Islam yang
berpandangan fundamentalis fundamentalisis, walaupun tidak sepenuhnya muncul
sebagai reaksi terhadap modernisasi, melainkan juga karena latar belakang
politik dan teologi. Dalam bidang teologi misalnya ada Khawarij, kelompok ini
muncul sebagai reaksi terhadap sikap khalifah Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah
serta para pendukungnya dari tokoh yang bertikai ini mengambil jalan
penyelesaian dengan cara arbitrase (damai) yang berakhir dengan kemenangan dari
pihak Muawiyah. Kelompok ini kemudian menuduh orang-orang yang terlibat dalam
arbitrase sebagai kafir.[8]
Kaum khawarij percaya bahwa perintah al-Qur’an untuk ”amar
ma’ruf dan nahi mungkar” harus dilaksanakan dengan cara ketat, harfiah, dan
tanpa pengecualian. Dunia khawarij hanya terbagi menjadi dua; iman dan kafir,
muslim dan non muslim (musuh Tuhan), damai dan perang. Setiap tindakan yang
tidak sesuai dengan hukum merupakan suatu dosa besar. Para pendosa dihukum
kafir dan dikeluarkan dari komunitas beriman (takfir). Para pelaku dosa
besar tidak cuma dipandang sebagai pelanggar hukum agama tetapi sebagai orang
yang murtad, bersalah karena pengkhianatan dan pantas dihukum mati, kecuali
jika mereka bertaubat.[9]
Fazlurrahman menggambarkan
reaksi-reaksi kalangan fundamentalis terhadap kaum liberal Islam atau sebutan
lain untuk kaum modernis. Gerakan fundamentalisme ini yang disebut Fazlurrahman
sebagai gerakan revivalis, berawal dengan hadirnya gerakan revivalis
pra-modernis, terutama lewat gerakan Ibn Abd al-Wahab (Wahabiyah), yang oleh
Fazlurrahman digambarkan sebagai denyut pertama kehidupan Islam, setelah
mengalami kemorosotan beberapa abad
sebelumnya.[10]
Untuk pertama kali setelah lima
abad sebelumnya, Ibn Taimiyah (w.1328) berjuang sendirian, gerakan ini pun
mengambil jalan fundamentalis. Yakni, mempersoalkan tradisi Islam yang hidup
dengan jalan mengkonfrontasikannya pada sumber-sumber asli Islam.
Di Indonesia, gerakan
revivalis awal ini bolehlah dirujuk pada gerakan Padri di Minangkabau, sekitar
abad XIX. Gerakan ini merupakan gerakan pra-modernis pertama di Indonesia, yang
berakar dalam gerakan Tuanku Nan Tao, dan khususnya lagi setelah kembalinya
''tiga haji'' dari Tanah Suci Makkah, yakni Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji
Piabang.[11]
D.
KARAKTERISTIK ISLAM FUNDAMENTALIS
Gerakan ini oleh
Fazlurrahman dicirikan dengan :
Pertama, bentuk
keperihatinan yang mendalam atas kemerosotan moral dan social masyarakat
muslim.
Kedua, menghimbau kepada
kaum muslim untuk kembali kepada Islam yang orisinal, yang murni (salafiyah),
dengan meninggalkan takhayul-takhayul.
Ketiga, menghimbau untuk
membuang beban yang menghancurkan berupa pandangan tentang takdir dari ''agama
rakyat'', dan teologi asy'ariyah yang berpengaruh di mana-mana.
Keempat, perlunya
melakukan pembaruan yang dipelopori kaum fundamentalis melalui jihad sekalipun,
kalau itu dianggap perlu.[12]
Lebih lanjut Budi
Munawarrahman menambahkan ciri-ciri khas kaum fundamentalis adalah :
Pertama; penafsiran refresif atas nama Tuhan.
Seperti diketahui bahwa, agama itu sendiri terdiri atas simbol-simbol yang bisa
dimaknai dengan pandangan idologi dan politik tertentu. Misalnya pesan
keagamaan bisa menjadi justifikasi untuk paham-paham modern seperti demokrasi,
kesamaan, kebebasan dan humanism. Tetapi sebaliknya, pesan keagamaan yang sama
juga bisa dipakai untuk membenarkan segala perbedaan dan diskriminasi dalam
klas, ras, seks, gender, agama, pendidikan, keyakinan politik, justru
mengatasnamakan Tuhan. Yang terakhir ini terjadi pada kalangan yang disebut
fundamentalisme. Fundamentalisme Islam secara ekstrim bisa menjadi contoh penafsiran
refresif atas nama Tuhan, dengan otoritas obsolutnya.
Kedua; kesatuan agama dan negara. Ciri yang
paling mencolok dari fundamentalisme Islam dalam konteks hubungan Negara dan
agama adal. obah tekanan yang sangat kuat untuk membangun bentuk negara
teokratik (khilafah, atau sejenisnya). Negara ideal yang ditegakkan
dalam pandangan kaum fundamentalis Islam
ini, dengan jalan menyatukan negara (state) dan agama (religion).
Isu-isu pokok yang dikedepankan adalah penerapan syari'at dengan memperbesar peran ulama'.
Ketiga; penyebaran simbol-simbol kejahatan.
Karena kalangan fundamentalis tidak bisa menyatukan Islam dengan tantangan
Barat dan apa yang datang dari Barat dianggap sebagai ''jahat, dosa bahkan
iblis''.
Keempat; literalisme-skriptual. Juga penololakan
historisisme dan rasionalisasi. Ini adalah tipikal dari cara pandang kaum
fundamentalis yang menolak cara membaca kitab suci dari kalangan ''Islam
Liberal'' yang mempertimbangkan situasi dan perubahan social. Kaum
fundamentalis menolak penafsiran baru atas teks Islam, yang dianggapnya
menyimpang dari ''Islam yang murni''. Seluruh problem sekarang dipecahkan
dengan cara kembali kepada zaman awal Islam yang ideal itu.
Kelima; obsesi atas isu-isu superstruktur.
Islam fundamentalis menolak kategori-kategori kelas, kepentingan-kepentingan
kelas, pembentukan kelas dan organisasi kelas yang biasa dipakai dalam sosiologi.
Keenam; Pan-Islamisme. Obsesi pokok yang
dikembangkan oleh Islam Fundamentalis adalah perluasan dari konsep ummah
(komuitas orang beriman), yang diberikan definisi secara ideologis.
Ketujuh; patriarkhi. Mengembalikan peran
wanita ke sector domistik dari sektor publik, mewajibkan jilbab secara ketat
dan rigid.
Kedelapan; tidak Timur dan tidak Barat. Selogan utama yang disuarakan
oleh kaum fundamentalis yang dikutip dari al-Qur'an, tetapi diberikan muatan
interpretasi secara politis dan ideologis, dengan maksud Timur (Komunis), Barat
(kapitalis).
Kesembilan; otoritarian dalam wacana. Dalam hal
wacana, kalangan fundamentalis bersikap lebih penting menekankan pada apa-apa
yang normative daripada statemen-statemen diskriptif-faktual.[13]
Fundamentalisisme terkadang memiliki suatu program atau pandangan dunia (world
view) tersendiri. Kaum fundamentalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan
tersebut menjadi pengganti dari tatanan yang sudah ada.
F.
PEMIKIRAN DAN GERAKAN FUNDAMENTALISME AGAMA
1. Pemikiran Islam fundamentalis
Para fundamentalis telah kehilangan
kesabaran terhadap atau menolak para modernis. Ada garis halus yang sering dilanggar antartradisionalis
yang kita sebut fundamentalis (pada kepercayaan dan imannya). Perbedaannya
terdapat pada strategi dan gaya
mereka. Strateginya dijelaskan tidak lebih dari filsafat politik, karakter
personal, usia, dan gaya
hidup turut membedakan perbedaan ini. Banyak fundamentalisis yang bukan dari
kalangan cendikiawan, dan parahnya ingin mengimplementasikan tatanan Islam
melalui kekuatan bersenjata dan konfrontasi. Biasanya mereka terdorong oleh
kebencian clan rasa jijik pada apa yang mereka sebut "Barat". Mereka
membangkitkan kemarahan dan kebencian di kalangan muslim. Retorika mereka
mengandung banyak`statemen populis dan dorongan untuk berbuat tindakan anarkis.
Mereka ini bukanlah figur-figur kharismatik dan seringkali ditolak. [14]
Golongan fundamentalis memandang
rendah para modernis, karenanya tidak jarang para modernis mengkategorikan
mereka sebagai fundamentalis. Sebagian besar sarjana Barat, termasuk sarjana
dari generasi muda, ditolak pula oleh golongan fundamentalis karena dinilai
telah tercemari oleh kajian/pemikiran ala orientalisme.[15]
Itu sebabnya Fazlur Rahman mendefinisikan sikap pemikiran mereka sebagai
"fundamentalis posmodernis" atau "neo fundamentalis" dan
menggarisbawahi adanya sikap mereka yang anti Barat. [16]
2.
Gerakan Islam Fundamentalis
Menurut Marty dan Appleby, sebagai
gerakan, fundamentalisme dan fundamentalis ditandai oleh sikap yang melawan
atau berjuang (fight ). Di antaranya adalah melawan kembali (fight
back) kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau identitas yang menjadi
taruhan hidup. Mereka berjuang untuk (fight for) menegakkan cita-cita
yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi
sosial Iainnya. Kaum fundamentaiis berjuang dengan (fight with) kerangka
nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun
konstruksi baru. Untuk itu mereka berjuang melawan (fight against)
musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tatanan sosial
keagamaan yang dipandang menyimpang. Terakhir kaum fundamentalis juga dicirikan
oleh perjuangan atas nama (fight under) Tuhan atau ide-ide lainnya. [17]
Di
dalam rumusan Marty dan Appleby tentang fundamentalisme, tampak adanya
kemiripan-kemiripan tertentu yang menyerupai ciri-ciri fundamentalisisme. Di
samping lima
jenis perlawanan, Marty dan Appleby juga melihat bahwa gerakan ideologis
gerakan fundamentalisme memiliki logika tersendiri. Terdapat kecenderungan kuat
di kalangan fundamentalis untuk menolak berpikir historis dan hermenetis dalam
memahami kitab suci. Gerakan ini juga bersifat ekslusif dengan cara menarik
garis tegas antara kelompoknya dengan kelompok lain. Hal ini semakin diperjelas
dengan dianutnya identitas-identitas khusus lainnya, baik dalam hal penampilan
fisik atau cara berpakaian yang membedakan diri mereka dari kelompok lain.
Masalahnya kemudian sejauh mana kriteria fundamentalisisme atau fundamentalisme
tersebut untuk dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena keagamaan dalam
tradisi agama tertentu? Apakah setiap agama pernah mencatat kehadiran
"fundamentalisisme agama" ataukah bentuk keberagamaan tersebut hanya
ada dalam tradisi agama tertentu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi
relevan untuk dikedepankan. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi generalisasi
yang berlebihan terhadap fenomena "kebangkitan agama" dan untuk
melihat persoalan fundamentalisisme-fundamentalis secara Iebih proporsional
serta kontekstual. [18]
Muncul pertanyaan menggelitik, kenapa
gerakan fundamentalisisme selalu membenci dan memusuhi Barat dalam hal ini
Amerika? Banyak faktor yang melatari, terutama pertama, Amerika seringkali
merupakan musuh sekunder dalam perananinya sebagai mitra dagang dan aliansi
politik. Amerika memiliki kepentingan yang tertanam dalam memojokkan stabilitas
rezim-rezim di seluruh dunia. Hal ini seringkali menempatkan Amerika pada
posisi yang tidak menyenangkan karena menjadi pembela dan promotor
pemerintah-pemerintah sekuler, sehingga mereka dianggap sebagai musuh utama
oleh Iawan-lawan.[19]
Kedua, secara langsung maupun tidak, ia telah mendukung kultur modern dalam
sebuah dunia di mana orang-orang desa yang berada di pojok-pojok dunia di mana
telah memiliki akar kultural pada MTV, film-film Hollywood, internet, dan
sejumlah media yang berisi gambaran nilai-nilai yang diproyeksikan secara
global oleh Amerika.
Ketiga, berkaitan dengan
"penghinaan" hegemoni Amerika adalah pada aspek ekonomi, meskipun
sebagian besar kerjasama perdagangan internasional bersifat multinasional
dengan ikatan-ikatan personal dan legal lebih dari satu negara, tetapi
kebanyakan berbasis di Amerika atau memiliki asosiasi-asosiasi di Amerika.[20]
Keempat, masa depan yang hitam dan
menakutkan bagi Islam adalah dominasi global dan kultur Amerika. Amerika dalam
komando George W. Bush terdapat milisi-milisi sayap kanan yang yakin bahwa
"tatanan dunia baru" yang diproklamirkan lebih sebagai modus
kerjasama global. la merupakan sebuah komplotan konspirasional untuk
mengendalikan dunia. Itu sebabnya, kaum fundamentalisis sangat menentang
penjajahan/dominasi Amerika secara tidak langsung terhadap suatu negara sekaligus
mengadakan perlawanan terhadap suatu negara di mana negara tersebut
diinterfensi oleh Amerika. Sekedar menyebut contoh, Irak, Taliban, Afganistan,
bahkan Indonesia,
masuk dalam Iingkaran tersebut. [21]
Melihat kondisi memprihatinkan seperti
itu, kaum fundamentalisis justru akan mempergunakan momentum tepat pada
keterlibatan suatu negara dalam menginterfensi negara lain dalam berbagai
bidang dengan melihat beberapa tahapan sebagai berikut; (1) tahapan pertama,
melibatkan sebuah krisis kepercayaan (crisis of confidence) menyangkut
otoritas suatu rejim atau kebijakan-kebijakannya, (2) tahapan kedua, konflik
legitimasi (conflict of legitimacy) yang di dalamnya terdapat
kelompok yang menentang sikap untuk mempertanyakan legitimasi dari sebuah
sistem pemerintahan, dan (3) tahapan ketiga, adanya sebuah legitimasi yang
penuh. Pada tahap ini, kelompok yang menentang, berupaya memperluas
permusuhannya terhadap setiap orang dalam suatu masyarakat yang diasosiasikan
dengan sehuoh rezim yang dianggap tidak sah (illegitimate). [22]
G. TITIK
KELEMAHAN ISLAM FUNDAMENTALIS
Pada dasarnya, teks-teks Islam
mengajak umat Islam untuk berlaku moderat dan menolak serta menentang segala
bentuk ekstrimisme atau "al-guluw" (melampaui batas), "tanaththu"'
(keberagamaan yang terlalu ketat), "tasyaddud" (kekakuan
dan terlalu berlebihan). Semua peringatan terhadap ekstrimisme dan sikap
berlebih-lebihan ini adalah sebuah keniscayaan, karena dalam kecenderungan itu
sendiri terdapat kelemahan- kelemahan serius yang inheren di dalamnya,
diantaranya;
Kelemahan pertama, adanya sikap
berlebih-lebihan. Padahal sikap tersebut tidak sesuai dengan hakikat alami
manusia. Jika segelintir manusia saja tidak mampu menghilangkan sikap melampaui
batas pada dirinya, dalam waktu singkat mayoritas manusia tidak akan mampu
melakukannya.
Kelemahan kedua, bahwa yang melampaui
batas itu tidak akan bertahan lama, karena kapasitas manusia untuk bertahan dan
bersabar secara alami terbatas, karena manusia dapat dengan mudah menjadi
bosan, ia tidak mampu menahan praktik melampaui batas dalam waktu yang lama.
Kelemahan ketiga, praktik
berlebih-lebihan akan membahayakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban lain. Sebuah
ungkapan orang bijak mengatakan "setiap orang yang keterlaluan
bagaimanapun akan berdekatan dengan hak yang hilang".[23]
Selanjutnya sebagai sebuah kelompok,
mereka tampak memiliki ikatan solidaritas yang cukup solid, kokoh, militan, dan
rela menerima resiko dari sebuah perjuangan. Namun, bersamaan dengan itu,
terdapat beberapa catatan yang menyebabkan kaum fundamentalisisme atau
fundamentalisme dapat dikatakan kurang memperhatikan sikap yang kurang baik
sekaligus menampakkan kelemahannya sendiri sebagai berikut;
Pertama, dari segi keyakinan, mereka
bersikap rigid dan literalis. Kaum fundamentalis sangat menekankan simbol-simbol
keagamaan dari pada substansinya. Mereka menganggap bahwa doktrin agama telah
mengatur segala-galanya. Agama dinilainya sebagai sebuah sistem yang lengkap
dan mencakup pula pelbagai subsistem di dalamnya. Mereka berbeda dengan
pandangan kaum modernis yang pada umumnya kurang mementingkan soal istilah
simbol-simbol yang bercorak distinktif. Bagi kaum modernis yang penting adalah
bagaimana agar prinsip-prinsip, cita-cita, dan ruh Islam dapat menjiwai
kehidupan masyarakat dan negara, bukan mengutamakan simbol-simbolnya,
sebagaimana yang telah dipegang teguh oleh kaum fundamentalis.
Kedua, kekurangan mereka juga terletak
pada sikap dan pandangannya yang eksklusif yaitu pandangan yang berkeyakinan
bahwa pandangan dan keyakinan merekalah yang paling benar, sedangkan sikap dan
pandangan orang lain yang tidak sejalan dengan mereka dianggap salah dan harus
dikutuk. Sebagai akibat dari pandangan dan keyakinan yang demikian itu, mereka
cenderung tertutup, dan tidak mau menerima pandangan dan sikap yang berbeda. Pada
intinya, tidak ada jalan baginya untuk berdialog. [24]
Ketiga, dari segi budaya dan sosial,
kekurangan mereka terlihat pula dalam menyikapi berbagai produk budaya, sungguh
pun pada tataran yang sifatnya kultural seperti pakaian, alat-alat keperluan
kebersihan; dan lain sebagainya yang bersifat konservatif.
Keempat, dari segi bentuk dan
gerakannya, mereka cenderung memaksakan kehendak dengan menggunakan berbagai
cara termasuk cara-cara kekerasan, seperti propaganda, hasutan, teror, bahkan
pembunuhan, dan sebagainya. Dengan sikap yang demikian, mereka dianggap sebagai
kelompok fundamentalis fanatik. Karena beberapa kekurangan tersebut, maka
perjuangan Islam fundamentalis dalam menegakkan cita-cita Islam, sering kandas
di tengah jalan clan pada akhirnya merugikan dirinya sendiri.[25]
Kelima; adanya keyakinan kuat
dari kaum fundamentalisis terhadap kebenaran yang mereka perjuangkan. Sikap ini
pada saat yang sama dibarengi dengan penafion kebenaran yang melekat pada pihak
lain yang akan diganti. Dalam gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran
keyakinan atau nilai filosofis yang dianut, sering dikombinasikan dengan
cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan ideal seperti kerakyatan atau
kemanusiaan, akan tetapi disebabkan kuatnya keyakinan tersebut, dapat
mengakibatkan munculnya sikap emosional yang men- jurus pada kekerasan. [26]
Ciri-ciri fundamentalisme sosial di
atas dapat dijadikan titik tolak (starting point) untuk memahami
fenomena agama. Tentu saja tiga ciri tersebut tidak dapat dijadikan sebagai
patokan baku
untuk menilai apakah fenomena sebuah agama dapat dikategorikan fundamentalis
atau tidak. Ketiganya semata-mata berfungsi sebagai working hypothesis
untuk membantu melihat persoalan yang mengandung kemiripan-kemiripan. Dengan
kata lain, jika suatu fenomena keberagamaan hanya memenuhi satu atau dua ciri
di atas, bukan berarti ia tidak dapat diasosiasikan dengan fundamentalisisme.
Sebaliknya, bila fenomena tersebut memiliki kriteria lebih dari tiga, ia juga
tidak dapat dikeluarkan dari kategori fundamentalisme. Tentunya kelonggaran ini
perlu diberi catatan, yakni bila memang tidak terdapat istilah lain yang mampu
menjelaskan fenomena yang terjadi. [27]
H. FENOMENA
KEBERTERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP ISLAM FUNDAMENTALIS.
Pertanyaan yang perlu
dieksplorasi dalam kajian ini adalah, Islam fundamentalis dengan segala
kelemahan dan kekurangan yang melekat pada lebel ini, tapi justru kenapa
kecendrungan masyarakat melirik bahkan masuk dalam kelompok yang dianggap
fundamentalis, taruhlah seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Majlis Mujahidin
Indonesia, atau Ormas-ormas yang sealiran dengannya?
Dalam konteks kultural,
ideologi agama diarahkan untuk menciptakan tatanan masyarakat kontemporer di
bawah kedaulatan Tuhan (god’s sovereignity), dengan aturan (rule)
dan hukum (law) yang digalin dari kitab suci (revealed in scripture).
Tatanan yang dimaksud hanya dapat dimanifestasikan melalui pemurnian masyarakat
(purifying society) dari pengajaran dan praktik-praktik yang tidak Islam
(un-islamic theaching and practices) yang selama ini digali dari
ideologi Barat sekuler. Pemurnian masyarakat hanya dapat dilakukan satu-satunya
melalui pengembalian kea rah sumber-sumber murni Islam (Islam’s original
pure resources) yang digali dari al-Qur’an dan al-Hadis.[28]
Dalam konteks struktural,
agama diarahkan untuk mewujudkan negara Islam modern (an ideal Islam state)
sebagaimana pernah diandaikan pada zaman nabi dan para sahabatnya (modeled
on that of prophet and his companions). Lebih dari itu, orientasi
struktural adalah munculnya pengislaman system sosial dan politik secara total
dalam tatanan masyarakat dan negara syariah.
Fenomena kecendrungan
masyarakat untuk masuk dalam golongan fundamentalis ini dapat penulis petakan
dan analisis dari beberapa aspek;
Pertama, aspek doktrinal,
keyakinan akan kebenaran adalah bagian mendasar dalam kehidupan religious
individu maupun suatu kelompok. Individu dalam meligitimasi dan melembagakan
tindakan fundamental terhadap orang atau kelompok lain tidak hanya didasarkan
pada alasan-alasan atau gagasan-gagasan yang bersifat keduniawian yang berada
pada tataran pemenuhan hajat akan kekuasaan dan kemewahan materi.
Aspek doktrinal yang
dibentuk oleh lembaga tertentu kepada masyarakat untuk memformat ide, konsep
dan gagasan kemudian mengakar dalam pemahaman mereka yang secara umum menjanjikan keselamatan dunia dan
akhirat.
Kedua, aspek skeptisisme
masyarakat dengan aturan Negara yang tidak menjamin kehidupan yang sejahtera.
Dalam aspek ini, kehidupan yang sangat konpleks dengan segala hegemoninya
membawa kegersangan hati masyarakat yang hidup di zaman modern ini. Kegelisahan
spiritual inilah yang membawa kepada arah orientasi keberagamaan yang
memberikan solusi pencerahan hati dan ketenangan. Hal ini sangat memberikan
ruang dan waktu bagi masyarakat modern untuk memilih doktrin yang fundamental
dan ortodok.
Ketiga, kebencian terhadap Barat dan
budayanya. Sejalan dengan itu, Kuntowijoyo menyatakan bahwa fundamentalisme
Islam adalah gerakan anti industri, karena industrialisasi dilihat sudah
menimbulkan dampak negatif seperti dominasi masa lalu oleh masa kini, dominasi
industri atas alam, dan dominasi bangsa atas bangsa lain. Sejalan dengan itu,
kaum fundamentalis memiliki karakter pemikiran berikut; Pertama, kaum
fundamentalis ingin kembali ke zaman Rasul hampir dalam semua segi. Dalam
berpakaian mereka cenderung memakai jubah (untuk laki-laki) dan cadar (untuk
perempuan) dengan maksud untuk menolak industri fashion. Tampaknya
"kesalahan" yang mereka lakukan ialah menganggap fashion yang
bersifat muamalah itu sebagai akidah. Kedua, kaum fundamentalis ingin
kembali ke alam (back to nature). Dengan alasan misalnya, untuk menolak
wewangian buatan pabrik, kaum fundamentalis memakai bahan-bahan alamiah seperti
siwak, minyak wangi tanpa zat alkohol, dan sejenisnya. Kesalahan inipun sama dengan
pertama. Ketiga, kaum fundamentalis menampakkan sikap yang memiliki
implikasi politik. lni yang menyebabkan negara-negara industri menilai
fundamentalisme sama dengan terorisme. Dalam konteks ini pula, negara-negara
Barat (terutama Amerika Serikat) melihat Iran, Libia, FAS, Al-Jazair, Somalia,
dan Sudan sebagai sarang fundamentalis, sekaligus teroris.[29]
Keempat, aspek politik,
kaum fundamentalis berpikir dan mendambakan kesadaran politik dalam maknanya
yang tepat. Dalam konteks itu, mereka berupaya menyadari identitas diri sendiri
yang berarti menyadari sepenuhya kekuatan-kekuatan institusional yang telah
bekerja pada diri orang itu sendiri. Jalan menuju pembebasan pribadi tidak
bersifat privat atau melalui meditasi, tetapi lewat jalur politik. Kesadaran
semacam itu berkembang lewat tindakan yang sadar, reflektif, dan tentunya
akurat. [30]
Berdasarkan aspek-aspek
tersebut, menurut analisa penulis yang menyebabkan keberterimaan masyarakat
terhadap pemikiran dan gerakan Islam fundamentalis. Analisa penulis seperti ini
bisa saja diperkuat dengan aspek-aspek lain di luar aspek yang telah penulis
sebutkan, tapi yang dominan adalah seperti aspek doctrinal, aspek skeptisisme,
dan politik kebangsaan.
I.
PENUTUP
Gerakan fundamentalisme
dalam Islam umumnya dapat dilihat sebagai respon reaktif terhadap berbagai
krisis akibat berkuasa dan kuatnya negara bangsa (the nation –state).
Bangkitnya fundamentalisme dalam Islam berkaitan dengan tesis Samuel Hungtinton
(1993) tentang ''Clash of Civilization'' antara dar Islam
yang memuat peradaban berdasarkan
prinsip-prinsip agama Islam di satu pihak dan peradaban Yahudi-Kristiani yang
membarat di pihak lain. Begitu juga fundamentalisme berkaitan dengan Islam
politik yang diidentifikasi sebagai kekuasaan baru dan otentik untuk melakukan
perubahan yang positif sesuai format yang islami. Islam dalam perspektif ini
dipandang sebagai solusi yang paling efektif dalam menghadapi tumbuhnya secularism
dan budaya global yang destruktif.
Wallu a’lam bi
al-shawab
DAFTAR
PUSTAKA
al-Qardawi, Yusuf, Ekstremisme
dalam Wacana Islam, Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu
Global Charterkhurzman (ed.) (Jakarta: Paramadina, 2001), 319-320.
Ahmed, Akbar S. Posmodernisme
Bahaya dan Harapan Bagi Islam (Bandung: Mizan, 1994).
Harahap, Syahrin, Islam Dinamis,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997.
Espisito, John L.,
Myth or Relity The Islamic Threat?, (Oxford University Press, 1992).
Esposito, John L., Unholy war,
terj. Arif Maftuhin, (Yogyakarta; LKIS, 2002).
Fazlur Rahman, Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The
University Press, 1984)
Fazlurrahman, ''Islam : Challenges and
Oportunities,'' dalam Altford T.Welch dan Pierre Cachia (ed.), Islam and
Past Influence and Present Challenge, London
: Edinburgh University Press, 1979.
Jainuri, Ahmad,
Zainuddin Maliki, Syamsul Arifin, dkk, Terorisme & Fundamentalis Agama,
Malang :
Bayumedia Publishing, 2003. cet.1.
Kuntawijoyo, Identitas
Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997)
Martin, Marty E., dan
R. Scott Appleby, Introduction: Fundamentalism Observed (Chicago:
University of Chicago Press, 1993)
Munawarrahman, Budi, Islam Pluralis
: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta
: Paramadina, 2001, cet.1.
Nata, Abudin, Peta
Keberagamaan Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), Cet.
1.
Novak, Michael, Teologi
Politik Fundamentalis (Yogyakarta:
Jendela, 2000).
Shepard, William, Fundamentalism
Cristian and Islamic, dalam Studies in Religion 17,1 (1987)
Tibi, Bassam, Ancaman
Fundamentalisme ; Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 2000)
Zada, Khamani, Islam
Fundamentalis Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Bandung, Teraju, 2002),
Cet. 1.
[1]Bassam Tibi, Ancaman
Fundamentalisme ; Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 2000, h. 84.
[2]Ahmad
Jainuri, Zainuddun Maliki, Syamsul Arifin,dkk, Terorisme & Fundamentalis
Agama, Malang : Bayumedia Publishing, 2003, cet.1.h. 4.
[3] William
Shepard, Fundamentalism Cristian and Islamic, dalam Studies in Religion 17,1
(1987) : 5.
[4] Jhon L.
Espito, Myth or Relity The Islamic Threat?, (Oxford University
Press, 1992). h. 7-8.
[5] Syahrin
Harahap,1997 : 238.
[6] Yusril
Ihza Mahendra,1993; 6-7.
[7] Dawam Raharjo, 1993:2.
[8] Abudin
Nata, Peta Keberagamaan Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), Cet. 1., h. 19.
[9] John L.
Esposito, Unholy War, terj. Arif Maftuhin, (Yogyakarta
: LKIS, 2002), h. 52.
[10]Fazlurrahman, ''Islam : Challenges and Oportunities,''
dalam Altford T.Welch dan Pierre Cachia (ed.), Islam and Past Influence and
Present Challenge, London
: Edinburgh University Press, 1979)
[11] Budi
Munawar Rahman, Islam Pluralis : Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta : Paramadina,
2001, cet.1, h.432.
[12]
Fazlurrahman : 1979: 23.
[13]Budi
Munawar Rahman ; 2001: 437-440.
[14] Akbar
S. Ahmed, Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam (Bandung: Mizan,
1994), 168.
[15] Ibid.,
169.
[16] Fazlur
Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago:
The University Press, 1984), 136.
[17]Marty E.
Martin dan R. Scott Appleby, Introduction: Fundamentalism Observed
(Chicago: University of Chicago Press, 1993), 25.
[18]
Bakhtiar dan Prasetyo, “Pengantar” …, xx.
[19] Ibid.,
240.
[20] Ibid.,
241.
[21]Ibid.,
242.
[22] Ibid.,
244-245.
[23] Yusuf
al-Qardawi, Ekstremisme dalam Wacana Islam, Islam Liberal, Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Isu-isu Global Charterkhurzman (ed.) (Jakarta: Paramadina, 2001), 319-320.
[24] Nata, Peta…..,
25.
[25] Ibid.,
26.
[26] Zada, Islam…..,
16-17. Lihat juga Bakhtiar Efendy dan Hendro Prasetyo, “Pengantar” dalam Fundamentalisisme,
1.
[27] Ibid.
[28] Ahmad
Jainuri, dkk, Terorisme..h. 166.
[29]
Kuntawijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), 49.
[30] Michael
Novak, Teologi Politik Fundamentalis (Yogyakarta:
Jendela, 2000), 137.
Jika berkenan mengcopy isi blog, mohon ijin kepada pemilik blog agar berkah. Amin
ReplyDelete