Fahrurrozi[1]
ABSTRAK
Sebagai institusi pendidikan formal
tertua di Indonesia, pesantren memiliki peranan penting dalam dinamika
masyarakat Islam. Pesantren telah berperan sebagai; 1) pusat transmisi
ilmu-ilmu keislaman; 2)menjaga keberlansungan tradisi Islam; dan 3) pusat
reproduksi ulama. Lombok, sebuah pulau di propinsi NTB yang dikenal dengan
sebutan “pulau seribu masjid” adalah sebuah wilayah yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Kehadiran Islam sebagai agama mayoritas di pulau Lombok tidak
hanya ditandai dengan tingginya antusiasme masyarakat dalam mendirikan tempat
ibadah berupa masjid dan mushalla, tetapi juga kehadiran banyak pondok pesantren.
Tercatat tak kurang dari 300 pondok pesantren yang tersebar di pulau kecil ini.
Untuk itu, mengkaji keberadaan pesantren dalam aspek peranannya di
tengah-tengah masyarakat tidak pernah usang untuk terus dikaji dan dianalisis.
A.
PENDAHULUAN
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial
kemasyarakatan telah memberikan warna dan corak khas dalam masyarakat
Indonesia, khususnya pedesaan. Pesantren tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat sejak berabad-abad, oleh karena itu, secara kultural lembaga ini
telah diterima dan telah ikut serta membentuk dan memberikan corak serta nilai
kehidupan kepada masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Figur kyai
(baca: Tuan Guru bahasa Sasak Lombok), santri serta seluruh perangkat fisik
dari sebuah pesantren membentuk sebuah kultur yang bersifat keagamaan yang
mengatur prilaku seseorang, pola hubungan dengan warga masyarakat. Dalam
keadaan demikian, produk pesantren lebih berfungsi sebagai faktor integratif
pada masyarakat dalam upaya menuju perkembangan pesantren.[2]
Dalam pengamatan selama
ini, lembaga pendidikan pesantren kelihatan mengalami semacam kebangkitan
setidaknya menemukan populiritas baru. Secara kualitatif jumlah pesantren
kelihatan meningkat berbagai pesantren baru muncul di mana-mana, tidak hanya di
Jawa, Sumatra, tetapi juga Lombok Nusa Tenggara Barat.[3] Sementara itu perkembangan fisik
bangunan pesantren juga mengalami kemajuan yang sangat observable.
Banyak pesantren di
berbagai tempat terutama Lombok, NTB mempunyai gedung-gedung atau bangunan yang
megah dan yang paling penting lagi sehat dan kondusif sebagai tempat
berlansungnya pendidikan yang baik. Dengan demikian, citra yang pernah
disandang pesantren sebagai kompleks bangunan yang reot dan tidak higienis
semakin pernah disandang pesantren seperti ditemukan di atas, mengindikasikan
terjadinya peningkatan kemampuan swadaya dan swadaya masyarakat muslim sebagai
hasil kemajuan ekonomi yang dicapai kaum muslimin dalam pembangunan.
Pembahasan masalah ini,
secara implisit menyarankan bahwa pesantren perlu mengkaji ulang secara cermat
dan hati-hati berbagai gagasan untuk mengorientasikan pesantren pada tantangan
kekinian sebab tidak mungkin orientasi
semacam itu akan menimbulkan implikasi negatif terhadap eksistensi dan fungsi
pondok pesantren itu sendiri. Harus dipahami bahwa dengan menyatakan hal ini,
tidak berarti pesantren harus tidak peduli sama sekali terhadap perkembangan
luar dunianya, sebaliknya dapat memproduksi calon ulama yang berwawasan luas.
B.
Sejarah Perkembangan Pondok
Pesantren di Lombok NTB
Di pulau Lombok, Nusa
Tenggara Barat pesantren sedikit banyak dipengaruhi oleh pesantren di pulau
Jawa, sebab dalam sejarah perkembangan Islam di Lombok diperkirakan pada abad
ke-16 yang dibawa oleh Sunan Prapen, putera Sunan Giri, salah seorang dari walisongo
di Jawa.[4] Di mana sebelumnya penduduk Lombok masih menganut faham Animisme.[5] Pada awalnya Islam masuk dengan
melalui adat Hindu yang dibawa oleh para wali dari Jawa, dengan bahasa
pengantar bahasa Jawa kuno. Hal ini terlihat dalam kitab-kitab lontar dan
silsilah raja-raja di Lombok yang ada hubungannya dengan penyebaran agama Islam
dari Jawa ke Indonesia
bagian timur. Perkiraan tersebut juga didasari oleh pendapat yang mengatakan
bahwa agama Islam dibawa ke Lombok oleh
Pangeran Sangepati.[6]
Tentang kehadiran
pesantren di Lombok pertama kalinya, dimana dan siapa pendirinya, tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti[7] tapi jika dilihat dari
perkembangan-perkembangan pesantren yang istilah bahasa lombok “ngaji,
Gerbung” dapat ditelusuri dari para tokoh Tuan Guru. Tuan Guru Lombok yang pernah mengembangkan dakwah Islam. Pada akhir abad 19 dan awal
abad 20 muncul tokoh-tokoh ulama (Tuan Guru) di Lombok seperti Tuan Guru H.
Umar kelayu, Lombok Timur, setelah bermukim di Makkah 10 tahun kemudian kembali
ke Lombok mengajarkan masalah-masalah aqidah dengan sistem “ngamarin”
(bahasa Sasak : jalan ke pelosok-pelosok
kampong) mengajarkan rukun syahadat, rukun iman, rukun ihsan,
dan tata cara thaharah, ini semua beliau lakukan dengan cara ngamarin
dan juga dengan cara ngaji tokol,(Sasak : memberikan bimbingan agama
dengan duduk bersila) di hadapan tuan guru, ngaji tokol (istilah bahasa
Sasak Lombok) ini biasa disebut oleh masyarakat Lombok dengan istilah bekerbung,
lalo mondok ngaji.
Tuan Guru yang melakukan
hal yang sama pada awal-awal abad ke 20 itu, antara lain, TGH. Musthafa
Sekarbela, Lombok Barat, TGH. Amin Sesela,
TGH. Abdul Hamid, Kediri Lombok
Barat, Tuan Guru H. Mas’ud Kopang Lombok Tengah, TGH. Ali Akbar Penendem, Lombok Timur. Para tokoh-tokoh tersebut sangat gigih
mendakwahkan Islam ke pelosok-pelosok kampung dan tidak ketinggalan mengadakan
pengajian di rumah masing-masing yang kebiasaan di rumah tokoh-tokoh tersebut
ada Beruga’ (langgar: Jawa), sekepat (langgar yang punya tiang
penyangga empat, sekenem (langgar yang punya tiang penyanggah enam)[8] di tempat-tempat inilah para santri
mengaji mulai dari mengaji masalah agama
dan lain-lain. Sistem pengajaran yang diterapkan oleh tuan guru-tuan guru
tersebut masih sangat sederhana dan tradisional, mengingat kondisi saat itu
masyarakat Lombok sangat terbelakang dan
premitif. Sistem seperti itu yang kemudian terkenal dengan sistem sorogan
(Jawa).
Pada perkembangan
selanjutnya, terjadi sedikit perubahan sistem pengajaran pasca tuan guru-tuan
guru periode awal (1889-1912) dan pada periode 1920-1930 yang secara langsung
dilanjutkan oleh penerus-penerusnya. Seperti,
Tuan Guru H. Badarul Islam, Pancor, Lombok Timur (putra TGH. Umar
Kelayu) TGH. Rais (Putera TGH. Musthafa) Sekarbela, TGH. Saleh dengan sebutan
Tuan Guru Lopan, TGH. M. Saleh Hambali Bengkel, Lombok
Barat, TGH. Abdul Hafizd Sulaiman, Kediri Lombok Barat, TGH.Mukhtar, Kediri
Lombok Barat. Perubahan yang signifikan pada periode ini adalah adanya sistem
pengajian melalui santren (musalla) yang didirikan di dekat rumah tuan
guru. Tapi materi pengajiannya tidak jauh beda dengan materi-materi yang
disampaikan oleh tuan guru terdahulu, Cuma ada perluasan pembahasan terhadap
materi-materi tauhid, usul fiqh dan mulai bersentuhan dengan pengajaran
gramatikal bahasa arab seperti nahwu, sharef.[9]
Perkembangan pesantren
mengalami perubahan sistem pada era 1930-an perubahan sistem pesantren mulai
dirintis pertama kali oleh tokoh kharismatik TGKH M. Zainuddin Abdul Majid, yang mendirikan
pesantren Darul Mujahidin tahun 1934 M. namun setelah penduduk Jepang, pesantren tersebut dibubarkan oleh penjajah
Jepang. Meskipun secara formal pesantren tersebut telah dibubarkan tapi dalam
aplikasi dan penerapan pengajaran tetap dilaksanakan oleh TGKH. Zainuddin Abdul
Majid, sehingga selang beberapa tahun TGKH. Zainuddin Abdul Majid mendirikan
madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) 15
Jumadil Akhir 1356 H bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M khusus untuk putra dan Madrasah Nahdlatul
Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) 15 Rabiul Akhir 1364 H bertepatan dengan 21
April 1943 M khusus untuk putri dan inilah madrasah pertama di daerah Lombok yang menggunakan pengajaran sistem
klasikal.[10] Dari dua madrasah inilah sebagai embrio berdirinya
organisasi masyarakat terbesar di NTB yang bernama organisasi Nahdlatul Wathan
(NW) pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 M bertepatan dengan 1 Maret 1953 M dan
sekaligus memiliki cabang di seluruh daerah Lombok dan untuk mengkoordinasi
pendidikan di lingkungan organisasi didirikan pesantren Darunnahdlatain NW
Pancor.[11]
Secara priodenisasi
dari tahun ketahun, TGKH M. Zainuddin Abd Majid memberikan peranan penting
dalam mencetak tokoh-tokoh pendiri pondok pesantren di Lombok NTB sebagai
berikut:
Murid-murid beliau
pada angkatan pertama dari NWDI tahun 1934-1938-an antara lain TGH. Mu’thi
Musthafa pendiri pondok pesantren al-Mujahidin Manben Lauq Lombok Timur, Ust Mas’ud Kelayu, ABU
Mu’minin,sedangkan angkatan kedua sekitar tahun 1939-1945-an yang terkenal antara
lain TGH. Najamudin Ma’mun Pendiri pondok pesantren Darul Mujahidin Praya,
Raden Tuan Sakra Pendiri pondok pesantren Nurul Islam Sakra,Ust Yusi Muhsin dan
angkatan ketiga sekitar tahun 1946-1949-an TGH. Dahmuruddin Pengasuh ponoes
Darunnahdlatain Pancor, TGH. Saleh Yahya Kemudian disusul pada angkatan
berikutnya sekitar 1950-1955 Yaitu Syeikh M Adnan kini menjadi syeikh di
Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah al-Mukarramah dan bermukim di sana, TGH. L.M Faishal Pendiri pondok
pesantren Manhal al-Ulum, Praya, dan satu-satunya murid beliau yang diberi
tugas dan amanat untuk menjadi pemgurus Nahdlatul Ulama (NU), sehingga NU masuk
keLombok tidak terlepas dari peranan TGKH M Zainiddin AM ,TGH. Zainal Abidin
Ali, pendiri pondok pesantren Manbaul Bayan Sakra Lombok Timur.[12]
Adapun murid-murid
angkatan kelima sekitar tahun 1955-1960-an terkenal pada era ini adalah TGH.
Afifuddin Adnan pendiri pondok pesantren al-Mukhtariyah Manben, TGH. M. Zainuddin
Mansyur,MA., TGH. ZAINI Pademare, TGH. Zainal Abidin Ali Sakra, Pendiri ponpes
Manbaul Bayan Sakra. Sedangkan angkatan
keenam sekitar tahun 1960-65-an TGH. L.
M Yusuf Hasyim,Lc., pendiri ponpes Dar
al-Nahdhoh NW Korleko Lombok Timur, TGH.
A.Syakaki, Pendiri ponpes Islahul Mu’minin Kapek Lombok Barat,TGH. M.Salehuddin
Ahmad, pendiri ponpes Darusshalihin NW Kalijaga, TGH. Ahmad Muaz, pendiri
ponpes Nurul Yakin Praya, TGH. Juaini Mukhtar pendiri ponpes Nurul
Haramain NW Narmada, TGH. Musthafa Umar
pendiri ponpes al-Aziziyah Kapek Pemenang dan lain-lain.
Peningkatan
pengembangan pondok pesantren banyak yang lahir dari angkatan terakhir
priodenisasi pengkaderan TGKH M Zainuddin Abd Majid dan sekaligus kader-kader
ini dijadikan sebagai asisten beliau dalam banyak kegiatan keagamaan sekaligus
sebagai penerus pasca meninggalnya syeikh Zainuddin antara lain, TGH.
Mustamiudin pendiri ponpes Suralaga, TGH. Habib Thanthawi, pendiri ponpes Dar
al-Habibi NW Bunut Baok Praya, TGH. Mahmud Yasin, Pendiri ponpes Islahul Ummah
NW Lendang Kekah Mantang, TGH. M.Ruslan Zain An Nahdli pendiri ponpes Darul
Kamal NW Kembang Kerang, Lombok Timur, TGH. M. Zahid Syarif pendiri ponpes
Hikmatussyarif NW Salut Narmada, TGH. Tajuddin Ahmad pendiri ponpes
Darunnajihin Bageknyale Rensing, TGH. L. Anas Hasyri pendiri ponpes Darul Abror
NW Gunung Raja’ Rensing, TGH. M.Yusuf Ma’mun pendiri ponpes Birrul Walidain,
TGH. M. Helmi Najamuddin pendiri ponpes Raudlatutthalibin Pao’Motong Masbagik,
TGH. Khaeruddin Ahmad, Lc., pendiri ponpes Unwanul Falah Pao’Lombok dan ratusan
pondok pesantren yang tersebar di pulau Lombok didirikan oleh alumnus-alumnus
pondok pesantern Darun Nahdlathain NW Pancor di bawah bimbingan TGKH M.
Zainuddin Abd Majid (w. thn 1997 M) dalam usia 102 tahun[13]
Rintisan TGKH M.Zainuddin
AM dengan orientasi baru, muncul TGH.
Musthafa Khalidi dan TGH.Ibrahim Khalidi, dua bersaudara mendirikan Pondok
Pesantren Al-Islahuddiny Kediri Lombok Barat sekitar Tahun 1940-an, pesantren
inilah yang kemudian mengembangkan sistem kepesantrenan ke arah yang tradisonal
menuju sistem klasikal, seperti yang pertama kali dirintis oleh TGH.M.Zainuddin
AM Pancor Lombok Timur. Pondok pesantren ini merupakan pesantren pertama yang
mengadopsi sistem klasikal dalam pengajarannya di kawasan Lombok Barat, baru
disusul oleh pesantren-pesantren berikutnya, seperti Nurul Hakim Kediri, dll.
Pada tahun berikutnya
para tokoh tuan guru dimasing-masing daerah termotivasi untuk mendirikan
madrasah sistem klasikal, dapat dilihat dari periodisasi tuan guru yang semasa
dengan TGKH. M. Zainuddin seperti TGH. Ibrahim mendirikan pondok pesantren
Islahuddin Kediri, TGH. Abdul Karim mendirikan
pondok pesantren Nurul Hakim, Kediri,
TGH. L. Abd Hafiz mendirikan pondok pesantren Selaparang, Kediri, TGH. Ibrahim
Lomban Lombok Tengah, TGH. Moh. Mutawalli,
Jerowaru Lombok Timur mendirikan pondok pesantren Darul Yatama wal Masakin.
Pada awal tahun 1970-an
pondok pesantren di Lombok NTB mengalami peningkatan yang signifikan baik dari
segi kuantitas dan kualitas, segi kuantitas maksudnya bertambah banyaknya
pondok pesantren, pondok pesantren yang di dirintis dan dibangun oleh para
penerus tokoh-tokoh tuan guru periode awal dan kedua, seperti pesantren Darul Muhajirin, Praya, Lombok Tengah, didirikan oleh TGH. Najmuddin
Ma’mun, Manhalul Ulum, Praya didirikan oleh TGH.L.M. Faishal, Manbaul
Bayan Sakra Lombok Timur didirikan oleh
TGH. Zaenal Abidin Ali. Semua pondok pesantren yang ada di Lombok merupakan hasil didikan para tokoh-tokoh tuan
guru periode awal dan kedua. Adapun segi kualitas dapat dilihat dari segi
pengembangan pondok pesantren dengan sistem
pendidikan yang berjenjang dari tingkat dasar (madrasah ibtidaiyah),
tingkat menengah (MTs) dan tingkat Aliyah (Aliyah/SMU). Bahkan ada yang
mengelola perguruan tinggi dan rata-rata
semua pondok pesantren mengelola jenjang pendidikan formal disamping informal.
Sedangkan pondok pesantren yang mengelola pendidikan jenjang perguruan tinggi
seperti, Pondok pesantren Darunnahdatain
Pancor mengelola IAIH NW Lombok Timur,STKIP. Pondok pesantren Syekh Zainuddin Anjani mengelola IAIH NW
Lombok Timur, Universitas NW Mataram,STMIK NW,
Pondok Pesantren Nurul Hakim mengelola Universitas Tuan guru Abdul Karim
(UNTAK) Kediri, STIT, pondok pesantren Qomarul Huda, mengelola IAI Ibrahimy,
STIKES.[14] Dengan pengembangan seperti ini
menandakan adanya perubahan sistem pesantren yang dulunya masih mengenal
istilah Gerbung, Ngaji Tokol, berubah menjadi pesantren formal
sesuai dengan perkembangan zaman namun tetap melestarikan tradisi-tradisi yang
baik dan relevan.
C. Tipologi Pondok Pesantren di Lombok NTB
Mengidentifikasi
perkembangan tipologi pondok pesantren yang jumlahnya ratusan dan tersebar luas
hampir di setiap pelosok daerah Nusa Tenggara Barat merupakan pekerjaan yang
tidak mudah. Dalam pola yang lamapun
terdapat berbagai macam tipologi, seperti sistem “Gerbung”[15], sistem Ngabdi[16], sistem Langgar[17] dan lain-lain. Sistem ini berbeda
karena perbedaan sistem kemasyarakatan daerah masing-masing. Begitu juga ada
yang dapat dikategorikan pesantren tarekat.[18] Ada pula pesantren yang terkenal dengan
pengajaran Nahwu dan Sharaf[19] atau mengutamakan pendalaman fiqh,
tasawuf dan lain-lain. Dengan demikian pada dasarnya tipologi pondok pesantren
di NTB sangat dipengaruhi oleh tipologi pemimpin-pemimpinnya (TG), para
pendukungnya, maupun sistem kemasyarakatan di sekeliling pondok pesantren
tersebut.
Di
samping itu, dilihat dari sudut tinggi rendahnya pendidikan dan pengajaran,
pondok pesantren di NTB dapat dikelompokkan ke dalam pesantren tingkat dasar,
menengah dan tinggi. Pengelompokan ini sejajar dengan medan pengaruh yang
dimiliki oleh masing-masing pesantren sehingga menurut ukuran pengaruhnya dalam
masyarakat tersebut pesantren-pesantren yang ada dapat dikelompokkan ke dalam
pesantren kecil, cakupan atau pesantren besar.
Tipologi pondok pesantren mau tidak mau harus selaras
dengan tipologi para pemimpin dan pendukungnya. Demikian pula kecenderungan
perkembangannya. Dulu sewaktu para pemimpin dan pendukungnya relatif lebih
homogen, maka pondok pesantren boleh dikatakan hanya mempunyai satu tipe, tidak
banyak memiliki perbedaan.[20] Hal ini disebabkan selain karena
tuntutan masyarakat terhadap isi pendidikan dalam lingkungan pesantren tidak
banyak dan masih sangat sederhana juga disebabkan karena pemimpin yang hampir
sama.
Kini,
masyarakat pendukung pondok pesantren sudah banyak berubah, sehingga banyak
memiliki tuntutan terhadap isi pendidikan pesantren yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan kelompok-kelompok yang semakin
beranekaragam aspirasi dan tuntutannya. Di samping itu aspirasi dan latar
belakang pendidikan dan sosial para pemimpin pesantren yang dikembangkannya
juga semakin berwarna-warni.[21]
Tumbuhnya
berbagai tipologi pondok pesantren di Lombok Nusa Tenggara Barat pada dewasa
ini merupakan manifestasi dari vitalitas lembaga untuk tetap berkembang di
tengah masyarakat dan bangsa yang sedang mengalami perubahan yang luar biasa.
Namun demikian, tidak semua tipe pendidikan pesantren yang masing-masing
mangikuti kecenderungan yang berbeda-beda.
Secara garis besar, lembaga-lembaga pesantren di Lombok, NTB dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar:
1. Pesantren Salafi,
yang tetap mempertahankan pengajian kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikan pesantren/sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan
yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum[22].
2. Pesantren Khalafi,
yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya,
atau membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren[23].
Perlu ditegaskan di sini
bahwa tipologi dari kecenderungan perkembangan pesantren ke dalam tipe salafi
dan khalafi tidaklah bersifat dikotomis dalam pengertian bahwa antara keduanya
tidak terjadi loncatan-loncatan dimana santri dari tipe pesantren salafi yang
telah menamatkan pelajarannya kemudian mengajar atau menyantri pada pesantren
khalafi. Sebaliknya para santri dari pesantren khalafi yang memerlukan
pendalaman dalam pengajian kitab-kitab seringkali menetap pada pesantren salafi
dalam waktu yang cukup lama.[24]
Hal yang cukup
menarik perhatian ialah adanya tipe pesantren salafi yang membuka cabang-cabang
pengajaran keilmuan material-profesional, tetapi tempat pengajaran tersebut
didirikan di luar komplek pesantren, atau karena kelompok pondok tersebut
berada di wilayah pinggiran perkotaan yang tersedia fasilitas pendidikan formal
dan modern yang cukup luas, para santri dipersilahkan atau dianjurkan untuk
merangkap belajar pada sekolah-sekolah formal dan modern yang cukup luas, para
santri dipersilahkan atau dianjurkan untuk merangkap belajar pada
sekolah-sekolah formal, sedang di dalam lingkungan komplek pesantren para
santrinya khusus belajar kitab-kitab Islam klasik.
Dalam proses perkembangan
dalam jangka panjang, tipe pesantren salafi akan semakin kurang jumlahnya,
tetapi peranannya justru akan tetap menonjol, khususnya memusatkan pendalaman
pengajaran kitab-kitab Islam klasik yang diikuti oleh sejumlah santri yang
terbatas justru akan menjadi investasi yang langka dan mahal dimana para
lulusannya akan merupakan sumber pengetahuan Islam bagi kalangan intelektual di
masa mendatang. Tentu saja ciri-cirinya akan berbeda dengan ciri yang
dimilikinya sekarang. Tipe-tipe pesantren takhassus semacam ini
nampaknya sudah mulai dikembangkan oleh beberapa pesantrendi Lombok NTB.[25]
Dalam kelompok pesantren
khalafi (modern) yang sekarang ini berkembang, dapat digolongkan ke dalam tiga
tipe besar, yaitu yang masih terbatas menambah pengajaran profesional dalam
bentuk latihan keterampilan. Karena pendidikan keterampilan sudah merupakan
bagian penting dalam keseluruhan tujuan pendidikan pesantren, maka pesantren
ini dapat dikategorikan sebagai pesantren modern (Khalafi).
Kelompok kedua
adalah pesantren yang sudah mengembangkan lembaga-lembaga madrasah, di mana
komponen pendidikan umum telah merupakan bagian penting dalam keseluruhan
sistem pendidikan pesantren. Tujuan pengembangan madrasah ini masih terbatas
pada kebutuhan agar para muridnya kelak dapat menentukan pilihan pengembangan
karirnya secara lebih baik dalam kehidupan modern, tetapi tetap diharapkan
menjadi orang yang dapat mendalami dan penganjur Islam yang potensial.[26]
Kelompok ketiga adalah
pesantren-pesantren yang telah mendirikan sekolah-sekolah umum. Tujuan yang
hendak dicapai melalui program pengembangan sekolah umum ini tentunya udah
lebih luas lagi daripada pesantren khalafi kelompok kedua, yaitu mempersiapkan
anak didik yang kelak sanggup melanjutkan ke Universitas umum dengan bobot
keislaman yang cukup memadai sehingga bila kelak menjadi sarjana, mereka akan
menjadi sarjana muslim yang cukup kuat keislamannya.[27]
Dalam
perkembangannya dalam jangka panjang, ketiga tipe pesantren khalafi tersebut
akan semakin besar jumlahnya, karena selain pesantren tipe seperti itu dianggap
dapat memenuhi kebutuhan kontemporer bagi generasi muda dan yang menarik dari
tipe pesantren khalafi seperti yang telah diuraikan di atas adalah adanya
kecenderungan untuk memperluas bangunan-bangunan fisik sebagai penunjang sistem
klasikalnya di luar maupun di dalam kelompok pesantren.
D. Kondisi Objektif Pondok Pesantren Di Lombok
Keberadaan pesantren di Lombok merupakan
fenomena yang menarik. Di pulau yang terkenal dengan sebutan “pulau seribu
masjid” ini berdiri dan berkembang lebih dari 300 buah pondok pesantren.[28] Jumlah ini lima kali lipat dari
jumlah pesantren yang berada di pulau Sumbawa, pulau yang secara geografis
lebih besar dibandingkan pulau Lombok. Banyaknya jumlah pesantren di Lombok
menunjukkan pola hubungan yang saling terkait antara peran tokoh agama dam hal
ini Tuan Guru, keinginan menjaga tradisi kebreagamaan dan kebutuhan akan terus
lahirnya Ulama di kalangan masyarakat.[29]
Selain menampilkan
kategori pondok seperti mukim dan tidak mukim, keberadaan pondok pesantren di
Lombok juga agak berbeda dengan apa yang terjadi di daerah lain seperti Jawa.
Jika di pulau Jawa sebagian besar pesantren berupa pesantren salafiyah
yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama secara “tradisional”, di Lombok sebagian
besar pondok pesantren memakai pola madrasah atau sekolah. Hampir semua
pesantren di Lombok menyelenggarakan kegiatan pendidikan mdel sekolah. Berbagai
jenjang pendidikan seperti madrasah dan sekolah umum diselenggarakan oleh
pesantren. Sulit ditemukan adanya pesantren “salaf’” murni di Lombok.
Kemunculan pesantren di
Lombok dengan sendirinya juga menyebabkan banyaknya jumlah madrasah di wilayah
ini. Jadi, jika berbicara soal pesantren, maka untuk konteks Lombok, tidak bisa
dilepaskan dengan persoalan madrasah. Hal ini sekali lagi semakin meneguhkan
hubungan antara pesantren, masjid, madrasah dan tuan guru.
Hanya saja, besarnya
jumlah pesantren dan madrasah tersebut, belum berdampak pada keseluruhan aspek
kehidupan masyarakat Lombok. Keberadaannya hanya menyentuh pada aspek kehidupan
beragama dan belum mengarah kepada perbaikan dan peningkatan aspek lain seperti
ekonomi, politik, dan bahkan budaya. Nuansa religiusitas masyarakat tinggi
belum berimbas pada perbaikan ranah yang lain. Kenyataan ini dapat dilihat dari
beberapa kasus terakhir yang terjadi di daerah ini seperti rendahnya kualitas
pendidikan jika diukur secara nasional, rendahnya tingkat kesehatan masyarakat
dan rendahnya daya beli masyarakat. Semua ini menunjukkan bahwa pesantren,
madrasah, dan masjid belum banyak berperan melakukan perbaikan pada aspek-aspek
kehidupan lain di luar kehidupan beragama. Meskipun, tentu saja bukan hanya
pesantren yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut, tetapi
paling tidak pesantren dapat mengambil peran-peran mediasi, atau advokasi untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.[30]
Memang banyak pesantren
di Lombok telah berhasil mengembangkan kegiatan tambahan berupa peningkatan
ekonomi dan kesejahteraan hidup. Dalam satu dasawarsa terakhir banyak pesantren
yang memiliki jenis usaha semisal koperasi, agrobisnis, peternakan, pertanian,
dan lain-lain. Untuk menyebut beberapa di antaranya misalnya yayasan pesantren
Darunnahdlatain NW Pancor Lombok Timur, Yayasan Pondok Pesantren Syeikh
Zainuddin NW Anjani Lombok Timur, Yayasan Pondok Pesantren Atthohiriyah
al-Fadhliyyah Bodak, Lombok Tengah, Yayasan Pondok Pesantren Nurul Haramain NW
Narmada Lombok Barat, Yayasan Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri Lombok Barat,
Pondok Pesantren Ishlahuddiniy Kediri Lombok Barat. Pesantren-pesantren
tersebut, secara akif mengembangkan usaha-usaha yang menjadi andalan
masing-masing dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kemajuan pondok
pesantren.
Hanya saja, semua cerita
sukses pesantren-pesantren tersebut belum bisa sepenuhnya dinikmati oleh
masyarakat sekitar pesantren secara luas. Belum banyak anggota masyarakat di
sekitar pesantren memiliki akses untuk bersama-sama terlibat dalam berbagai
unit usaha pesantren. Kegiatan-kegiatan tersebut pada umumnya dikerjakan dan dikelola para
pengurus pesantren yang nota bene keluarga dan kerabat dekat Tuan Guru. Jika ada
beberapa kegiatan yang dikelola bersama dengan masyarakat, umumnya keterlibatan
itu hany bersifat komplementer. Masyarakat tidak terlibat sejak awal secara
partisipatif. Ide dasar kegiatan biasanya berasal dari Tuan Guru. Selanjutnya
Tuan Guru lah -dengan kharismadan ketokohannya- yang berusaha mecari sumber
pendanaan hingga jaringan pemasaran produk. Dengan demikian akses atas
sumber-sumber informasi dan perubahan sosial tetap dimiliki elit pesantren.
Masyarakat tetap saja menjadi pihak ke sekian dalam proses transformasi sosial.
Masyarakat belum menjadi pemain pertama dalam pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat mengadaikan adanya partisipasi lansung dari semua elemen masyarakat. Pesantren diandaikan
sebatas menjadi fasilitator bukan subyek atau actor tunggal. Dengan demikian
gagasan, inovasi, tanggungjawab dapat muncul lansung dari masyarakat secara
kreatif dan partisipatif.[31]
E. Problematika
Pondok Pesantren di Lombok NTB
Secara general, dapat dikategorikan
beberapa problematika pondok pesantren di Indonesia, khususnya di Lombok NTB
sebagai berikut.
a. Problematika
Psikologis
Kemungkinan terlaksananya
suatu usaha pengembangan dan pembaharuan di kalangan pesantren adalah lebih
banyak tergantung pada kerelaan dan kesediaan para Tuan Guru (TG) untuk
melakukan perubahan dan inovasi pembaharuan. Hal ini menimbulkan kemungkinan
ganda yaitu usaha pembaharuan tersebut akan macet dan gagal atau bahkan tidak
menyentuh sama sekali apabila para tuan guru yang bersangkutan tidak
menghendakinya. Sebaliknya usaha pengembangan dan pembaharuan tersebut akan
mudah dilakukan, apabila tuan guru tersebut menghendaki atau memberikan
restunya. Dengan demikian, terlihat bahwa faktor komunikasi dan approach
sesungguhnya menempati posisi kunci dalam proses implementasi dari usaha
pembaharuan pesantren, terutama dalam hubungan bahwa ide pembaharuan tersebut
berasal dari luar pesantren yang bersangkutan. Ketertutupan para Tuan
Guru/Kiyai dan pesantren adalah faktor kunci sebagai akibat dari orientasi ke
akhiratan yang terlalu berat. Lain halnya apabila ide tersebut berasal dari
kyai atau kalangan pemimpin pesantren yang bersangkutan.[32]
b. Problematika
Politis
Seyogyanya dalam usaha
pengembangan dan pembaharuan pendidikan pondok pesantren, pendekatan dan
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politis tidak boleh terlalu
ditonjolkan, tetapi usaha-usaha pengembangan dan pembaharuan yang dilaksanakan
dalam bidang ini sejauh mungkin harus bersifat dan dirasakan sebagai “netral”
walaupun sesungguhnya program yang dijalankan oleh lembaga apapun tak akan
lepas dari implikasi politik selama hal itu menyangkut perubahan-perubahan
sosial.[33]
c. Problematika
Paedagogis
Selanjutnya, hambatan
lain yang sering dijumpai adalah problematika yang bersifat paedagogis,
khususnya dalam hubungannya dengan usaha pengembangan dan pembaharuan
kurikulum. Untuk mengintegrasikan pelajaran-pelajaran keterampilan ke dalam
struktur pengajaran yang dimiliki oleh pesantren secara menyeluruh ternyata
bukan suatu hal yang mudah. Tercantumnya mata-mata pelajaran keterampilan dalam
kurikulum pendidikan pesantren belum menjamin timbulnya keserasian dengan
mata-mata pelajaran lain. Hal ini karena pelajaran-pelajaran keterampilan ini
masih kurang menimbulkan rasa kewajiban bersama untuk mencapai sasaran konkrit
baik materil maupun ideal yang cukup mantap yang perlu dikerjakan
berpayah-payah. Untuk mengatasi hal ini, maka yang perlu ditempuh adalah usaha
menumbuhkan motivasi kerja produktif yang disemangati ajaran-ajaran agama
secara merata dan intensif. Di samping itu, memang perlu juga dipikirkan
bagaimana menimbulkan kerangka pemikiran tertentu (frame of mind) di
kalangan pesantren.[34]
d. Problematika
Pembiayaan
Problem
lain, yang juga sering menjadi hambatan dalam usaha pengembangan dan
pembaharuan pesantren adalah masalah pembiayaan. Dahulu pesantren didukung oleh
tanah wakaf dan subsidi masyarakat dalam soal-soal yang berhubungan dengan
pembiayaan. Hal semacam itu, pada masa dahulu merupakan satu kebiasaan sosial
karena itu tidak dilembagakan. Sekarang ini etik sosial semacam itu sudah sulit
untuk dikembangkan terutama dalam hubungannya dengan program-program
keterampilan yang memerlukan pembiayaan besar. Lebih-lebih mengingat kemampuan
ekonomi masyarakat pedesaan yang mendukung pesantren pada umumnya adalah dalam
kondisi lemah.[35]
e. Problematika
Kepemimpinan (Leadership)
Permasalahan yang sering terjadi pada
pondok pesantren adalah masalah kepemimpinan sebab pola kepemimpinan dalam
pesantren itu tidak terlepas dari tiga cara pandang yang berbeda.
Pertama, kepemimpinan dapat dipandang
sebagai kemampuan yang melekat dalam diri individu atau orang perorang. Hal ini
berarti aspek tertentu dari seseorang tidak memberikan sesuatu penampilan
berkuasa dan menyebabkan orang lain menerima perintahnya sebagai suatu yang
harus diakui. Individu yang memiliki kekuasaan tersebut diyakini mendapat
bimbingan wahyu, memiliki kualitas yang sakral dan menghimpun massa dari
masyarakat kebanyakan.[36]
Kepemimpinan
yang bersumber dari kekuasaan luar biasa itu disebut kepemimpinan karisma atau charismatic
autority.[37] Kepemimpinan jenis ini didasarkan
pada identifikasi psikologis seseorang dengan orang lain.
Kedua, kepemimpinan terletak bukan pada
diri kekuasaan individu, melainkan dalam jabatan atau status yang dipegang oleh
individu. Menurut Max Weber, kekuasaan yang bersandar pada tata aturan disebut legal
authority[38] artinya atoritas legal diwujudkan
dalam organisasi birokratis, tanggung jawab pemimpin dalam mengandalkan
organisasi tidak ditentukan penampilan kepribadian dan individu melainkan dari
prosedur aturan yang telah di sepakati. Unsur-unsur emosional di kesampingkan
dan diganti unsur rasional.
Pondok pesantren, dalam
hal ini amat sangat terkesan dengan kepemimpinan kharismatik dan tradisional
yang biasanya Max Weber menggunakan istilah authority: charismatic autority,
legal authority dan traditional authority.[39] Sehingga struktur masyarakat
tradisional seperti pondok pesantren akhirnya memiliki gambaran kepemimpinan
dengan gaya paternalistik baik dalam fungsi kepemimpinan maupun dalam corak
masyarakatnya. Masyarakat yang bercorak demikian, disebabkan oleh faktor-faktor
seperti kuatnya ikatan primordial, kehidupan masyarakat yang kumulalistik, peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam
kehidupan sehari-hari dan kokohnya hubungan pribadi yang lazim antara anggota
kumunitas dengan kumunitas yang lainnya serta adanya Extended Family System.[40]
Pada tahap-tahap pertama
berkembangnya sebuah pesantren memang diperlukan kepemimpinan dengan
sifat-sifat sedemikian itu, tetapi pada tahap-tahap selanjutnya banyak kerugian
yang ditimbulkannya.
Pertama, munculnya ketidakpastian dalam
perkembangan pesantren yang bersangkutan, karena semua hal bergantung kepada
keputusan pribadi sang pemimpin. Seringkali proses pengembangan yang
direncanakan dengan sadar harus terhenti tanpa dapat diselesaikan dengan tuntas,
hanya karena kepemimpinan yang ada kekurangan stamina untuk melanjutkannya,
atau sebab-sebab lain yang bersifat pribadi.
Kedua, sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga
pembantu (termasuk calon pengganti yang kreatif) untuk mencoba menerapkan
pola-pola pengembangan yang sekiranya tidak diterima oleh kepemimpinan yang
ada. Termasuk dalam kesulitan ini adalah sukarnya membuat perkiraan tentang
tanggapan yang akan diberikan oleh sang pemimpin atas suatu usulan apakah
tanggapan itu bersifat negatif atau positif.
Kesulitan seperti ini
menstimulus mereka untuk merencanakan pengembangan pola-pola baru. Salah satu
bentuk kesulitan ini adalah watak fasif yang
dimiliki pesantren dalam pengembangan dirinya, sehingga menunggu ajakan
dari luar saja. Itupun terkadang dilakukan tanpa pengertian penuh akan maksud
baik dan tujuan ajakan dari luar itu.
Ketiga, pola pengantar kepemimpinan
berlangsung secara tiba-tiba dan tidak direncanakan, sehingga lebih banyak
ditandai oleh sebab-sebab alami, seperti meninggalnya sang pemimpin secara
tiba-tiba. Pola pergantian pimpinan yang berlangsung secara demikian itu
seringkali membawa perbedaan pendapat dan saling berlawanan di antara
calon-calon pengganti. Upaya untuk mengganti perbedaan pendapat seringkali
mengambil waktu sangat panjang yaitu hingga tegaknya kepemimpinan karismatis
yang baru.
Keempat, terjadinya pembauran dalam
tingkat-tingkat kepemimpinan di pesantren untuk tingkat lokal, regional, dan
nasional. Seorang pemimpin pesantren yang mencapai peningkatan pengaruh sebagai
akibat semakin meluasnya daerah asal yang dijangkau oleh pola penerimaan santri
ke pesantrennya, seringkali tidak dapat mengimbangi peningkatan pengaruh itu
dengan peningkatan kualitas kepemimpinan yang sanggup melintasi perbedaan
tingkat-tingkat yang dihadapi. Cakrawala pemikirannya seringkali masih sangat
bersifat lokal, paling tinggi bersifat regional. Jarang ada yang mau memandang
kepada ufuk nasional dalam pengembangan pesantren, sehingga tidak banyak
meliputi pesantren yang dikelolanya sendiri atau pesantren-pesantren lain yang
ada disekelilingnya.[41]
F. PENUTUP
Pesantren diharapkan
tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisonalnya, yakni a) transmissi dan
transfer ilmu-ilmu Islam, b) Pemeliharaan tradisi Islam, dan c) Refroduksi
ulama. Dengan demikian respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam
dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat
Indonesia sejak awal abad ini mencakup:
·
Pembaruan substansi atau isi pesantren dengan
memasukkan subjek-subjek umum dan vocational.
·
Pembaruan metodologi seperti sistem klasikal dan penjenjangan.
·
Pembaruan kelembagaan seperti kepemimpinan pesantren
dan derivikasi lembaga pendidikan.
·
Pembaruan fungsi, dari semula hanya fungsi
kependidikan, kemudian dikembangkan
sehingga mencakup fungsi sosial dan ekonomi.
Pondok pesantren di
Lombok secara kuantitatif dapat dikategorikan sebagai pesantren yang menjamur
di setiap pelosok, tapi secara kualitatif pondok pesantren di Lombok NTB masih
membutuhkan pemikiran dan pemberdayaan yang konprehensif, sebab peranan pondok
pesantren di Lombok sangat memberikan pengaruh yang significant terhadap
pengembagan ajaran Islam dan
pemberdayaan masyarakat, meskipun belum maksimal.
BIBLIOGRAFI
Bartholomen, John Ryan, Alif Lam Mim
: Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian Kampung,
1999, Cet.1.
Bartholomen, John Ryan, Alif Lam Mim
: Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 2001), Cet.1.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan
Hidup Kyai, ( Jakarta: LP3ES,1984)
Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kyai
Pesantren, Kyai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 1999), Cet. I.
Haiman, Franklin S. Leadership
and Democratic Action, (Houghton: Mifflin Company, 1951)
Harapandi, Pemikiran Pembaharuan TGKH. Muhammad Zaenuddin
Abdul Majid, (Tesis), (Jakarta: IAIN, t.p, 1999)
Litbang: Diskripsi Aliran Kepercayaan Wetu Telu di Pulau
Lombok, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1979).
Majid, Nurkholis, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah potret
Perjalanan, pada Bab II Pesantren Dalam Perkembangan Politik Kita, Analisis
Konfaratif, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I. h. 73-84
Maksum, Madrasah: Sejarah Perkembangan, (Jakarta:
Logos, 1999), Cet. I
Nasih, Ahmad Munjid, Kajian
Fiqh Sosial Dalam Bahtsul Masail Studi Kasus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri,
(Jakarta: Inis, 2002).
Nu’man,
Abd Hayyi, dan Sahafari
Ays’ari, Nahdlatul Wathan: Organisasi Pendidikan, Sosial, dan Dakwah, Lombok: Toko Buku Kita, 1988, Cet. 1.
Purbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi
Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976)
Salam, Solichin, Lombok Pulau Perawan: Sejarah dan Masa
Depannya, (Jakarta: Kuning Mas, 1992)
Suprapto, Pesantren
dan Pemberdayaan Masyarakat : Menimbang Aktifitas Dakwah bi al-Hal Pesantren di
Lombok, dalam Jurnal Tasamuh, Fakultas Dakwah IAIN Mataram, Vol. 4, Nomor
1, Desember 2006.
Thoha, Zainal Arifin, Runtuhnya Singgasana Kyai: NU
Pesantren Dan Kekuasaan, Pencarian Tak Kunjung Usai, pada Bab Pesantren
sebagai pendidikan Alternatif, (Yogyakarta: Kutub, 2007), Cet. II.
Weber, Max, The Theory of Social and Economic
Organization, (New York: The Free Press 1966)
Weber, Max, Economy and Society, 1, (London:
University of California Press, Berkeley, Los Angeles 1978).
Yayasan Bahkti Wawasan Nusantara 1992). Profil Propinsi Nusa
Tenggara Barat, (Jakarta: Pemrakarsa)
Yasmedi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurkholis Majid
Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet.
1.
Ziamek, Mamfred, Pesantren
Dalam Perubahan Sosial, Butce B. Soenjono, pent., (Jakarta: LP3ES, 1985).
[1]
Penulis adalah Dosen IAIN Mataram NTB dan Pengasuh Pondok Pesantren
Darunnajihin Nahdlatul Wathan Bagek Nyala Gunung Rajak Kec. Sakra Barat Lombok
Timur NTB.E-mail : roziqi_iain@yahoo.co.id.
CP: 081803669310
[2]
Perkataan pesantren berasal dari
kata santri, dengan awalan pe, dan akhiran an, berarti '“tempat
tinggal santri” (Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang
Pandangan Hidup Kyai, ( Jakarta: LP3ES,1984), h. 18. Soegarda juga menjelaskan, pesantren berasal
dari kata santri, yaitu seorang yang belajar agama Islam, dengan demikian
pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk mempelajari agama Islam,
(Soegarda Purbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta:
Gunung Agung, 1976), h. 223. Mamfred
Ziemik menyebutkan bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pe-santri –an “tempat
santri”. Santri atau murid umumnya sangat berbeda-beda dalam mendapatkan
pelajaran dari pimpinan pesantren (Kyai/TGH) dan oleh para guru pelajaran
mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam. (Mamfred Ziamek, Pesantren
Dalam Perubahan Sosial, Butce B. Soenjono, pent., (Jakarta: LP3ES, 1985),
hal. 18. Prof Johan berpendapat bahwa santri berasal dari bahasa Tamil, yang
berarti “guru ngaji”, sedangkan C. Cberg berpendapat istilah santri
dalam bahasa India berarti “orang yang tahu buku-buku agama Hindu” dan
kata santri berasal dari kata shastra berarti buku suci, buku-buku agama dan
ilmu pengetahuan. (Zamakhsari Dhofier, op.cit., h. 18)
[3]
Nusa Tenggara Barat yang dibatasi
oleh Selat Lombok di sebelah Barat, Selat Sape di sebelah Timur, Laut Jawa di
sebelah Utara dan Samudra Indonesia di sebelah Selatan (Yayasan Bahkti Wawasan
Nusantara 1992). Profil Propinsi Nusa Tenggara Barat, (Jakarta:
Pemrakarsa). h. 6, dan wilayah NTB terdiri dari daerah Lombok yang meliputi
daerah Kodya Mataram,Kabupaten Lombok Barat, lombok Tengah, Lombok Timur, serta
daerah Sumbawa yang meliputi daerah Kabupaten Sumbawa Besar, Kabupaten Dompu,
dan Kabupaten Bima.
[4] Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan: Sejarah dan Masa Depannya,
(Jakarta: Kuning Mas, 1992), h. 4.
[5] Animisme, dalam paham ini
terkandung maksud bahwa semua benda bernyawa maupun tidak layak memiliki roh.
Faham ini berasal dari kata latin anime yang berarti jiwa sungguh mereka
bukanlah roh sebagaimana masyarakat primitif serupa ini telah percaya kepada
roh, roh itu bagi mereka bukanlah roh sebagaimana masyarakat primitif lainnya,
mereka juga belum bisa membedakan antara apa yang seharusnya disebut materi dan
apa yang disebut roh (Baca Nasution: Falsafah
Agama, 1987: 26)
[6] Sangepati adalah seorang murid
dari walisanga yang diakui sebagai peletak dasar pertama agama Islam di pulau
Jawa. Sangepati ditafsirkan dengan “sange” artinya sembilan “pati” artinya
empat hal tersebut mengisyaratkan bahwa Islam masuk ke pulau Lombok pada tahun
904 Hijriyah, bertepatan dengan tahu 1538 masehi. Sangepati sendiri menurut
sebagian besar pendapat bukan nama sebenarnya sebab dalam perjalanan
selanjutnya ia bernama Sunan Semeru dan dalam perjalan pulang ke Jawa melalui Bali ia memakai nama Pande Wau Rauh, dan setelah sampai
di jawa ia memakai Haji Duta (lihat, Harapandi, Pemikiran Pembaharuan TGKH.
Muhammad Zaenuddin Abdul Majid, (Tesis), (Jakarta: IAIN, t.p, 1999), h. 10
[7] Ada
beberapa pendapat tentang peletak dasar agama Islam di Pulau Lombok seperti
Syekh Ali Fatwa yang berasal dari Bagdad. Beliau tinggal di dekat gunung
Rinjani, dan diperkirakan di daerah Sembalun. Diantaranya juga terungkap
seseorang yang bernama Petung Anunggul ia juga memakai naman Sunan Alelana yang
berarti pengelana, namun sebenarnya adalah Raden Mas Karta Jagat, nama lain
juga diperkirakan sebagai peletak dasar agama Islam di pulau Lombok adalah
“Raden Nor Pakel”, dari dialah muncul tiga orang pimpinan Islam di pulau Lombok
yaitu: Penghulu kiyai Gading atau Guni Tepun, Guru Deriah dan Guru Mas Mirah.
Lebih lanjut dikatakan bahwa selain dari nama–nama tersebut di atas ada
beberapa nama yang juga terhitung sebagai peletak dasar Agama Islam di Pulau Lombok,
seperti Sunan Guru Makassar yang nama
aslinya adalah Sangsurima Alam bersama-sama dengan putrinya NI Demi
Sukarren yang berasal dari Sulawesi. Disamping itu juga terdapat agama Islam
mereka berasal dari Sumatra yaitu; Jatisuara,
Kiai Serimbang, Eman Beret. (Litbang: Diskripsi Aliran Kepercayaan Wetu Telu
di Pulau Lombok, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 1979), h. 22-23. Sebagaimana juga telah dikutip oleh,
Harapandi, Ibid, h. 8-9.
[8]Istilah Beruga’, Sekepat,
Sekenan, memang sudah terkenal sejak zaman penjajahan Bali, sebab miniatur Beruga
dan sejenisnya dengan arsitek orang-orang Hindu dan biasanya tempat ini
digunakan untuk menjamu tamu, melihat kebiasaan masyarakat yang biasa duduk di Beruga
(langgar: Jawa), para tokoh tuan guru memberikan pengajian di tempat itu.
[9] TGH. M. Ruslan Zain Annahdly,
Pimpinan Ponpes Darul Kamal NW Kembang Kerang, Lotim, Wawancara Pribadi,
Lombok, 21 Maret, 2007.
[10] Abd Hayyi Nu’man dan Sahafari
Ays’ari, Nahdlatul Wathan: Organisasi Pendidikan, Sosial, dan Dakwah, Lombok: Toko
Buku Kita, 1988, Cet. 1, h. 91
[11] TGH.Mamud Yasin, Pimpinan
Ponpes Islahal-Ummah Lendang Kekah, Mantang. Wawancara Pribadi, Lombok, 22 Maret 2007
[12]
TGH. Zainal Abidin Ali, Dewan
Pertimbangan FKSPP NTB/Pengasuh ponpes Manbaul Bayan Sakra, Wawancara
Pribadi, Sakra, 24 April 2007.
[13]
TGH. L.Anas Hasyri, Pengasuh ponpes Dar Al-Abror NW Gunung Raja’, Wawancara
Pribadi, Rensing 13 Maret 2007 dan TGH. Tajuddin Ahmad, Pengasuh Ponpes
Darunnajihin Bagek Nyale, Wawancara Pribadi,15 Maret 2007
[14] Mardin Abdul Malik, Drs. H.,
Ketua Umum FKSPP Lombok Timur, Wawancara Pribadi, Lombok,
26 Maret 2007
[15] Sistem Gerbung: santri yang
menyantri di rumah Tuan Guru/kiyai dengan membawa peralatan tempat tinggal dari
rumah santri, kemudian didirikan didekat rumah Tuan Guru/Kiyai dengan bangunan
seadanya. Sistem gerbung ini biasa dilakukan oleh para santri tahun 1925-an.
[16] Sistem Ngabdi: cara ini
dilakukan dengan tinggal di rumah Kyai/Tuan Guru semata-mata mengabdi dan
melayani Kiyai/Tuan Guru dalam kehidupan sehari-harinya, seperti memijatnya,
mencuci pakaiannya dan lain-lain dengan mengharap barokah dari Kiyai/Tuan Guru.
[17] Sistem Langgar: santri
mendapatkan pengajian/ilmu dari tuan guru di langgar tempat tuan guru istirahat,
duduk dan terkadang dijadikan sebagai tempat shalat, tempat anak-anak mengaji
al-Qur’an.
[18] Tipologi pesantren yang
mensfesifikasikan dalam kajian tarekat yang lebih terkenal dengan pesantren
tarekat seperti ponpes Yadama asuhan TGH. Mutawalli Jerowaru Lombok
Timur.
[19] Pesantren yang lebih
berorientasi pada pendalaman ilmu nahwu dan sharaf seperti pesantren Nahdhatul
Wathan khususnya ponpes Darun Nahdhathain secara umum, pesantren Arraisiyah
Sekarbela, pesantren Ibrahim di Lombok Tengah, pesantren Ishlahuddin Kediri,
pesantren Yusuf Abdussattar, Kediri.
[20] Tipe pesantren yang
berorientasi pada pendalaman fiqh seperti pondok pesantren Selaparang-Kediri
yang terkenal dengan tokoh ahli fiqh, yaitu TGH. L. Abd Hafizh Sulaiman, juga
pondok pesanten Manbaul Ulum, Pimpinan TGH. Zainal Abidin Ali, Sakra Lotim.
[21] Pendidikan para pemimpin pondok
pesantren di Lombok kebanyakan alumnus Timur Tengah seperti Madrasah
Assaulatiyah, Madrasah Darul Ulum, Makkah Madrasah Ummul Quro, Makkah dan
informal di Masjid al-Haram, begitu juga dari al-Azhar Cairo, Libia, Madinah
dan rata-rata pendidikan para pemimpin pondok pesantren adalah setingkat
madrasah Aliyah.
[22] Lihat buku Maksum, Madrasah:
Sejarah Perkembangan, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. I h. 79, pada bab IV, Pertumbuhan Madrasah
di Indonesia, sebagai perbandingan.
[23] Lihat Tabel kitab-kitab yang
populer dipelajari di Pondok Pesantren (terlampir).
[24] Yasmedi, Modernisasi
Pesantren: Kritik Nurkholis Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press,
2002), cet. 1. h. 70
[25] Pesantren Nahdlatul Wathan,
Mendirikan Ma’had Darul Qur’an Wa al-Hadits al-Majidiyah al-Syaffi’iyah,
sebagai lembaga yang khusus mengkaji kitab kuning. Kemudian ponpes Islahuddin
Kediri mendirikan Ma’had Aly al-Islahuddiny dan Pondok Pesantren Nurul Hakim
Kediri mendirikan Ma’had Ali al-Salafi.
[26] Pola ini telah dikembangkan
oleh pondok pesantren Nurul Haromain NW Narmada dengan mengembangkan sistem
komputerisasi dan penggunaan Bahasa Arab dan Inggris di dalam Asrama, dan
pengajaran bahasa Inggris melalui pengiriman santri ke Pare Kediri Jawa Timur
tiap semester untuk mempelajari Bahasa Inggris secara intensif.
[27] Pengiriman santri yang
berprestasi selalu dilaksanakan oelh pesantren-pesantren besar, seperti
pesantren Nahdlatul Wathan, mengirim santri belajar ke tanah suci Makkah di
Madrasah Assaulatiyyah, Madrasah Darul Ulum, Ummul Qura dengan tujuan
sekembalinya dari tanah suci diharapkan menjadi tenaga pengajar di pondok
pesantren NW. begitu juga pondok pesantren Nurul Hakim mengirim santrinya ke
LIPIA Jakarta, Universitas Madinah, Jami’ah Islamiyah Madinah, Mesir, Yordan dan
negara Timur Tengah lainnya, sehingga dapat dilihat prestasi pondok pesantren
yang tetap mengadakan kaderisasi dalam bidang pendidikan sangat baik dan
bermutu.
[28]
Sumber
Data Emis Departemen Agama NTB, 2005 Kota Mataram 22 Ponpes Kab. Lombok Barat
72 Ponpes Kab. Lombok Tengah 87 Ponpes Kab. Lombok Timur 115 Ponpes Kab.
Sumbawa 16 Ponpes Kab. Dompu 22 Ponpes Kab. Bima 26 Ponpes. Dalam data 2005 Kanwil Depag
NTB, Lombok Barat dengan Jumlah Masjid 829, Lombok Tengah 1229 masjid, Lombok
Timur, 1.574 masjid, kota Mataram, 225 masjid.
John Ryan Bartholomen mengatakan bahwa
bila Lombok dicap sebagai ''sebuah pulau dengan 1000 masjid'' yang mungkin
meremehkan keberadaan sejumlah masjid kecil di pulau tersebut, pesannya jelas,
Lombok sangat terkenal di Indonesia sebagai sebuah tempat Islam diterima secara
serius dan tipe Islam yang dipraktekkan di sana pada umumnya agak kaku dan
bentuknya ortodoks bila dibandingkan dengan kebanyakan daerah lain di Negara
ini. Lengkapnya baca, John Ryan Bartholomen, Alif Lam Mim : Reconciling
Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian Kampung, 1999, Cet.1. dalam
edisi bahasa Indonesianya, Alif Lam Mim : Kearifan Masyarakat Sasak,
(Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 2001), Cet.1, h. 86
[29]
Suprapto, Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat : Menimbang Aktifitas
Dakwah bi al-Hal Pesantren di Lombok, dalam Jurnal Tasamuh, Fakultas Dakwah
IAIN Mataram, Vol. 4, Nomor 1, Desember 2006, h. 105.
[30]
Suprapto, Pesantren..h.106
[31]
Suprapto, Pesantren, h. 106-197
[32] Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya
Singgasana Kyai: NU Pesantren Dan Kekuasaan, Pencarian Tak Kunjung Usai,
pada Bab Pesantren sebagai pendidikan Alternatif, (Yogyakarta:
Kutub, 2007), Cet. II, h. 35-37
[33] Nurkholis Majid, Bilik-bilik
Pesantren, Sebuah potret Perjalanan, pada Bab II Pesantren Dalam
Perkembangan Politik Kita, Analisis Konfaratif, (Jakarta: Paramadina, 1997),
cet. I. h. 73-84, (sebagai kajian).
[34] A. Malik Fadjar, Madrasah
Dan Tantangan Modernitas, dalam Bab Tantangan dan prospek Madarasah, (kasus
madrasah ibtidaiyah), h. 34 sebagai
bahan perbandingan
[35] Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara
Umat: Kyai Pesantren, Kyai Langgar di Jawa, Pada Bab 7: Pesantren: Lembaga
Pendidikan dan Pusat Ortodok Islam pada HAM, Sumber Ekonomi dan Kehidupan
sehari-hari di Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 1999), Cet. I, h. 151-154, sebagai
perbandingan dalam menganalisa
[36] Franklin S. Haiman, Leadership
and Democratic Action, (Houghton: Mifflin Company, 1951), h. 19.
[37] Max Weber, The Theory of
Social and Economic Organization, (New York: The Free Press 1966), h. 358.
[38] Ibid, h. 328.
[39] Max Weber, Economy and
Society, 1, (London: University of California Press, Berkeley, Los Angeles
1978), h. 217.
[40] Sumamto, op.cit., h. 3
[41] Ahmad Munjid Nasih, Kajian
Fiqh Sosial Dalam Bahtsul Masail Studi Kasus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, (Jakarta:
Inis, 2002),h. 1
terima kasih kajiannya
ReplyDelete