Monday, September 14, 2015

EKSISTENSI PONDOK PESANTREN DI LOMBOK NUSA TENGGARA BARAT



Fahrurrozi[1]
ABSTRAK
Sebagai institusi pendidikan formal tertua di Indonesia, pesantren memiliki peranan penting dalam dinamika masyarakat Islam. Pesantren telah berperan sebagai; 1) pusat transmisi ilmu-ilmu keislaman; 2)menjaga keberlansungan tradisi Islam; dan 3) pusat reproduksi ulama. Lombok, sebuah pulau di propinsi NTB yang dikenal dengan sebutan “pulau seribu masjid” adalah sebuah wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kehadiran Islam sebagai agama mayoritas di pulau Lombok tidak hanya ditandai dengan tingginya antusiasme masyarakat dalam mendirikan tempat ibadah berupa masjid dan mushalla, tetapi juga kehadiran banyak pondok pesantren. Tercatat tak kurang dari 300 pondok pesantren yang tersebar di pulau kecil ini. Untuk itu, mengkaji keberadaan pesantren dalam aspek peranannya di tengah-tengah masyarakat tidak pernah usang untuk terus dikaji dan dianalisis.




A.    PENDAHULUAN

Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial kemasyarakatan telah memberikan warna dan corak khas dalam masyarakat Indonesia, khususnya pedesaan. Pesantren tumbuh dan berkembang bersama masyarakat sejak berabad-abad, oleh karena itu, secara kultural lembaga ini telah diterima dan telah ikut serta membentuk dan memberikan corak serta nilai kehidupan kepada masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Figur kyai (baca: Tuan Guru bahasa Sasak Lombok), santri serta seluruh perangkat fisik dari sebuah pesantren membentuk sebuah kultur yang bersifat keagamaan yang mengatur prilaku seseorang, pola hubungan dengan warga masyarakat. Dalam keadaan demikian, produk pesantren lebih berfungsi sebagai faktor integratif pada masyarakat dalam upaya menuju perkembangan pesantren.[2]
Dalam pengamatan selama ini, lembaga pendidikan pesantren kelihatan mengalami semacam kebangkitan setidaknya menemukan populiritas baru. Secara kualitatif jumlah pesantren kelihatan meningkat berbagai pesantren baru muncul di mana-mana, tidak hanya di Jawa, Sumatra, tetapi juga Lombok Nusa Tenggara Barat.[3] Sementara itu perkembangan fisik bangunan pesantren juga mengalami kemajuan yang sangat observable.
Banyak pesantren di berbagai tempat terutama Lombok, NTB mempunyai gedung-gedung atau bangunan yang megah dan yang paling penting lagi sehat dan kondusif sebagai tempat berlansungnya pendidikan yang baik. Dengan demikian, citra yang pernah disandang pesantren sebagai kompleks bangunan yang reot dan tidak higienis semakin pernah disandang pesantren seperti ditemukan di atas, mengindikasikan terjadinya peningkatan kemampuan swadaya dan swadaya masyarakat muslim sebagai hasil kemajuan ekonomi yang dicapai kaum muslimin dalam pembangunan.
Pembahasan masalah ini, secara implisit menyarankan bahwa pesantren perlu mengkaji ulang secara cermat dan hati-hati berbagai gagasan untuk mengorientasikan pesantren pada tantangan kekinian  sebab tidak mungkin orientasi semacam itu akan menimbulkan implikasi negatif terhadap eksistensi dan fungsi pondok pesantren itu sendiri. Harus dipahami bahwa dengan menyatakan hal ini, tidak berarti pesantren harus tidak peduli sama sekali terhadap perkembangan luar dunianya, sebaliknya dapat memproduksi calon ulama yang berwawasan luas.

B.     Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Lombok NTB
Di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat pesantren sedikit banyak dipengaruhi oleh pesantren di pulau Jawa, sebab dalam sejarah perkembangan Islam di Lombok diperkirakan pada abad ke-16 yang dibawa oleh Sunan Prapen, putera Sunan Giri, salah seorang dari walisongo di Jawa.[4] Di mana sebelumnya penduduk Lombok masih menganut faham Animisme.[5] Pada awalnya Islam masuk dengan melalui adat Hindu yang dibawa oleh para wali dari Jawa, dengan bahasa pengantar bahasa Jawa kuno. Hal ini terlihat dalam kitab-kitab lontar dan silsilah raja-raja di Lombok yang ada hubungannya dengan penyebaran agama Islam dari Jawa ke Indonesia bagian timur. Perkiraan tersebut juga didasari oleh pendapat yang mengatakan bahwa agama Islam dibawa ke Lombok oleh Pangeran Sangepati.[6]
Tentang kehadiran pesantren di Lombok pertama kalinya, dimana dan siapa pendirinya,  tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti[7] tapi jika dilihat dari perkembangan-perkembangan pesantren yang istilah bahasa lombok “ngaji, Gerbung” dapat ditelusuri dari para tokoh Tuan Guru. Tuan Guru Lombok  yang pernah mengembangkan  dakwah Islam. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 muncul tokoh-tokoh ulama (Tuan Guru) di Lombok seperti Tuan Guru H. Umar kelayu, Lombok Timur, setelah bermukim di Makkah 10 tahun kemudian kembali ke Lombok mengajarkan masalah-masalah aqidah dengan sistem “ngamarin” (bahasa Sasak :  jalan ke pelosok-pelosok kampong) mengajarkan rukun syahadat, rukun iman, rukun ihsan, dan tata cara thaharah, ini semua beliau lakukan dengan cara ngamarin dan juga dengan cara ngaji tokol,(Sasak : memberikan bimbingan agama dengan duduk bersila) di hadapan tuan guru, ngaji tokol (istilah bahasa Sasak Lombok) ini biasa disebut oleh masyarakat Lombok dengan istilah bekerbung, lalo mondok ngaji.
Tuan Guru yang melakukan hal yang sama pada awal-awal abad ke 20 itu, antara lain, TGH. Musthafa Sekarbela, Lombok Barat, TGH. Amin Sesela, TGH. Abdul Hamid, Kediri Lombok Barat, Tuan Guru H. Mas’ud Kopang Lombok Tengah, TGH. Ali Akbar Penendem, Lombok Timur. Para tokoh-tokoh tersebut sangat gigih mendakwahkan Islam ke pelosok-pelosok kampung dan tidak ketinggalan mengadakan pengajian di rumah masing-masing yang kebiasaan di rumah tokoh-tokoh tersebut ada Beruga’ (langgar: Jawa), sekepat (langgar yang punya tiang penyangga empat, sekenem (langgar yang punya tiang penyanggah enam)[8] di tempat-tempat inilah para santri mengaji mulai  dari mengaji masalah agama dan lain-lain. Sistem pengajaran yang diterapkan oleh tuan guru-tuan guru tersebut masih sangat sederhana dan tradisional, mengingat kondisi saat itu masyarakat Lombok sangat terbelakang dan premitif. Sistem seperti itu yang kemudian terkenal dengan sistem sorogan (Jawa).
Pada perkembangan selanjutnya, terjadi sedikit perubahan sistem pengajaran pasca tuan guru-tuan guru periode awal (1889-1912) dan pada periode 1920-1930 yang secara langsung dilanjutkan oleh penerus-penerusnya. Seperti,  Tuan Guru H. Badarul Islam, Pancor, Lombok Timur (putra TGH. Umar Kelayu) TGH. Rais (Putera TGH. Musthafa) Sekarbela, TGH. Saleh dengan sebutan Tuan Guru Lopan, TGH. M. Saleh Hambali Bengkel, Lombok Barat, TGH. Abdul Hafizd Sulaiman, Kediri Lombok Barat, TGH.Mukhtar, Kediri Lombok Barat. Perubahan yang signifikan pada periode ini adalah adanya sistem pengajian melalui santren (musalla) yang didirikan di dekat rumah tuan guru. Tapi materi pengajiannya tidak jauh beda dengan materi-materi yang disampaikan oleh tuan guru terdahulu, Cuma ada perluasan pembahasan terhadap materi-materi tauhid, usul fiqh dan mulai bersentuhan dengan pengajaran gramatikal bahasa arab seperti nahwu, sharef.[9]
Perkembangan pesantren mengalami perubahan sistem pada era 1930-an perubahan sistem pesantren mulai dirintis pertama kali oleh tokoh kharismatik TGKH M.  Zainuddin Abdul Majid, yang mendirikan pesantren Darul Mujahidin tahun 1934 M. namun setelah penduduk Jepang,  pesantren tersebut dibubarkan oleh penjajah Jepang. Meskipun secara formal pesantren tersebut telah dibubarkan tapi dalam aplikasi dan penerapan pengajaran tetap dilaksanakan oleh TGKH. Zainuddin Abdul Majid, sehingga selang beberapa tahun TGKH. Zainuddin Abdul Majid mendirikan madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) 15 Jumadil Akhir 1356 H bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M  khusus untuk putra dan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) 15 Rabiul Akhir 1364 H bertepatan dengan 21 April 1943 M khusus untuk putri dan inilah madrasah pertama di daerah  Lombok yang menggunakan pengajaran sistem klasikal.[10] Dari dua  madrasah inilah sebagai embrio berdirinya organisasi masyarakat terbesar di NTB yang bernama organisasi Nahdlatul Wathan (NW) pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 M bertepatan dengan 1 Maret 1953 M dan sekaligus memiliki cabang di seluruh daerah Lombok dan untuk mengkoordinasi pendidikan di lingkungan organisasi didirikan pesantren Darunnahdlatain NW Pancor.[11]
Secara priodenisasi dari tahun ketahun, TGKH M. Zainuddin Abd Majid memberikan peranan penting dalam mencetak tokoh-tokoh pendiri pondok pesantren di Lombok NTB sebagai berikut:
Murid-murid beliau pada angkatan pertama dari NWDI tahun 1934-1938-an antara lain TGH. Mu’thi Musthafa pendiri pondok pesantren al-Mujahidin Manben Lauq  Lombok Timur, Ust Mas’ud Kelayu, ABU Mu’minin,sedangkan angkatan kedua sekitar tahun 1939-1945-an yang terkenal antara lain TGH. Najamudin Ma’mun Pendiri pondok pesantren Darul Mujahidin Praya, Raden Tuan Sakra Pendiri pondok pesantren Nurul Islam Sakra,Ust Yusi Muhsin dan angkatan ketiga sekitar tahun 1946-1949-an TGH. Dahmuruddin Pengasuh ponoes Darunnahdlatain Pancor, TGH. Saleh Yahya Kemudian disusul pada angkatan berikutnya sekitar 1950-1955 Yaitu Syeikh M Adnan kini menjadi syeikh di Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah al-Mukarramah dan bermukim di sana, TGH. L.M Faishal Pendiri pondok pesantren Manhal al-Ulum, Praya, dan satu-satunya murid beliau yang diberi tugas dan amanat untuk menjadi pemgurus Nahdlatul Ulama (NU), sehingga NU masuk keLombok tidak terlepas dari peranan TGKH M Zainiddin AM ,TGH. Zainal Abidin Ali, pendiri pondok pesantren Manbaul Bayan Sakra Lombok Timur.[12]
Adapun murid-murid angkatan kelima sekitar tahun 1955-1960-an terkenal pada era ini adalah TGH. Afifuddin Adnan pendiri pondok pesantren al-Mukhtariyah Manben, TGH. M. Zainuddin Mansyur,MA., TGH. ZAINI Pademare, TGH. Zainal Abidin Ali Sakra, Pendiri ponpes Manbaul Bayan Sakra.  Sedangkan angkatan keenam sekitar tahun 1960-65-an  TGH. L. M Yusuf Hasyim,Lc.,  pendiri ponpes Dar al-Nahdhoh NW Korleko Lombok Timur, TGH. A.Syakaki, Pendiri ponpes Islahul Mu’minin Kapek Lombok Barat,TGH. M.Salehuddin Ahmad, pendiri ponpes Darusshalihin NW Kalijaga, TGH. Ahmad Muaz, pendiri ponpes Nurul Yakin Praya, TGH. Juaini Mukhtar pendiri ponpes Nurul Haramain  NW Narmada, TGH. Musthafa Umar pendiri ponpes al-Aziziyah Kapek Pemenang dan lain-lain.
Peningkatan pengembangan pondok pesantren banyak yang lahir dari angkatan terakhir priodenisasi pengkaderan TGKH M Zainuddin Abd Majid dan sekaligus kader-kader ini dijadikan sebagai asisten beliau dalam banyak kegiatan keagamaan sekaligus sebagai penerus pasca meninggalnya syeikh Zainuddin antara lain, TGH. Mustamiudin pendiri ponpes Suralaga, TGH. Habib Thanthawi, pendiri ponpes Dar al-Habibi NW Bunut Baok Praya, TGH. Mahmud Yasin, Pendiri ponpes Islahul Ummah NW Lendang Kekah Mantang, TGH. M.Ruslan Zain An Nahdli pendiri ponpes Darul Kamal NW Kembang Kerang, Lombok Timur, TGH. M. Zahid Syarif pendiri ponpes Hikmatussyarif NW Salut Narmada, TGH. Tajuddin Ahmad pendiri ponpes Darunnajihin Bageknyale Rensing, TGH. L. Anas Hasyri pendiri ponpes Darul Abror NW Gunung Raja’ Rensing, TGH. M.Yusuf Ma’mun pendiri ponpes Birrul Walidain, TGH. M. Helmi Najamuddin pendiri ponpes Raudlatutthalibin Pao’Motong Masbagik, TGH. Khaeruddin Ahmad, Lc., pendiri ponpes Unwanul Falah Pao’Lombok dan ratusan pondok pesantren yang tersebar di pulau Lombok didirikan oleh alumnus-alumnus pondok pesantern Darun Nahdlathain NW Pancor di bawah bimbingan TGKH M. Zainuddin Abd Majid (w. thn 1997 M) dalam usia 102 tahun[13] 
Rintisan TGKH M.Zainuddin AM  dengan orientasi baru, muncul TGH. Musthafa Khalidi dan TGH.Ibrahim Khalidi, dua bersaudara mendirikan Pondok Pesantren Al-Islahuddiny Kediri Lombok Barat sekitar Tahun 1940-an, pesantren inilah yang kemudian mengembangkan sistem kepesantrenan ke arah yang tradisonal menuju sistem klasikal, seperti yang pertama kali dirintis oleh TGH.M.Zainuddin AM Pancor Lombok Timur. Pondok pesantren ini merupakan pesantren pertama yang mengadopsi sistem klasikal dalam pengajarannya di kawasan Lombok Barat, baru disusul oleh pesantren-pesantren berikutnya, seperti Nurul Hakim Kediri, dll.
Pada tahun berikutnya para tokoh tuan guru dimasing-masing daerah termotivasi untuk mendirikan madrasah sistem klasikal, dapat dilihat dari periodisasi tuan guru yang semasa dengan TGKH. M. Zainuddin seperti TGH. Ibrahim mendirikan pondok pesantren Islahuddin Kediri, TGH. Abdul Karim mendirikan  pondok pesantren Nurul Hakim, Kediri, TGH. L. Abd Hafiz mendirikan pondok pesantren Selaparang, Kediri, TGH. Ibrahim Lomban Lombok Tengah, TGH. Moh. Mutawalli, Jerowaru Lombok Timur mendirikan pondok pesantren Darul Yatama wal Masakin.
Pada awal tahun 1970-an pondok pesantren di Lombok NTB mengalami peningkatan yang signifikan baik dari segi kuantitas dan kualitas, segi kuantitas maksudnya bertambah banyaknya pondok pesantren, pondok pesantren yang di dirintis dan dibangun oleh para penerus tokoh-tokoh tuan guru periode awal dan kedua, seperti pesantren  Darul Muhajirin, Praya,  Lombok Tengah, didirikan oleh TGH. Najmuddin Ma’mun, Manhalul Ulum, Praya didirikan oleh TGH.L.M. Faishal, Manbaul Bayan  Sakra Lombok Timur didirikan oleh TGH. Zaenal Abidin Ali. Semua pondok pesantren yang ada di Lombok  merupakan hasil didikan para tokoh-tokoh tuan guru periode awal dan kedua. Adapun segi kualitas dapat dilihat dari segi pengembangan pondok pesantren dengan sistem  pendidikan yang berjenjang dari tingkat dasar (madrasah ibtidaiyah), tingkat menengah (MTs) dan tingkat Aliyah (Aliyah/SMU). Bahkan ada yang mengelola perguruan tinggi dan  rata-rata semua pondok pesantren mengelola jenjang pendidikan formal disamping informal. Sedangkan pondok pesantren yang mengelola pendidikan jenjang perguruan tinggi seperti, Pondok pesantren  Darunnahdatain Pancor mengelola IAIH NW Lombok Timur,STKIP. Pondok pesantren  Syekh Zainuddin Anjani mengelola IAIH NW Lombok Timur, Universitas NW Mataram,STMIK NW,  Pondok Pesantren Nurul Hakim mengelola Universitas Tuan guru Abdul Karim (UNTAK) Kediri, STIT, pondok pesantren Qomarul Huda, mengelola IAI Ibrahimy, STIKES.[14] Dengan pengembangan seperti ini menandakan adanya perubahan sistem pesantren yang dulunya masih mengenal istilah Gerbung, Ngaji Tokol, berubah menjadi pesantren formal sesuai dengan perkembangan zaman namun tetap melestarikan tradisi-tradisi yang baik dan relevan.

C.    Tipologi Pondok Pesantren di Lombok NTB

            Mengidentifikasi perkembangan tipologi pondok pesantren yang jumlahnya ratusan dan tersebar luas hampir di setiap pelosok daerah Nusa Tenggara Barat merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Dalam pola yang lamapun  terdapat berbagai macam tipologi, seperti sistem “Gerbung[15], sistem Ngabdi[16], sistem Langgar[17] dan lain-lain. Sistem ini berbeda karena perbedaan sistem kemasyarakatan daerah masing-masing. Begitu juga ada yang dapat dikategorikan pesantren tarekat.[18] Ada pula pesantren yang terkenal dengan pengajaran Nahwu dan Sharaf[19] atau mengutamakan pendalaman fiqh, tasawuf dan lain-lain. Dengan demikian pada dasarnya tipologi pondok pesantren di NTB sangat dipengaruhi oleh tipologi pemimpin-pemimpinnya (TG), para pendukungnya, maupun sistem kemasyarakatan di sekeliling pondok pesantren tersebut.
            Di samping itu, dilihat dari sudut tinggi rendahnya pendidikan dan pengajaran, pondok pesantren di NTB dapat dikelompokkan ke dalam pesantren tingkat dasar, menengah dan tinggi. Pengelompokan ini sejajar dengan medan pengaruh yang dimiliki oleh masing-masing pesantren sehingga menurut ukuran pengaruhnya dalam masyarakat tersebut pesantren-pesantren yang ada dapat dikelompokkan ke dalam pesantren kecil, cakupan atau pesantren besar.
            Tipologi  pondok pesantren mau tidak mau harus selaras dengan tipologi para pemimpin dan pendukungnya. Demikian pula kecenderungan perkembangannya. Dulu sewaktu para pemimpin dan pendukungnya relatif lebih homogen, maka pondok pesantren boleh dikatakan hanya mempunyai satu tipe, tidak banyak memiliki perbedaan.[20] Hal ini disebabkan selain karena tuntutan masyarakat terhadap isi pendidikan dalam lingkungan pesantren tidak banyak dan masih sangat sederhana juga disebabkan karena pemimpin yang hampir sama.
            Kini, masyarakat pendukung pondok pesantren sudah banyak berubah, sehingga banyak memiliki tuntutan terhadap isi pendidikan pesantren yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan kelompok-kelompok yang semakin beranekaragam aspirasi dan tuntutannya. Di samping itu aspirasi dan latar belakang pendidikan dan sosial para pemimpin pesantren yang dikembangkannya juga semakin berwarna-warni.[21]
            Tumbuhnya berbagai tipologi pondok pesantren di Lombok Nusa Tenggara Barat pada dewasa ini merupakan manifestasi dari vitalitas lembaga untuk tetap berkembang di tengah masyarakat dan bangsa yang sedang mengalami perubahan yang luar biasa. Namun demikian, tidak semua tipe pendidikan pesantren yang masing-masing mangikuti kecenderungan yang berbeda-beda.
            Secara garis besar, lembaga-lembaga pesantren di Lombok, NTB dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar:
1.      Pesantren Salafi, yang tetap mempertahankan pengajian kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan pesantren/sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian lama,  tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum[22].
2.      Pesantren Khalafi, yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren[23].
Perlu ditegaskan di sini bahwa tipologi dari kecenderungan perkembangan pesantren ke dalam tipe salafi dan khalafi tidaklah bersifat dikotomis dalam pengertian bahwa antara keduanya tidak terjadi loncatan-loncatan dimana santri dari tipe pesantren salafi yang telah menamatkan pelajarannya kemudian mengajar atau menyantri pada pesantren khalafi. Sebaliknya para santri dari pesantren khalafi yang memerlukan pendalaman dalam pengajian kitab-kitab seringkali menetap pada pesantren salafi dalam waktu yang cukup lama.[24]
Hal yang cukup menarik perhatian ialah adanya tipe pesantren salafi yang membuka cabang-cabang pengajaran keilmuan material-profesional, tetapi tempat pengajaran tersebut didirikan di luar komplek pesantren, atau karena kelompok pondok tersebut berada di wilayah pinggiran perkotaan yang tersedia fasilitas pendidikan formal dan modern yang cukup luas, para santri dipersilahkan atau dianjurkan untuk merangkap belajar pada sekolah-sekolah formal dan modern yang cukup luas, para santri dipersilahkan atau dianjurkan untuk merangkap belajar pada sekolah-sekolah formal, sedang di dalam lingkungan komplek pesantren para santrinya khusus belajar kitab-kitab Islam klasik.
Dalam proses perkembangan dalam jangka panjang, tipe pesantren salafi akan semakin kurang jumlahnya, tetapi peranannya justru akan tetap menonjol, khususnya memusatkan pendalaman pengajaran kitab-kitab Islam klasik yang diikuti oleh sejumlah santri yang terbatas justru akan menjadi investasi yang langka dan mahal dimana para lulusannya akan merupakan sumber pengetahuan Islam bagi kalangan intelektual di masa mendatang. Tentu saja ciri-cirinya akan berbeda dengan ciri yang dimilikinya sekarang. Tipe-tipe pesantren takhassus semacam ini nampaknya sudah mulai dikembangkan oleh beberapa pesantrendi Lombok NTB.[25]
Dalam kelompok pesantren khalafi (modern) yang sekarang ini berkembang, dapat digolongkan ke dalam tiga tipe besar, yaitu yang masih terbatas menambah pengajaran profesional dalam bentuk latihan keterampilan. Karena pendidikan keterampilan sudah merupakan bagian penting dalam keseluruhan tujuan pendidikan pesantren, maka pesantren ini dapat dikategorikan sebagai pesantren modern (Khalafi).
Kelompok kedua adalah pesantren yang sudah mengembangkan lembaga-lembaga madrasah, di mana komponen pendidikan umum telah merupakan bagian penting dalam keseluruhan sistem pendidikan pesantren. Tujuan pengembangan madrasah ini masih terbatas pada kebutuhan agar para muridnya kelak dapat menentukan pilihan pengembangan karirnya secara lebih baik dalam kehidupan modern, tetapi tetap diharapkan menjadi orang yang dapat mendalami dan penganjur Islam yang potensial.[26]
Kelompok ketiga adalah pesantren-pesantren yang telah mendirikan sekolah-sekolah umum. Tujuan yang hendak dicapai melalui program pengembangan sekolah umum ini tentunya udah lebih luas lagi daripada pesantren khalafi kelompok kedua, yaitu mempersiapkan anak didik yang kelak sanggup melanjutkan ke Universitas umum dengan bobot keislaman yang cukup memadai sehingga bila kelak menjadi sarjana, mereka akan menjadi sarjana muslim yang cukup kuat keislamannya.[27]
Dalam perkembangannya dalam jangka panjang, ketiga tipe pesantren khalafi tersebut akan semakin besar jumlahnya, karena selain pesantren tipe seperti itu dianggap dapat memenuhi kebutuhan kontemporer bagi generasi muda dan yang menarik dari tipe pesantren khalafi seperti yang telah diuraikan di atas adalah adanya kecenderungan untuk memperluas bangunan-bangunan fisik sebagai penunjang sistem klasikalnya di luar maupun di dalam kelompok pesantren.

D.   Kondisi Objektif Pondok Pesantren Di Lombok

Keberadaan pesantren di Lombok merupakan fenomena yang menarik. Di pulau yang terkenal dengan sebutan “pulau seribu masjid” ini berdiri dan berkembang lebih dari 300 buah pondok pesantren.[28] Jumlah ini lima kali lipat dari jumlah pesantren yang berada di pulau Sumbawa, pulau yang secara geografis lebih besar dibandingkan pulau Lombok. Banyaknya jumlah pesantren di Lombok menunjukkan pola hubungan yang saling terkait antara peran tokoh agama dam hal ini Tuan Guru, keinginan menjaga tradisi kebreagamaan dan kebutuhan akan terus lahirnya Ulama di kalangan masyarakat.[29]
Selain menampilkan kategori pondok seperti mukim dan tidak mukim, keberadaan pondok pesantren di Lombok juga agak berbeda dengan apa yang terjadi di daerah lain seperti Jawa. Jika di pulau Jawa sebagian besar pesantren berupa pesantren salafiyah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama secara “tradisional”, di Lombok sebagian besar pondok pesantren memakai pola madrasah atau sekolah. Hampir semua pesantren di Lombok menyelenggarakan kegiatan pendidikan mdel sekolah. Berbagai jenjang pendidikan seperti madrasah dan sekolah umum diselenggarakan oleh pesantren. Sulit ditemukan adanya pesantren “salaf’” murni di Lombok.
Kemunculan pesantren di Lombok dengan sendirinya juga menyebabkan banyaknya jumlah madrasah di wilayah ini. Jadi, jika berbicara soal pesantren, maka untuk konteks Lombok, tidak bisa dilepaskan dengan persoalan madrasah. Hal ini sekali lagi semakin meneguhkan hubungan antara pesantren, masjid, madrasah dan tuan guru.
Hanya saja, besarnya jumlah pesantren dan madrasah tersebut, belum berdampak pada keseluruhan aspek kehidupan masyarakat Lombok. Keberadaannya hanya menyentuh pada aspek kehidupan beragama dan belum mengarah kepada perbaikan dan peningkatan aspek lain seperti ekonomi, politik, dan bahkan budaya. Nuansa religiusitas masyarakat tinggi belum berimbas pada perbaikan ranah yang lain. Kenyataan ini dapat dilihat dari beberapa kasus terakhir yang terjadi di daerah ini seperti rendahnya kualitas pendidikan jika diukur secara nasional, rendahnya tingkat kesehatan masyarakat dan rendahnya daya beli masyarakat. Semua ini menunjukkan bahwa pesantren, madrasah, dan masjid belum banyak berperan melakukan perbaikan pada aspek-aspek kehidupan lain di luar kehidupan beragama. Meskipun, tentu saja bukan hanya pesantren yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut, tetapi paling tidak pesantren dapat mengambil peran-peran mediasi, atau advokasi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.[30]
Memang banyak pesantren di Lombok telah berhasil mengembangkan kegiatan tambahan berupa peningkatan ekonomi dan kesejahteraan hidup. Dalam satu dasawarsa terakhir banyak pesantren yang memiliki jenis usaha semisal koperasi, agrobisnis, peternakan, pertanian, dan lain-lain. Untuk menyebut beberapa di antaranya misalnya yayasan pesantren Darunnahdlatain NW Pancor Lombok Timur, Yayasan Pondok Pesantren Syeikh Zainuddin NW Anjani Lombok Timur, Yayasan Pondok Pesantren Atthohiriyah al-Fadhliyyah Bodak, Lombok Tengah, Yayasan Pondok Pesantren Nurul Haramain NW Narmada Lombok Barat, Yayasan Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri Lombok Barat, Pondok Pesantren Ishlahuddiniy Kediri Lombok Barat. Pesantren-pesantren tersebut, secara akif mengembangkan usaha-usaha yang menjadi andalan masing-masing dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kemajuan pondok pesantren. 
Hanya saja, semua cerita sukses pesantren-pesantren tersebut belum bisa sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat sekitar pesantren secara luas. Belum banyak anggota masyarakat di sekitar pesantren memiliki akses untuk bersama-sama terlibat dalam berbagai unit usaha pesantren. Kegiatan-kegiatan tersebut  pada umumnya dikerjakan dan dikelola para pengurus pesantren yang nota bene keluarga dan kerabat dekat Tuan Guru. Jika ada beberapa kegiatan yang dikelola bersama dengan masyarakat, umumnya keterlibatan itu hany bersifat komplementer. Masyarakat tidak terlibat sejak awal secara partisipatif. Ide dasar kegiatan biasanya berasal dari Tuan Guru. Selanjutnya Tuan Guru lah -dengan kharismadan ketokohannya- yang berusaha mecari sumber pendanaan hingga jaringan pemasaran produk. Dengan demikian akses atas sumber-sumber informasi dan perubahan sosial tetap dimiliki elit pesantren. Masyarakat tetap saja menjadi pihak ke sekian dalam proses transformasi sosial. Masyarakat belum menjadi pemain pertama dalam pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat mengadaikan adanya partisipasi lansung dari semua  elemen masyarakat. Pesantren diandaikan sebatas menjadi fasilitator bukan subyek atau actor tunggal. Dengan demikian gagasan, inovasi, tanggungjawab dapat muncul lansung dari masyarakat secara kreatif dan partisipatif.[31]
E.     Problematika Pondok Pesantren di Lombok NTB
Secara general, dapat dikategorikan beberapa problematika pondok pesantren di Indonesia, khususnya di Lombok NTB sebagai berikut.
a.      Problematika Psikologis
Kemungkinan terlaksananya suatu usaha pengembangan dan pembaharuan di kalangan pesantren adalah lebih banyak tergantung pada kerelaan dan kesediaan para Tuan Guru (TG) untuk melakukan perubahan dan inovasi pembaharuan. Hal ini menimbulkan kemungkinan ganda yaitu usaha pembaharuan tersebut akan macet dan gagal atau bahkan tidak menyentuh sama sekali apabila para tuan guru yang bersangkutan tidak menghendakinya. Sebaliknya usaha pengembangan dan pembaharuan tersebut akan mudah dilakukan, apabila tuan guru tersebut menghendaki atau memberikan restunya. Dengan demikian, terlihat bahwa faktor komunikasi dan approach sesungguhnya menempati posisi kunci dalam proses implementasi dari usaha pembaharuan pesantren, terutama dalam hubungan bahwa ide pembaharuan tersebut berasal dari luar pesantren yang bersangkutan. Ketertutupan para Tuan Guru/Kiyai dan pesantren adalah faktor kunci sebagai akibat dari orientasi ke akhiratan yang terlalu berat. Lain halnya apabila ide tersebut berasal dari kyai atau kalangan pemimpin pesantren yang bersangkutan.[32]
b.     Problematika Politis
Seyogyanya dalam usaha pengembangan dan pembaharuan pendidikan pondok pesantren, pendekatan dan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politis tidak boleh terlalu ditonjolkan, tetapi usaha-usaha pengembangan dan pembaharuan yang dilaksanakan dalam bidang ini sejauh mungkin harus bersifat dan dirasakan sebagai “netral” walaupun sesungguhnya program yang dijalankan oleh lembaga apapun tak akan lepas dari implikasi politik selama hal itu menyangkut perubahan-perubahan sosial.[33]
c.      Problematika Paedagogis
Selanjutnya, hambatan lain yang sering dijumpai adalah problematika yang bersifat paedagogis, khususnya dalam hubungannya dengan usaha pengembangan dan pembaharuan kurikulum. Untuk mengintegrasikan pelajaran-pelajaran keterampilan ke dalam struktur pengajaran yang dimiliki oleh pesantren secara menyeluruh ternyata bukan suatu hal yang mudah. Tercantumnya mata-mata pelajaran keterampilan dalam kurikulum pendidikan pesantren belum menjamin timbulnya keserasian dengan mata-mata pelajaran lain. Hal ini karena pelajaran-pelajaran keterampilan ini masih kurang menimbulkan rasa kewajiban bersama untuk mencapai sasaran konkrit baik materil maupun ideal yang cukup mantap yang perlu dikerjakan berpayah-payah. Untuk mengatasi hal ini, maka yang perlu ditempuh adalah usaha menumbuhkan motivasi kerja produktif yang disemangati ajaran-ajaran agama secara merata dan intensif. Di samping itu, memang perlu juga dipikirkan bagaimana menimbulkan kerangka pemikiran tertentu (frame of mind) di kalangan pesantren.[34]
d.     Problematika Pembiayaan
            Problem lain, yang juga sering menjadi hambatan dalam usaha pengembangan dan pembaharuan pesantren adalah masalah pembiayaan. Dahulu pesantren didukung oleh tanah wakaf dan subsidi masyarakat dalam soal-soal yang berhubungan dengan pembiayaan. Hal semacam itu, pada masa dahulu merupakan satu kebiasaan sosial karena itu tidak dilembagakan. Sekarang ini etik sosial semacam itu sudah sulit untuk dikembangkan terutama dalam hubungannya dengan program-program keterampilan yang memerlukan pembiayaan besar. Lebih-lebih mengingat kemampuan ekonomi masyarakat pedesaan yang mendukung pesantren pada umumnya adalah dalam kondisi lemah.[35]
e.     Problematika Kepemimpinan (Leadership)
Permasalahan yang sering terjadi pada pondok pesantren adalah masalah kepemimpinan sebab pola kepemimpinan dalam pesantren itu tidak terlepas dari tiga cara pandang yang berbeda.
Pertama, kepemimpinan dapat dipandang sebagai kemampuan yang melekat dalam diri individu atau orang perorang. Hal ini berarti aspek tertentu dari seseorang tidak memberikan sesuatu penampilan berkuasa dan menyebabkan orang lain menerima perintahnya sebagai suatu yang harus diakui. Individu yang memiliki kekuasaan tersebut diyakini mendapat bimbingan wahyu, memiliki kualitas yang sakral dan menghimpun massa dari masyarakat kebanyakan.[36]
            Kepemimpinan yang bersumber dari kekuasaan luar biasa itu disebut kepemimpinan karisma atau charismatic autority.[37] Kepemimpinan jenis ini didasarkan pada identifikasi psikologis seseorang dengan orang lain.
Kedua, kepemimpinan terletak bukan pada diri kekuasaan individu, melainkan dalam jabatan atau status yang dipegang oleh individu. Menurut Max Weber, kekuasaan yang bersandar pada tata aturan disebut legal authority[38] artinya atoritas legal diwujudkan dalam organisasi birokratis, tanggung jawab pemimpin dalam mengandalkan organisasi tidak ditentukan penampilan kepribadian dan individu melainkan dari prosedur aturan yang telah di sepakati. Unsur-unsur emosional di kesampingkan dan diganti unsur rasional.
Pondok pesantren, dalam hal ini amat sangat terkesan dengan kepemimpinan kharismatik dan tradisional yang biasanya Max Weber menggunakan istilah authority: charismatic autority, legal authority dan traditional authority.[39] Sehingga struktur masyarakat tradisional seperti pondok pesantren akhirnya memiliki gambaran kepemimpinan dengan gaya paternalistik baik dalam fungsi kepemimpinan maupun dalam corak masyarakatnya. Masyarakat yang bercorak demikian, disebabkan oleh faktor-faktor seperti kuatnya ikatan primordial, kehidupan masyarakat yang kumulalistik,  peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan sehari-hari dan kokohnya hubungan pribadi yang lazim antara anggota kumunitas dengan kumunitas yang lainnya serta adanya Extended Family System.[40]
Pada tahap-tahap pertama berkembangnya sebuah pesantren memang diperlukan kepemimpinan dengan sifat-sifat sedemikian itu, tetapi pada tahap-tahap selanjutnya banyak kerugian yang ditimbulkannya.
Pertama, munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren yang bersangkutan, karena semua hal bergantung kepada keputusan pribadi sang pemimpin. Seringkali proses pengembangan yang direncanakan dengan sadar harus terhenti tanpa dapat diselesaikan dengan tuntas, hanya karena kepemimpinan yang ada kekurangan stamina untuk melanjutkannya, atau sebab-sebab lain yang bersifat pribadi.
Kedua, sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu (termasuk calon pengganti yang kreatif) untuk mencoba menerapkan pola-pola pengembangan yang sekiranya tidak diterima oleh kepemimpinan yang ada. Termasuk dalam kesulitan ini adalah sukarnya membuat perkiraan tentang tanggapan yang akan diberikan oleh sang pemimpin atas suatu usulan apakah tanggapan itu bersifat negatif atau positif.
Kesulitan seperti ini menstimulus mereka untuk merencanakan pengembangan pola-pola baru. Salah satu bentuk kesulitan ini adalah watak fasif yang  dimiliki pesantren dalam pengembangan dirinya, sehingga menunggu ajakan dari luar saja. Itupun terkadang dilakukan tanpa pengertian penuh akan maksud baik dan tujuan ajakan dari luar itu.
Ketiga, pola pengantar kepemimpinan berlangsung secara tiba-tiba dan tidak direncanakan, sehingga lebih banyak ditandai oleh sebab-sebab alami, seperti meninggalnya sang pemimpin secara tiba-tiba. Pola pergantian pimpinan yang berlangsung secara demikian itu seringkali membawa perbedaan pendapat dan saling berlawanan di antara calon-calon pengganti. Upaya untuk mengganti perbedaan pendapat seringkali mengambil waktu sangat panjang yaitu hingga tegaknya kepemimpinan karismatis yang baru.
Keempat, terjadinya pembauran dalam tingkat-tingkat kepemimpinan di pesantren untuk tingkat lokal, regional, dan nasional. Seorang pemimpin pesantren yang mencapai peningkatan pengaruh sebagai akibat semakin meluasnya daerah asal yang dijangkau oleh pola penerimaan santri ke pesantrennya, seringkali tidak dapat mengimbangi peningkatan pengaruh itu dengan peningkatan kualitas kepemimpinan yang sanggup melintasi perbedaan tingkat-tingkat yang dihadapi. Cakrawala pemikirannya seringkali masih sangat bersifat lokal, paling tinggi bersifat regional. Jarang ada yang mau memandang kepada ufuk nasional dalam pengembangan pesantren, sehingga tidak banyak meliputi pesantren yang dikelolanya sendiri atau pesantren-pesantren lain yang ada disekelilingnya.[41]
F.     PENUTUP
Pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisonalnya, yakni a) transmissi dan transfer ilmu-ilmu Islam, b) Pemeliharaan tradisi Islam, dan c) Refroduksi ulama. Dengan demikian respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia sejak awal abad ini mencakup:
·        Pembaruan substansi atau isi pesantren dengan memasukkan subjek-subjek umum dan vocational.
·        Pembaruan metodologi seperti sistem klasikal dan penjenjangan.
·        Pembaruan kelembagaan seperti kepemimpinan pesantren dan derivikasi lembaga pendidikan.
·        Pembaruan fungsi, dari semula hanya fungsi kependidikan, kemudian  dikembangkan sehingga mencakup fungsi sosial dan ekonomi.
Pondok pesantren di Lombok secara kuantitatif dapat dikategorikan sebagai pesantren yang menjamur di setiap pelosok, tapi secara kualitatif pondok pesantren di Lombok NTB masih membutuhkan pemikiran dan pemberdayaan yang konprehensif, sebab peranan pondok pesantren di Lombok sangat memberikan pengaruh yang significant terhadap pengembagan ajaran  Islam dan pemberdayaan masyarakat, meskipun belum maksimal.
BIBLIOGRAFI
Bartholomen, John Ryan, Alif Lam Mim : Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian Kampung, 1999, Cet.1.
Bartholomen, John Ryan, Alif Lam Mim : Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 2001), Cet.1.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, ( Jakarta: LP3ES,1984)
Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kyai Pesantren, Kyai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 1999), Cet. I.
Haiman,  Franklin S. Leadership and Democratic Action, (Houghton: Mifflin Company, 1951)
Harapandi, Pemikiran Pembaharuan TGKH. Muhammad Zaenuddin Abdul Majid, (Tesis), (Jakarta: IAIN, t.p, 1999)
Litbang: Diskripsi Aliran Kepercayaan Wetu Telu di Pulau Lombok, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1979).
Majid, Nurkholis, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah potret Perjalanan, pada Bab II Pesantren Dalam Perkembangan Politik Kita, Analisis Konfaratif, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I. h. 73-84
Maksum, Madrasah: Sejarah Perkembangan, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. I
Nasih, Ahmad Munjid, Kajian Fiqh Sosial Dalam Bahtsul Masail Studi Kasus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, (Jakarta: Inis, 2002).
Nu’man, Abd Hayyi, dan Sahafari Ays’ari, Nahdlatul Wathan: Organisasi Pendidikan, Sosial, dan Dakwah,  Lombok: Toko Buku Kita, 1988, Cet. 1.
Purbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976)
Salam, Solichin, Lombok Pulau Perawan: Sejarah dan Masa Depannya, (Jakarta: Kuning Mas, 1992)
Suprapto, Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat : Menimbang Aktifitas Dakwah bi al-Hal Pesantren di Lombok, dalam Jurnal Tasamuh, Fakultas Dakwah IAIN Mataram, Vol. 4, Nomor 1, Desember 2006.
Thoha, Zainal Arifin, Runtuhnya Singgasana Kyai: NU Pesantren Dan Kekuasaan, Pencarian Tak Kunjung Usai, pada Bab Pesantren sebagai pendidikan Alternatif, (Yogyakarta: Kutub, 2007), Cet. II.
Weber, Max, The Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Free Press 1966)
Weber, Max, Economy and Society, 1, (London: University of California Press, Berkeley, Los Angeles 1978).
Yayasan Bahkti Wawasan Nusantara 1992). Profil Propinsi Nusa Tenggara Barat, (Jakarta: Pemrakarsa)
Yasmedi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurkholis Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. 1.
Ziamek, Mamfred, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Butce B. Soenjono, pent., (Jakarta: LP3ES, 1985).













[1] Penulis adalah Dosen IAIN Mataram NTB dan Pengasuh Pondok Pesantren Darunnajihin Nahdlatul Wathan Bagek Nyala Gunung Rajak Kec. Sakra Barat Lombok Timur NTB.E-mail : roziqi_iain@yahoo.co.id. CP: 081803669310
[2] Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe, dan akhiran an, berarti '“tempat tinggal santri” (Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, ( Jakarta: LP3ES,1984), h. 18.  Soegarda juga menjelaskan, pesantren berasal dari kata santri, yaitu seorang yang belajar agama Islam, dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk mempelajari agama Islam, (Soegarda Purbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), h. 223.  Mamfred Ziemik menyebutkan bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pe-santri –an “tempat santri”. Santri atau murid umumnya sangat berbeda-beda dalam mendapatkan pelajaran dari pimpinan pesantren (Kyai/TGH) dan oleh para guru pelajaran mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam. (Mamfred Ziamek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Butce B. Soenjono, pent., (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 18. Prof Johan berpendapat bahwa santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti “guru ngaji”, sedangkan C. Cberg berpendapat istilah santri dalam bahasa India berarti “orang yang tahu buku-buku agama Hindu” dan kata santri berasal dari kata shastra berarti buku suci, buku-buku agama dan ilmu pengetahuan. (Zamakhsari Dhofier, op.cit., h. 18)
[3] Nusa Tenggara Barat yang dibatasi oleh Selat Lombok di sebelah Barat, Selat Sape di sebelah Timur, Laut Jawa di sebelah Utara dan Samudra Indonesia di sebelah Selatan (Yayasan Bahkti Wawasan Nusantara 1992). Profil Propinsi Nusa Tenggara Barat, (Jakarta: Pemrakarsa). h. 6, dan wilayah NTB terdiri dari daerah Lombok yang meliputi daerah Kodya Mataram,Kabupaten Lombok Barat, lombok Tengah, Lombok Timur, serta daerah Sumbawa yang meliputi daerah Kabupaten Sumbawa Besar, Kabupaten Dompu, dan Kabupaten Bima. 
[4] Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan: Sejarah dan Masa Depannya, (Jakarta: Kuning Mas, 1992), h. 4.
[5] Animisme, dalam paham ini terkandung maksud bahwa semua benda bernyawa maupun tidak layak memiliki roh. Faham ini berasal dari kata latin anime yang berarti jiwa sungguh mereka bukanlah roh sebagaimana masyarakat primitif serupa ini telah percaya kepada roh, roh itu bagi mereka bukanlah roh sebagaimana masyarakat primitif lainnya, mereka juga belum bisa membedakan antara apa yang seharusnya disebut materi dan apa yang disebut roh (Baca Nasution:  Falsafah Agama, 1987: 26)
[6] Sangepati adalah seorang murid dari walisanga yang diakui sebagai peletak dasar pertama agama Islam di pulau Jawa. Sangepati ditafsirkan dengan “sange” artinya sembilan “pati” artinya empat hal tersebut mengisyaratkan bahwa Islam masuk ke pulau Lombok pada tahun 904 Hijriyah, bertepatan dengan tahu 1538 masehi. Sangepati sendiri menurut sebagian besar pendapat bukan nama sebenarnya sebab dalam perjalanan selanjutnya ia bernama Sunan Semeru dan dalam perjalan pulang ke Jawa melalui Bali ia memakai nama Pande Wau Rauh, dan setelah sampai di jawa ia memakai Haji Duta (lihat, Harapandi, Pemikiran Pembaharuan TGKH. Muhammad Zaenuddin Abdul Majid, (Tesis), (Jakarta: IAIN, t.p, 1999), h. 10
[7] Ada beberapa pendapat tentang peletak dasar agama Islam di Pulau Lombok seperti Syekh Ali Fatwa yang berasal dari Bagdad. Beliau tinggal di dekat gunung Rinjani, dan diperkirakan di daerah Sembalun. Diantaranya juga terungkap seseorang yang bernama Petung Anunggul ia juga memakai naman Sunan Alelana yang berarti pengelana, namun sebenarnya adalah Raden Mas Karta Jagat, nama lain juga diperkirakan sebagai peletak dasar agama Islam di pulau Lombok adalah “Raden Nor Pakel”, dari dialah muncul tiga orang pimpinan Islam di pulau Lombok yaitu: Penghulu kiyai Gading atau Guni Tepun, Guru Deriah dan Guru Mas Mirah. Lebih lanjut dikatakan bahwa selain dari nama–nama tersebut di atas ada beberapa nama yang juga terhitung sebagai peletak dasar Agama Islam di Pulau Lombok, seperti Sunan Guru Makassar yang nama  aslinya adalah Sangsurima Alam bersama-sama dengan putrinya NI Demi Sukarren yang berasal dari Sulawesi. Disamping itu juga terdapat agama Islam mereka berasal dari Sumatra yaitu; Jatisuara, Kiai Serimbang, Eman Beret. (Litbang: Diskripsi Aliran Kepercayaan Wetu Telu di Pulau Lombok, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1979), h. 22-23. Sebagaimana juga telah dikutip oleh, Harapandi, Ibid, h. 8-9.

[8]Istilah Beruga’, Sekepat, Sekenan, memang sudah terkenal sejak zaman penjajahan Bali, sebab miniatur Beruga dan sejenisnya dengan arsitek orang-orang Hindu dan biasanya tempat ini digunakan untuk menjamu tamu, melihat kebiasaan masyarakat yang biasa duduk di Beruga (langgar: Jawa), para tokoh tuan guru memberikan pengajian di tempat itu.
[9] TGH. M. Ruslan Zain Annahdly, Pimpinan Ponpes Darul Kamal NW Kembang Kerang, Lotim, Wawancara Pribadi, Lombok, 21 Maret, 2007.
[10] Abd Hayyi Nu’man dan Sahafari Ays’ari, Nahdlatul Wathan: Organisasi Pendidikan, Sosial, dan Dakwah,  Lombok: Toko Buku Kita, 1988, Cet. 1,  h. 91
[11] TGH.Mamud Yasin, Pimpinan Ponpes Islahal-Ummah Lendang Kekah, Mantang. Wawancara Pribadi, Lombok, 22 Maret 2007
[12] TGH. Zainal  Abidin Ali, Dewan Pertimbangan FKSPP NTB/Pengasuh ponpes Manbaul Bayan Sakra, Wawancara Pribadi, Sakra, 24 April 2007.
[13] TGH. L.Anas Hasyri, Pengasuh ponpes Dar Al-Abror NW Gunung Raja’, Wawancara Pribadi, Rensing 13 Maret 2007 dan TGH. Tajuddin Ahmad, Pengasuh Ponpes Darunnajihin Bagek Nyale, Wawancara Pribadi,15 Maret 2007 
[14] Mardin Abdul Malik, Drs. H., Ketua Umum FKSPP Lombok Timur, Wawancara Pribadi, Lombok, 26 Maret 2007
[15] Sistem Gerbung: santri yang menyantri di rumah Tuan Guru/kiyai dengan membawa peralatan tempat tinggal dari rumah santri, kemudian didirikan didekat rumah Tuan Guru/Kiyai dengan bangunan seadanya. Sistem gerbung ini biasa dilakukan oleh para santri tahun 1925-an.               
[16] Sistem Ngabdi: cara ini dilakukan dengan tinggal di rumah Kyai/Tuan Guru semata-mata mengabdi dan melayani Kiyai/Tuan Guru dalam kehidupan sehari-harinya, seperti memijatnya, mencuci pakaiannya dan lain-lain dengan mengharap barokah dari Kiyai/Tuan Guru.
[17] Sistem Langgar: santri mendapatkan pengajian/ilmu dari tuan guru di langgar tempat tuan guru istirahat, duduk dan terkadang dijadikan sebagai tempat shalat, tempat anak-anak mengaji al-Qur’an.
[18] Tipologi pesantren yang mensfesifikasikan dalam kajian tarekat yang lebih terkenal dengan pesantren tarekat seperti ponpes Yadama asuhan TGH. Mutawalli Jerowaru Lombok Timur.
[19] Pesantren yang lebih berorientasi pada pendalaman ilmu nahwu dan sharaf seperti pesantren Nahdhatul Wathan khususnya ponpes Darun Nahdhathain secara umum, pesantren Arraisiyah Sekarbela, pesantren Ibrahim di Lombok Tengah, pesantren Ishlahuddin Kediri, pesantren Yusuf Abdussattar, Kediri.
[20] Tipe pesantren yang berorientasi pada pendalaman fiqh seperti pondok pesantren Selaparang-Kediri yang terkenal dengan tokoh ahli fiqh, yaitu TGH. L. Abd Hafizh Sulaiman, juga pondok pesanten Manbaul Ulum, Pimpinan TGH. Zainal Abidin Ali, Sakra Lotim.
[21] Pendidikan para pemimpin pondok pesantren di Lombok kebanyakan alumnus Timur Tengah seperti Madrasah Assaulatiyah, Madrasah Darul Ulum, Makkah Madrasah Ummul Quro, Makkah dan informal di Masjid al-Haram, begitu juga dari al-Azhar Cairo, Libia, Madinah dan rata-rata pendidikan para pemimpin pondok pesantren adalah setingkat madrasah Aliyah.
[22] Lihat buku Maksum, Madrasah: Sejarah Perkembangan, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. I     h. 79, pada bab IV, Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, sebagai perbandingan.
[23] Lihat Tabel kitab-kitab yang populer dipelajari di Pondok Pesantren (terlampir).
[24] Yasmedi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurkholis Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. 1. h. 70
[25] Pesantren Nahdlatul Wathan, Mendirikan Ma’had Darul Qur’an Wa al-Hadits al-Majidiyah al-Syaffi’iyah, sebagai lembaga yang khusus mengkaji kitab kuning. Kemudian ponpes Islahuddin Kediri mendirikan Ma’had Aly al-Islahuddiny dan Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri mendirikan Ma’had Ali al-Salafi.
[26] Pola ini telah dikembangkan oleh pondok pesantren Nurul Haromain NW Narmada dengan mengembangkan sistem komputerisasi dan penggunaan Bahasa Arab dan Inggris di dalam Asrama, dan pengajaran bahasa Inggris melalui pengiriman santri ke Pare Kediri Jawa Timur tiap semester untuk mempelajari Bahasa Inggris secara intensif.
[27] Pengiriman santri yang berprestasi selalu dilaksanakan oelh pesantren-pesantren besar, seperti pesantren Nahdlatul Wathan, mengirim santri belajar ke tanah suci Makkah di Madrasah Assaulatiyyah, Madrasah Darul Ulum, Ummul Qura dengan tujuan sekembalinya dari tanah suci diharapkan menjadi tenaga pengajar di pondok pesantren NW. begitu juga pondok pesantren Nurul Hakim mengirim santrinya ke LIPIA Jakarta, Universitas Madinah, Jami’ah Islamiyah Madinah, Mesir, Yordan dan negara Timur Tengah lainnya, sehingga dapat dilihat prestasi pondok pesantren yang tetap mengadakan kaderisasi dalam bidang pendidikan sangat baik dan bermutu.
[28] Sumber Data Emis Departemen Agama NTB, 2005 Kota Mataram 22 Ponpes Kab. Lombok Barat 72 Ponpes Kab. Lombok Tengah 87 Ponpes Kab. Lombok Timur 115 Ponpes Kab. Sumbawa 16 Ponpes Kab. Dompu 22 Ponpes Kab. Bima 26 Ponpes. Dalam data 2005 Kanwil Depag NTB, Lombok Barat dengan Jumlah Masjid 829, Lombok Tengah 1229 masjid, Lombok Timur, 1.574 masjid, kota Mataram, 225 masjid.
John Ryan Bartholomen mengatakan bahwa bila Lombok dicap sebagai ''sebuah pulau dengan 1000 masjid'' yang mungkin meremehkan keberadaan sejumlah masjid kecil di pulau tersebut, pesannya jelas, Lombok sangat terkenal di Indonesia sebagai sebuah tempat Islam diterima secara serius dan tipe Islam yang dipraktekkan di sana pada umumnya agak kaku dan bentuknya ortodoks bila dibandingkan dengan kebanyakan daerah lain di Negara ini. Lengkapnya baca, John Ryan Bartholomen, Alif Lam Mim : Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian Kampung, 1999, Cet.1. dalam edisi bahasa Indonesianya, Alif Lam Mim : Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 2001), Cet.1, h. 86
[29] Suprapto, Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat : Menimbang Aktifitas Dakwah bi al-Hal Pesantren di Lombok, dalam Jurnal Tasamuh, Fakultas Dakwah IAIN Mataram, Vol. 4, Nomor 1, Desember 2006, h. 105.
[30] Suprapto, Pesantren..h.106
[31] Suprapto, Pesantren, h. 106-197
[32] Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kyai: NU Pesantren Dan Kekuasaan, Pencarian Tak Kunjung Usai, pada Bab Pesantren sebagai pendidikan Alternatif, (Yogyakarta: Kutub, 2007), Cet. II, h. 35-37
[33] Nurkholis Majid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah potret Perjalanan, pada Bab II Pesantren Dalam Perkembangan Politik Kita, Analisis Konfaratif, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I. h. 73-84, (sebagai kajian).
[34] A. Malik Fadjar, Madrasah Dan Tantangan Modernitas, dalam Bab Tantangan dan prospek Madarasah, (kasus madrasah ibtidaiyah), h. 34  sebagai bahan perbandingan
[35] Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kyai Pesantren, Kyai Langgar di Jawa, Pada Bab 7: Pesantren: Lembaga Pendidikan dan Pusat Ortodok Islam pada HAM, Sumber Ekonomi dan Kehidupan sehari-hari di Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 1999), Cet. I, h. 151-154, sebagai perbandingan dalam menganalisa
[36] Franklin S. Haiman, Leadership and Democratic Action, (Houghton: Mifflin Company, 1951), h. 19.
[37] Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Free Press 1966), h. 358.
[38] Ibid, h. 328.
[39] Max Weber, Economy and Society, 1, (London: University of California Press, Berkeley, Los Angeles 1978), h. 217.
[40] Sumamto, op.cit., h. 3
[41] Ahmad Munjid Nasih, Kajian Fiqh Sosial Dalam Bahtsul Masail Studi Kasus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, (Jakarta: Inis, 2002),h. 1

1 komentar: