Abstrak
Ayat pertama yang diturunkan Allah SWT dimulai dengan perintah membaca,
lalu disusul dengan pernyataan bahwa manusia dapat mempelajari ilmu-ilmu Tuhan
yang belum diketahuinya melalui torehan pena (qalam). Signifikansi qalam
ada pada fungsinya sebagai media. Sedangkan media hanyalah pengantar ilmu. Ilmu
tak bisa tertangkap tanpa melalui proses pembacaan dan pemaknaan oleh manusia.
Tetapi goresan qalam (tekstualitas) juga lebih solid sebagai penghantar
ilmu ketimbang untaian kalam (oralitas) bila produk qalam yang
tanpa intonasi itu terbaca cenderung melahirkan kreativitas dan kultur baru (cree
la culture), sedangkan kalam yang disertai penekanan dan aksentuasi
cenderung hanya mewariskan kultur (heriter
la cultere) apa adanya, karenanya refleksi teks lebih reliable
(terpercaya) ketimbang referensi oral.
Pengajaran dengan al-qalam adalah suatu yang mutlak bagi manusia dan
selainnya. Dan di antara makhluk yang diajarkan secara memadai dengan al-qalam
adalah manusia. Para ahli tafsir menafsirkan firman-Nya ''yang mengajarkan
manusia dengan al-qalam'' adalah simbolisasi mengenai pengajaran
menulis, sebab alat yang digunakan untuk menulis adalah al-qalam (pena).
Kelengketan al-Qur'an dengan jurnalistik Islam yang membiaskan pengaruh
yang sangat luas dan dalam, itu eksis dalam hubungan keduanya yang seakan-akan
saudara kembar atau pinang dibelah dua. Bahwa al-Qur'an adalah ''kata Tuhan''
sementara jurnalistik adalah ''tulisan tangan manusia'', menunjukkan
kelengkapan persaudaraannya. Hubungan peran keduanya dapat dipertegas bahwa
al-Qur'an datang dari Tuhan ''pencipta segala sesuatu'', sementara tulisan
manusia berperan ''mengekspresikan sesuatu''.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
sebagai kitab suci dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis media massa
cetak. Sebagai media cetak, kitab itu tentu memiliki fungsi-fungsi yang kurang
lebih sama dengan fungsi-fungsi yang dimiliki oleh media cetak lainnya, seperti
fungsi informasi, fungsi mendidik, fungsi kritik, fungsi pengawasan sosial (social
control), fungsi menyalurkan aspirasi masyarakat dan fungsi menjada
lingkungan hidup (surveilance of the enviorenment). Fungsi yang terakhir
disebut ini ialah media massa senantiasa membuat masyarakat memperoleh
informasi tentang keadaan sekitar kita, baik di dalam lingkungan sendiri maupun
di luar lingkungan mereka.[1]
Menurut
Nasr Abu Zaid, al-Qur’an sebagai pesan komunikasi Tuhan telah diubah menjadi
Mushhaf dan kini telah menjadi perhiasan. al-Qur’an tiada lain hanyalah sebuah
teks, hingga dapat ditafsirkan secara terbuka (plural), maka wajar bila dalam
setiap rentang waktu tertentu terjadi pergulatan penafsiran yang beraneka
ragam.[2]
Ketika
al-Qur’an dihimpun dari shuhûf (lembaran-lembaran tulisan). Pemaknaan
istilah shahifah dalam konteks kekinian, dapat diartikan ”surat kabar”,
sementara shahâfi adalah wartawan yang mengandung makna historis dan
filosofis. Dan tidak diragukan lagi bahwa tidak ada media cetak yang menjadi
bahan diskusi seluas al-Qur’an. Walau Taurat dan Injil diterjemahkan ke lebih
banyak bahasa, tapi al-Qur’an tetap melibihi kitab-kitab suci tersebut.
Terbukti dari banyaknya studi, beragamnya tafsir dan banyak lagi aspek-aspek
mengenai al-Qur’an yang menjadi bahan diskusi dan penulisan sejak dahulu.[3]
Kehadiran
al-Qur’an sebagai media massa cetak merupakan himpunan informasi dan pesan-pesan
ilahi yang tersimpan dalam bunyi yang kemudian terabadikan dalam teks
(tulisan). Teks al-Qur’an telah memainkan peran yang sangat penting bagi
terjalinnya komunikasi antara Tuhan dan manusia dan antara manusia itu sendiri.
Tanpa disadari ketika membaca dan memahami al-Qur’an sesungguhnya kita menulis
ulang teks itu dalam bahasa mental yang mendominasi kesadaran batin kita, yaitu
bahasa ibu.
A. JURNALISME ISLAM
VERSUS JURNALISME KONTEMPORER
a. Jurnalisme Islam.
Beberapa tokoh mendefinisikan jurnalistik Islam antara
lain;
Emha
Ainun Nadjib menyatakan: jurnalistik Islam adalah teknologi dan sosialisasi
informasi (dalam kegiatan penerbitan tulisan) yang mengabdikan diri pada nilai
agama Islam bagaimana dan kemana semestinya manusia, masyarakat, kebudayaan dan
peradaban mengarahkan dirinya. [4]
A. Muis
menyatakan, Jurnalistik Islam adalah menyebarkan atau menyampaikan informasi
kepada pendengar, pemirsa, atau pembaca tentang perintah dan larangan Allah SWT
(al-Qur’an dan al-Hadist).[5]
Dedy
Djamaluddin Malik mendefinisikan Jurnalistik Islam sebagai proses meliput,
mengolah dan menyebarluaskan berbagai peristiwa yang menyangkut umat Islam dan
ajaran Islam kepada khalayak. Jurnalistik islami adalah crusade juornalism,
yaitu jurnalistik yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu, yakni nilai-nilai
Islam.[6]
Asep
Syamsul Ramli menjelaskan bahwa jurnalistik Islam adalah proses pemberitaan
atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan muatan nilai-nilai Islam.[7]
Suf
Kasman menyebutkan bahwa Jurnalistik Islam adalah proses meliput, memgolah, dan
menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam dengan
mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik/norma-norma yang bersumber dari al-Qur’an
dan al-Sunnah rasullullah SAW. Jurnalistik islami diutamakan kepada dakwah
islamiyah yaitu mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar sesuai ayat Q.S.
Ali Imran (3): 104).[8]
b.
Jurnalisme Kontemporer.
Jurnalisme,
di abad ke-20, telah menancapkan merek yang cukup berpengaruh sebagai sebuah
profesi. Ada empat faktor yang dipegangnya; perkembangan keorganisasian dari pekerjaan
kewartawanan, kekhususan pendidikan jurnalisme, pertumbuhan keilmuan sejarah,
permasalahan dan berbagai teknik komunikasi massa dan perhatian yang
sungguh-sungguh dari tanggung jawab sosial kerja kejurnalistikan. Jurnalisme
kontemporer sebenarnya menunjukkan masa dan waktu kegiatan kejurnalistikan
dilaksanakan, karena dilakukan di era yang serba modern membuat kegiatan
kewartaan tersebut dikategorikan kontemporer, maka disebutlah dengan istilah
jurnalisme Kontemporer.[9]
Bill
Kovach dan Tom Rosentiel dalam The Elements of Journalism: What Newspeople
Should Know and the Public Should Expect, merumuskan sembilan elemen
jurnalisme. Berbagai elemen ini merupakan dasar jurnalisme agar bisa dipercaya
oleh masyarakat. “The purpose of Journalism”, nilai Kovach dan
Rosentiel, is to provide people with the information they need to be
free and self-governing”.[10] Kebajikan utama jurnalisme ialah menyampaikan informasi
yang dibutuhkan masyarakat hingga mereka leluasa dan mampu mengatur dirinya. Jurnalisme
membantu masyarakat mengenali komunitasnya. Jurnalisme dari realitas yang
dilaporkannya menciptakan bahasa bersama
dan pengetahuan bersama. Lewat jurnalisme masyarakat mengenai harapannya siapa
yang jadi pahlawan siapa penjahatnya. Media jurnalisme menjadi watcdog,
anjing penjaga, berbagai peristiwa yang baik dan buruk dan mengangkat aspirasi
yang luput dari telinga orang banyak. Semua itu terjadi berdasar informasi yang
sama. Informasi itu disampaikan jurnalisme kepada masyarakat.[11]
JURNALISME
PADA PRINSIPNYA MEMILIKI TUGAS SEBAGAI:
Pertama,
MENYAMPAIKAN KEBENARAN. Kebenaran yang dimaksud dalam konteks jurnalisme
kontemporer adalah kebenaran fungsional. Bukanlah kebenaran yang dicari-cari
oleh orang-orang filsafat. Bukanlah kebenaran muthlak, apalagi kebenaran Tuhan.
Kebenaran fungsional berarti kebenaran yang terus menerus dicari, seperti
kebenaran harga sembako, kebenaran hasil pertandingan sepak bola, dst.
Kebenaran disini juga bukanlah kebenaran yang bersifat religius, ideologis,
atau pun filsafat. Juga tidak menyangkut kebenaran berdasar pandangan
seseorang. Sebab pemberitaan seseorang jurnalis bisa memiliki bias. Latar
belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agama yang
dianut jurnalis mempengaruhi laporan berita yang dimuatnya. Jurnalis
berkemungkinan menafsirkan ”kebenaran” sebuah fakta secara berbeda-beda satu
sama lainnya.[12]
Kedua, LOYALITAS KEPADA MASYARAKAT. Ini menandakan
kemandirian jurnalisme. Ini artinya para jurnalis tidak bekerja atas
kepentingan pelanggan. Para jurnalis bekerjaa atas komitmen, keberanian, nilai
yang diyakini, sikap, kewenangan, dan profesionalisme yang telah diakui publik.[13]
Ketiga, DISIPLIN DALAM MELAKUKAN VERIFIKASI. Ini
berarti kegiatan menelusuri sekian saksi untuk sebuah peristiwa, mencari sekian
banyak nara sumber, dan mengungkap sekian banyak komentar.
Keempat,
KEMANDIRIAN TERHADAP APA YANG DILIPUTNYA. Artinya, menunjukkan
kreadibilitas kepada semua pihak melalui
dedikasi terhadap akurasi, verifikasi, dan kepentingan publik. [14]
Kelima, KEMANDIRIAN UNTUK MEMANTAU KEKUASAAN. Artinya,
media mengungkapkan tuntutan masyarakat akan perbaikan di berbagai bidang
kehidupan dan berbagai tingkatan sosial, seperti kekuasaan yang korup, kolutif
dan nepotis.
Keenam, MELETAKKAN
JURNALISME SEBAGAI FORUM BAGI KRITIK DAN KESEPAKATAN PUBLIK. Artinya media
menyediakan ruang kritik dan kompromi kepada publik.
Ketujuh,
JURNALISME HARUS DAPAT MENYAMPAIKAN SESUATU SECARA MENARIK DAN RELEVAN
KEPADA PUBLIK. Elemen ini mewajibkan media menyampaikan berita secara
menyenangkan, mengasyikkan, dan menyentuh sensasi masyarakat.
Kedelapan,
KEWAJIBAN MEMBUAT BERITA SECARA KOMPREHENSIF DAN PROPORSIONAL. Mutu
jurnalisme sangat tergantung kepada kelengkapan pemberitaan yang dikerjakan
media.
Kesembilan,
MEMBERI KELELUASAAN JURNALIS UNTUK MENGIKUTI NURANI MEREKA. Ini terkait
dengan sistem dan manajemen media yang memiliki keterbukaan. [15]
Jurnalisme
Kontemporer maupun jurnalisme Islam sebenarnya memiliki tugas yang sama namum
ada hal-hal yang tidak sejalan dengan elemen jurnalisme kontemporer seperti
kebenaran yang dianut oleh Islam jelas berbeda dengan kebenaran yang diyakini
oleh jurnalis yang bukan beragama Islam, sehingga dalam hal-hal tertentu
jurnalisme kontemporer menjadi sesuatu yang kebablasan karena kebebasan yang
dianutnya, sehingga kontrol keagamaan menjadi hilang. Disinilah jurnalisme
Islam memiliki peran sebagai kontrol moral terhadap persoalan kemasyarakatan
yang menjadi objek pemberitaan.
B. MENELUSURI MAKNA
JURNALISME DALAM AL-QUR’AN
Isyarat al-Qur'an
tentang ilmu pengetahuan dan kebenarannya sesuai dengan ilmu pengetahuan
hanyalah sebagai salah satu bukti kemu'jizatannya. Ajaran al-Qur'an tentang
ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas ilmu pengetahuan (science) yang
bersifat fisik dan empirik sebagai fenomena, tetapi lebih dari itu ada hal-hal
fenomena yang tak terjangkau oleh rasio manusia.[16] Dalam hal ini, fungsi dan penerapan ilmu
pengetahuan juga tidak hanya untuk kepentingan ilmu dan kehidupan manusia
semata, tetapi lebih tinggi lagi untuk mengenal tanda-tanda, hakikat wujud dan
kebesaran Allah serta mengaitkannya dengan tujuan akhir, yaitu pengabdian
kepada-Nya.[17]
Salah satu ciri
yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah
ilmu (science). Al-Qur'an dan al-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari
dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang
berpengetahuan pada derajat yang tinggi.[18]
Dalam al-Qur'an
lebih dari sepuluh persen ayat-ayat al-Qur'an merupakan rujukan-rujukan kepada
fenomena alam. Termasuk masalah kepentingan mendasar adalah menyingkap bentuk
risalah yang disebut-sebut ayat-ayat keilmuan yang didapati, bagaimana bisa
memanfaatkannya. Mengenai ini ada dua pandangan. Pertama, bahwa al-Qur'an mencakup
seluruh bentuk pengetahuan dan dengan demikian ia mencakup unsur dasar
ilmu-ilmu kealaman. Kedua, beranggapan bahwa al-Qur'an semata-mata kitab
petunjuk dan di dalamnya tidak ada tempat bagi ilmu kealaman. Di masa sekarang
banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat dalam sorotan pengetahuan
ilmiah modern. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan mukjizat al-Qur'an dan
untuk menjadikan kaum muslimin akan keagungan dan keunikan al-Qur'an dan
menjadikan kaum muslim bangga memiliki kitab agung seperti ini.[19]
Al-Qur'an merupakan
petunjuk utama bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Di dalamnya terkandung dasar-dasar hukum yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia. Di samping itu, al-Qur'an juga mengandung motivasi untuk meneliti alam
dan mencintai ilmu pengetahuan. Karena itu, sebagian isi kandungan al-Qur'an
yang cukup penting adalah ilmu pengetahuan. Memang, al-Qur'an tidak menyebutkan
semua persoalan secara eksplisit. Banyak hal dan masalah yang hanya disebut
secara implisit. Aspek ilmu pengetahuan dalam al-Qur'an tidak disebutkan secara
detail, melainkan secara global dan tugas manusialah untuk menemukan spesifikasinya. [20] Di antara spesifikasi ilmu itu yang bisa digali dalam
al-Qur'an adalah ilmu yang berhubungan dengan media tulis menulis yang lazim
disebut jurnalistik.
Ilmu pengetahuan
senantiasa memperbaharui teori dan analisa seiring perkembangan zaman dan
berlansung terus menerus sesuai dengan kemajuan zaman. Sampai saat ini ilmu
pengetahuan masih dalam keadaan antara kurang dan lengkap, antara samar dan
jelas, antara keliru dan mendekati kebenaran, tapi al-Qur'an memuat
prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan dan peradaban. Dengan begitu, al-Qur'an
tidak dapat dikatakan sebagai buku ilmiah atau ensiklopedi ilmu, tetapi ia
lebih layak disebut sebagai sumber yang memberikan motivasi dan inspirasi untuk
melahirkan ilmu pengetahuan dengan berbagai dimensinya, termasuk di dalamnya
dimensi kejurnalistikan.[21]
Q.S.al-Alaq
menegaskan bahwa proses pewahyuan terhadap Muhammad SAW adalah starting
point pengetahuan, karena bagaimanapun proses pewahyuan dimulai dengan
perintah: iqra'(bacalah!). Pembacaan adalah sebuah proses pengajaran,
sehingga setelahnya muncul dua pilar yang merupakan bagian dari pengetahuan.
Yang pertama: bahwa wujud yang berada di luar kesadaran manusia terbentuk dari
tanda-tanda yang saling berhubungan sebagiannya dengan sebagian yang lain.
Kedua: adalah kesadaran manusia terhadap tanda-tanda ini tidak mungkin bisa
sempurna kecuali dengan at-taqlim, yaitu pembedaan sebagian dari tanda
ini dengan sebagian yang lain. Alat-alat indera adalah instrument-instrument
material untuk perbedaan indekatif secara lansung.[22]
Melihat al-qalam
dalam pengertian metaforis sebagai alat-alat tulis terhadap abjad. Kita tidak
bisa mengatakan bahwa kita menulis surat dengan tinta putih pada kertas yang
putih. Karena terhadap yang demikian itu mata tidak bisa membedakannya. Akan
tetapi jika misalnya menulis diwarnai hijau pada kertas putih, ini adalah
pembedaan pertama, lalu di sana ada pembedaan yang kedua, yaitu terhadap
huruf-huruf sehingga kita bisa menyimbolkan suara nun dengan huruf nun,
suara lam dengan simbol huruf lam. Disebabkan karena ''nun'
dan ''lam'' adalah dua huruf yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Kemudian kita menyimbolkan keduanya dengan dua simbol yang berbeda untuk
membedakan perbedaan.[23]
Disebabkan karena
dasar-dasar pengetahuan manusia adalah kemampuan untuk membedakan pembedaan (qalam),
yang pada persepsi fua'adi mata berfungsi untuk membedakan warna,
dimensi bentuk yang menjadi kapasitasnya. Sedangkan telinga berfungsi untuk
membedakan suara sesuai dengan kapasitasnya pendengaran. Demikian juga
indera-indera yang lain, lalu setelah itu muncul pikiran abstrak dan
pengetahuan mengenai hubungan abstrak antara sebagian dengan sebagian yang
lain, yang pertama kali adalah melalui media bahasa lalu selanjutnya melalui
media bahasa yang sifatnya abstrak, bilangan dan symbol.[24]
al-Qur'an
menginformasikan bahwa salah satu media untuk mengadakan pembedaan yang sangat
berperan dalam bahasa abstrak manusia adalah suara ''nun''. Yang
demikian itu terdapat dalam firmannya'' nun, demi al-qalam dan apa
yang mereka tuliskan (Q.S.al-Qalam: 1). Kita bisa melihat di dalam bahasa
Arab, bentuk umum yang merujuk kepada sesuatu yang berakal ataupun tidak
berakal adalah bentuk mim (ma)
Q.S.an-Nahl: 49,'' dan kepada Allahlah apa (ma) yang di langit dan apa (ma)
yang di bumi bersujud. Lalu digunakanlah ''nun'' guna membedakan yang
khusus untuk yang berakal yaitu dengan kata ''man'' (Q.S.AL-Ra'd:15)
''dan kepada Allahlah siapa yang (man) di langit dan siapa (man)
di bumi bersujud baik dengan tunduk atau terpaksa. Ma (huruf mim)
adalah bentuk umum (sighah 'ammah) yang telah digunakan secara historis.
Sedangkan man adalah bentuk khusus (sighah khassah) untuk yang
berakal, yang muncul setelah ma yang di dalamnya digunakan suara nun (ma-n).
demikian juga nun memainkan peran dalam membedakan antara laki-laki
dengan perempuan. Yang demikian itu adalah pada nun an-niswah (nun
yang digunakan untuk menunjukkan jamak perempuan). Antum adalah bentuk
umum untuk laki-laki dan perempuan yang muncul sejak awal. Sedangkan antunna
adalah bentuk kalimat yang khusus untuk perempuan. Artinya bahwa mim
al-jamâ'ah mendahului nun al-niswah dalam penggunaan secara
historis.[25]
Dengan demikian
bahwa suara nun dalam konteks historisnya mempunyai peran sangat besar
untuk memberikan pembedaan (al-taqlim). Oleh sebab itulah suara nun
diikuti dengan firman-Nya'' demi al-qalam''. Dengan penambahan al-taqlim
(pembedaan), maka bertambahlah suara susunan dari segala dan inilah yang
dinamakan attashthir (pengkomposisian). Oleh sebab itulah dilanjutkan
dengan ''wa ma yasthurun''. Yasthurûn muncul dari kata sathara
yang dalam bahasa Arab mempunyai asal yang mandiri, yang menunjuk kepada makna
keteraturan sesuatu (classification) atau dengan istilah Arab (al-tashnif).
Artinya bahwa al-qalam adalah membedakan sebagian dari sesuatu dengan
sebagian yang lain. Inilah yang diistilahkan dengan identification. Lalu
diikuti dengan menyusun segala sesuatu sesuai dengan tempatnya, inilah yang
dinamakan at-tashthir. Dari kata sathara juga muncul kata al-usthurah
(mitos) yaitu menyusun sebagian dari segala sesuatu yang salah dengan sebagian
yang lain, untuk menghasilkan sebuah cerita. Oleh sebab itu dinamakan usthurah. Suara nun bisa menambahkan pembedakan
beberapa hal dari sebagian yang lain, di samping juga menambahkan pembedaan (al-taqlim)
yang membawa kepada adanya al-tashnif (penyusunan). Inilah yang
dikehendaki oleh Q.S. al-qalam: 1-2).[26]
Kelengketan
al-Qur'an dengan jurnalistik Islam yang membiaskan pengaruh yang sangat luas
dan dalam, itu eksis dalam hubungan keduanya yang seakan-akan saudara kembar
atau pinang dibelah dua. Bahwa al-Qur'an adalah ''kata Tuhan'' sementara
jurnalistik adalah ''tulisan tangan manusia'', menunjukkan kelengkapan persaudaraannya.
Hubungan peran keduanya dapat dipertegas bahwa al-Qur'an datang dari Tuhan
''pencipta segala sesuatu'', sementara tulisan manusia berperan
''mengekspresikan sesuatu''.[27]
Pengajaran dengan al-qalam
adalah suatu yang mutlak bagi manusia dan selainnya. Dan di antara makhluk yang
diajarkan secara memadai dengan al-qalam adalah manusia. Para ahli
tafsir menafsirkan firman-Nya ''yang mengajarkan manusia dengan al-qalam''
adalah simbolisasi mengenai pengajaran menulis, sebab alat yang digunakan untuk
menulis adalah al-qalam (pena).[28]
Dalam memahami dan
menangkap pesan jurnalistik al-Qur'an kita tidak bisa begitu saja
mencampuradukkan arti dari teks-teks yang kita baca dengan budaya, ilmu dan
ideology yang kita pegang, kita harus meninggalkan dahulu hal tersebut untuk
menggali pelbagai macam nilai, gagasan, keyakinan dan pemikiran ilmiah serta
sosial dari pesan-pesan yang tersurat dalam teks-teks itu sendiri, walaupun toh
nantinya kita temukan ketidaksesuaian gagasan tersebut dengan keyakinan kita
tersebut.
Betapa al-Qur'an
dengan gamblang menjelaskan pesan yang dibawanya, yaitu menerangkan kondisi
sosial kemasyarakatan yang dihadapi dan akan selalu ditemui oleh setiap gerakan
dakwah pada waktu, tempat serta karakteristik masyarakatnya yang berbeda-beda
pula. Al-Qur'an juga tidak luput memberikan gambaran bahwa kemampuan dan
kesiapan masing-masing ummat dalam mengikis kondisi dan merespon sesuatu yang
baru banyak bergantung pada beberapa hal. Pertama, situasi dan kondisi mental
yang dihadapi oleh suatu ummat dengan adanya peristiwa-peristiwa bersejarah
yang pernah dihadapinya. Kedua, kesiapan para pemimpin umat dalam menatap masa
depan bangsanya dengan terus mengobarkan semangat kebangkitan dan kemandirian
dalam menyonsong sebuah kemajuan.[29]
C. AYAT-AYAT JURNALISTIK
DALAM AL-QUR’AN
Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai
pemberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus (Q.S.al-Isra’ (17): 19).
Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk
bagi manusia dalam dua tujuan tersebut. Rasulullah SAW yang dalam hal ini
bertindak sebagai penerima wahyu al-Qur’an, bertugas menyampaikan
petunjuk-petunjuk tersebut., menyucikan dan mengajarkannya kepada manusia
(al-Mulk (67): 2).
Menyampaikan
petunjuk dapat diidentikkan dengan menginformasikan atau menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang diemban Rasulullah sebagai missi
dari Allah. Tujuan yang ingin dicapai dari kaitannya sebagai pembawa berita
kabar gembira dan pemberi peringatan adalah pemenuhan dari salah satu hak
manusia, yaitu hak untuk tahu (The Right to Know), yang berarti juga hak
untuk mendapatkan informasi yang lengkap, cermat, dan benar.
Dalam konteks
penggalian ilmu pengetahuan dalam al-Quran, maka kebiasaan membaca dan menulis
(Q.S. Al-'Alaq: 1-3) merupakan salah satu bentuk pengaruh al-Qur'an terhadap
perkembangan apa yang disebut dalam ere modern dengan jurnalistik. Ungkapan ini
bukannya tidak memiliki landasan normatif dalam al-Qur'an, di mana dalam
al-Qur'an banyak sekali uraian-uraian yang menjelaskan secara jelas
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ilmu kejurnalistikan, mulai dari
alat-alat jurnalistik seperti; kata midad (tinta):Q.S.Kahfi (18): 109,
Q.S.Luqman(13): 27. kata al-Qalam (pena): Q.S.Luqman (31): 27, Al-Qalam(68):
1, al-Alaq (96): 04, Ali Imran (3): 44. Kata Qirthas (kertas):
Q.S.al-An'am(6): 07, 91. Kata Lauh (batu tulis): QS.AL-Buruj (85):
21-23, al-Qomar (54): 13, al-A'raf (7): 145,150 & 154. al-Muddatsir (74):
29. Raqq (lembaran): Q.S.al-Tur
(52): 1-3, al-Kahfi (18):9, al-Muthaffifin(83): 9 & 20. Shuhuf
(helai-helai kertas): Q.S.Thaha (20): 33, al-Najm (53): 36, 'Abasa (80): 13,
al-Takwir (81): 10, al-A'la (87):18-17, al-Mudatssir (74): 52, al-Bayyinat
(98): 02., sampai kepada proses penginformasian dan penulisan berita yang
dilakukan dengan penuh etika qur'ani yang kemudian diemplementasikan
melalui penerapan kode etik jurnalistik,
sehingga pesan-pesan normatif al-Qur'an dapat dipahami secara baik dan benar
oleh masyarakat penerima pesan itu sendiri.
Dalam al-Qur’an,
kedudukan berita tidak dapat diremehkan. Ini terlihat dari 114 surat yang ada di dalam al-Qur’an, 33 surat diantaranya
memuat 66 kata berita dari 66 ayat. Meskipun tidak semuanya dapat dikatakan
sebagai ayat-ayat yang mempunyai unsur-unsur dan bermakna jurnalistik, begitu
juga surat-surat atau ayat-ayat lain yang tidak ada kata berita (annaba’,
al-khabar, dan sejenisnya) juga tidak menutup kemungkinan mengandung
unsur-unsur dan bermakna jurnalistik.[30]
D. UNSUR-UNSUR
JURNALISTIK DALAM AL-QUR’AN
Dalam teori
jurnalistik kontemporer dapat dikatakan bahwa karekteristik bahasa jurnalistik:
sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis,
logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing,
pilihan kata (diksi) yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, menghindari kata
atau istilah teknis, tunduk kepada kaidah etika.[31]
al-Qur’an
menjelaskan dirinya tentang bagaimana menyampaikan misi kewahyuan ilahi kepada
masyarakat. Hal ini terlihat dari konsep al-Qur’an tentang annaba’ atau al-khabar
[32]yang
di dalamnya ada kalimat, qaul, kalam.[33]
Pengertian kalimat
dalam konteks al-Qur'an.
Islam sangat memperhatikan ungkapan ''kalimat'' bahkan
menjadikannya sebagai sebutan etika yang wajib diikuti, sama ada kalimat itu
ditulis, dilafazhkan didengar atau dilihat. Kalimat: setiap lafazh
tertulis atau terbaca terlihat, terucapkan al-Qaul: setiap lafazh yang
terucapkan dari lidah manusia, sempurna atau kurang sempurna. al-Kalimat
dalam konteks ilmu komunikasi jurnalistik jauh lebih umum dan lebih mencakup
dari yang lain, sedangkan al-Qaul sebatas apa yang diucapkan. Konteks
kalimat disini amat sangat general, kecuali jika digabungkan dengan
konteks-konteks yang lain, maka akan memiliki makna tersendiri, jelas dan dapat
membedakan dengan makna yang lain.
a. Kalimat
Allah
Kalimat
Allah adalah agama Allah, hukum Allah, syariat Allah dan semua yang datang
dari Allah berupa perintah dan larangan. Kata ini dalam perspektif jurnalistik
informasi harus menjadi yang tertinggi yang tidak ada informasi yang paling
tinggi selain kalimat Allah bukan kalimat fanatisme, kalimat egoisme pribadi,
kelompok, bukan pula kalimat yang tidak ada guna dan mamfaatnya sama sekali.[34]
b.
Kalimatu allazîna kafarû
Ungkapan
orang-orang yang menentang perkataan atau kalimat Allah dengan cara menjauhinya
dari kebenaran dalam menginformasikan kepada orang lain atau memperolok-oloknya
diantara ungkapan orang-orang kafir trinitas Tuhan, pengingkaran adanya Tuhan,
rasul.
c. al-Kalimah al-Sawa'
Yaitu kalimat
keadilan dan kalimat perdamaian dan kalimat harmonis yang diungkapkan oleh para
pemikir di kalangan manusia dengan memaparkan argumentasi dan dialogis yang
baik dan benar.[35]
d. Kalimat al-Kufr
Kalimat
ini bisa jadi diungkapkan oleh orang-orang munafiq, orang yang beriman,
orientalis, sekuler dll.[36]
e. Kalimat al-Taqwa
Kalimat
thayyibah; setiap kata yang menunjukkan kepada kebaikan dan menyuruh kepada
kemashlahaan pribadi, sosial, dan masyarakat. Setiap untaian kata, kalimat,
yang lafazhnya indah, maknanya mendalam, tidak kata-kata keji, kotor, kata
penghinaan. Setiap kata yang lemah lembut yang merasup ke dalam hati,
menghilangkan kepanikan, dan berbekas pada telinga yang mendengarkan.dst.[37]
f.
al-Kalimat al-Khabitsah
Kalimat
yang jelek itu adalah setiap kalimat yang menyuruh kepada kejelekan dan
kejahatan yang berefek kepada kerusakan personal, keluarga, dan masyarakat.[38]
Adapun
kalam ucapan atau etika komunikasi yang dimaksud adalah: La taqulu raa'ina
wa qulu nzurna.[39] An
yatthabiqa al-qaul bi al-fi'il,
yaitu kebersesuaian antara perkataan dengan perbuatan [40] Annahyu
an isro' fi ithlâqî al-tasmiyât al-khâti'ah ala annâs (tidak cepat mencap orang jelek, salah atau mencap orang
kafir)[41] An
lâ yudâfi'a annil mashbuhîn,
jangan membela orang-orang yang mengkhiyanati Allah dan rasul.[42]
Dari
etika ini tercermin dalam hal-hal yang penting untuk disampaikan dalam
informasi jurnalistik: berita harus valid benar, dan tidak arogan, sempurna
tidak dikuran-kurangi, jelas tidak berbelit-belit, tidak berita using, sunyi
dari keji, kehinaan, cacian, dan tuduhan, sempurnanya capaian yang maksimal
dengan cara yang jelas dan tanpa adanya tipu daya, fitnah, ghibah, amar makruf
dan nahi munkar, tersebarnya nilai-nilai keislaman yang tidak menyimpang dari
ideologi dan prinsip-prinsip dasar informasi bahasa Arab karena memang bahasa
al-Qur'an bukan fanatisme bahasa.[43]
E.
PRAKTEK JURNALISME DALAM AL-QUR’AN
Titik tolak utama
bagi perlunya pembacaan kontemporer secara umum adalah bertumpu pada usaha
penciptaan suasana penafsiran yang diletakkan dalam kerangka ilmu pengetahuan
manusia yang lebih luas, dan secara khusus diletakkan dalam konteks filsafat
dan linguistik modern. Hal ini dapat dilakukan pembedaan krusial antara dua
bentuk yang berbeda dari wacana agama: pada level yang lain terdapat pemahaman
manusia terhadap realitas ilahiyah tersebut, yaitu tentang sesuatu yang abadi,
kekal, absolute: sementara pada level yang lain terdapat pemahaman manusia
terhadap realitas tersebut, yaitu sesuatu yang bersifat profan, bisa berubah,
parsial dan relatif. Karena yang
terakhir merupakan produk interaksi dengan paradigma intelektual pada
masyarakat manusia tertentu, maka ia berada dala sebuah proses perkembangan dan
penyempurnaan yang terus-menerus. Lebih dari itu kapasitas manusia untuk
menyerap alam ilahiyah yang demikian konfleks akan meningkat bersamaan dengan
kemajuan dan pencapaian ilmu pengetahuan terutama pengetahuan tentang media
informasi, telekomunikasi, media cetak
dan elektronik.[44]
Pers, baik media
cetak maupun media elektronik merupakan saluran penyebaran informasi yang cukup
efesien dan efektif. Efektif karena kekuatan daya persuasinya yang mampu menembus
daya rasa dan pikir para pembaca atau pendengarnya. Sedangkan efesien, karena
luas terpaannya yang dapat menjangkau jutaan bahkan ratusan juta massa yang
secara geografis tersebar di berbagai tempat dan suasana. Karena itu, bagaimana
pun sederhananya, pada akhirnya, ia akan mampu membentuk opini massa secara massal, yang sekaligus akan
membingkai peta pengetahuan, pengalaman, dan setiap komunikan yang menjadi
sasarannya.[45]
Jadi, pers memiliki
peran yang cukup besar dalam merekayasa pola kehidupan suatu masyarakat.
Termasuk, salah satunya, dalam memberikan pengetahuan dan membingkai pengalaman
keagamaan. Sebab, meskipun agama lahir dalam dimensi transendental, pengalaman
keagamaan sebagian besarnya, sudah berada pada dataran kehidupan profan. Ia
membutuhkan proses transformatif, mulai dari penyebaran informasi pesan-pesan
keagamaan hingga upaya pembentukan sikap dan perubahan perilaku. Dari sisi
kepentingan ini, pers merupakan media yang relatif lebih mampu untuk
menyebarkan pesan-pesan tersebut.[46] Sebaliknya, pada kenyataannya media massa juga sangat
dipengaruhi oleh masyarakat. Ini terbukti, misalnya, pada kehendak pers dalam
menyiasati kecendrungan massa. Terjadinya semacam ''keharusan''untuk melakukan
perubahan orientasi suatu media ketika terdapat kecendrungan masyarakat yang
berubah. Jadi, masyarakat pada gilirannya akan mewarnai serta ikut menentukan
arah suatu media massa yang tumbuh di tengah-tengah kehidupannya.[47]
Munculnya sejumlah
pers, baik cetak maupun elektronik, yang lebih berwarna keagamaan, merupakan
salah satu indikator sedang berlansungnya upaya menyahuti kecendrungan
masyarakat dalam kehidupan beragama. Suasana kehidupan beragama di Indonesia
yang terasa semakin bergairah ini perlu memperoleh respon yang positif dari
berbagai kalangan, termasuk kalangan pers. Masalah-masalah menyangkut pemahaman
keagamaan, pembaharuan pemikiran ajaran Islam, tentang aspirasi umat, dan
lain-lain akan dapat dengan mudah dikaji dan didekati dengan kaca mata dan
melalui media komunikasi.[48]
Dalam perubahan
masyarakat dewasa ini kemajuan teknologi merupakan sesuatu yang amat
diagungkan. Untuk hidup sejahtera dan makmur lahir bathin masyarakat
seakan-akan menempatkan fenomena tersebut sedan berbagai pilihan satu-satunya.
Siapa yang menguasai teknologi canggih dialah yang makmur, sejahtera dan
berkuasa. 'menguasai' di sini dalam arti luas, termasuk pernan sebagai
penghasil (produsen), pencipta di samping sebagai pengguna teknologi modern.[49] Tapi dalam perkembangan itu kian tampak bahwa ilmu
pengetahuanlah yang menguasai manusia. Agama pun memperoleh alasan yang kuat untuk
memperoleh peranannya dalam masyarakat yang sedang dikuasai oleh kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan itu. Agama menilai kemajuan iptek amat rawan
sekularisasi atau desakralisasi kecuali ia dikendalikan oleh Agama (iman).[50]
Lebih lanjut tugas
utama dakwah masa depan harus lebih diorientasikan pada upaya-upaya untuk
membangun masyarakat yang berbasis informasi; yakni masyarakat yang sadar
informasi serta sanggup memproduksi informasi untuk kebutuhannya sendiri. Dalam
rangka menghadapi tantangan ini yang harus dilakukan pertama kali adalah
bukanlah mengadopsi berbagai perangkat teknologi informasi modern yang serba
canggih dan mahal, yang justru akan semakin menambah ketergantungan dan
kesenjangan sosial yang tajam, akan
tetapi mesti dimulai dengan jalan mendirikan infrastruktur-infrastruktur
kognifif (informasi) yang paling
sederhana, tetapi amat vital peranannya sebagai pemicu ke arah
eksplorasi-eksplorasi lanjutan.[51]
Atas dasar
pemikiran di atas, al-Qur'an dengan tegas menyatakan dalam beberapa ayat, bahwa
setiap gerakan dakwah akan berhadapan lansung dengan dua tipologi umat.
Pertama, umat kehilangan jangkar, sehingga mereka sulit untuk maju kedepan,
mereka terlanjur terjerat dalam lingkungan tradisinya sendiri (Q.S. 36: 6).
Kedua, umat yang jiwanya siap menerima ajakan untuk maju, umat ini yang
digambarkan dalam al-Qur'an dengan orang yang siap menerima peringatan dari
Allah swt dan takut kepada Allah swt. (Q.S.36: 11). Dengan demikian al-Qur'an
sangat peka dengan perkembagan zaman termasuk di dalamnya perkembangan dunia
komunikasi dan informasi yang pasti dilalui dan dihadapi oleh ummat ini, dan
kemudian bagaimana pemimpin ummat ini, para da'i untuk tetap eksis dan mampu
berkompetisi dalam meraih ilmu pengetahuan setinggi-tingginya, bahkan al-Qur'an
sendiri menantang umat manusia untuk menjelajah alam antariksa dengan tetap
berpedoman kepada ilmu pengetahuan(Q.S.Arrahman,55:33). Itulah argumentasi
tentang kejurnalistikan al-Quran dalam melihat Fenomena-fenomena sosial yang
berkembang di masyarakat modern atau pun masyarakat kontemporer saat ini, maka kajian ini amat urgent untuk
memotret fenomena-fenomena tersebut sekaligus ada upaya kritik terhadap fenomena-fenomena
tersebut jika bertentangan dengan norma-norma al-Qur'an.[52]
Dalam inplementasi media jurnalistik di tengah-tengah masyarakat, tidak semua informasi yang disampaikan kepada masyarakat menjadi konsumsi yang mendidik bagi mereka, ini diakibatkan karena media jurnalistik kontemporer sudah menyimpang jauh dari kode etik yang melekat pada media itu sendiri, atau pada pelaku jurnalitik yang tidak menjalankan fungsi dan perannya sebagai pemberi informasi kepada masyarakat dengan mengedepankan etika dan moral yang luhur, hal inilah yang menjadi penyebab utama kenapa nilai-nilai jurnalistik kontemporer sudah mengikis di kalangan pengelola media itu sendiri, dan al-Qur'an sendiri menyoroti hal tersebut dalam aspek-aspek nilai dan moral yang seharusnya diterapkan dalam memberikan informasi yang akurat, tepat dan amanat.
Pertama, mencari
informasi pada sumber yang lebih tepat dan akurat.
Kedua, menanyakan
sesuatu yang tidak justru menimbulkan resiko kepada para penanya.
Ketiga, melakukan check and recheck
terhadap sebuah informasi.
Keempat, tidak
melakukan pemerasan terhadap obyek informasi.
Kelima,menjauhi
prasangka dan prejudice dalam investigasi.
Keenam,menghindari
trial by the press yang mengakibatkan pembunuhan karir dan karakter seseorang
atau sekelompok orang.
Ketujuh, senantiasa
memohon perlindungan kepada Allah agar terhindar
dari resiko negatif karena kekeliruan investigasi.
dari resiko negatif karena kekeliruan investigasi.
Kedelapan,
tidakbernada mengejek, mengungkap aib orang lain, atau menggunakan inisial yang
merugikan orang lain.
Kesembilan,
memberikan hak jawab dan klarifikasi kepada mereka yang menjadi obyek
pemberitaan.
F. REALITAS DAKWAH MELALUI
JURNALISME
Dakwah dalam
konsepsi yang berkembang sekarang ini amat menghambat kreativitas pengkajian
dan sesungguhnya bisa dibilang sebagai proses penumpulan konseptual dan
pengembangan proses dehumanisasi. Padahal dalam tradisi dan keyakinan semula,
dakwah justru dimaksudkan sebagai sarana humanisasi. Oleh karena itu, sudah
seharusnya diupayakan suatu konsepsi baru yang menjadikan masyarakat sebagai
subjek dakwah perubah bukan objek penonton. Di sini dakwah mesti diawali dari
suatu kesadaran bahwa tidak ada seorang pun yang berhak menjadi da'i, akan
tetapi justru masyarakat adalah da'i bagi mereka sendiri. Oleh karena itu,
dakwah mesti merupakan suatu proses dialog untuk menumbuhkan kesadaran
masyarakat untuk menumbuhkan potensi mereka sebagai makhluk kreatif, juga
kesadaran bahwa mereka diciptakan Allah untuk berkemampuan mengelola diri dan
lingkungannya. Dengan begitu esensi dakwah justru tidak mencoba mengubah
masyarakat, tetapi menciptakan suatu kesempatan sehingga masyarakat akan
mengubah dirinya sendiri. Dengan kata lain, kesadaran kritis dalam memahami
masalah dan menemukan alternatif jawabannya adalah justru tugas utama dakwah.
Maka dari itu, da'i yang dibutuhkan di masa depan adalah da'i partisipatif,
yakni da'i yang mampu menciptakan dialog-dialog konseptual, yang
memberikan kesempatan kepada umatnya untuk menyatakan pendapatnya,
pandangannya, merencanakan dan mengevaluasi perubahan sosial yang mereka
kehendaki, serta bersama-sama menikmati hasil proses dakwah tersebut.
Saat ini, dakwah
melalui media cetak telah dan sedang menemukan momentumnya untuk berkembang
lebih jauh, karena didukung oleh dua faktor penting;
Pertama, Factor
Internal, di dalam spirit Islam dakwah media Cetak (dakwah Bi al-Qalam)
menempati tempat istimewa. Ia merupakan salah satu metode dakwah yang pernah
dilakukan dan dijalankan oleh para Nabi, termasuk Nabi Muhammad. Motivasi
normatif al-Qur'an untuk menggunakan tulisan sebagai media dakwah
kemudian mendapatkan momentumnya sejak Nabi Sulaiman mengajak Ratu Balqis lewat
surat-menyuratnya ini bisa diketahui lewat informasi al-Qur'an. Tradisi
tersebut dilanjutkan oleh Nabi Muhammad yang mengajak penguasa-penguasa besar untuk
memeluk Islam lewat surat. Sampai saat ini, kala ditemukan media cetak tradisi
berdakwah dengan media cetak (al-Qalam) terus berjalan dan mencapai
kemajuannya.
Kedua, Factor
Eksternal. Yang dimaksud dengan factor ekstern adalah teknologi. Dukungan
teknologi terhadap dakwah melalui media cetak sangatlah besar. Kita bisa
melihat begitu banyak format dakwah melalui media cetak, maupun media maya,
seperti kitab/buku, majalah, surat kabar, tabloid, brosur-brosur Islam,
internet dan lain-lain. Dan
dapat dipastikan format yang sudah ada semakin dipercanggih oleh teknologi di
masa datang.
Hasil-hasil yang
telah dicapai oleh media massa yang mengusung tema-tema Islami bisa disebutkan
sebagai berikut :
1.
Peran media massa Islam sebagai media komunikasi massa
religius dan Islami telah berhasil memerankan diri sebagai media cetak dan
corong kemajuan bangsa. Artinya, mampu berfungsi sebagai sumber informasi
objektif-positif, control social yang konstruktif, penyalur aspirasi masyarakat
atau penyambung kehendak dan minat masyarakat, serta sebagai mobilisator dan
dinamisator pembangunan.
2.
Media massa Islam telah sanggup menjadi media profetik ;
mampu menjadi pembawa amanat atau risalah agama dalam menegakkan kebenaran dan
mencegah kemungkaran.
3.
Media massa Islam telah mampu menjadi ''agen pemersatu
bangsa Indonesia''.
4.
Media massa
Islam telah memiliki alat komunikasi modern dan dikelola secara lebih
professional.
Oleh karena itu, pengaturan dan pengelolaan media
massa yang termasuk dalam sarana dakwah seperti kitab/buku, majalah, surat
kabar, dan tabloid atau sejenisnya dan Negara memberikan izin bagi masyarakat
untuk menerbitkan hasil-hasil karyanya.
Dengan fungsi-fungsi
tersebut, dakwah melalui media cetak baru bisa tumbuh sehat dan baik
bila digunakan secara luas dan berperan dalam kehidupan. Satu tulisan, jangan
harapkan berkembang dengan baik bila tidak menjadi suatu media yang aktif dalam
masyarakat. Dan inilah yang menjadi tantangan utama dari media cetak itu
sendiri yang berawal dari ندرة الصحفيين المؤهلين
: Kekurangan Ahli Di Bidang Kejurnalistikan,قلة
الاموال : Modal وجود
القيود الحكومية :
Interpensi Pemerintah
PENUTUP
Pertama,
sebagai pendidik (mu'addib), yaitu melaksanakan fungsi edukasi Islami.
Ia harus menguasai ajaran Islam dari rata-rata khalayak pembaca. Lewat media
massa, ia bisa mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya. Ia memiliki tugas mulia untuk mencegah umat Islam dari
pelaku yang menyimpang dari syaria'at
Islam, juga melindingi umat dari pengaruh buruk media massa non-Islami yang
inti Islami.
Kedua, sebagai pelurus informasi (Musaddid). Setidaknya
ada tiga hal yang harus diluruskan oleh praktek jurnalisme: Informasi tentang
ajaran dan ummat Islam, Informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam,
Lebih dari itu, jurnalisme Islam dituntut mampu menggali kondisi ummat Islam di
perbagai penjuru dunia.
Peran musaddid
terasa relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan ummatnya
yang datang dari pers Barat biasanya biased (menyimpang, berat sebelah)
dan distorsif, manifulatif, dan penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang
tidak disukainya. Di sini praktek jurrnalisme Islam dituntut berusaha mengikis
Islamophobia yang merupakan produk
propaganda pers Barat yang anti Islam.
Ketiga, sebagai pembaharu (mujaddid), yakni penyebar
paham pembaharu akan pemahaman dan pengalaman ajaran Islam. Jurnalis muslim
hendaknya menjadi juru bicara para pembaharu yang menyerukan umat Islam untuk
memegang teguh al-Qur'an dan al-Hadits, memurnikan pemahaman tentang Islam dan
pengalamannya dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan ummat.
Keempat, sebagai pemersatu (muwahid), yaitu harus mampu
menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik
jurnalistik yang berupa imapriality (tidak memihak) pada golongan
tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi (both side
information) harus ditegakkan. Jurnali muslim harus membuat jauh? Sikap
sekterian yang baik secara ideal maupun komersial tidaklah menguntungkan.
Kelima, sebagai pejuang (mujâhid),
yaitu pejuang pembela Islam melalui media massa. Jurnalis muslim berusaha keras
membentuk pendapat umum yang mendorong penegakan nilai-nilai Islam,
menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif dan rahmatan
li
al-âlamîn.
Dari kelima peran
jurnalisme Islam di atas, dapat disimpulkan tiga unsur dalam praktek jurnalisme melalui media cetak;
1.
at-Taujîh, yaitu memberikan tuntutan dan pedoman serta jalan hidup melalui media
cetak, mana yang harus dilalui manusia dan jalan mana yang harus dihindari,
sehingga nyatalah jalan hidayah jalan yang sesat.
2.
at-Tagyhîr, yaitu mengubah dan memperbaiki keadaan pembaca kepada
suasana hidup yang baru yang didasarkan pada nilai-nilai Islam.
3.
at-Tarjîh, yaitu memberikan pengharapan akan sesuatu nilai agama yang disampaikan
para penulis-penulis. Dalam hal ini media cetak sebagai sarana dakwah harus
mampu menunjukkan nilai apa yang terkandung di dalam suatu pemerintah agama
sehingga dirasakan sebagai suatu kebutuhan vital dalam kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an Al-Kariem Bi Al-Rasm Al-Utsmani, (Beirut: Dar al-Fajr al-Islamy, 1991)
Adinegoro, Dj , Publisitik dan Jurnalitik 1, (Djakarta: Gunung
Agung), ttp
------------------, Publisistik dan Jurnalistik 2, (Djakarta: Gunung
Agung), ttp
al-Bayanuni, Syekh Muhammad Abu al-Fath, al-Madkhal Ila ILmi al-Dakwah,
(Madinah: Muassasah al-Risalah,t.tp )
al-'Alma'i, Zahir ibn 'Awad, Dirasat Fi al-Tafsir al-Maudhu'I li
al-Qur'an al-Karim, Riyadh:T.Pn, 1984.
al-Shadr, Muhammad Baqir, al-Madrasah
al-Qur'aniyah: al-Tasir aL-Maudhu'I wa al-Tafsiral-Tajzi'I fi al-Qur'an al-Karim,
Beirut: Dar al-Ta'aruf li al-Mathba'ah, T.th).
al-Farmawy, Abd al-Hay, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i, (Mesir:
Maktabah Jumhuriyah, 1977)
Al-Ragib al-Isfahany, Mu'jam Mufradat Al-fazh al-Qur'an,(Beirut: Dar
al-Fikr, ttp)
Assibag, Bassam, al-Dakwah wa al-Du'at Baina al-Waqi' wa al-Hadf,
dalam Samih 'Athif al-Zein,Shifat al-Da'iyah wa Kaifayatuhu Hamli al-Dakwah,
TP: 2000
al-Dimsyiqi, Abu al-Fidha' Ismail bin Katsir al-Quraisy, Tafsir Ibn
Katsir,Beirut: A'lam al-Kutub, tth.
Fakh al-Razy, Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar al-Haya' al-Turats al-Arabi,
1990.
al-Qurthuby, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Abshari, Jami'al-Ahkam
Al-Qur'an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1988.
al-Thabari, Abu Ja'far Muhammad ibn
Jarir, Jami' Al-Bayan 'An Ta'wil Ayi
Al-Qur'an, Beirut: Syarikah Iqamah al-Din, ttp.
al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghy, Beirut: Dar al-Fikr,
1973.
al-Shabuni, Muhammad Ali, Rawa'i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, Beirut: A'lam
al-Kutub, 1986.
al-Syuyuthi, Jalaluddin Muhammad ibn al-Mahalli dan Jalaluddin ibn
Muhammad, Tafsir al-Jalalayin, Surabaya: Syirkah wa Matba'ah Salim
Nabhan wa Auladuh, 1958.
al-Banteni, Muhammad Nawawi, Tafsir al-Munir li Ma'alim al-Tanzil,
Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
al-Thabataba'i, Muhammd Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an,
Beirut: Dar al-Fikr, ttp.
al-Zamakhsyari, Tafsir
al-Kassyaf 'an Haqaiq al-Tanzil
wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta'wil, Mesir: Syirkah Mathba'ah Musthafa
al-Babi al-Halab wa Auladuh, T.th.
al-Barwaswi, Ismail Haqqi, Tafsir
Ruh al-Bayan, Beirut: Dar Ihya'
al-Turats al-Araby, T.th.
al-Garnathi, Muhammad Yusuf, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Beirut: Dar
al-Fikr, 1983.
al-Taskhiry, Muhammad Ali, al-Shahwah al-Islamiyah wa al-I'lam,
Teheran: Rabithah al-Tsaqofiyah fi al-Alaqat al-Islamiyah, 1997.
Abd Halim, Muhyiddin, al-I'lam al-Islamy Tathbiqatuhu al-Ilmiyah,
Cairo: Maktabah al-Khanji, ttp
al-Syinqity, Sayyid Muhammad
Sadatiy, Ushul al-I'lam al-Islamy wa Ususuhu: Dirasah Tahliliyah li
Nushush al-Akhbar fi surat al-An'am, Riyadh: Dar alim al-Kutub, 1406/1987.
al-Farmawy, Abd al-Hay, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i, Mesir:
Maktabah Jumhuriyah, 1977.
al-Zarqani, Muhammad 'Abd al-Adzim, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur'an,
Beirut: Dar al-Kutub, 1944.
-----------, Mafahim I'lamiyah min al-Qur'an al-Kariem: Dirasah
Tahliliyah Li Nushushin Min Kitab Allah, Riyadh: Dar alim al-Kutub,
1406/1987
al-Anshory, Ali Rifa'ah, al-I'lan, Cairo: Dar al-Nahdhah
al-Haditsah, 1975
Amir, Mafri, Etika Komunikasi Massa Dalam Islam, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu), 1999, cet.II.
Badar, Ahmad, al-I'lam al-Dualy: Dirasat fi al-Ittishal wa al-Di'ayah
al-Daulawiyyah, Kuwait: Wakalah al-Mathbu'ah, 1982,cet.3.
Berger, Arthur
Asa, Media and Communication Research Methods: An Introduction to
Qualitative and Quantitative Approaches, (New Delhi: Sage Publication,
Inc,1933).
Bond, Fraser F.,
An Introduction to Journalism, (New York: Macmillan Company), 1961
Cassandra.L.Book,
at all, Human Communication: Principle,Contexts, and Skills, (New York :
St.Martin’s Press, 1980)
Dodge, Jhon., & Goerge Viner, The Practice of
Journalism, (London: Heinemann), 1967.
Everett
M.Rogers, Intercultural Communication, (USA:Waveland Press,Inc,1999)
Fahmi, Hifni
Ali, Sinergi Integrasi Iklan, Komunikasi, Public Relation, Pemasaran Dan
Promosi, (Jakarta: Quantum), 2005.
Hamzah, Abd
Lathif, al-I'lam lahu Tarikhuhu wa Mazahibuhu, Cairo: al-Fikr al-'Araby,
1960.
------------, al-I'lam
fi Sadr al-Islam, Cairo: al-Fikr al-'Araby, 1970.
------------,
al-I'lam wa al-Di'ayah, Cairo: al-Fikr al-'Araby, 1984 .
Hude,
H.M.Darwis, Dkk, Cakrawala Ilmu Dalam Al-Qur'an, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002, Cet.2.
Hijab, Munir, Nadhariyat
al-I'lam al-Islamy :al-Mabadi' wa al-Tathbiq, al-Hai'ah al-Mishriyyah
al-ammah Li al-Kitab Furu' al-Iskandariyah, 1982.
Hidayat,Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta: Teraju,
2003)
Joseph A.
Devito, Human Communication: The Basic Course, (New York: HarperCollins
Publisher,1991)
Khatim, Abdul
Kadir, al-I'lam wa al-Di'ayah:Nazhariyah wa Tajarib, Cairo: Maktabah
Anjlo al-Mishriyah, 1973
Kriyanto, Rahmat, Teknis Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta:
Kencana), 2006
Kusumaningrat ,Hikmat ,& Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori
dan Praktik, (Bandung: Rosda Karya, 2006), cet II.
Imam, Ibrahim, al-I'llam al-Islamy al-Marhalah al-Syafahiyyah,
Cairo: Maktabah al-Anjlo al-Mishriyyah, 1980.
-----------, al-Alaqat al-Ammah wa al-Mujtama', Cairo: al-Anjlo
al-Mishriyyah, 1967, cet.2.
----------, Fan al-Alaqat al-Ammah wa al-I'lam, al-Anjlo
al-Mishriyyah, 1968, cet.2.
Latief, Yudi, Perpustakaan Sebagai Garda Informasi:Menuju Tranformasi
Dakwah (3), dalam Asep Saiful Muhtadi & Sri Handayani (editor),Dakwah
Kontemporer: Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi, (Bandung: Pusdai Press,
2000) cet. 1.
Liliweri, Alo, Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001)cet.1
Larry A. Samovar, Communication Between Cultures, (USA: Wadsworth,
2001)
Leo W.Jeffres, Mass
Media Prosess and Effects, (USA: Waveland Press,1986)
Lull, James, Culture-On-
Demand: Communication in a Crisis World, USA: Black Well Publishing, 2007)
cet. 1.
Santana,
Septian, K, Jurnalisme Kontemporer, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia),
2005, cet.1
-----------, Jurnalisme
Investigasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), edisi 1.
Salma, Ali , Idarah al-I'lan, Cairo : Dar
al-Ma'arif, 1976, cet.1
Syahrur, M., al-Kitab
wa al-Qur'an: Dialektika Kosmos dan Manusia: Dasar-dasar Epistimologi Qur'ani, terj.
M.Firdaus, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004, cet.1.
Syahrur, M.,al-Kitab
wa al-Qur'an: Qira'ah Mu'ashirah, Damaskus: al-Ahali li Thiba'ah wa
al-Nashr wa al-Tauzi',1991.
Suf Kasman, Jurnalisme Universal: Menelusuri Prinsip-Prinsip Dakwah Bi
Al-qalam Dalam Al-Qur'an,(Jakarta: Teraju, 2004) cet.1 )
Suhandono, Kusnadi, Pengantar Jurnalistik Seputar Organisasi, Produk dan
Kode Etik, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), cet.1.
Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Rosyda Karya, 2006),
cet.1
Stuart Allam, Issues
in Cultural and Media Studies, (Pheladelphia: Open University Press, 1999)
Susanto, Astrid S, Kommunikasi Massa, (Bandung:
Bina Cipta), 1986.
Santana,
Septian, K, Jurnalisme Kontemporer, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia),
2005, cet.1
------------,
Jurnalisme Investigasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), edisi 1.
Sumadiria, AS
Haris, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis &
Jurnalis Profesional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005),cet.II.
-----------, Jurnalitik Indonesia: Menulis
Berita dan Feature: Panduan Praktisi Jurnalis Profesional, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media), 2006, cet.II.
------------, Bahasa
Jurnalitik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media), 2006, cet.I.
Syahathah,
Abdullah, al-Da'wah al-Islamiyah wa al-I'lam al-Diniy, Cairo: Maktabah
Wahbiyyah, ttp
Shihab, Muhammad
Quraisy, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan,1999
-------------,
Muhammad Quraisy, Tafsir al-Misbah, Bandung: Mizan, 1999.
Muhtadi, Asep
Saeful, Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktik, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), cet. II
_______, Asep
Saiful, & Sri Handayani (editor), Dakwah Kontemporer: Pola Alternatif
Dakwah Melalui Televisi, (Bandung: Pusdai Press, 2000) cet. 1.
Muis, Abdul, Komunikasi Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001)
Mulyana, Dedy, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja
Rosda Karya,2001)
----------, Nuansa-nuansa
Komunikasi:Meneropong Politik Dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer,
(Bandung: Rosda Karya, 2001) Cet.2
----------,(Ed), Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi Dengan
Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: Rosda Karya, 2003)cet.7
Muhammad Sayyid, Muhammad, al-Mas'uliyah al-I'lamiyah fi al-Islam,
Cairo: al-Khanji, 1983, cet.1
----------, al-I'alam wa al-Tanmiyah, Cairo: Maktabah al-Khanji,
ttp.
Macdougll, Curts
D, Interpretative Reporting, (New York: Macmillann), 1977.
Najib, Imarah, al-I'lam
fi Dhau'il al-Islam, Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 1400/1980
Rasyid, Ahmad 'Adil, al-I'lam, Beirut: Dar
al-Nahdhah al-Arabiyah, 1981, cet.1
Rudy, T. May, Komunikasi & Hubungan
Masyarakat Internasional, (Bandung: PT Refika Aditama), 2005, cet.1
Rubin, Redecca
B, Communication Research: Strategi and Sources, (Canada: Waas
Worth,2000). 5th ed,
Ridha, Muhammad
Rasyid, Tafsir al-Manar, Cairo: Dar al-Manar, 1367 H.
Rusyty,Jihan, al-Usus
al-Ilmiyyah fi Nazhriyat al-I'lam, Cairo: Dar al-Fikr al-Arabiyah, 1975,
cet.I
William B
Budykunts,at all, Communication In Personal Relationships Across Cultures,(USA:
Sage Publication, 1996)
Wilbur Schramm, The
Process And Effect Of Mass Communications, (Urbana: University of Illinois
press,1995)
[16] Baca
(Q.S. 17: 18,30: 7, 69: 38-39). Lihat juga penjelasannya pada Al-Qiyadah
Al-Sya'biyah Al-Islamiyah Al-Alamiyah, Nahwa I'lam Al-Islamy, , cet.11,
2000, h. 15.
[20] M.Darwis
Hude, Dkk, Cakrawala Ilmu Dalam Al-Qur'an, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2002), Cet.2. h.2-3.
[21] M.Darwis Hude, Dkk, Cakrawala..h.4.
[22]M.Syahrur, al-kitab wa
al-Qur'an: Dialektika Kosmos dan Manusia: Dasar-dasar Epistimologi Qur'ani,
terj. M.Firdaus, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), cet.1. h.150. Buku
ini diterjemahkan dari bab kedua buku; M.Syahrur, al-Kitab wa
al-Qur'an:Qira'ah Mu'ashirah, (Damaskus: al-Ahali li Thiba'ah wa al-Nashr
wa al-Tauzi',1991).
[27]Andi
Faisal Bakti, Ph.D, dalam kata pengantar, buku: Suf Kasman, Jurnalisme
Universal: Menelusuri Prinsip-prinsip Dakwah bi al-qalam dalam al-Qur'an,
(Jakarta: Teraju, 2004) cet.1.h.x-xi
[30] Surat-surat yang memuat ayat yang menggunakan kata berita
di dalamnya adalah, Q.S Ali Imran (3): 44, Q.S.al-Nisa’ (4): 83, 165., Q.S
AL-Maidah (5): 19, 42, 41., Q.S, AL-Anam (6): 5, 34, 67., Q.S, aL-A’raf (7):
57, 175, 185, 188, 101., Q.S, aT-Taubah (9): 70., Q.S.Yusus (10): 64, 71., Q.S.
Hud (11): 71, 74, 49, 100., Q.S.Yusuf (12): 87, 102., Q.S Ibrahim (14): 9., Q.S
AL-Hijr (15): 18, 54., Q.S al-Nahl (16): 59., Q.S AL-Kahfi (18): 56., Q.S.
AN-Nur (20): 11,12, 13, 14, 15, 16, 19., Q.S ASSY-Syu’ara’ (26): 6, 221.,
Q.S.an-Naml (27): 2, 22., Q.S. AL-Qashas (28): 29., Q.S. Arrum (30): 46., Q.S.
Lukman (31): 15., Q.S. AL-Ahzab (33): 20, 47, 60., Q.S. Saba’ (34): 7, 28.,
Q.S. Fathir (35): 24., Q.S Shad (38): 21, 67, 88., Q.S Az-Zumar (39): 7, 17.,
Q.S al-Fusshilat (41): 4, 50., Q.S al-Fath (48): 8., Q.S al-Hujurat (49): 6.,
Q.S an-Najm (53): 59., Q.S. al-Qamar (54): 28., Q.S al-Mujadilah (58): 6,7.,
Q.S. al-Jum’at (62): 8., Q.S at-Taghabun (64): 5,7 dan Q.S an-Naba’ (78): 2.
[31]Hikmat
Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik
Teori dan Praktik, (Bandung:Rosda Karya, 2006), cet II. Lihat juga
keterangannya pada Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontemporer,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 2005, cet.1 Septiawan Santana K, Jurnalisme
Investigasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), edisi 1. Sumadiria,
AS Haris, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis &
Jurnalis Profesional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005),cet.II.,
Sumadiria, AS Haris, Jurnalitik Indonsia: Menulis Berita Dan Feature:
Panduan Praktisi Jurnalis Profesional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media),
2006, cet.II.Sumadiria, AS Haris, Bahasa Jurnalitik: Panduan Praktis Penulis
dan Jurnalis, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2006, cet.I.
[32] Annaba' dan al-khabar: Sohib Taj al-Arus; annaba dan
alkhabar adalah sinonim (Taj al-Arus : jilid 3, h.126). Arraghif; annaba' adalah berita yang mempunyai
faidah yang besar yang bisa menghasilkan pengetahuan atau pemenangan asumsi dan
tidak disebut alkhabar pada prinsipnya sehingga mencakup komponen-komponen
tersebut, Annaba' bisa mengandung kebenaran dan sepantasnya jauh dari
kebohongan, seperti berita Allah dan Rasul (Q.S.al-Naml: 22), (al-Hujurat: 6).
sementara al-Khabar; apa yang dipindahkan dari orang lain, apa yang
didapatkan dari orang lain dan ada dua kemungkinan ada bohong dan benarnya.
[33]Macam-macam ungkapan dalam al-Qur'an. Qaulan ma'rufa,
surat al-Baqarah: 235, surat an-Nisa’: 5, 8, surah al-Ahzab: 32. Qaulan
sadida, surah an-Nisa': 9, surah al-Ahzab: 70. Qaulan baligha, surah
an-Nisa : 63. Qaulan karima, surah
al-Isra': 23. Qaulan maysura, surah al-Isra': 28. Qaulan
azhima, surah al-Isra': 40. Qaulan layyina, surah Thaha: 44. Qaulan
min rabbin rahim, surah Yasin: 58. Qaulan tsaqila, surah al-Muzammil:
5. Ahsanu Qaulan, surat Luqman: 33. Qalu salama, surat al-Furqon:
63.
[36]Q.S al-Taubah: 65-66, 74.
[44]Lihat
penjelasannya pada, Santana, Septian, K, Jurnalisme Kontemporer,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 2005, cet.1.Santana,Jurnalisme
Investigasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), edisi 1. Sumadiria,
AS Haris, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana:Panduan Praktis Penulis &
Jurnalis Profesional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005),cet.II.
Sumadiria, AS Haris, Jurnalitik Indonsia:Menulis Berita dan Feature: Panduan
Praktisi Jurnalis Profesional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2006,
cet.II.
[48] Asep Saiful Muhtadi & Sri Handayani (editor), Dakwah
Kontemporer : Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi, (Bandung : Pusdai
Press, 2000) cet. 1. h.67.
[50] Ahmad Muis, Dakwah dalam Masyarakat Modern, dalam
Asep Saiful Muhtadi & Sri Handayani (editor), Dakwah Kontemporer:
Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi, (Bandung: Pusdai Press, 2000) cet. 1.
h. 44.
[52] Dakwah dalam konsepsi yang berkembang sekarang ini amat
menghambat kreativitas pengkajian dan sesungguhnya bisa dibilang sebagai proses
penumpulan konseptual dan pengembangan proses dehumanisasi. Padahal dalam
tradisi dan keyakinan semula, dakwah justru dimaksudkan sebagai sarana
humanisasi. Oleh karena itu, sudah seharusnya diupayakan suatu konsepsi baru
yang menjadikan masyarakat sebagai subjek dakwah perubah bukan objek penonton.
Di sini dakwah mesti diawali dari suatu kesadaran bahwa tidak ada seorang pun
yang berhak menjadi da'i, akan tetapi justru masyarakat adalah da'i bagi mereka
sendiri. Oleh karena itu, dakwah mesti merupakan suatu proses dialog untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menumbuhkan potensi mereka sebagai
makhluk kreatif, juga kesadaran bahwa mereka diciptakan Allah untuk
berkemampuan mengelola diri dan lingkungannya. Dengan begitu esensi dakwah
justru tidak mencoba mengubah masyarakat, tetapi menciptakan suatu kesempatan
sehingga masyarakat akan mengubah dirinya sendiri. Dengan kata lain, kesadaran
kritis dalam memahami masalah dan menemukan alternatif jawabannya adalah justru
tugas utama dakwah. Maka dari itu, da'i yang dibutuhkan di masa depan
adalah da'i partisipatif, yakni da'i yang mampu menciptakan
dialog-dialog konseptual, yang memberikan kesempatan kepada umatnya untuk
menyatakan pendapatnya, pandangannya, merencanakan dan mengevaluasi perubahan
sosial yang mereka kehendaki, serta bersama-sama menikmati hasil proses dakwah
tersebut.
[53] Suf Kusman, Jurnalisme Universal : Menelusuri
Prinsip-prinsip Dakwah bi al-Qalam dalam al-Qur'an, Jakarta : Teraju, 2004,
cet.1, h. 220.
SILAHKAN YANG MAU BERGABUNG
ReplyDeleteassalamualaikum Izin share
ReplyDelete