Oleh:
FAHRURROZI BIN DAHLAN
ABSTRAK
Pengembangan dan pendidikan karakter
kembali menemukan momentumnya belakangan ini, bahkan menjadi salah satu program
prioritas Kementerian Pendidikan Nasional (kini Kemendikbud). Meski sebenarnya
dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak perbincangan baik melalui
konperensi, seminar dan pembicaraan publik lainnya, belum banyak terobosan
kongkrit dalam memajukan pendidikan karakter. Dengan kebijakan Kemendikbudnas,
pendidikan karakter sudah saatnya dapat terlaksana secara kongkrit melalui
lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat luas.Segera jelas, pendidikan
karakter terkait dengan bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan, dan
agama. Ketiga-tiga bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan
nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.Tetapi,
ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu
dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat
yang berkarakter, berkeadaban, dan berharkat. Budaya, pendidikan dan bahkan
agama boleh jadi mengalami disorientasi karena terjadinya perubahan-perubahan
cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan
terakhir sekali globalisasi. Pembangunan karakter juga bisa membentuk pribadi-pribadi yang
pandai bergaul denga orang lain atau bersosialisai dengan baik dimanapun dia
berada dan dengan siapapun dia hidup, sebab dengan pendidikan karakter yang
baik akan lahir dari yang berssangkutan sifat-sifat terpuji,karena sudah
berkarakter pada dirinya menjadi sebuah karakteristik.
A. PROLOG
Budaya atau kebudayaan umumnya mencakup
nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi masyarakat.
Pendidikan—selain mencakup proses transfer dan transmissi ilmu pengetahuan—juga
merupakan proses sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka
pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang
berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan
dan kebudayaannya.[1]
Namun lain lagi apa yang dipaparkan dalam
sebuah situs internet yang bersumber dari data Litbang kompas mengatakan:
karakter bukanlah kepribadian, setiap orang memilki kepribadian yang berbeda-
beda, sebab kepribadian itu ada empat yaitu koleris, sanguinis, plegmatis dan
melankolis dari empat kepribadian ini memilki kelemahan dan kelebihan yang
sangt berbeda-beda. Misalnya tife koleris identik dengan
berbicara kasar dan terkadang tidak perduli, sulit diajak serius, plegmatis tife ini seringkali di ajak melangkah yang
pasti dan terkesan pasif, melankolis terjebak dengan dilemma
pribadi ‘iya’ di mulut tapi “tidak” di hati, serta cendrong perpektionis dalam
detil kehidupan serta inilah yang terkadangmembuat orang laincukup kerepotan.[2]
Di bagian lain juga menyebutkan
bahwa manusia tidak bisa memilih kepribadiannya, sebab kepribadian itu
merupakan pemberian Tuhan sang pencipta saat manusia dilahirkan dan setiap
orang yang memiliki kepribadian pasti ada kelemahannya dan ada pula aspek kelebihannya
dalam aspek kehidupan sosial.
Persoalan pendidikan di Indonesia
banyak tokoh-tokoh pendidikan juga mengomentari serta meneliti apanya yang
salah dalam pendidikan di Indonesia
apakah kurikulumnya atau para pelaku pendidikan, atau para pendidiknya sudah
jauh dari apa yang diajarkan itu hanya menekankan persoalan kognitif sehingga
para pendidik apabila sudah menyampaikan materi pelajaran tidak dipersoalkan
apakah pada materi itu sudah diselipkan materi karakter atau kurikulum yang
sudah ada unsur karakternya.
Pengetahuan manusia kini telah
berkembang meliputi segala aspek kehidupan
termasuk di dalamnya pendidikan.
Pendidikan adalah proses interaksi
transformasi ilmu dan internalisasi nilai-nilai antara guru dan murid.[3]
Pendidikan merupakan media bagi terjadinya transformasi nilai dan ilmu untuk membekali manusia dalam membentuk corak
kebudayaan dan peradabannya. Dengan pengembangan dan pembinaan seluruh potensi yang ada pada diri manusia itu,
pendidikan diharapkan dapat
mengantarkan manusia pada suatu pencapaian tingkat kebudayaan yang
menjunjung hakikat kemanusiaan manusia sesuai dengan pesan dasar agama Islam.
Persoalannya sekarang adalah banyak orang berpengetahuan perilakunya tidak
mencerminkan apa yang sudah dipahaminya. Di sisi lain juga di era sekarang ini
masih banyak orang yang beramal tanpa didasari dengan pengetahuan.
Sejalan dengan itu, Amin Abdullah menyatakan bahwa kurikulum dan
kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan
Islam yang selama ini berlangsung di sekolah hanya sebatas hal yang
antara lain sebagai berikut: a)Pendidikan Islam lebih banyak terkonsentrasi
pada persoalan –persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata-mata
serta amalan ibadah praktis. b) Pendidikan Islam kurang “concern” terhadap persoalan bagaimana mengubah
pengetahuan agama yang kognitif menjadi
“makna” dan “nilai” yang perlu
diinternalisasikan dalam diri siswa
lewat berbagai cara, media dan forum. c) Pendidikan agama lebih menitik beratkan
pada aspek korespondensi-tekstual yang lebih menekankan aspek hafalan teks-teks
keagamaan yang sudah ada. d) Sistem evaluasi, bentuk-bentuk soal ujian agama
Islam menunjukkan prioritas utama pada
aspek kognitif, dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan “nilai”
dan “makna” spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.[4]
Sementara itu Komaruddin Hidayat menyoroti orientasi kurikulum dan
materi pendidikan Islam yang selama ini berjalan di sekolah dianggap kurang
tepat. Untuk membuktikan kekurangtepatan kurikulum dan materi pendidikan Islam
tersebut, dapat dilihat dari tiga
indikator sebagai berikut: a) Kurikulum
lebih berorientasi pada belajar tentang
agama, sehingga outputnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran Islam
tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai yang diketahuinya. b) Tidak
tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan Islam, sehingga sering ditemukan
hal-hal prinsip yang lebih awal tetapi
terlewatkan. Kurikulum pendidikan Islam lebih berorientasi pada disiplin ilmu
fiqih sehingga dianggap seolah–olah sebagai agama itu sendiri, bahkan
masyarakat menilai beragama yang benar adalah identik dengan bermadzhab fiqih
yang benar dan diakui oleh mayoritas, dan apabila berbeda sedikit dianggap dan
dituduh sebagai aliran sesat dan menyimpang. c) Kurangnya penjelasan yang luas,
dan mendalam, dan kurangnya penguasaan semantik dan generik atau
istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran Islam, yang menyebabkan penjelasan
yang sangat jauh dan berbeda dari makna, spirit, dan konteksnya.[5]
Orientasi semacam itu, kata Komaruddin Hidayat, menyebabkan terjadinya
keterpisahan dan kesenjangan antara ajaran Islam dengan realitas prilaku
pemeluknya. Yang jauh dari roh pengetahuannya.
Oleh karena itu, Komaruddin Hidayat memberikan dua solusi pendekatan
dalam mempelajari Islam yaitu: 1. Mempelajari Islam untuk kepentingan dalam
mengetahui bagaimana cara beragama yang benar, dan 2. Mempelajari Islam sebagai
sebuah pengetahuan. Dengan kata lain mempelajari ajaran Islam untuk membentuk
karakter beragama.[6]
Selama Indonesia merdeka telah memiliki enam Undang-Undang
pendidikan nasional yaitu Undang-Undang tahun 1947, Undang-Undang tahun 1950,
Undang-Undang tahun 1954, Tap MPRS tahun 1967, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989
dan yang terahir adalah Undang-Undang nomor 20 tahun 2003. Keseluruhan dari Undang-Undang
tersebut tidak pernah pembinaan keimanan dan ketaqwaan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa dijadikan fokus tujuan pendidikan nasional. Ini tidak sesuai dengan
Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, jadi keseluruhan dari Undang-Undang itu tidak ada yang sesuai
dengan Pancasila, inilah masalah utama pendidikan Kita. Maka bagaimana mungkin
kita bisa mencetak masyarakat Indonesia yang berkarakter jika substansinya
pendidikannya tidak mencerminkan pendidikan karakter.[7]
Lain lagi apa yang dikatakan oleh Patabai, Bangsa Indonesia
sekarang ini sudah dililit oleh berbagai macam persoalan seperti perilaku
koropsi, mental yang selalu menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan
tujuannya, pembunuhan, penipuan yang kesemuanya itu adalah cenderong
mengabaikan nilai-nilai agama dan moral dan tidak lagi mencerminkan karakter
bangsa maka dengan melihat pakta sekarang
ini dituntut seluruh pihak untuk bersama-sama mensosialisasikan akan
pentingnya pendidikan karakter, sebab
pendidikan karakter itu adalah pendidikan nilai, budi pekerti, moral dan watak
yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik- buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam
kehidupan sehari-hari, dengan sepenuh hati. Karakter ini akan memancar dari
hasil olah piker, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang
atau sekelompok orang.[8]
Nurnaningsih dan Kartini lebih banyak mengungkap fakta-fakta potret
buram pendidikan karena mengabaikan pendidikan karakter. Persoalan karakter ini
tanpa dari etika di jalan raya, pelecehan seksual, kekerasan dan penganiyayaan,
pemalakan, perusakan sarana umum, sekolah,kampus, perkelahian massa, tauran
antara siswa dan antara mahasiswa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, korupsi
bagi aparat dan penegak hokum, kehidupan politik yang tidak produktif dan
kondusif. Menurutnya saat ini sangat penting untuk membangun generasi yang
jujur, cerdas, tangguh, dan peduli melalui pendidikan karakter.[9]
Kurikulum madrasah sekarang ini memang sangat memungkinkan para
siswanya mendapatkan ilmu pengetahuan agama serta pemahaman dan penghayatan
Islam yang memadai untuk mempersiapkan kehidupan di masa depan.[10]
Namun selama ini mata pelajaran itu dalam konsep serta praktek penyampaiannya
berjalan sendiri-sendiri, terpisahkan antara yang satu dengan yang lain karena
terpengaruh dikotomisme sehingga tidak terintegrasi antara ilmu-ilmu itu dengan
prilaku sehari-hari.
Krisis etika moral merupakan salah satu akibat kurang efektifnya
proses sosialisasi atau internalisasi sikap-sikap dan nilai-nilai agama dalam
proses pembelajaran.[11]
Di sini nilai-nilai agama yang didasarkan pada ayat-ayat qauliyah
(al-Qur’an dan sunnah Rasul) atau ayat-ayat
kauniyah (sunnatullah yang ada
di semesta alam) sebagai materi pendidikan untuk membentuk kreatif murid memiliki arti penting dalam proses
pendidikan dan acuan utama sebagai renugan pada ciptaan khaliqnya, dengan
demikian akan melahirkan kesadaran pada anak didik akan kekurangan pada dirinya
akhirnya menjadi tawaddu’
Pendidikan dengan
paradigma sekuler yang salah satunya adalah materialistik, terbukti telah gagal
melahirkan manusia yang berkarakter yang sekaligus menguasai iptek.[12]
Misalnya di Indonesia, secara formal kelembagaan, sekulerisasi kelembagaan ini
telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departemen
yang berbeda, yakni Kantor Kementerian Agama
danKementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa
pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah
bebas nilai, sehingga sama sekali tidak tersentuh oleh standar nilai agama.
Pendidikan materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang
serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat
non-materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang
telah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu dapat berupa gelar
kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau
apapun yang setara dengan nilai material, tanpa mengkaitkan bahwa hasil
itu adalah atas kekuasaan dan kehendak Tuhan.
Menurut Hasan
Sho’ub, sosok bangunan yang tampak rapuh tanpa jiwa Islam juga ada dalam potret
masyarakat modern yang dekaden. Budaya moderen –terlepas dari senang atau tidak
senang- merupakan refleksi dari hubungan inspiratif dengan pasar bebas, yang
didasarkan pada golongan tertentu yang destruksionis. Perubahan mendasar dalam
berbagai bidang kehidupan termasuk dalam hak social dan hak pendidikan, baik
yang berjalan melalui paksaan maupun sukarela, telah menggeser pranata Islam.[13]
Dinamika kehidupan dalam suasana global dewasa ini, berhadapan
dengan berbagai gejolak dan kejutan yang memerlukan antisipasi perubahan yang
terjadi terutama untuk mempersiapkan sumber daya manusia masa depan yang
berkualitas.[14]
Dalam perspektif global, yang ditandai dengan mengecilnya dunia
sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah terjadi
fenomena perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Dalam era pasar bebas,
kemampuan bersaing, perkembangan pengetahuan dan teknologi dan penguasaannya,
menjadi semakin penting untuk kemajuan suatu bangsa, termasuk bangsa Indonesia.
Sebab dalam era globalisasi, sumber daya alam yang terkuras dan semakin tipis,
tidak lagi dapat diandalkan sebagai sumber untuk menyejahterakan masyarakat.
Sumber kesejahteraan masyarakat telah bergeser dari modal fisik seperti
kekayaan alam ke modal intelektual, yaitu pengetahuan, kemampuan (kompetensi)
dan kepribadian. Dalam kehidupan global, kehidupan yang penuh persaingan tidak
bisa dihindari. Berbagai macam tantangan muncul ke permukaan. Apa yang dulu
tidak pernah terbayangkan sekarang menjadi kenyataan. Dapat dipastikan, hanya
individu yang mampu bersaing yang dapat menyesuaikan diri dan eksis dalam era
globalisasi. Untuk mampu bersaing, setiap individu memerlukan kompetensi yang
handal dalam berbagai bidang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan
masing-masing.[15]
Perumusan tentang konsep
dasar dan tujuan dalam pendidikan ditentukan falsafah hidup yang melandasi pola
pikir, atau sudut pandang perumusnya. Sudut pandang manusia tertentu besar
kemungkinan berbeda dengan sudut pandang yang lain, artinya system pendidikan
orde lama jelas harus berbeda dengan system pendidikan orde baru dan era
reformasi.
Dari beberapa problem di dunia pendidikan khususnya di Indonesia
penulis menawarkan solusi terbaik untuk keluar dari lilitan prilaku yang jauh
dari nilai karakter tersebut adalah konsep pendidikan karakter yang dihajatkan
untuk dijadikan rujukan dalam mengambil konsep pendidikan karakter di Sekolah
maupun di Madrasah yang bernaung di bawah binaan kementerian pendidikan dan
kementerian Agama Republik Indonesia dewasa ini.
B. Pengertian Pendidikan Karakter
Al-Attas melihat bahwa adab merupakan salah
satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan dengan umatnya.
Dengan menggunakan term adab tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul.
Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabdanya: “Tuhanku telah mendidikku
(addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik (HR.
Ibn Hibban).
Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa
pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar
berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena
itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah wahana penting untuk penanaman
ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis dengan kehidupan masyarakat.
Karena itu, menurut al-Attas antara ilmu, amal, dan adab
merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini,
bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan
memiliki relevansi secara langsung dengan aktivitas di mana manusia hidup.
Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama.[16]
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan
Islam mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil).
Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai Abdullah
(hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka
bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan
dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang
menampilkan kualitas keteladanan Nabi SAW.
Dengan harapan yang
tinggi, al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia
paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan
dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Saw. Pandangan al-Attas tentang
masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang
baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti
tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara
baik. Karena masyarakat kumpulan dari individu-individu.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi
pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (kognitif),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas
Lickona, tanpa ketiga aspek ini, pendidikan karakter tidak akan efektif. Jadi,
yang diperlukan dalam pendidikan karakter tidak cukup dengan pengetahuan lantas
melakukan tindakan sesuai dengan pengetahuannya saja. Hal ini karena pendidikan
karakter terkait erat dengan nilai dan norma. Oleh karena itu, harus juga
melibatkan aspek perasaan.[17]
Istilah
pendidikan karakter oleh para ahli seringkali disepadankan dengan istilah pendidikan
moral atau pendidikan akhlak. Pendidikan moral (moral education) dalam
dua dekade terakhir secara umum digunakan untuk menjelaskan penyidikan isu-isu
etika di ruang kelas dan sekolah. Pengajaran etika dalam pendidikan moral
bertujuan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan manusia. Sedangkan
pendidikan akhlak sebagaimana diungkapkan oleh Miskawaih seprti dikutip oleh
Abudin Nata, merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu
mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dari
seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kriteria benar dan salah untuk menilai
perbuatan yang muncul merujuk kepada Al-Quran dan al-Sunnah.[18]
Istilah
pendidikan karakter sendiri, sejak lama menjadi perdebatan para ahli. Thomas
Lickona orang yang pertama kali menggunakan terminologi pendidikan karakter
dalam bukunya The Return of Character Education, menyatakan bahwa
pendidikan karakter adalah sebuah keharusan, manakala mengharapkan pendidikan
sebagai panglima perubahan.[19]
Kata
karakter sudah sering disebutkan dan dipahami arti harfiahnya oleh orang
banyak, namun pada kenyataannya masih banyak di antara kita yang mengabaikannya
(neglect). Karakter itu perlu dengan sengaja dibangun, dibentuk,
ditempa, dikembangkan serta dimantapkan. Kita tahu bahwa dalam membangun
karakter sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, baik lingkungan kecil di
rumah, di masyarakat, dan selanjutnya meluas di kehidupan berbangsa dan
bernegara bahkan di kehidupan global.[20]
Dilihat dari
sudut pengertian, ternyata pendidikan moral, pendidikan akhlak, maupun
pendidikan karakter tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya
didefinisikan sebagai tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran karena
sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain keduanya dapat disebut
kebiasaan.
Menurut
Thomas Lickona seorang pemikir pendidikan karakter kontemporer menyatakan bahwa
pendidikan karakter dan pendidikan agama semestinya dipisahkan dan tidak
dicampuradukkan.[21]
Menurut
Foerster ada empat ciri mendasar dalam pendidikan karakter, yaitu: pertama, keteraturan
interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan situasi hirarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif
setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian membuat
seorang teguh pada prinsip dan tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru
atau resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama
lain. Tidak adanya koherensi dapat meruntuhkan kredibelitas seseorang. Ketiga,
otonomi, di mana seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai
menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat terlihat lewat penilaian atas
putusan pribadi tanpa terpengaruh desakan pihak lain. Keempat, keteguhan
dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa
yang dipandang baik; dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas
komitmen yang dipilih.[22]
Karakter
tidak dapat dikembangkan secara tepat dan instans, tetapi harus melalui proses
yang panjang, cermat, dan sistematis. Berdasarkan perspektif yang berkembang
dalam sejarah pemikiran manusia, pendidikan karekter harus dilakukan
berdasarkan tahap-tahap perkembangan anak sejak dini sampai dewasa.
Pendidikan karakter saat ini bak
primadona. Dimana-mana dibicarakan mulai dari seminar hingga workshop. Bahkan
sampai-sampai dikatakan bahwa faktor keberhasilan dunia pendidikan terletak
pada pembentukan karakter ini.Lantas apa sesungguhnya pendidikan karakter itu?
Sebelum berbicara mengenai pendidikan karakter, terlebih dahulu akan dilihat
definisi masing-masing kata[23].
C. Pengertian Karakter, Budi
pekerti, Moral, Akhlak, dan Kepribadian
Ada sejumlah istilah yang dapat membuat bingung: karakter, budi
pekerti, akhlak, afeksi, dan moral. Apakah istilah-istilah ini memiliki
persamaan atau perbedaan, atau keduanya, artinya ada persamaannya sekaligus
juga ada perbedaannya? Istilah-istilah ini
akan kita kaji dari segi bahasa harian dengan merujuk pada kamus umum.
Setelah pengkajian bahasa harian ini, kita akan coba menyelami substansi dari
masing-masing istilah tersebut.
a. Karakter
Studi tentang karakter telah lama menjadi pokok perhatian para
psikolog, pedagog, dan pendidik. Apa yang disebut karakter bisa dipahami secara
berbeda-beda oleh para pemikir sesuai penekanan dan pendekatan mereka
masing-masing. Oleh karena itu, memang tidak mudahlah menentukan secara
definitif apa yang dimaksud dengan karakter.
Secara etimologi, akar kata karakter dapat dilacak dari bahasa
Inggris: character; Yunani: character, dari charassein yang
berarti membuat tajam, membuat dalam. [24]
M. Furqon Hidayatullah mengutip dari Rutland yang mengemukakan
bahwa karakter berasal dari akar kata bahasa Latin yang berarti
"dipahat". Sebuah kehidupan, seperti sebuah blok granit dengan
hati-hati dipahat atau pun dipukul secara sembarangan yang pada akhirnya akan
menjadi sebuah mahakarya atau puing-puing yang rusak. Karakter, gabungan dari
kebajikan dan nilai-nilai yang dipahat di dalam batu hidup tersebut, akan
menyatakan nilai yang sebenarnya.[25]
Doni Koesoema memahami bahwa istilah karakter, berasal dari bahasa
Yunani “karasso", berarti cetak biru, format dasar. Ia melihat ada
dua makna interpretasi dari karakter, yaitu pertama, sebagai kumpulan kondisi
yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang
dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian dianggap sebagai sesuatu
yang telah ada dari sononya (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami
sebagai tingkat kekuatan melalui mana seseorang individu mampu menguasai
kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses
yang dikehendaki (wiled).[26]9
Kata "karakter" belum muncul dalam paparan di atas.
Karakter adalah istilah serapan dari bahasa Inggris character. Encarta
Dictionaries menyatakan bahwa "karakter" adalah kata benda yang
memiliki arti: (1) kualitas-kualitas pembeda; (2) kualitas-kualitas positif;
(3) reputasi; (4) seseorang dalam buku atau film; (5) orang yang luar biasa;
(6) individu dalam kaitannya dengan kepribadian, tingkah laku, atau tampilan;
(7) huruf atau simbol; dan (8) unit data komputer. Arti pada nomor (7) dan (8)
ini tidak relevan dengan kajian pendidikan karakter. Di samping itu terdapat
kata karakteristik (characteristic) yang masih juga kata benda yang
artinya: fitur (ciri) pembatas (defining feature), sebuah fitur atau
kualitas yang membuat seseorang atau suatu hal dapat dikenali. Kata sifat untuk
karakter adalah "khas" (typical), artinya pembeda atau
mewakili seseorang atau hal tertentu.[27]
Tentang "karakter" dan "karakteristik" ini
dapat disimpulkan melalui kalimat berikut: "Ia memiliki karakter
heroik" dan "Karakteristiknya yang heroik telah membuatnya memiliki
nasib yang menyedihkan tersebut." Karakter, berdasarkan kajian kamus umum
di atas, merujuk pada beberapa hal berikut. Pertama, karakter dikenakan
pada orang atau bukan orang. Dalam wacana pendidikan karakter, kata ini
terutama berkenaan dengan orang. Kedua, ia berkenaan dengan kualitas
(bukan kuantitas) dan reputasi orang. Ketiga, ia berkenaan dengan daya
pembeda atau pembatas, membedakan atau membatasi yang satu dari yang lainnya,
membedakan orang/masyarakat yang satu dengan orang/masyarakat yang lainnya. Keempat,
karakter dapat merujuk pada kualitas negatif atau positif orang dengan karakter
mulia atau orang berkarakter flamboyan. Keempat hal tentang karakter dari kamus
umum tersebut relevan dengan kajian kita tentang karakter dalam pendidikan
karakter. CP. Chaplin mendefinisikan karakter sebagai suatu kualitas atau sifat
yang tetap terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk
mengidentifikasi seseorang pribadi, suatu objek atau kejadian, sinonim dengan
karakteristik, sifat yang khas.[28]
Dari pendapat di atas dipahami bahwa karakter adalah sebuah kata yang merujuk
pada kualitas orang dengan karakteristik tertentu. itu berkaitan dengan
kekuatan moral yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, yang menjadi
ciri untuk identitas seseorang pribadi, karena ia sudah dipahat dalam pribadi
tersebut.
b. Budi Pekerti
Budi pekerti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diletakkan dalam
masukan "budi", artinya: (1) alat batin yang merupakan panduan akal
dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk; (2) tabiat, akhlak, watak; (3)
perbuatan baik, kebaikan; (4) daya upaya, ikhtiar; (5) akal (dalam arti
kecerdikan menipu atau tipu daya). Dan budi pekerti diartikannya sebagai
tingkah laku, perangai, akhlak, watak. Dalam kamus umum ini kita menemukan
bahwa budi pekerti sama dengan akhlak, watak, tabiat, perbuatan baik, kebaikan.
Sinonimnya perlu kita tambahi dengan kata "susila".[29]
Perlu dicatat di sini bahwa arti pada nomor (5) jarang digunakan orang dewasa:
tidak pernah orang yang berbudi pekerti dikaitkan dengan kelakuan cerdik
menipu.
c. Moral
Moral, masih dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, didefinisikan
sebagai: (1) (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan,
sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap
berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (3) ajaran
kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.[30]
Definisi moral ini menyatakan bahwa moral adalah ajaran tentang moral. Definisinya pada nomor (2) menurut
penulis menyatakan sebuah kondisi mental yang sudah menyerap suatu ajaran
moral.
d. Akhlak
Istilah akhlaq sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia,
yaitu akhlak. Kata akhlak dalam bahasa Indonesia berarti budi pekerti;
kelakuan. Kata "akhlaq" merupakan bentuk jamak dari kata
"khuluq" atau "khilq" yang berarti perangai (as-sajiyah),
kelakuan atau watak dasar (al thabi'ah), kebiasaan (al-'adah),
peradaban yang baik (almuruah), dan agama (al-din).[31]
Selanjutnya definisi akhlak. Kata Akhlak berasal dari bahasa
Arab, jamak dari khuluqun yang menurut bahasa berarti budi pekerti,
perangai, tingkah laku dan tabiat.[32]
Tabiat atau watak dilahirkan karena hasil perbuatan yang diulangulang sehingga
menjadi biasa. Perkataan ahklak sering disebut kesusilaan, sopan santun dalam
bahasa Indonesia; moral, ethnic dalam bahasa Inggris, dan ethos, ethios dalam
bahasa Yunani. Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun
yang berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan khaliq yang
berarti pencipta; demikian pula dengan makhluqun yang berarti yang
diciptakan.
Adapaun definisi akhlak menurut istilah ialah kehendak jiwa manusia
yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan
pertimbangan pikiran terlebih dahulu.
Di dalam
kamus a Dictionary of Modern written Arabic, kata khuluq diartikan
dengan nature, temper, disposition, character of
person.[33]
Menurut Ali Abdul Halim Mahmud, Al-Khuluq menunjukkan suatu
sikap jiwa yang melahirkan tindakan-tindakan lahir dengan mudah tanpa melalui
proses berpikir dan pertimbangan teliti. Jika melahirkan tindakan terpuji
menurut penilaian akal dan syara' maka sikap ini disebut moral yang baik (khuluq
al-hasan) dan jika yang dilahirkan adalah tindakan tercela, maka sikap ini
disebut moral yang jelek (khuluq al-sayyi’ah).[34]
Pendidikan akhlak merupakan faktor yang sangat penting dalam
membangu sebuah rumah tangga yang sakinah. Suatu keluarga yang tidak dibangun
dengan tonggak akhlak mulia tidak akan dapat hidup bahagia sekalipun kekayaan
materialnya melimpah ruah. Sebaliknya terkadang suatu keluarga yang serba
kekurangan dalam masalah ekonominya, dapat bahagia berkat pembinaan akhlak
keluarganya. .Pendidikan akhlak di dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh
dan teladan dari orang tua dalam hubungan dan pergaulan antara ibu dan bapak,
perlakuan orang tua terhadap anak-anak mereka, dan perlakuan orang tua terhadap
orang lain di dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, akan menjadi
teladan bagi anak-anak.[35].
e. Kepribadian
Kata kepribadian berasal dari kata Personality (bhs.
Inggris) yang berasal dari kata Persona (bhs. Latin) yang berarti kedok
atau topeng, yakni alat untuk menyembunyikan identitas diri. Bagi bangsa Romawi
persona berarti "bagaimana seseorang tampak pada orang lain",
jadi bukan diri yang sebenarnya. Adapun pribadi yang merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris person, atau persona dalam bahasa Latin yang berarti manusia sebagai
perseorangan, diri manusia atau diri orang sendiri.[36]
Secara filosofis dapat dikatakan bahwa pribadi adalah "aku
yang sejati" dan kepribadian merupakan "penampakan sang aku"
dalam bentuk perilaku tertentu. Di sini muncul gagasan umum bahwa kepribadian
adalah kesan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang diperoleh dari apa
yang dipikir, dirasakan, dan diperbuat yang terungkap melalui perilaku.[37]
Dengan demikian kepribadian atau personality merupakan salah
satu bentuk dari sifat manusia yang bisa berubah-ubah. Orang tersebut bisa
menggunakannya dimana pun dia berada. Jadi, bisa menutupi jati diri yang
sebenarnya dari semua orang. Contohnya saja si A berada di lingkungan preman
maka si A akan punya atau menggunakan kepribadian sebagai preman. Dan kalau
berada di lingkungan masjid maka akan merubah kepribadiannya sebagai orang
alim.
Menurut Ali Abdul Halim Mahmud, pada batas tertentu, antara konsep
karakter (khuluq) di atas dengan konsep kepribadian (shakhsiyah)
ada kesamaan. Perbedaan prinsipil antara keduanya adalah: Moral lebih
berorientasi kehendak dan pembentukan nilai-nilai. Sedangkan kepribadian
difokuskan terutama pada aspek perilaku sosial.[38]
Dalam hal ini Dharma Kesuma memperjelas hal ini dengan mengutip
pendapat Hurlock yang menyatakan dalam buku Pendidikan Karakter:
Karakter terdapat pada kepribadian. Karakter mengimplikasikan sebuah standar
moral dan melibatkan sebuah pertimbangan nilai. Karakter berkaitan dengan
tingkah laku yang diatur oleh upaya dan keinginan. Hati nurani, sebuah unsur
esensial dari karakter, adalah sebuah pola kebiasaan perlarangan yang
mengontrol tingkah laku seseorang, membuatnya menjadi selaras dengan pola-pola
kelompok yang diterima secara sosial[39].
Dengan definisi karakter dari Hurlock, untuk sementara ini,
bersifat cukup bagi kita untuk memulai menganalisis secara lebih jauh apa itu
karakter dan implikasi-implikasinya.
D. Dasar-dasar Pembangunan
dan Pendidikan Karakter dalam Islam
Kata karakter adalah kata yang populer akhir-akhi ini. Sebelumnya
sudah dikenalistilah seperti moral, etika, nilai, dan akhlak. Kata character
dalam bahasa Inggris memiliki
padanan kata Akhlaq dalam bahasa Arab. Karena itu, kata karakter dan
akhlak secara lughawi (makna bahasa) memiliki makna yang sama. Dalam
bahasa Arab kata akhlaq, yang merupakan kata jamak dari khuluq, memiliki
arti tabiat, budi pekerti, kebiasaan, kesatriaan, kejantanan, dll.[40]
Kata akhlaq banyak
ditemukan dalam hadis Nabi Muhammad saw. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah
saw. bersabda, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia” (HR. Ahmad). Sedangkan dalam al-Quran hanya ditemukan
bentuk tunggal dari kata akhlaq, yaitu khuluq. Allah menegaskan,
“Dansesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS.
al-Qalam [68]: 4).
Kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral dan etika.
Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata krama,
atau sopan santun.[41]
Secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni
sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut
pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih
bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang
moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang[42]
Kata karakter (Inggris: character) secara etimologis berasal
dari bahasa Yunani, yaitu charassein yang berarti “to engrave”.
Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis,
memahatkan, atau menggoreskan[43].
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul
khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik. Orang berkarakter
berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau
berwatak. Dengan makna seperti itu berarti karakter identik dengan akhlak.
Secara terminologis karakter adalah “A reliable inner
disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya
Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts:
moral knowing, moral feeling, and moral behavior”. Menurut Lickona,
karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang
kebaikan (moral knowing), lalu menimbulkan komitmen (niat)
terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan
kebaikan (moral behavior).[44]
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik
dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia
yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam
rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama
manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,
tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep
pendidikan karakter (character education). Melalui buku-bukunya,
Thomas Lickona menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan
karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur
pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan
(desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).[45]
Ahmad Amin menjadikan kehendak (niat) sebagai awal
terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan
dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku[46]
Frye mendefinisikan pendidikan karakter sebagai, “A
national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring
young people by modeling and teaching good character through an emphasis on
universal values that we all share”[47]
Jadi, pendidikan karakter harus menjadi gerakan nasional yang
menjadikan sekolah sebagai agen untuk membangun karakter siswa melalui
pembelajaran dan pemodelan. Melalui pendidikan karakter, sekolah harus
berpretensi untuk membawa peserta didik memiliki nilai-nilai karakter
mulia seperti hormat dan peduli pada orang lain, tanggung jawab,
memiliki integritas, dan disiplin. Di sisi lain pendidikan karakter juga harus
mampu menjauhkan peserta didik dari sikap dan perilaku yang tercela dan
dilarang. Mengkaji dan mendalami konsep akhlak bukanlah yang terpenting,
tetapi merupakan sarana yang dapat mengantarkan seseorang dapat bersikap
dan berperilaku mulia yang benar dan utuh seperti yang dipesankan oleh
Nabi saw.
Dalam al-Quran ditemukan banyak sekali pokok-pokok keutamaan
karakter atau akhlak yang dapat digunakan untuk membedakan perilaku
seseorang, seperti perintah berbuat kebaikan(ihsan) dan kebajikan (al-birr),
menepati janji (al-wafa), sabar, jujur, takut pada Allah Swt.,
bersedekah di jalan Allah, berbuat adil, dan pemaaf (QS. al-Qashash [28]: 77;
QS. al-Baqarah [2]: 177; QS. al-Muminun (23): 1-11; QS. al-Nur [24]: 37; QS.
al-Furqan [25]: 35-37; QS. al-Fath [48]: 39; dan QS. Ali ‘Imran [3]: 134).
Melalui ayat-ayat ini Allah mewajibkan setiap Muslim untuk melaksanakan
berbagai nilai karakter mulia dalam berbagai aktivitasnya. Keharusan menjunjung
tinggi karakter mulia (akhlaq karimah) lebih dipertegas lagi oleh Nabi
saw. dengan pernyataan yang menghubungkan akhlak dengan kualitas kemauan,
bobot amal, dan jaminan masuk surga. Sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh
Abdullah Ibn Amr: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik akhlaknya …”
(HR. al-Tirmidzi). Dalam hadis yang lain Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya
orang yang paling cinta kepadaku di antara kamu sekalian dan paling dekat
tempat duduknya denganku di hari kiamat adalah yang terbaik akhlaknya di antara
kamu sekalian ...” (HR. al-Tirmidzi).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa karakter dalam perspektif
Islam bukan hanya hasil pemikiran dan tidak berarti lepas dari realitas
hidup, melainkan merupakan persoalan yang terkait dengan akal, ruh,
hati, jiwa, realitas, dan tujuan yang digariskan oleh akhlaq
qur’aniah[48]
Dalam kenyataan hidup memang ditemukan ada orang yang
berkarakter mulia dan ada juga yang sebaliknya. Ini sesuai dengan fitrah dan
hakikat sifat manusia yang bisa baik dan bisa buruk (khairun wa syarrun).
Inilah yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya, “Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,” (QS.
al-Syams [91]: 8). Manusia telah diberi potensi untuk bertauhid (QS.
al-A’raf [7]: 172 dan QS. al-Rum [30]: 30), maka tabiat asalnya berarti
baik, hanya saja manusia dapat jatuh pada keburukan karena memang diberi
kebebasan memilih (QS. al-Taubah [9]: 7–8 dan QS. al-Kahfi [18]: 29). Baik atau
buruk bukan sesuatu yang mutlak diciptakan, melainkan manusia dapat memilih
beberapa kemungkinan baik atau buruk. Namun walaupun manusia sudah terjatuh
dalam keburukan, ia bisa bangkit pada kebaikan kembali dan bisa
bertaubat dengan menghitung apa yang telah dipetik dari perbuatannya.
Sumber utama penentuan karakter dalam Islam, seperti juga
disinggung di atas, adalah al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saw. Ukuran
baik dan buruk dalam karakter Islam berpedoman pada kedua sumber ini,
bukan menurut ukuran manusia. Sebab jika ukurannya adalah manusia, baik
dan buruk akan berbeda-beda. Kedua sumber pokok tersebut (al-Quran dan
sunnah) diakui oleh semua umat Islam sebagai dalil naqli yang tidak
diragukan otoritasnya. Melalui kedua sumber inilah dapat dipahami dan diyakini
bahwa sifat-sifat sabar, qana’ah, tawakkal, syukur, pemaaf, dan pemurah
termasuk sifat-sifat yang baik dan mulia. Sebaliknya, dapat dipahami
pula bahwa sifat-sifat syirik, kufur, nifaq, ujub, takabur, dan hasad
merupakan sifat-sifat tercela. Islam tidak mengabaikan adanya standar
lain selain al-Quran dan sunnah/hadis untuk menentukan baik dan buruk
dalam hal karakter manusia. Standar lain dimaksud adalah akal dan nurani manusia
serta pandangan umum (tradisi) masyarakat.
Secara umum karakter dalam perspektif Islam dibagi menjadi dua,
yaitu karakter mulia (al-akhlaq al-mahmudah) dan karakter tercela
(al-akhlaq al-madzmumah). Jika dilihat dari ruang lingkupnya,
karakter Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu karakter terhadap Khaliq
(Allah Swt.) dan karakter terhadap makhluq (makhluk/selain Allah
Swt.). Karakter terhadap makhluk bisa dirinci lagi menjadi beberapa
macam, seperti karakter terhadap sesama manusia, karakter terhadap
makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang), serta
karakter terhadap benda mati (lingkungan alam).
C.
Jenis-jenis Pendidikan Karakter
Menurut Yahya Khan[49],
terdapat empat jenis pendidikan karakter yang dapat dilaksanakan dalam proses
pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1.
Pendidikan Karakter berbasis nilai religius, yaitu pendidikan
karakter yang berlandaskan kebenaran wahyu tuhan (konversi moral).
2.
Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, yang berupa budi
pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para
pemimpin bangsa.
3.
Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konversi lingkungan).
4.
Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi,
hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan (konversi humanis). Pendidikan karakter
berbasis potensi diri adalah proses kegiatan yang dilakukan dengan segala upaya
secara sadar dan terencana, untuk mengarahkan anak didik agar mereka mampu
mengatasi diri melalui kebebasan dan penalaran, serta mampu mengembangkan
segala potensi diri yang dimiliki anak didik.[50]
E. Pilar-pilar Karakter dalam Islam
Ada sepuluh pilar karakter yang
berasal dari nilai-nilai luhur universalitas Islam, yaitu:
Pertama, Karakter cinta dan ikhlas terhadap Allah
swt dan segenap ciptaan-Nya. Ibadah pada hakikatnya segala sikap dan prilaku
yang di ditujukan untuk mencari ridha Allah, baik itu ibadah personal maupun
ibadah sosial.[51]
Kedua,Tanggung jawab dan kemandirian. Setiap
orang bertanggungjawab terhadap apa yang dikatakan dan dilakukan dalam tindakan
manusiawi secara mandiri. Anugerah Tuhan kepada manusia berupa potensi internal
(akal, nafs, kalbu, dan fitrah yang dihidupi oleh ruh), kesadaran dan kebebasan
memilih untuk bertindak, menjadikan manusia bertanggungjawab apa yang dikatakan
dan dilakukan secara mandiri. Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab
terhadap yang dipimpinnya. Paling tidak seseorang bertanggungjawab memimpin
dirinya sendiri.
Ketiga, Kejujuran dan amanah. Diantara karakter
yang ingin kita bangun adalah karakter yang berkamampuan dan berkebiasaan
memberikan yang terbaik, giving the best, sebagai prestasi yang dijiwai
oleh nilai-nilai kejujuran. Di samping itu apabila seseorang diberi amanah,
maka ia harus mampu memikul dan menunaikan amanah itu sesuai dengan hak-hak dan
kewajiban yang melekat dalam amanah itu.
Keempat, Saling hormat menghormati dan berlaku
santun dalam bersikap dan berkomunikasi. Kebanyakan orang sukses justru
ditentukan sejauh mana seseorang menghormati, menghargai dan santun dalam
berkomunikasi. Intelegensi hanya salah satu faktor saja untuk menuju sukses.
Kelima, Ta’awun (tolong menolong), adil
(hidup seimbang) dan ihsan (berbuat lebih baik dan terbaik) dan
kerjasama dalam menciptakan tatanan dunia yang bermoral. Manusia diciptakan
dalam posisinya bersosial. Tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri, tanpa
bantuan orang lain. Bahkan telah matipun, harus dibantu orang lain, yang
dikenal dalam Islam fardu kifayah (kewajiban kolektif) untuk menyolatkan,
memandikan, mengkafani, dan menanamnya.
Keenam, Percaya diri dan pekerja keras. Setiap
muslim diperintahkan, jika seseorang selesai melakukan suatu
pekerjaaan, cepat bergegaslah untuk mengerjakan lainnya. Dalam Alquran
disebutkan: Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah
hendaknya kamu berharap (QS. Insyirah: 7-8). Demikian juga seseorang di larang
keras menggantungkan hidupnya pada orang lain, apalagi meminta-minta. Tangan
pemberi lebih baik daripada tangan peminta.
Ketujuh, Kepemimpinan. Memimpin diri sendiri dan
orang lain untuk menata dunia dalam tatanan moral merupakan suatu keharusan
dalam Islam.
Kedelapan, Berprilaku baik dan rendah hati.
Memperjuangkan kebenaran apabila dilakukan dengan cara yang baik dan rendah
hati jauh lebih bermakna dan lebih efektif, daripada dilakukan dengan cara yang
tidak baik dan arogan.
Kesembilan, Keteladanan. Panji-panji Islam dapat
ditegakkan apabila seseorang menempatkan dirinya sebagai teladan yang baik (uswatun
hasanah) bagi masyarkat dan keluarganya. Tidak akan dapat menciptakan
tatanan dunia yang bermoral apabila terutama para pemimpinnya belum dapat
menjadikan diri mereka menjadi teladan bagi yang dipimpinnya. Presiden menjadi
teladan bagi rakyatnya. Orang tua menjadi teladan bagi anak-anaknya. Guru
menjadi teladan bagi murid-muridnya. Majikan menjadi teladan bagi para
pekerjanya. Supir menjadi teladan bagi penumpangnya. Pimpinan media menjadi
teladan bagi pembacanya dan seterusnya.
Kesepuluh, Toleransi (tasamuh), kedamaian, dan
kesatuan. Manusia diciptakan dalam perbedaan. Yang saudara sekandung dan
kembarpun pasti berbeda, apalagi yang bukan saudara dan bukan pula kembar.
Seseorang tidak boleh bercita-cita untuk menyeragamkan (uniform) setiap orang.
F. Hakikat Pendidikan Karakter Dalam Islam
Hakikat pendidikan Islam atau al-tarbiyah
al-islamiyah mencakup makna yang sangat luas yakni (1) al-namaa yang
berarti bertambah, berkembang dan tumbuh menjadi besar sedikit demi sedikit,
(2) aslahahu yang berarti memperbaiki pembelajar jika proses
perkembangan menyimpang dari nilai-nilai Islam, (3) tawallaa amrahu
yang berarti mengurusi perkara pembelajar, bertanggung jawab atasnya dan
melatihnya, (4) ra’ahu yang berarti memelihara dan memimpin
sesuai dengan potensi yang dimiliki dan tabiatnya (5) al-tansyi’ah yang
berarti mendidik, mengasuh, dalam arti materi (fisiknya) dan immateri
(kalbu, akal, jiwa, dan perasaannya), yang kesemuanya merupakan aktivitas
pendidikan. Lima hakikat pendidikan Islam tersebut harus dimulai sejak usia
dini.
Usia dini berarti pendidikan karakter sejak
dalam kandungan. Sewaktu calon bayi dalam kandungan, keluarga terutama ibu
calon bayi, diharapkan banyak membaca ayat-ayat Alquran, seperti surat Yusuf,
surat Maryam, dll, dengan harapan ibunya tenang dan damai, yang hal itu
berpengaruh kepada calon bayi yang dikandungnya menjadi manusia berkarakter
kuat dan energi positif seperti Nabi Yusuf as dan Maryam. Sewaktu anak lahir
disyariatkan mengumandangkan azan di telinga kanan dan ikamat di telinga
kirinya, agar bayi dibiasakan mendengarkan kalimat yang baik yang menggetarkan
syaraf dan jiwanya. Berkebiasaan mendengarkan yang baik akan mengukir dalam
jiwa anak, yang akhirnya menjadi karakter kuat dan positif.
Keluarga merupakan kelembagaan masyarakat
yang memegang peranan kunci dalam proses pendidikan karakter. Jadi ayah, ibu
dan seluruh anggota keluarga adalah demikian penting dalam proses pembentukan
dan pengembangan karakter. Keluarga wajib berbuat sebagai ajang yang diperlukan
sekolah dalam hal melanjutkan pemantapan sosialisasi kognitif. Demikian juga
keluarga dapat berperan sebagai sarana pengembangan kawasan afektif dan
psikomotor. Dalam keluarga diharapkan berlangsungnya pendidikan yang berfungsi
pembentukan karakter sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila
dan makhluk religius.
Ada beberapa alasan kenapa pendididikan
karakter dalam keluarga ini penting. Pertama, dasar-dasar kelakuan dan
kebiasaaan anak tertanam sejak di dalam keluarga, juga sikap hidup serta
kebiasaan-kebiasaannya. Kebiasan-kebiasaan yang baik dalam keluarga ini akan
menjadi karakter anak setelah dia dewasa.
Kedua, anak menyerap adat istiadat dan prilaku
kedua orangtuanya dengan cara meniru atau mengikuti yang disertai rasa puas.
Peniruan yang baik yang diikuti dengan rasa puas akan sangat besar pengaruhnya
dalam penanaman karakter anak.
Ketiga,
dalam pendidikan keluarga berjalan secara natural, alami dan tidak dibuat-buat.
Kehidupan keluarga berjalan penuh dengan keaslian, akan terlihat jelas
sifat-sifat atau karakter anak yang dapat diamati orang tua terus menerus dan
karenanya orang tua dapat memberikan pendidikan karakter yang kuat terhadap
anak-anaknya.
Keempat, dalam pendidikan
keluarga berlangsung dengan penuh cinta kasih dan keikhlasan. Cinta kasih dan
keikhlasan ini dijelaskan Nabi dalam riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik
bahwa telah datang kepada Aisyah seorang ibu bersama dua anaknya yang masih
kecil. Aisyah memberikan tiga potong kurma kepada wanita itu. Diberilah oleh
anak-anaknya masing-masing satu, dan yang satu lagi untuknya. Kedua kurma itu
dimakan anaknya sampai habis, lalu mereka menoreh kearah ibunya. Sang ibu
membelah kurma (bagiannya) menjadi dua, dan diberikannya masing-masing sebelah
kepada kedua anaknya. Tiba-tiba Nabi Muhammad SAW datang, lalu diberitahu oleh
Aisyah tentang hal itu. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Apakah yang mengherankanmu
dari kejadian itu, sesungguhnya Allah telah mengasihinya berkat kasih sayangnya
kepada kedua anaknya”.
Kelima, dalam keluarga merupakan unit pertama
dalam masyarakat di mana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, sebagian
besar adalah bersifat hubungan langsung. Dari keluarga, anak pertama-tama
memperoleh terbentuknya tahap-tahap awal proses sosialisasi, dan melalui
interaksi dalam keluarga, anak memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, emosi,
sikap, dan keterampilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50%
variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun.
Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada
pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali
proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi
sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu,
seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam
lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di
sinilah peran guru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas,
yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Sebagaimana dikutip Suyanto (2009), bahwa
ada dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik. Ringkasan hasil
studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan
peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada
sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara
komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan
drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan
akademik. Menurut Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat,
ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen
ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam
kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat
mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak
usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa.
Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah
umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras,
perilaku seks bebas, dan sebagainya.[52]
EPILOG
Usaha pembentukan watak melalui
sekolah/madrasah, selain dengan pendidikan karakter di atas, secara berbarengan
dapat pula dilakukan melalui pendidikan nilai dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
Pertama, menerapkan pendekatan “modelling”
atau “exemplary” atau “uswah hasanah”. Yakni mensosialisasikan
dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan
nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru
dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah
hasanah” yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta didik.
Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik
tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada
peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang
buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi
penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising)
nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging)
berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk
secara terbuka dan kontinu; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai; melakukan
pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari
setiap pilihan dan tindakan; membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan
prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan
bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus
menerus dan konsisten.
Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan
karakter (character-based education). Hal ini bisa dilakukan dengan
menerapkan character-based approach ke dalam setiap mata pelajaran nilai
yang ada di samping mata pelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan
karakter, seperti pelajaran agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), sejarah,
Pancasila dan sebagainya. Memandang kritik terhadap mata
pelajaran-matapelajaran terakhir ini, perlu dilakukan reorientasi baik dari
segi isi/muatan dan pendekatan, sehingga mereka tidak hanya menjadi verbalisme
dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan kembali
karakter dan jati diri bangsa.
REFERENSI
Abd.
Hamid Yunus, Da.irah al-Ma.arif, II, (Cairo: Asy.syab, t.t)
Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Islam Sebagai Basis Pendidikan
Karakter, (Yogyakarta:Sinar Grafika, 2007)
Ahmad Amin. Etika (Ilmu
Akhlak). Terj. oleh Farid Ma’ruf. (Jakarta: Bulan Bintang, 1995) Cet. VIII
Abdul Madjid dan Diah Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif
Islam, Bandung: Rosdakarya, 2011)
Ahmad Warson Munawwir, Kamus a-Munawwir, (Yogyakarta:
Krapyak Press,1997)
Amin Abdullah,Seri Kupulan Pidato guru Besar: Rekonstruksi
Ilmu-Ilmu Keislaman,(Yogyakarta:Suka Press, 2003)
A
Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), Cet. III.
Ainain, Ali Khalil Abu. Falsafah al-Tarbiyah fi al-Quran
al-Karim. T.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabiy. Al-Hadits al-Nabawiy.1985.
A. Malik Fajar, Madrasah Dan Tantangan Modernitas (Bandung:
Mizan, 1999)
Al-Attas, Syed Naquib, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir. cet.IV. Bandung:
Mizan, 1994)
Ali Abdul Halim Mahmud, Tarbiyah Khuluqiyah, terj. Afifudin
(Solo: Media Insani Press, 2003)
Agus Sujanto, et.al, Psikologi Kepribadian (Jakarta, Bumi
Aksara, 2009)
Azyumardi Azra, Pendidikan Karakter: Peran Sekolah Dan Keluarga,
dalam
http://www.erlangga.co.id/umum/7405-pendidikan-karakter-peran-sekolah-dan-keluarga-.html
CP. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1993)
D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri (Yogyakarta:
Pelangi Publishing, 2010), Doni
Koesoema A, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta:
Gramedia, 2010)
Dharma Kesuma, et.al, Pendidikan Karakter (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011)
Djaali, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2011)
Echols, M. John dan Hassan Shadily. (1995). Kamus Inggris
Indonesia: An English-Indonesian Dictionary. Jakarta: PT Gramedia.
Cet. XXI. (Ryan and Bohlin, 1999)
Echols dan Shadily, Kamus Besar Bahasa Inggris, Jakarta: Pusat
Bahasa Dikbud, 1995).h. 214. (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008)
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam. Yogyakarta:
Titihan Ilahi Press. 1998)
Frye, Mike at all. (Ed.) (2002).Character Education:
Informational Handbook and Guide for Support and Implementation of the Student
Citizent Act of 2001. North Carolina:Public Schools of North Carolina
Hasan Sho’ub, Islam dan revolusi Pemikiran, terj. Lukmanul
Hakim, (Surabaya: Risalah Gusti 1997)
Hans Wehr, A Dictionary of Modern written Arabic (Wiesbaden:
Otto Harrassowitz, 1979)
Thomas Lickona, The Return of
Character Education, Phe Delta Kippan, 1999)
Masnur Muslih, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000),
h.392.
Nurnaningsih, Pentingnya karakter Dalam Membentuk Generasi
Cerdas Dan unggul, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997)
Maragustam,“Revitalisasi Strategi Pembelajaran Agama Islam menapaki
Abad Moderen”, dalam Jurnal Pendidikan Islam vol. 2, no. 1, (Yogyakarta:
Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 2001)
Nursid Sumaatmadja, Pendidikan
Pemanusiaan Manusia Manusiawi, (Bandung: ALFABETA, 2002)
M. Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban
Bangsa (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010)
Marzuki, Prinsip Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi
Konsep-Konsep Dasar Etika dalam Islam. Yogyakarta: Debut Wahana
Press-FISE UNY, 2009)..
Moeliono, Anton M. (Penyunting), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1996)
Muka Sa’id, Etika
Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1986)
Ryan, Kevin & Bohlin, Karen E. Building Character in
Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San
Francisco: Jossey Bass.1999)
Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our School Can
Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney,
Aucland: Bantam books., 1991.
Suyanto, Urgensi Pendidikan Karakter
(makalah), Ditjen Mandikdasmen: Kemenpendiknas, 2009.
Wina
Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi,
(Jakarta: Kencana, 2005)
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah,
(Jakarta: Ruhama, 1995), Cet. II.
Zainal Aqib, Pendidikan Karakter Membangun Perilaku Positif Anak
Bangsa, Bandung: CV. Yrama Widya, 2011)
Sumer: Litbang Kompas, didownload pada tanggal 13 April 2012.
http/muslimdaily.net/index.php?page=artikel&subpage=detalil&detailed=41
dakses 02-11-2011.
http/muslimdaily.net/index.php?page=artikel&subpage=detalil&detailed=41
dakses Sabtu, 7 Mei 2011http:/zahrahm. Wordpress diakses tanggal 02-10-2011
Ò Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN
Mataram, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama 2011-2015.
[1]Azyumardi
Azra, Pendidikan Karakter: Peran Sekolah Dan Keluarga, dalam
http://www.erlangga.co.id/umum/7405-pendidikan-karakter-peran-sekolah-dan-keluarga-.html
[2]Sumer: Litbang Kompas,
didownload pada tanggal 13 April 2012.
[3]http:/zahrahm. Wordpress diakses
tanggal 02-10-2011
[4]Amin Abdullah,seri
Kupulan Pidato guru Besar: Rekonstruksi Ilmu-Ilmu Keislaman,(Yogyakarta:Suka
Press, 2003), h. 166.
[5]Ibid, hlm. 166-167
[6]Ibid, hlm. 167.
[7]Ahmad Tafsir, Pendidikan
Agama Islam Sebagai Basis Pendidikan Karakter, (Yogyakarta:Sinar Grafika,
2007), h.15
[8]
http/muslimdaily.net/index.php?page=artikel&subpage=detalil&detailed=41
dakses Sabtu, 7 Mei 2011
[9]Nurnaningsih, Pentingnya
karakter Dalam Membentuk Generasi Cerdas Dan unggul, (Bandung, Pustaka
Hidayah, 1997), h 115.
[10]A. Malik Fajar, Madrasah
Dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1999), h. 30.
[11]Maragustam,“Revitalisasi
Strategi Pembelajaran Agama Islam menapaki Abad Moderen”, dalam Jurnal
Pendidikan Islam vol. 2, no. 1, (Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga, 2001), h. 111.
[12]http/muslimdaily.net/index.php?page=artikel&subpage=detalil&detailed=41
dakses 02-11-2011.
[13]Hasan Sho’ub, Islam dan
revolusi Pemikiran, terj. Lukmanul Hakim, (Surabaya: Risalah Gusti
1997), hlm. 9.
[16] Al-Attas, Syed Naquib, Konsep Pendidikan Dalam
Islam, Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir.
cet.IV. Bandung: Mizan, 1994.h.220.
[17]Akhmad Muhaimin Azzet, Op.Cit., h. 27
[20]Zainal Aqib, Pendidikan Karakter Membangun
Perilaku Positif Anak Bangsa, Bandung: CV. Yrama Widya, 2011, h. 28
[21]Thomas Lickona, Op.Cit., h. 120
[22]Masnur Muslih, Pendidikan Karakter Menjawab
Tantangan Krisis Multidimensional, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, h. 127
[23] D. Yahya Khan, Pendidikan
Karakter Berbasis Potensi Diri (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), 1
[24] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), h.392.
[25]M. Furqon Hidayatullah, Pendidikan
Karakter: Membangun Peradaban Bangsa (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h.12.
[26] Doni Koesoema A, Pendidikan
Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: Gramedia, 2010),
h. 90-91.
[27] Dharma Kesuma, et.al, Pendidikan Karakter (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011), h. 22.
[28] CP. Chaplin, Kamus
Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993),h. 82.
[29] Moeliono, Anton M.
(Penyunting), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1996), h. 150.
[30]
Ibid.,h. 665.
[32]
A Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), Cet. III, h.
11. Abd. Hamid Yunus, Da.irah
al-Ma.arif, II, (Cairo: Asy.syab, t.t), h. 436.
[33] Hans Wehr, A Dictionary
of Modern written Arabic (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1979), h. 299.
[34] Kata Al-Khuluq dapat
digunakan bersama Al-Khaliq. Contoh; "Fulanun hasanul-kholq
alkhuluq", yakni Fulan itu baik lahir dan batinnya. Yang dimaksud kholq
ialah aspek lahir (fisik) dan yang dimaksud khuluq ialah
aspek batin (jiwa). Sebab manusia itu tersusun dari jasad (fisik) yang
terjangkau oleh penglihatan mata (bashar) dan ruh atau nafs (jiwa) yang
terjangkau oleh penglihatan hati (bashirah). Keduanya adalah merupakan
sikap dan gambaran, bisa jelek dan bisa baik. Jiwa yang merupakan
jangkauan penglihatan hati (bashirah) lebih tinggi tingkatannya dari
pada fisik yang merupakan jangkauan penglihatan mata (bashar). Ali Abdul
Halim Mahmud, Tarbiyah Khuluqiyah, terj. Afifudin (Solo: Media Insani
Press, 2003), 30.
[35] Zakiah Daradjat, Pendidikan
Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), Cet. II, h. 60.
[36] Agus Sujanto, et.al, Psikologi
Kepribadian (Jakarta, Bumi Aksara, 2009), h. 10
[37] Djaali, Psikologi Pendidikan (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), h. 2.
[38] Ali Abdul Halim Mahmud, Tarbiyah
Khuluqiyah, h.30.
[39] Dharma Kesuma, Pendidikan Karakter .,h.
24.
[40] Ahmad Warson Munawwir, Kamus a-Munawwir, (Yogyakarta:
Krapyak Press,1997), h.364 Ryan, Kevin & Bohlin, Karen E. Building
Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life.
San Francisco: Jossey Bass.1999, h. 43
[41] Faisal Ismail, Paradigma
Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Titihan Ilahi Press. 1998: 178
[42] Muka Sa’id, Etika Masyarakat Indonesia. Jakarta:
Pradnya Paramita, 1986, h 23-24
[43] Echols, M. John dan Hassan
Shadily. (1995). Kamus Inggris Indonesia: An English-Indonesian
Dictionary. Jakarta: PT Gramedia. Cet. XXI. (Ryan and Bohlin, 1999: 5,
Echols dan Shadily, Kamus Besar Bahasa Inggris, Jakarta: Pusat Bahasa Dikbud,
1995).h. 214. (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682
[44] Lickona, Thomas, Educating
for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New
York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books., 1991 h. 51
[45]Lickona, 1991: 51).
[46] Ahmad Amin. Etika (Ilmu Akhlak). Terj. oleh Farid
Ma’ruf. (Jakarta: Bulan Bintang, 1995) Cet. VIII, h. 62
[47] Frye, Mike at all. (Ed.)
(2002).Character Education: Informational Handbook and Guide for Support and
Implementation of the Student Citizent Act of 2001. North Carolina:Public
Schools of North Carolina. Lihat juga, Marzuki. (2009). Prinsip Dasar Akhlak
Mulia: Pengantar Studi Konsep-Konsep Dasar Etika dalam Islam. Yogyakarta:
Debut Wahana Press-FISE UNY.
(Frye,
2002: 2).
[48] Ainain, Ali Khalil Abu. Falsafah
al-Tarbiyah fi al-Quran al-Karim. T.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabiy. Al-Hadits
al-Nabawiy.1985, h. 186
[49] Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis
Potensi Diri, 2.
[50] Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis
Potensi Diri, 2.
[51] Al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn,
jilid I, h. 54
[52] Suyanto,
Urgensi Pendidikan Karakter (makalah), Ditjen Mandikdasmen:
Kemenpendiknas, 2009.h.7
0 komentar:
Post a Comment