OLEH
: FAHRURROZI DAHLAN
Dakwah fardiyah atau dakwah secara personal merupakan sebuah
metode dakwah yang tidak pernah usang, sejak masa Rasulullah Saw. Bentuk dakwah
personal ini menjadi dakwah alternatif di beberapa perguruan tinggi di Indonesia
yang dilakukan oleh mahasiswa. Mereka mendirikan organisasi yang bagus dan
profesional seperti pembentukan lembaga-lembaga dakwah atau kelompok
kajian-kajian ke-Islam-an dan lainnya.
Dari pernyataan di atas, muncul beberapa pertanyaan yaitu, bagaimana
membangun komunikasi antarpribadi dalam kerangka dakwah fardiyah? Bagaimana
korelasi ilmu komunikasi dengan dakwah fardiyah ? Dan bagaimana penerapan dakwah
fardiyah dalam kampus?
Keberhasilan komunikasi atau interaksi antarpribadi sangat
tergantung pada pemahaman konsep-konsep komunikasi itu sendiri, bagaimana
strategi seorang da’i memperlakukan seorang mad’u dan bagaimana bentuk
interaksi yang dipakai oleh da’i terhadap mad’u.
Kajian utama dalam paper
ini adalah dakwah fardiyah. Salah satu pendekatan yang relevan dengan dakwah
fardiyah adalah prinsip komunikasi antarpribadi yang dikenalkan oleh Coupland
& Giles (1988, hal. 178) yang menjelaskan bahwa dalam berinteraksi, seorang
komunikator (da’i) harus mampu mengakomodir dan mengarahkan komunikasi yang sesuai
dengan karakteristik komunikan (mad’u). Sikap menerima atau menolak yang
ditunjukkan oleh mad’u memerlukan penyesuaian dengan prilaku yang ditunjukkan
oleh da’i. Maka dalam hal ini, Burgoon, Stern dan Dillman (1995, hal. 265-279)
menawarkan konsep-konsep penyesuaian interaksi.
Penyesuaian interaksi di
atas menjadi metodologi komunikasi yang terdiri dari pengenalan karakteristik
komunikasi dan tahapan-tahapan berinteraksi; karakteristik dakwah fardiyah
diungkapkan oleh Sayid Muhammad Nuh (2000, hal. 47), tahapan dakwah fardiyah
diungkapkan oleh Armawati (2003, hal. 117-121). Metode komunikasi dalam dakwah
fardiyah merupakan metode dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat.
Sebagaimana juga, metode ini menjadi pedoman dalam kegiatan rutin sebagian mahasiswa
perguruan tinggi dalam wadah Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
Menurut penulis, metode dan model dakwah fardiyah yang diterapkan oleh
LDK GAMAIS ITB Bandung merupakan contoh penerapan teori komunikasi antarpribadi
yang mengikuti tahapan-tahapan; mengenali, mendekati, mengajak, mendo’akan
dan menjaga komunikasi dengan mad’u.
PENERAPAN DAKWAH FARDIYAH DI KAMPUS
(Perspektif
Theory of Discourse and Interaction)
A. PENDAHULUAN
Menyampaikan sesuatu berarti menyampaikan apa yang ada pada diri
seseorang kepada orang lain baik melalui lisan maupun tindakan. Dalam konteks
dakwah, orang yang menyampaikan disebut da’i, sesuatu yang disampaikan
disebut dakwah, dan sasaran penyampaian disebut mad’u. Dari
pemahaman tersebut, maka fungsi utama seorang da’i adalah menyampaikan dakwah
kepada mad’u, dimana seorang da’i mengajak seorang mad’u
atau objek dakwah untuk mengenal Islam lebih mendalam. Seorang da’i
yang dengan lisannya, menyampaikan risalah Islam dan mengajak objek dakwahnya
untuk belajar Islam.
Dakwah adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan mempergunakan
metode yang bermacam-macam dan dilaksanakan oleh perorangan, sekelompok
komunitas dan masyarakat. Kegiatan ini telah berlangsung sejak dunia ini
terkembang jelasnya sejak nabi Adam AS sebagai nabi pertama dan menusia pertama
sampai dewasa ini bahkan sampai akhir nanti.[1]
Perjalanan dakwah Islam yang sudah memasuki abad ke 15 ada sebuah metode
dakwah yang tidak pernah usang, sebuah metode dakwah yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW, yang juga dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin, dan bahkan yang
dilakukan Adam AS, Ibrahim AS, Musa AS hingga Isa AS yaitu dakwah fardiyah atau
dakwah secara personal. Bentuk dakwah personal ini memang sesuai dengan
namanya, yakni aktifitas dakwah secara personal dari seorang personal ke
personal lainnya.
Kegiatan dakwah atau kegiatan
menyampaikan dan mengajak merupakan kegiatan yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah Saw. Seorang da’i menyampaikan firman Allah Swt yang memuat ajaran
agama Islam kepada umatnya baik secara sembunyi-sembunyi, terang-terangan di
depan umum, atau berkunjung langsung ke tempat-tempat tertentu.
Bentuk dakwah yang dilakukan Rasulullah Saw diatas telah menjadi dakwah
alternatif di beberapa perguruan tinggi di Indonesia yang dilakukan oleh
mahasiswa. Mereka yang merasa terpanggil untuk menjadi kader dakwah, menyusun
berbagai agenda dakwah, dengan mendirikan organisasi yang bagus dan profesional
seperti pembentukan lembaga-lembaga dakwah atau kelompok kajian-kajian
ke-Islam-an dan lainnya. Sehingga lewat lembaga tersebut, mahasiswa secara
langsung bisa menjadi da’i dimanapun dia berada. Di lembaga ini dia akan
menyampaikan dakwah dengan perkataan, komunikasi dan keteladanan agar objek
dakwahnya bersedia belajar Islam lebih mendalam.
Dakwah yang dilakukan oleh mahasiswa di kampus merupakan
kegiatan-kegiatan dalam bentuk interaksi antarpribadi atau lebih tepat disebut
dengan dakwah fardiyah karena memang berawal dari interaksi seorang
mahasiswa (da’i) dengan mahasiswa lain (mad’u). Lalu, bagaimana membangun
komunikasi antarpribadi dalam kerangka dakwah fardiyah? Bagaimana karakter dan
tahapan dakwah fardiyah yang dilakukan mahasiswa dalam kampus? Apa
tujuan penerapan dakwah fardiyah dalam kampus?
Pertanyaan-pertanyaan di atas
akan dibahas dalam makalah sederhana ini yang disusun dalam tiga bagian;
pertama pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah
dalam bentuk pertanyaan dan sistematika pembahasan.defenisi dakwah fardiyah.
Bagian kedua pembahasan; yaitu kerangka teoritis dan analisis yang
terdiri dari defenisi dakwah fardiyah, teori komunikasi dalam dakwah fardiyah,
metodologi dakwah fardiyah dan model penerapan dakwah fardiyah di kampus.
Bagian ketiga penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
B. PEMBAHASAN
1. Defenisi
Dakwah Fardiyah
Dakwah fardiyah menurut Muhammad Nuh
adalah konsentrasi dengan dakwah atau berbicara dengan mad’u secara tatap muka
atau dengan sekelompok kecil dari manusia yang mempunyai ciri-ciri dan
sifat-sifat khusus.[2]
Sedangkan menurut Ali Abdul Halim Mahmud, dakwah fardiyah adalah antonym dari
dakwaf jama’iyah atau ‘ammah, yaitu ajakan atau seruan ke jalan Allah yang
dilakukan seorang da’i (penyeru) kepada orang lain secara perorangan dengan
tujuan memindahkan al-mad’u pada keadaan yang lebih baik dan diridhai Allah.
Dakwah fardiyah dalam hal ini memiliki tiga pengertian yaitu; mafhum dakwah
(seruan/ ajakan, mafhum haraki (gerakan), dan mafhum tandzimi
(pengorganisasian).[3]
Dari defenisi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa dakwah fardiyah yang dilakukan oleh seorang da’i kepada
seorang mad’u sejalan dengan pengertian interaksi atau komunikasi antarpribadi
atau interpersonal.
2. Teori Komunikasi dalam Dakwah Fardiyah
Komunikasi memegang peranan sangat
penting dalam kehidupan sehari-hari baik di ruang lingkup keluarga, organisasi
formal, nonformal dan masyarakat. Manfaat ilmu komunikasi bagi individu, di
antaranya untuk pembentukan dan pengembangan pribadi dan kontak sosial.[4] Seperti
yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dakwah fardiyah mempunyai kesaman dengan
komunikasi antarpribadi atau juga interaksi interpersonal. Katherine Miller
dalam bukunya, “Communication Theories: Perspectives, Processes and Contexts.”
mengenalkan Theories of Discourse and Interaction yang menjelaskan
tentang bagaimana orang-orang berwacana kepada orang lain dan berinteraksi
antar sesama mereka dalam rangka saling mempengaruhi.[5]
Secara teoritis, Coupland
& Giles menjelaskan bahwa dalam berinteraksi, seorang komunikator (da’i)
harus mampu mengakomodir dan mengarahkan komunikasi yang sesuai dengan
karakteristik komunikan (mad’u).[6] Karena
diakui bahwa tidak selamanya mad’u memiliki karakter yang sama dengan da’i.
Ketika menghadapi mad’u yang berkarakter sama dengan da’i, maka da’i akan lebih
mudah melakukan interaksi. Tapi ketika menghadapi mad’u yang berbeda karakter
dengan da’i, maka da’i harus melakukan identifikasi tertentu agar tercipta
interaksi yang baik.
Setelah identifikasi
karakter, seorang da’i juga harus bisa memprediksi apakah komunikasi atau
interaksi yang dilakukannya akan diterima atau ditolak oleh mad’u dan bagaimana
pula da’i merespon sikap menerima atau menolak dari mad’u. Semuanya memerlukan metode
dan cara yang tepat.
Sikap menerima atau
menolak yang ditunjukkan oleh mad’u memerlukan penyesuaian dengan prilaku yang
ditunjukkan oleh da’i. Maka dalam hal ini, Burgoon dan rekan-rekannya
menawarkan konsep-konsep penyesuaian interaksi. Konsep-konsep itu dibedakan
antara; diperlukan (Required)
faktor biologis yang mengatur perilaku, diharapkan (Expected) faktor sosial
yang mengatur perilaku, dan diinginkan (Desired)
faktor individu yang mengatur perilaku. Tiga faktor ini (RED) bergabung
dalam menciptakan satu posisi interaksi (Interaction Position)
yang menegaskan satu kecenderungan prilaku dan satu harapan prilaku teman.[7]
Jadi, keberhasilan komunikasi atau interaksi antar pribadi sangat tergantung pada pemahaman konsep-konsep komunikasi itu sendiri, bagaimana strategi seorang da’i memperlakukan seorang mad’u dan bagaimana bentuk interaksi yang dipakai oleh da’i terhadap mad’u.
Untuk itu diperlukan metodologi
komunikasi yang terdiri dari pengenalan karakteristik komunikasi dan
tahapan-tahapan berinteraksi. Dalam dakwah fardiyah yang sudah dijelaskan
sebelumnya menunjukkan bahwa pentingnya mengikuti tahapan-tahapan berinteraksi
atau berdakwah agar tujuan dakwah yang diharapkan oleh da’i bisa tercapai
dengan semaksimal mungkin. Ada beberapa contoh dakwah fardiyah yang sudah
pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat selama hidupnya.
Sebagaimana juga, kegiatan dakwah fardiyah tersebut menjadi kegiatan rutin
sebagian mahasiswa perguruan tinggi dalam wadah Lembaga Dakwah Kampus
(LDK).[8]
3. Metodologi Dakwah Fardiyah
Dakwah fardiyah menurut Sayid Muhammad Nuh memiliki karakteristik sebagai
berikut :
- Adanya mukhatabah (berbincang-bincang) dan muwajjahah (tatap muka) dengan mad’u secara dekat dan intens. Hal ini mempermudah terbukanya berbagai macam permasalahan dan problem yang tidak mungkin dilakukan ketika menghadapi orang banyak.
- Istimrariyah yaitu terjaganya keberlanjutan dakwah, khususnya di saat-saat sulit dan dalam kesempitan.
- Berulang-ulang yaitu dapat dilakukan setiap saat tanpa menunggu momen tertentu.
- Mudah yaitu bisa dilakukan setiap orang.
- Bisa terhindar dan tertutupi dari pandangan manusia, terutama musuh.
- Dapat menghasilkan asas-asas dan pilar-pilar amal.
- Dapat membantu mengungkap potensi dan bakat terpendam.
- Dapat menghasilkan tarabuth (keterikatan yang erat) dan ta’awun (bekerja sama).
- Sang da’i akan bisa menggali pengalaman dan pembiasaan dalam aktivitas dakwah dan itu merupakan hal yang mutlak dilakukan.
- Bisa mendorong pelakunya untuk menambah bekal dan pengalaman, sehingga lebih mapan dalam aspek operasionalnya.
- Bisa mengarahkan sang da’i untuk selalu bermujahadah, karena adanya tuntutan untuk senantiasa menjadi uswah dan qudwah bagi sang mad’u.
- Dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mad’u untuk menanyakan segala sesuatu yang berkenaan dengan keIslaman dirinya. Ini tentunya apabila tarabuth dan takwin (pembentukan) bisa terwujud dengan sempurna.[9]
Sedangkan tahapan-tahapan dakwah
fardiyah yang menurut Armawati perlu dicermati agar tidak terjadi semangat
berlebihan atau sikap lemah (futur) di sepanjang perjalanan dakwah. Tahapan itu
antara lain :
- Ta’aruf ; yaitu upaya untuk memahami secara mendalam tentang kondisi mad’u, dari segi kejiwaan, pemikiran, sosial, ekonomi, serta moral prilaku. Ini dalam rangka untuk mendeteksi sejauh mana tingkatan kualitas mad’u berikut titik-titik kelemahan yang ada. Secara ringkas, tahapan ini adalah pertama, menghormati dan memberi kesan kepada mad’u bahwa ia adalah pusat perhatian dan pengendalian sehingga diharapkan hatinya cepat terbuka. Kedua, untuk sementara menjauhi perbincangan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan dakwah dengan alasan menghindari sikap fobi mad’u terhadap dakwah. Ketiga, berusaha menggali dan memunculkan apa saja yang tersembunyi di balik jiwa sang mad’u berikut segala sesuatu yang meliputinya, sekaligus mencari metode dan sarana yang memungkinkan untuk bisa diterapkan. Keempat, mengikuti perkembangan dan keadaan mad’u dengan seksama, baik dari keluarganya, anaknya, rumahnya, mesjid, di jalan atau di medan kerja.
- Meluruskan pemahaman dan membentuk kecenderungan; yaitu tindak lanjut dari perbincangan sebelumnya. Kondisi mad’u biasanya tidak akan terlepas dari satu di antara beberapa keadaan tertentu seperti; (1) Ada yang masih awam dengan Islam secara keseluruhan atau sebagian, tetapi dia tidak banyak mendebat dan sombong. Dia memiliki kesiapan ma’rifah yang cukup baik. (2) Ada yang mengerti tentang Islam namun kurang ma’rifahnya tentang Islam dan tidak murni. Meski begitu dia tidak suka mendebat, tidak pula sombong. (3) Ada yang faham tentang Islam, namun farsial dalam merealisasikan ajaran dan mendakwahkannya. (4) Ada yang faham tentang Islam secara keseluruhan dan mengaflikasikannya dalam jiwa, namun ia terjebak dalam kesendirian dan terjauh dari jama’ah. (5) Ada yang faham tentang Islam secara integral dan menyuruh serta mengaflikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dia pun berdakwah, namun dakwahnya dilakukan secara infiradiyah. Dalam kondisi seperti ini perbincangan harus diarahkan kepada amal jama’i dan bahaya infiradi seperti pada keterangan terdahulu. (6) Ada yang faham tentang Islam secara menyeluruh, merealisasikannya dan mendakwahkannya dalam sebuah tatanan jama’ah. Namun jama’ah yang diikutinya bukanlah jama’ah yang mengambil Islam secara utuh dan menjadikannya sebagai manhaj hayyah (tatanan hidup). Dalam menghadapi kelompok ini perbincangan harus ditekankan tentang jama’ah-jama’ah Islamiyah di pentas amal Islami dan mengadakan taqwim (pengujian akan keabsahan) jama’ah tersebut. Sehingga pada hasil akhir akan didapat jama’ah yang betul-betul sesuai dengan yang dimaksud. (7) Ada yang faham tentang Islam secara utuh dan beriltizam dengannya. Dia pun yakin bahwa jalan untuk mengokohkan dien Islam adalah dengan melalui jama’ah yang ideal sebagaimana yang dijelaskan sebelum ini. Namun dalam waktu yang sama ia menerima shubhat-shubhat dan kesalahfahaman tentang jama’ah tadi karena banyaknya tuduhan yang diarahkan kepadanya.
- Menguji kebenaran pemahaman dan kejujuran loyalitas, yaitu dengan mengikuti secara seksama perkembangan mad’u dengan cara mu’ayasyah (bergaul), mushahabah (bersahabat), dan tajribah (mengambil pengalaman) pada setiap medan kehidupan dan aktivitas. Medan yang dimaksud adalah (1) di Masjid, (2) di rumah, (3) di saat-saat sulit, (4) di tengah-tengah pembicaraan dan di saat-saat diam, (5) dalam hal makan dan minum, (6) dalam semua bentuk mu’amalah baik yang berhubungan dengan harta atau yang selainnya, dan (7) dalam semua kesempatan, ketika bepergian, ketika mukim, ketika sendiri, dan ketika dalam suasana keramaian.[10]
Menurut Syaikh Musthafa Masyhur, tahapan dakwah fardiyah ada tujuh yaitu:
a.
Membina hubungan dan mengenal
setiap orang yang hendak didakwahi.
b.
Membangkitkan iman yang mengendap
dalam jiwa.
c.
Membantu memperbaiki keadaan
dirinya dengan mengenalkan perkara-perkara yang bernuansa ketaatan kepada Allah
dan bentuk-bentuk ibadah yang diwajibkan
d.
Menjelaskan tentang pengertian
ibadah secara syamil (menyeluruh/ komprehensif) tidak hanya terbatas
pada masalah shalat, puasa, zakat dan haji.
e.
Menjelaskan kepada mad’u bahwa
keberagamaan da’i tidak cukup hanya dengan ke-Islam-an diri da’i sendiri, hanya
sebagai seorang muslim yang taat menjalankan kewajiban ritual, berprilaku baik
dan tidak menyakiti orang lain, lalu selain itu tidak ada lagi.
f.
Menjelaskan kepada mad’u bahwa
kewajiban di atas tidak mungkin dapat ditunaikan secara individu, masing-masing
orang secara terpisah tidak mungkin mampu menegakkan negara Islam dan
mengembalikan sistem ke-Khalifah-an.
g.
Menjelaskan tentang kesadaran
seorang mad’u terhadap kepentingan sebuah jama’ah.[11]
4. Model
Penerapan Dakwah Fardiyah di Kampus
Dalam bagian ini, penulis
menguraikan sebuah model penerapan dakwah fardiyah yang dilakukan oleh kelompok
mahasiswa ITB Bandung yang dikutip dari tulisan Ridwansyah Yusuf Achmad[12] selaku
ketua LDK GAMAIS ITB Bandung. Menurut hemat penulis, model dakwah fardiyah yang
diterapkan sesuai dengan teori komunikasi yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dalam dakwah fardiyah yang diterapkan di LDK GAMAIS ITB Bandung mengikuti
beberapa tahap yang dirangkup dalam istilah 5M, yaitu :
1.
Mengenali; Fase pertama
dalam dakwah fardiyah adalah mengenali calon mad’u. Mengenal, tidak hanya
sebatas nama dan nomor handphone, akan tetapi betul-betul mengenal secara
mendalam. Dimulai dari mengetahui kebiasaannya, dimana tempat tinggalnya, lalu
apa aktifitas kesehariannya, kesukaan dan ketidaksukaannya, dan lain
sebagainya. Mengenali mad’u ini sangat penting, karena akan mempengaruhi metode
pendekatan yang akan dilakukan. Dalam buku “Personality Plus”, ada 4 tipikal
manusia, yakni, sanguinis, melankolis, korelis, dan plegmatis. Buku ini bisa
menjadi sebuah pedoman sederhana dalam mendekati mad’u. Selain itu buku
“Bagaimana Menyentuh Hati” karangan Abbas as-Syisi bisa digunakan sebagai
pedoman fundamental dalam melakukan pendekatan personal.
2.
Mendekati; Pendekatan
yang dilakukan terhadap objek dakwah juga harus berbeda, ada kalanya da’i juga
harus menyesuaikan dengan bagaimana kedekatan atau seberapa kenal da’i dengan
mad’u. Pada dasarnya da’i tidak perlu mengubah cara berkomunikasi atau bersikap
kepada mad’u. Karena perubahan yang terjadi justru bisa kontraproduktif
terhadap dakwah yang dilakukan. Jadilah diri sendiri, dan tentukan pola
pendekatan yang paling tepat dengan tipikal diri sendiri. Seorang mad’u selalu
memiliki kekhasan tersendiri. Seorang yang gemar membaca bisa didekati dengan
membelikan atau meminjami mad’u dengan buku yang menurut da’i bisa mengubah
paradigma mad’u tentang Islam. Seperti buku “Sirah Nabawiyah”, atau “al Islam” karangan
Sayyid Qutb, atau mungkin buku umum seperti “the Secret”, “the World is Flat”,
atau “Berpikir dan Berjiwa Besar”. Dengan pendekatan buku, seseorang bisa
tergugah pemikirannya. Kadang kala da’i bisa bertemu dengan seorang mad’u yang
gemar bertanya, bisa saja sesekali da’i mengajak mad’u untuk silahturahim ke
tempat seorang ustadz untuk diskusi agama, atau menghadiri ta’lim dengan tema
pentingnya pembinaan dan lain sebagainya. Seseorang yang keras kepala harus
dipatahkan dan dicairkan dengan pemahaman dan penjelasan yang logis dan
realistis dari da’i. Oleh karena itu, pemahaman Islam yang baik juga menjadi
tuntutan seorang da’i. Lain halnya dengan tipikal mad’u yang
melankolis-plegmatis, dimana pendekatan intrapersonal, rasa empatik, dan
perhatian dari da’i bisa menjadi metode yang tepat. Berbagai metode lain bisa
berkembang tergantung mad’u dan diri da’i sendiri. Tujuan dari tahapan
pendekatan ini yakni membentuk kepercayaan antara diri da’i dan mad’u,
mengikatkan dan mendekatkan hati, dan menumbuhkan perasaan ingin mempelajari
Islam secara mendalam dan konsisten, atau dengan bahasa lain, menimbulkan
keinginan untuk mengubah diri sendiri.
3.
Mengajak; Setelah
mendapatkan kepercayaan dan kedekatan, tugas da’i adalah mengajak mad’u untuk
mengikuti pembinaan Islam secara konsisten. Bagaimana cara dan waktu yang
tepat, tergantung situasional yang ada. Bisa jadi perlu ada diskusi panjang
hingga mad’u bersedia ikut pembinaan, atau ada yang tipikal langsung di
“tembak”, ini tipikal pada mad’u yang sudah dekat secara personal kepada da’i,
atau untuk mad’u yang agak sulit mengambil keputusan, bisa langsung diundang di
agenda pembinaan yang ada. Proses pengajakan ini bukanlah akhir dari proses
meskipun mad’u menolak untuk mengikuti pembinaan. Proses dakwah fardiyah harus
tetap jalan. Jika da’i sudah merasa tidak ada prospektif di salah seorang
mad’u, maka mengganti calon mad’u bisa menjadi pilihan yang tepat.
4.
Mendo’akan; “Dan jika
mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah, Dialah yang
memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu'min, dan Dialah yang
mempersatukan hati mereka. Walaupun kamu membelanjakan semua yang berada di
bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah
telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha
Bijaksana.(QS: al Anfaal ayat 62-63). Kekuatan do’alah yang bisa menyatukan
hati-hati ini, karena sesungguhnya do’a seorang muslim kepada sesama muslim
akan menjadi amal yang sangat bernilai. Kekuatan do’a ini pula yang akan
membukakan hati da’i semua, memudahkan masuknya hidayah, dan menjauhi godaan
syetan. Mendo’akan mad’u menjadi kewajiban bagi seorang da’i.
5.
Menjaga; Terkadang proses
follow up dari hasil dakwah fardiyah yang dilakukan tidak selalu di-handle oleh
da’i sendiri. Bisa jadi orang lain yang membina hasil dakwah fardiyah yang
dilakukan da’i sebelumnya. Oleh karena itu da’i perlu tetap menjaga hubungan
and never loose contact with him/her. Sesekali da’i coba tanya bagaimana
pembinaan yang didapat, apa kesannya, atau bisa diajak diskusi sesekali. Beda
halnya jika da’i yang membina langsung hasil dakwah fardiyah sebelumnya, proses
penjagaan akan lebih mudah karena da’i akan bertemu lebih rutin.[13]
Melihat perkembangan dakwah fardiyah dengan syiar event yang semakin
bersemarak dan berdana besar, dakwah fardiyah bisa menjadi media persiapan
massa sebelum event atau media follow up setelah event. Media persiapan sebelum
event, dakwah fardiyah bisa sebagai metode yang digunakan untuk mengajak
peserta.
Dalam tahapan dakwah fardiyah, pengajakan mad’u ke agenda dakwah bisa
mempercepat tahapan pendekatan, karena mad’u akan bisa merasakan nuansa Islam
di dalam agenda yang diadakan. Dengan mengajak mad’u ke agenda dakwah, turut
mendukung agenda tersebut dari sisi jumlah peserta. Media follow up setelah
event, pada setiap event yang dilakukan oleh lembaga dakwah kampus, sebaiknya
ada presensi atau buku tamu dari pengunjung atau peserta event.
Pendataan ini sangat penting,
karena dengan data ini da’i bisa menghitung berapa massa simpatisan da’i yang
berpotensi menjadi kader. Sehingga proses follow up akan lebih mudah. Salah
satu metode follow up yang bisa digunakan, yakni dengan dakwah fardiyah. Seorang
kader da’i yang dekat dengan peserta agenda dakwah, bisa mendekati mad’u,
sehingga proses follow up simpatisan menjadi kader kian cepat.
Perkembangan agenda dakwah berbasis event seakan-akan menjadi keharusan
pada sebuah lembaga dakwah kampus. Betul memang, ketika lembaga sudah formal,
agenda yang masif harus dijalankan, karena massa juga semakin banyak. Akan
tetapi, janganlah hal ini menjadi satu-satunya tipikal agenda merangkul massa.
Jika ini terjadi, maka label LDK identik dengan event organizer menjadi layak
disandangkan.
Sungguh sangat zalim bagi da’i para pemimpin lembaga dakwah kampus, jika
mendidik kader hanya untuk menjadi ahli dalam organisasi, sebuah lembaga dakwah
kampus adalah lembaga kaderisasi, maka mendidik kader untuk menjadi da’i dalam
konteks mengajak objek dakwah ikut pembinaan dan membina dengan seksama agar
objek dakwah bisa menjadi seorang yang memiliki kepribadian Islam. Sehingga,
dengan internalisasi dan menjadikan dakwah fardiyah sebagai kebiasaan di antara
kader, da’i akan menstimulus karakter kader da’i untuk memilki kepribadian
da’i.
Prospek cerah sangat tampak dalam proyek ini karena ada efek yang sangat
baik jika proyek ini bisa dijalankan secara konsisten untuk jangka waktu yang
lama. Meng-gerilya-kan kader da’i untuk terus menerus “menjual” dan
mempromosikan produk pembinaan da’i setiap saat.[14]
Mekanisme kerja dakwah fardiyah pada sebuah LDK berpusat pada dua
departemen atau bidang, yakni bidang kaderisasi dan manajemen sumber daya
anggota serta bidang koordinasi mentoring. Dua bidang ini harus sinergis satu
sama lain.
Bidang ini akan berfungsi pada satu hal, yakni penjagaan dan pemantauan
proses dakwah fardiyah dengan membuat sel-sel atau kelompok yang bertujuan
untuk mengecek keberjalanan yang ada.
Sel-sel ini tidak ubahnya seperti usrah atau kelompok mentoring, bedanya
kelompok ini tidak di isi dengan majelis ilmu, akan tetapi diisi oleh
pengecekan keberjalanan dakwah fardiyah. Kelompok ini juga dipimpin oleh
seorang naqib yang berasal dari seorang yang lebih tua dan diusahakan satu
program studi atau fakultas, agar transfer ilmu dalam cara dakwah fardiyah bisa
lebih tepat.
Pada pucuk tertinggi dari cabang pohon ini adalah para kader inti dari
sebuah LDK. Pada kondisi lain, bisa saja fungsi pemantauan ini digabung dengan
kelompok mentoring pembinaan atau usrah yang ada. Sebetulnya ini lebih efektif
sehingga ketika ada objek dakwah baru yang bergabung akan lebih mudah memantau
dan mem-follow up.
Sedangkan bidang koordinasi mentoring akan menyiapkan dua hal, yakni :
1.
Peralatan pendukung; yaitu sarana
yang digunakan oleh kader da’i dalam mempromosikan mentoring. Sarana ini bisa
berupa pamflet yang berisikan tentang segala sesuatu tentang pembinaan dan mentoring,
slide powerpoint yang bisa digunakan di laptop untuk “menjual” mentoring.
Sarana publikasi seperti poster atau leaflet yang bisa ditempel dan dibagikan,
ini berguna dalam mencitrakan mentoring di lintasan pikiran objek dakwah.
Merchandise pendukung, seperti kaos untuk mentor da’i dengan bertuliskan ”bukan
mentor biasa” atau ”supermentor”, pin yang dibagikan ke semua kader dengan
betuliskan kata-kata persuasif. Selain itu tim mentoring sedianya membuka stand
pendaftaran mentoring di setiap event yang diadakan oleh lembaga dakwah kampus.
Sehingga da’i bisa membuka dan menampung seluruh mahasiswa muslim setiap saat.
2.
Tabulasi jadwal mentor, da’i akan
memakai sistem buka kelas pada permentoringan. Setiap mentor diminta
menyediakan waktu setiap pekannya 1 sesi , dengan satu sesi selama 1,5 jam.
Lalu jadwal semua mentor akan di gabung dan akan mengeluarkan tabulasi jadwal
kelas mentoring. Semakin banyak mentor yang ada, akan membuat pilihan dari
objek dakwah kian banyak. Dengan pilihan jadwal ini ada banyak keuntungan bagi
proses dakwah fardiyah yang dilakukan, yakni.
i.
Membuat jadwal antara mentor dan
binaannya sesuai, sehingga tidak perlu memakan waktu untuk menyamakan jadwal.
ii.
Memberi kesempatan objek dakwah
untuk memilih mentor untuk membina dirinya.
iii.
Memberi kesempatan seorang objek
dakwah untuk memilih teman satu kelompoknya.
Mekanisme input data ini bisa mudah dengan teknologi sms, seorang objek
dakwah cukup sms ke service centre dengan mencantumkan identitas diri dan waktu
mentoring yang diinginkan. Data yang dikirim via sms akan diteruskan ke sistem
data mentoring dan ke mentor, sehingga maksimal satu pekan setelah seseorang
mendaftar, mad’ui bisa langsung memulai proses pembinaan.[15]
Untuk memulai sesuatu memang butuh waktu , akan tetapi semakin cepat da’i
memulai akan lebih baik. Karena semakin lama da’i menunda akan semakin banyak
pula pertimbangan yang mungkin bisa membuat da’i tidak menjalankan sesuatu. Hal
yang menjadi langkah awla dan bisa jadi cukup berat, adalah menimbulkan
kesadaran atau habit dari kader dakwah da’i agar senantiasa mengajak
sebanyak-banyaknya mahasiswa di kampus untuk mengikuti pembinaan. Adanya
pertemuan kader terpusat bisa menjadi sebuah metode yang diharapkan bisa
memberikan pemahaman dan semangat secara masif agar kader bisa bergerak dan
menjalankan dakwah fardiyah.
Mungkin anda bertanya apakah saya sebagai penulis sudah pernah
menjalankannya. Semester silam saya mencoba mempraktekkan secara mini konsep
ini. Saya coba praktekkan konsep ini pada kelompok binaan saya di jurusan. Pada
awalnya di bulan september, anggota kelompok hanya 8 orang saja. Akan tetapi
setiap sms saya ke binaan untuk mengingatkan jadwal mentoring selalu saya beri
tambahan “ajak yang lain yah ! , dan pada setiap mengisi ta’lim di jurusan saya
selalu mengajak untuk ikut mentoring. Alhasil dengan usaha saya dan binaan
saya, pada awal bulan desember ( seda’ir 3 bulan setelah pertemuan pertama ),
jumlah anggota mentoring ini berjumlah 20 orang.
Da’i akan membangun sistem disini, dimana ada perangkat pendukung, tools
untuk promosi, media pencitraan lintasan pikiran, pertemuan-pertemuan untuk
sharing dan berbagi ilmu, sel-sel kecil untuk penjagaan dan pengecekkan, serta
wadah mentoring yang siap menampung hasil dakwah fardiyah. Dengan pembangunan
sistem, semua kader da’i dengan segala tipikal pribadi dan varian kompetensi
akan bisa menjalankan amanah ini dengan baik.[16]
C. KESIMPULAN
Dakwah fardiyah adalah metode dakwah yang tidak pernah usang, yang telah
diterapkan sejak masa Rasulullah SAW sampai saat sekarang. Dakwah fardiyah
atau dakwah secara personal menjadi dakwah alternatif yang diterapkan oleh
mahasiswa di perguruan tinggi di Indonesia. LDK GAMAIS ITB Bandung merupakan
salah satu lembaga dakwah kampus yang menerapkan dakwah fardiyah
Keberhasilan penerapan dakwah fardiyah di LDK GAMAIS ITB
Bandung tidak terlepas dari pemahaman terhadap prinsip komunikasi antarpribadi,
karakteristik dan tahapan dakwah fardiyah yang telah dikembangkan oleh pakar
komunikasi dan ulama-ulama pada bidangnya. Dan yang lebih penting adalah niat
dan kegigihan para da’inya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat baik bagi
dirinya maupun bagi orang lain.
Makalah ini diharapkan dapat
memberi pandangan dan motivasi bagi pelaku-pelaku dakwah Islamiyah khususnya
mahasiswa dalam menerapkan dan menggiatkan dakwah fardiyah di lingkungannya.
Semoga Allah Swt memberi kekuatan kepada kita semua, Amin !
DAFTAR PUSTAKA
Arbi, Armawati, Dakwah dan Komunikasi,
(Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003)
Burgoon, Stern & Dillman, Interpersonal
Adaptation: Dyadic Interaction Patterns, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1995)
Coupland & Giles, Introduction: The
Communicative Contexts of Accommodation. Language and Communication,
(Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1988)
http://ridwansyahyusuf.blogspot.com, (diakses pada tanggal 25 April 2008)
Mahmud, Ali Abdul Halim, Dakwah Fardiyah; Metode
Membentuk Pribadi Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
Masyhur, Syaikh Mustafa, Tujuh Tahapan Dakwah Fardiyah, (Jakarta:
al I’tisham Cahaya Umat, Cet. Ke-3, 2002)
Miller, Khaterine, Communication Theories: Perspectives, Processes and
Contexts, (New York: McGraw-Hill, International Edition, 2005)
Nuh, Sayid Muhammad, Dakwah Fardiyah; Pendekatan Personal dalam Dakwah,
(Solo: Era Intermedia, 2000)
[1] Armawati
Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), hal. 2
[2] Sayid
Muhammad Nuh, Dakwah Fardiyah; Pendekatan Personal dalam Dakwah, (Solo:
Era Intermedia, 2000), hal. 47
[3] Ali
Abdul Halim Mahmud, Dakwah Fardiyah; Metode Membentuk Pribadi Muslim, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hal. 29
[4] Armawati
Arbi, Dakwah dan Komunikasi......., hal. 130
[5]
Khaterine Miller, Communication Theories: Perspectives, Processes and
Contexts, (New York: McGraw-Hill, International Edition, 2005), hal. 145
[6] Coupland
& Giles, Introduction: The Communicative Contexts of Accommodation.
Language and Communication, (1988), hal 178 Dalam Khaterine Miller, Communication
Theories: Perspectives, Processes and Contexts, (New York: McGraw-Hill,
International Edition, 2005), hal. 154
[7] Burgoon,
Stern & Dillman, Interpersonal Adaptation: Dyadic Interaction Patterns,
(1995), hal 265-279 Dalam Khaterine Miller, Communication Theories:
Perspectives, Processes and Contexts, (New York: McGraw-Hill, International
Edition, 2005), hal. 163
[8] Lembaga
Dakwah Kampus merupakan wadah bagi mahasiswa Muslim untuk saling berbagi
pengalaman, bertukar pikiran tentang keagamaan dan bekerjasama dalam
menggiatkan syiar agama Islam kapan dan dimana saja. Dalam konsep dasarnya,
kegiatannya diawali dengan interaksi antar individu atau dakwah fardiyah
kemudian mengarah kepada dakwah jama’iyah.
[9] Sayid Muhammad
Nuh, Dakwah Fardiyah......., hal. 47
[10]
Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi......., hal. 117-121
[11] Syaikh
Mustafa Masyhur, Tujuh Tahapan Dakwah Fardiyah, (Jakarta: al I’tisham
Cahaya Umat, Cet. Ke-3, 2002), hal. 17-302
[12] http://ridwansyahyusuf.blogspot.com, (diakses pada tanggal 25 April 2008)
[13] http://ridwansyahyusuf.blogspot.com, (diakses pada tanggal 25 April 2008)
[14] http://ridwansyahyusuf.blogspot.com, (diakses pada tanggal 25 April 2008)
[15] http://ridwansyahyusuf.blogspot.com, (diakses pada tanggal 25 April 2008)
[16] http://ridwansyahyusuf.blogspot.com, (diakses pada tanggal 25 April 2008)
0 komentar:
Post a Comment