Oleh:
Fahrurrozi*
PROLOG
Saya berperbendapat bahwa IAIN di
masa mendatang tidak akan mampu berkompetisi dalam tataran yang lebih
mengglobal tanpa diimbangi dengan strategi komunikasi yang efektif dan
transformatif.[1]
Memasuki abad ke-21 bangsa Indonesia
dihadapkan pada berbagai tantangan besar berskala global. Sebagian besar
tantangan itu muncul dari proses globalisasi yang terjadi sejak paruhan kedua
abad ke-20 dan diperkirakan semakin intensif pada abad mendatang. Globalisasi
tidak hanya mendorong terjadinya transformasi peradaban dunia melalui proses
modernisasi, industrialisasi, dan revolusi informasi. Lebih dari itu juga akan
menimbulkan perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan bangsa-bangsa dunia,
termasuk Indonesia. Memasuki abad baru bangsa Indonesia diperkirakan akan
mengalami perubahan-perubahan serba cepat dalam berbagai bidang kehidupan, baik
sosial, budaya, ekonomi, maupun politik, maupun pendidikan.
Berkaitan dengan perubahan-perubahan
itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama IAIN sebagai lembaga pendidikan
tinggi, perlu mengambil langkah-langkah strategis agar dapat melakukan
antisipasi. Tulisan ini ingin menguraikan IAIN dan harapan-harapan
yang ditumpukan kepadanya dengan pendekatan komunikasi dalam hal ini strategi
komunikasi. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya, adalah mencoba melihat
kaitan antara IAIN dengan masa depan Islam di Indonesia. Hal ini perlu
dilakukan agar dalam perkembangannya IAIN tidak ketinggalan dibandingkan dengan
perguruan tinggi lain, baik pada taraf lokal, regional maupun internasional
A. IAIN SELINTAS SEJARAH
Perguruan Tinggi Islam bermula sejak
dirintisnya Sekolah Tinggi Islam oleh Mohammad Hatta dan M. Natsir pada bulan
Juni 1945, yang kini menjadi UII di Yogyakarta. Perintisan itu sungguh
memberikan arti mendalam bagi perintisan intelektualitas muslim di Indonesia
hingga detik ini. Pesatnya perkembangan jaman yang membawa begitu banyak
problematika hidup dapat diusahakan untuk mendapatkan imunnya melalui
lembaga-lembaga pendidikan khususnya Perguruan Tinggi Islam. Karena ditempat
itulah, pengkajian terhadap suatu masalah mendapatkan porsi yang jauh lebih
banyak dibanding jenjang pendidikan lainnya. Namun demikian, fakta juga
menyebutkan bahwa tak sedikit dari Perguruan Tinggi Islam yang justru hanya menjadi
beban bagi ummat. Ia tidak melahirkan kader dan tidak memberikan sumbangsih
bagi kehidupan ummat. Untuk itu, harus ada pemikiran visioner yang memiliki
visi yang berlandaskan nilai-nilai ke-Islaman, sehingga diharapkan antara ummat
dan mahasiswa muslim secara berkesinambungan saling memberikan kontribusinya.
Dalam hal ini, aspek da'wah kian menjadi sorotan tajam sejumlah lembaga-lembaga
pendidikan Islam untuk terus dikembangkan menjadi media utama gerak langkah
perguruan tinggi.[2]
Pendidikan merupakan salah satu
wilayah perhatian (area of concern) gerakan-gerakan yang berlangsung di
seluruh dunia Islam. Tokoh-tokoh gerakan Islam, seperti Muhammad Abduh di Mesir
dan Sayyid Ahmad Khan di Anak Benua India menjadikan pendidikan sebagai agenda
utama gerakan pembaruan Islam yang mereka canangkan. Sejak awal abad ke-19
sampai awal abad ke-20 hampir di seluruh dunia Islam berdiri lembaga-lembaga
pendidikan yang bercorak modern. Tidak hanya itu, lembaga-lembaga pendidikan
Islam tradisional juga mengalami transformasi menjadi lembaga-lembaga
pendidikan modern. Di Anak Benua India, Sayyed Ahmad Khan mendirikan
Universitas Alighar yang sepenuhnya mengadaptasi sistem pendidikan Universitas
Oxford di Inggris. Sedangkan di Mesir, Muhammad Abduh berusaha
mentransformasikan Universitas al-Azhar dengan memasukkan ilmu-ilmu modern.[3]
Hampir secara serentak di seluruh
dunia Islam telah muncul kesadaran akan pentingnya pendidikan. Kaum Muslim
tidak hanya memandang pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, tetapi juga sarana untuk mentransmisikan doktrin Islam
kepada generasi mendatang. Kesadaran yang semakin menguat itu juga tumbuh di
kalangan kaum Muslim terpelajar di Indonesia. Untuk sebagian kesadaran itu
disebabkan oleh semakin intensifnya interaksi dan koneksi antara pusat-pusat
studi di Timur Tengah, seperti Haramayn dan Kairo, dengan kelompok-kelompok
terpelajar Muslim di Indonesia. Sedangkan sebagian lainnya adalah karena
kuatnya desakan keadaan untuk melawan kolonialisme. Sejarah mencatat munculnya
lembaga-lembaga pendidikan modern di Indonesia, terutama pada awal abad ke-19
dan awal abad ke-20.
Sebagaimana lembaga-lembaga
pendidikan Islam lain, kelahiran Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga dapat
ditelusuri dari perspektif di atas. Lebih khusus lagi kehadiran IAIN tidak bisa
dipisahkan dari semakin besarnya jumlah alumni Timur Tengah di Indonesia yang
diikuti oleh semakin kuatnya kesadaran di kalangan masyarakat Muslim untuk
memiliki perguruan tinggi sendiri. Besarnya jumlah alumni Timur Tengah tidak
hanya membawa perubahan-perubahan dalam paham keagamaan masyarakat, lebih dari
itu juga memotivasi masyarakat untuk menuntut ilmu ke Timur Tengah. Akan
tetapi, tidak semua lapisan masyarakat, terutama karena alasan ekonomi,
memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi ke Timur Tengah.
Pada saat yang sama, seiring dengan
semakin besarnya kesadaran masyarakat Muslim akan arti pendidikan, muncul
gagasan untuk mendirikan perguruan tinggi Islam. Gagasan itu dilatarbelakangi
oleh berbagai faktor. Antara lain, pertama dimaksudkan untuk mengakomodasi
kalangan yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan studi ke Timur Tengah.
Kedua, keinginan untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam lanjutan
pascapesantren dan madrasah. Ketiga, keinginan untuk menyeimbangkan jumlah kaum
terpelajar tamatan sekolah "sekuler" dengan tamatan sekolah agama.
Tidak heran jika gagasan itu tidak hanya datang dari kalangan agamawan (ulama),
tetapi juga muncul dari kalangan terpelajar Muslim tamatan sekolah
"sekuler".
B. IAIN
DI ANTARA EKSPEKTASI SOSIAL (SOCIAL EXPECTATIONS) DAN EKSPEKTASI
AKADEMIK (ACADEMIC EXPECTATIONS)
Melihat sejarah IAIN yang dipaparkan
secara sangat singkat itu, tampak bahwa IAIN merupakan lembaga pendidikan
tinggi agama yang diarahkan untuk mencetak intelektual-kyai/tuan guru atau tuan
guru/kyai-intelektual. Studi Islam (Islamic studies) merupakan wilayah
kajian IAIN dari sejak lembaga itu pertama kali didirikan hingga sekarang ini.
Di satu sisi kuatnya studi Islam di IAIN telah menjadi ciri khas lembaga
pendidikan ini. Namun, di sisi lain hal itu telah menimbulkan munculnya persepsi
di kalangan masyarakat Muslim bahwa IAIN lebih merupakan lembaga agama, bahkan
lembaga dakwah, daripada lembaga akademik. Hal itu antara lain tercermin dalam
harapan masyarakat Muslim terhadap IAIN, terutama alumni IAIN, untuk lebih
memainkan peran sebagai ulama daripada ilmuwan. Padahal sebagai lembaga
pendidikan tinggi Islam, IAIN sebenarnya dimaksudkan sebagai pusat riset bagi
pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Cita-cita ini hanya mungkin diwujudkan dengan
mempertguh posisi IAIN sebagai lembaga akademis. [4]
Harapan terhadap IAIN sebenarnya
dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama, harapan yang bersifat sosial
(social expectations). Kedua, harapan yang bersifat akademik (academic
expectations). Setelah berlangsung lebih dari lima dekade, dengan berbagai
perubahan baik pada tingkat nasional maupun global, tampak bahwa harapan yang
bersifat sosial itu lebih kuat dibandingkan dengan harapan yang bersifat
akademik. Padahal keduanya merupakan satu kesatuan yang ingin diwujudkan oleh
IAIN. Masyarakat menginginkan alumni
IAIN, tidak hanya memahami doktrin Islam, lebih dari itu juga
melaksanakan-bahkan mampu menjadi pemimpin-dalam ibadah mahdlah dan
kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan. Dalam shalat berjamah, mahasiswa atau
alumni IAIN diharapkan mampu menjadi imam; dalam kegiatan sosial keagamaan,
mahasiswa atau alumni IAIN diharapkan mampu membaca doa dan seterusnya.
Masyarakat mamandang bahwa bidang-bidang kegiatan tersebut merupakan otoritas
IAIN.
Harapan peran (role expectations)
tersebut sudah melekat, bahkan menjadi jati diri IAIN. Lebih jauh masyarakat
bahkan mengasumsikan setiap mahasiswa atau alumni IAIN adalah pribadi-pribadi
yang taat menjalankan ibadah dengan "baik dan teratur serta berakhlak
mulia". Mereka akan merasa "aneh dan janggal" menemukan
mahasiswa atau alumni IAIN tidak mampu menjalankan peran yang mereka harapkan.
Jelas bahwa masyarakat tidak banyak mengetahui IAIN sebagai lembaga akademis
dengan berbagai fakultas dan jurusan yang tidak selamanya mencetak ulama.[5]
Harapan peran semacam itu tidak
hanya datang dari kalangan masyarakat awam. Kalangan tokoh
agama dan organisasi-organisasi keagamaan juga menaruh harapan yang sama.
Mereka berharap lulusan IAIN muncul menjadi kader-kader pimpinan umat atau pun
"ulama muda" dan organisator. Mereka menginginkan agar alumni IAIN
mempunyai kemampuan untuk menggerakkan berbagai lembaga dan organisasi Islam
baik dalam bidang dakwah, kemasyarakatan, ekonomi, maupun politik. Dengan
demikian, masjid yang jumlahnya ratusan ribu, juga majelis-majelis taklim,
lembaga dakwah, lembaga Bazis dan berbagai organisasi Islam akan menjadi
pusat-pusat pemberdayaan umat yang digerakkan oleh para alumni IAIN.
Selanjutnya dari kalangan pemerintah
harapan peran yang muncul tidak jauh berbeda. Pemerintah berharap-sesuai dengan
tujuan awal pendirian lembaga ini-alumni IAIN mampu menjadi "administratur
Islam". Mereka diharapkan mampu mengelola administrasi pemerintah dan
swasta, khususnya yang berkaitan dengan kelembagaan Islam. Antara lain, unit
kantor Departemen Agama, pesantren, masjid, majelis taklim dan berbagai unit kelembagaan
Islam lainnya. Di samping sebagai administratur, pemerintah juga berharap juga
lulusan IAIN mampu menjadi pembina rohani di lembaga-lembaga pemerintah dan
swasta seperti di kantor-kantor, rumah sakit, panti jompo dan sebagainya.
Orang tua yang menyekolahkan anaknya
di IAIN juga menaruh semangat harapan yang sama. Mereka ingin agar anaknya
menjadi "ulama" dalam arti mempunyai pengetahuan dan pemahaman agama
yang cukup, melaksanakan ajaran agama dan mampu memberi bimbingan agama serta berakhlak
yang baik. Selanjutnya setelah tamat mendapat pekerjaan yang "layak".
Demikian besarnya harapan orang tua ini sehingga beberapa mahasiswa mengaku
masuk IAIN bukan atas kemauannya sendiri, melainkan lebih didorong oleh kemauan
orang tuanya.
Karena masih berkutat di sekitar social
expectations, dapat dikatakan bahwa harapan terhadap IAIN tersebut secara
umum bersifat tradisional. Tidak jauh beranjak dari harapan yang ditumpukan
kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional. Sebagaimana diketahui,
masyarakat Muslim meletakkan harapan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam
pada fungsi-fungsi strategis yang dimainkannya. Di antara fungsi strategis itu
adalah: pertama, sebagai media penyampai pengetahuan agama (transfer of
Islamic knowledge). Kedua, sebagai media pemelihara tradisi Islam (maintenance
of Islamic tradition). Ketiga, sebagai media "pencetak" ulama (reproduction
of ulama). Tampaknya, fungsi-fungsi strategis itulah yang sampai saat ini
masih diharapkan oleh kebanyakan masyarakat Muslim Indonesia terhadap IAIN.
IAIN sendiri, sejauh yang dapat
dilihat, masih kuat berpegang teguh pada upaya memenuhi harapan-harapan yang
bersifat sosial. Hal ini antara lain terbukti dengan model kajian keislaman
yang sebagian besar masih bersifat normatif; praktik ibadah dan praktikum
membaca al-Qur'an masih menjadi kewajiban setiap mahasiswa IAIN. Kajian-kajian
yang bersifat historis dan sosiologis terhadap Islam dan masyarakat Muslim
masih sangat terbatas, baik dari kauantitas maupun cakupan wilayah. Kalaupun
terdapat kajian sejarah dan kebudayaan Islam, fokus utamanya adalah sejarah
Islam abad pertengahan dengan model kajian sejarah dinasti atau kerajaan.
Kajian sejarah sosial belum banyak dikenal, atau baru bersifat rintisan. Tidak
heran jika mahasiswa IAIN tidak banyak mengenal masyarakat Muslim Asia
Tenggara, bahkan Indonesia sendiri. Mahasiswa IAIN lebih mengenal Islam secara
normatif ditambah sejarah Islam pada masa klasik saja.
C. STRATEGI KOMUNIKASI SEBAGAI
SARANA EFEKTIF UNTUK BISA BERKOMPETISI
BAGI IAIN DI MASA MENDATANG.
Secara teoritis, strategi komunikasi
harus dilakukan secara bertahap dengan membangkitkan attention
(perhatian) interest (minat) desire (hasrat) decision
(keputusan) action (kegiatan) hingga menimbulkan kegiatan komunikan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Strategi komunikasi merupakan paduan
perencanaan komunikasi (communication
planning) dengan menejemen komunikasi
(communication management) untuk
mecapai tujuan yang telah ditetapkan.[6]
Menurut R.Wayne Pace, Brent D dan
M.Dallas Burnett dalam bukunya Techniques
for effective communication, tujuan strategi komunikasi tersebut sebagai
berikut: To secure understanding (Untuk memastikan bahwa terjadi suatu
pengertian dalam berkomunikasi), To establish
acceptance (Bagaimana cara penerimaan itu terus dibina dengan baik). To motive action (Penggiatan untuk
memotivasinya), The goals which the
communicator sought to achieve (Bagaimana mencapai tujuan yang hendak
dicapai oleh pihak komunikator dari proses komunikator tersebut).[7]
Sejalan dengan perubahan tantangan
yang dihadapi, harapan-harapan terhadap IAIN yang sepenuhnya berorientasi pada social
expectations tidak lagi mencukupi. Bukan hanya karena sifatnya yang
tradisional, tetapi juga karena orientasi harapan seperti itu tidak sejalan,
baik dengan tantangan global maupun pengembangan IAIN sendiri di masa depan
menyongsong otonomi perguruan tinggi. Menghadapi tantangan global, harapan yang
bersifat akademis (academic expectations) harus lebih mendapat
perhatian. Di masa depan IAIN harus lebih berkembang sebagai lembaga akademis
daripada lembaga keagamaan dan dakwah. Atau minimal antara porsi sebagai
lembaga keagamaan dan lembaga akademis mendapat porsi yang seimbang.
Di samping itu, strategi komunikasi
menjadi penitng jika melihat beberapa aspek tantangan untuk mengikuti perkembangan
globalisasi. Pertama, globalisasi akan melahirkan tingkat kompetisi yang sangat
tinggi dalam kehidupan masyarakat atau bangsa. Dalam situasi semacam ini
kualitas atau mutu akan menjadi pertimbangan bagi masyarakat dalam memilih
produk barang atau jasa. Kedua, penguasaan ilmu dan teknologi sangat penting
untuk menghasilkan produk barang atau jasa sesuai tuntutan (kualitas) pasar. Hal ini
dapat terwujud apabila suatu masyarakat atau bangsa menguasai ilmu dan
teknologi. Ketiga, sebagai implikasi akan muncul neoimperialisme dari suatu
bangsa kepada bangsa lain dilihat dari penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung
menekan bangsa yang lain. Keempat, kondisi yang kompetitif dan terbukanya arus informasi
antarnegara akan memungkinkan setiap bangsa untuk memperoleh informasi dengan
cepat tentang ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk melahirkan
karya-karya inovatif bagi kesinambungan kehidupan bermasyarakat. Tidak jarang,
arus informasi dapat saja memberikan implikasi yang berseberangan dengan nilai
atau norma yang dianut oleh masyarakat-seperti nilai-nilai agama dan budaya.
Globalisasi juga akan mempercepat transformasi masyarakat dari masyarakat
tradisional menjadi masyarakat modern; dari masyarakat agraris menjadi
masyarakat industri. Transformasi sosial ini jelas akan menimbulkan implikasi
terhadap nilai-nilai agama.
Berhadapan dengan tantangan
tersebut, kalangan IAIN harus lebih menonjolkan academic expectations.
Di kalangan IAIN sendiri harus dibangun kesadaran bahwa mengantarkan IAIN
menjadi lembaga akademis adalah lebih penting daripada mempertahankan IAIN
sebagai lembaga keagamaan atau dakwah.
Dalam kaitan ini, terdapat beberapa
strategi komunikasi yang harus dijalankan oleh insan akademis maupun pemerintah
untuk tetap menjaga eksistensi dan pengembangan lembaga pendidikan Islam, dalam
hal ini IAIN.
Pertama, meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM): dosen dan karyawan IAIN, termasuk karyawan di
lingkungan Depag.
Kedua, membuka jaringan kerjasama (network),
baik dengan universitas-universitas dan pusat-pusat studi di dalam maupun di
luar negeri. Jaringan kerjasama juga harus dibangun dengan lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang lain, terutama pesantren dan madrasah.
Ketiga, memperluas wacana
keilmuan-tidak terbatas pada kajian Islam yang bercorak normatif; tidak hanya
membuka horison sosiologis dan antropologis dalam kajian-kajian Islam, tetapi
juga membuka bidang-bidang pengetahuan yang selama ini jauh dari IAIN. Dengan demikian,
IAIN akan menjadi center of exellance di lingkungan lembaga pendidikan
Islam, khusunya dan di lingkungan universitas di Indonesia umumnya.
IAIN sebagai lembaga pendidikan
tinggi Islam, jelas mempunyai kontribusi terhadap model keberagamaan masyarakat
Muslim Indonesia. Studi Islam yang dikembangkan di IAIN tidak hanya mendukung
model keberagamaan inklusif di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, lebih dari
itu juga menciptakan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Mewujudkan Islam Indonesia yang ramah dan
damai, alumni IAIN tidak hanya harus memiliki dasar pengetahuan (basic
competancy) dalam bidang agama guna memenuhi harapan yang bersifat sosial.
Lebih dari itu juga harus memiliki kaulifikasi sebagai insan akademis. Di sini
tamatan IAIN dituntut memiliki wawasan teoritis dan ketrampilan yang dibutuhkan
dalam era globalisasi. Departemen Agama sendiri telah mengambil langkah-langkah
ke arah terwujudnya tuntutan tersebut. Hal ini antara lain tampak dalam rencana
peningkatan IAIN menjadi universitas yang dimulai dengan memberikan mandat yang
lebih luas kepada IAIN tertentu (IAIN with wider mandate).
Dalam
konteks kekinian, dimana eksistensi perguruan tinggi ditentukan oleh pasar,
bukan tidak mungkin jika suatu saat fakultas-fakultas agama gulung tikar atau
kalau pun tidak, menjadi tamu di rumah sendiri. Seperti yang telah terjadi di
UII, Unisba dan universitas Islam lainnya. Karena, jika tidak ada lagi
mahasiswa yang meminati, apakah fakultas tersebut mesti tetap berdiri dengan
gedung dan dosen-dosennya semata? Tentu tidak, fakultas tersebut akan ditutup
dan diganti dengan fakultas baru yang lebih marketable.
Di sisi
lain, studi agama di IAIN/UIN belakangan dikesankan oleh sebagian tokoh Islam
telah keluar dari jalurnya. Mereka melakukan kampanye hitam (black campaign)
baik melalui pengajian maupun publikasi buku. Tahun 2005 lalu misalnya, terbit
buku dengan judul yang sangat tendensius Ada Pemurtadan di IAIN yang ditulis
Hartono Ahmad Jaiz. Hartono dalam buku tersebut menuduh di UIN/IAIN telah
terjadi pemurtadan. Tokoh-tokoh UIN mulai dari Harun Nasution, Nurcholish
Madjid, Quraish Shihab, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat dan lainnya dituduh
telah murtad. Selain Hartono, tokoh lainnya yang menulis kritik terhadap studi
Islam di UIN yaitu Adian Husaini. Adian menulis buku bertajuk Hegemoni Barat
Dalam Studi Islam di PTAI. Dalam buku tersebut, Adian mengkritik penggunaan
metode hermeneutika dan semiotika dalam menafsirkan Al-Qur’an yang merupakan
warisan dari orientalis. Mengenaskannya, buku-buku tersebut dicetak
berulang-kali, sehingga dapat disimpulkan ribuan umat Islam di Indonesia yang
membacanya terpengaruh oleh buku tersebut. Persepsi mereka terhadap UIN pun
kemudian berubah mengikuti konstruksi argumentasi yang dibangun oleh para
penulisnya, yaitu konstruksi negatif UIN sebagai sarang orang-orang liberal.
Implikasinya, masyarakat pun takut menyekolahkan putra-putrinya di UIN.
Pantaslah, jika minat masyarakat terhadap studi agama di IAIN.
Namun,
sayangnya IAIN/UIN tak mengambil sikap tegas terhadap kampanye hitam tersebut.
Atau setidaknya mengkonter melalui buku tandingannya, yang menjelaskan
bagaimana sebenarnya studi Islam di IAIN/UIN. Sehingga masyarakat memperoleh
informasi yang seimbang dan cover both side. Tidak seperti sekarang,
yang hanya menerima informasi dari buku-buku yang kebenarannya masih sangat
diragukan tersebut.
Sekarang,
sebelum peminat fakultas agama benar-benar habis, IAIN/UIN mestinya menurut
saya, bahwa strategi komunikasi yang harus dikembangkan oleh lembaga pendidikan
Islam termasuk di dalamnya IAIN adalah:
Pertama,
IAIN harus dapat meyakinkan masyarakat bahwa studi Islam yang dikembangkan
tidak menyimpang, tapi sesuai dengan semangat yang mendasarinya. Kedua,
bagaimana prospek fakultas agama tak kalah menjanjikan dengan prospek fakultas
umum.
Ketiga,
progresivitas perkembangan disiplin keilmuan umum seyogyanya diimbangi dengan
progresivitas kajian ilmu agama sehingga tidak monoton. Dengan demikian,
fakultas agama tak lapuk dimakan pasar.
EPILOG
Perkembangan perguruan tinggi Islam
di Indonesia mengalami dinamika yang kondusif dan selalu mengalami
gesekan-gesekan untuk menyempurnakan bentuknya. Namun untuk mendapatkan bentuk
pendidikan Islam yang ideal masih merupakan cita-cita yang perlu diwujudkan dan
membutuhkan perjalanan yang panjang, hal itu dapat kita wujudkan selama para
stakeholders mau dan selalu berusaha dengan berfikir kreatif dan inovatif untuk
menemukan bentuk pendidikan tinggi Islam yang mampu berdialektika dengan
perkembangan zaman. Baik pendidikan tinggi Islam negeri maupun swasta sudah
sewajarnya mengadakan kerjasama-kerjasama dan melakukan hubungan yang sinergis
dengan saling melengkapi, sehingga terjalin hubungan yang saling menguntungkan
demi tercapainya tujuan akademik dan institusional, dan pada akhirnya akan
berdampak positif bagi para lulusannya. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi Islam
sebagai lembaga pengkajian keilmuan yang basisnya berdasarkan sains islami,
perlu mendapatkan perhatian yang serius agar tercapai pola pembinaan yang
dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman. Dengan demikian perguruan
tinggi Islam dapat diterima ditengah-tengah masyarakat.
IAIN memang harus berani meneguhkan
dirinya tidak semata-mata lembaga dakwah, tetapi lembaga akademis. IAIN harus
mensosialisasikan kepada masyarakat luas bahwa harapan-harapan yang bersifat
akademis harus mendapat porsi yang lebih besar daripada harapan-harapan yang
bersifat sosial. Di samping itu, dari segi kurikulum IAIN juga harus berani
melakukan restrukturisasi. Sebagai pusat keilmuan dan penelitian Islam,
disiplin keagamaan selain lebih menekuni bidang-bidang kajian Islam, hendaknya
juga mencakup penguasaan kerangka teori ilmu-ilmu umum. Dan sekali lagi
komunikasi efektif dan transformatif menjadi kata kunci keberhasilan IAIN untuk
bisa membuka diri dengan kompetisi global.
WALLAHU A’LAM BI AL-SHAWÂB
Usulan Isi Buku Dakwah
“Fakultas Dakwah: Problematika dan
Strategi Pengembangan”
Hasil Simposum FDK IAIN Mataram 2010
No
|
Sub
Tema
|
Penulis
|
1
|
Problem
Fakultas Dakwah secara Umum
|
|
2
|
Fakultas
Dakwah: Tantangan dan Peluang
|
|
3
|
Respon Masyarakat Terhadap Fakultas Dakwah
|
|
4
|
Menjadikan Fakultas Dakwah diminati masyarakat (tips
dan strategi)
|
|
5
|
Fakultas
Dakwah: Memadukan Lembaga Akademik dan Dakwah
|
|
6
|
Menyoal
Peluang Kerja Alumni Fakultas Dakwah
|
|
7
|
Pengembangan
Keilmuan Fakultas Dakwah dan Tuntutan Pasar Global
|
|
8
|
Urgensi
Fakultas Dakwah IAIN Mataram di Pulau Seribu Masjid
|
|
9
|
Pengembangan
Networking Fakultas
|
|
10
|
Pengembangan
Produk Fakultas Dakwah (Hasil Penelitian dan Kajian Akademisi Fakultas)
|
Silahkan
pilih sendiri temanya..
[1]Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigama dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. 2.h. 31.
Lihat juga penjelasannya pada buku, Ketherine Miller, Communication Theories
Perspective, Processes, and Contexts, (New York: McGraw Hill International
Edition, 2005), second edition. h. 84. Lihat
juga, Stepehen W. Litteljohn & Karen A. Foss, Theories of Human
Communication, (Belmots: Thomson Wadsworth, 2005), eight edition. h.154.
Lihat juga, Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik Dari Comte Hingga Parsons,
(Bandung: Rosda, 2006), cet.1, h. 239.
Book, Cassandra.L. at all, Human Communication: Principle,Contexts, and
Skills, (New York: St.Martin’s Press, 1980), Devito, Joseph A., Human Communication: The Basic Course,(New
York: HarperCollins Publisher,1991)
[2]Suwito dan Fauzan, Sejarah
Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Prees, 2000).
cet. 1. h. 19.
[3] Sejarah mencatat bahwa gagasan
tentang perlunya perguruan tinggi Islam itu datang dari Dr. Satiman
Wirjosandjojo. Satiman bahkan sempat mendirikan Yayasan Pesantren Luhur pada
1938, meskipun akhirnya gagal karena intervensi penjajah Belanda. Pada 1940 di
Sumatera Barat sejumlah guru Muslim mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI),
meskipun hanya bertahan dua tahun karena pendudukan Jepang. Upaya yang sama
juga dilakukan oleh sejumlah tokoh nasional seperti Muhammad Hatta, Muhammad
Natsir, KHA. Wahid Hasyim, dan KH. Mas Mansyur. Tokoh-tokoh tersebut pada 8
Juli 1945 berhasil mendirikan STI di Yogyakarta di bawah pimpin Abdul Kahar
Mudzakkir. Ketika revolusi kemerdekaan, STI terpaksa ditutup, namun dibuka
kembali pada 6 April 1946. Selanjutnya, pada 2 Maret 1948 STI berganti nama
menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan mengembangkan empat fakultas,
yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas
Pendidikan. Secara formal, pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam baru dapat
direalisasikan oleh pemerintah pada 1950 di Yogyakarta.
[4]Pemikiran-pemikiran
seperti ini juga pernah dilontarkan oleh para pemikir pendidikan Islam semisal,
penelitian, Abdurrahman Mas’ud, Kompetensi Lulusan PTAI Dalam Perspektif Masyarakat Pengguna Di Jawa
Tengah, DEPAG: 2009), Ulil Amri Syafri, Menuju
Perguruan Tinggi Islam:Antara Da’wah dan Intelektualisme Islam, dalam
Jurnal Dakwah, STID Muhammad Natsir, 2009.
[5]Baca gagasan-gagasan cemerlang para
tokoh berikut ini, Azyumardi Azra, Esa-Esai Intelektual Muslim dan
Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998) H.A.R. Tilaar, Manajemen
Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001) H.A.R. Tilaar, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000). Haidar Daulay, IAIN
Di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998) Haidar Daulay, IAIN
Di era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dari Sudut Pendidkan Islam. Hanun
Asrahah, . Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos 1999) Nur Hamim, Otonomi
Perguruan Tinggi :Tantangan dan Peluang Bagi IAIN, (Surabaya: FT. IAIN
Sunan Ampel) Syafii Maarif dkk. Pendidikan Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991). Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam di
Era Globalisasi, (Yogya : Tiara Wacana, 1998).
[6]Lihat penjelasan
lebih rinci di Joseph A. Devito, Human Communication: The Basic Course,(New
York: HarperCollins Publisher,1991) Hamzah, Abd Lathif, al-I'lam lahu
Tarikhuhu wa Mazahibuhu, Cairo: al-Fikr al-'Araby, 1960. Larry A. Samovar, Communication
Between Cultures, (USA: Wadsworth, 2001), Leo W.Jeffres, Mass Media
Prosess and Effects, (USA: Waveland Press,1986) Lull, James, Culture-On-
Demand: Communication in a Crisis World, (USA: Black Well Publishing, 2007)
cet.I
[7] R.Wayne Pace, Brent D dan M.Dallas
Burnett, Techniques for effective
communication, USA: USA: Black Well Publishing, 2008, cet. 1. h. 25.
0 komentar:
Post a Comment