Oleh:
Fahrurrozi
ABSTRAK
Q.S.al-Alaq menegaskan bahwa proses pewahyuan terhadap Muhammad SAW adalah starting
point pengetahuan, karena bagaimanapun proses pewahyuan dimulai dengan
perintah: iqra '(bacalah!). Pembacaan adalah sebuah proses pengajaran,
sehingga setelahnya muncul dua pilar yang merupakan bagian dari pengetahuan.
Yang pertama: bahwa wujud yang berada di luar kesadaran manusia terbentuk dari
tanda-tanda yang saling berhubungan sebagiannya dengan sebagian yang lain.
Kedua: adalah kesadaran manusia terhadap tanda-tanda ini tidak mungkin bisa
sempurna kecuali dengan at-taqlim, yaitu pembedaan sebagian dari tanda
ini dengan sebagian yang lain. Alat-alat indera adalah instrument-instrument
material untuk perbedaan indekatif secara lansung.
Firman Allah
itu nirhuruf dan suara (kalam Allah laisa bi harfin wa lâ shautin). Arab
hanyalah locus budaya bagi al-Qur'an yang niscaya dipilih Allah karena Islam
turun di sana. Namun, Islam tidaklah diperuntukkan untuk orang Arab saja,
melainkan bagi siapapun dengan anekalatar budaya berbeda. Lalu, kenapa
bersikeras memenjarakan al-Qur'an dalam langgam baca budaya tertentu seraya
menista meraka yang hendak menikmatinya dengan langgam lain? Pernyataan di atas
memberikan ruang dialog yang sangat luas terhadap eksistensi bacaan langgam
Alquran yang selama ini digunakan. Selama ini Langgam Qiroah yang terdengar di
kalangan kaum muslimin "seolah-olah" langgam Arab yang sangat Shoheh
dengan segala dimensinya, padahal langgam-langgam tersebut bukanlah langgam
bahasa Arab melainkan bahasa 'Ajam/ Persia.
Menelitik
fenomena tersebut, menarik untuk mendialogkan sisi lain dari Bacaan langgam
yang disepakati dengan langgam yang dianggap "aneh" karena kalam Suci
(baca: al-Qur'an) yang diletakkan dalam dimensi budaya masyarakat, dapat
mencedrai kesucian kalam Allah tersebut.
PENDAHULUAN
Belakangan ini penggunaan langgam Jawa dalam
tilawah masih menjadi perdebatan. Seperti lantunan ayat suci Al-Quran yang dibacakan
qori Muhammad Yasser Arafat di Istana Negara pada Jumat (15-5-2015) Qori Yasser
Arafat saat itu membaca Surah An Najm ayat 1-15 dengan langgam Jawa dalam acara
peringatan Isra Miraj di Istana Negara, dan fenomena bacaan al-qur'an dengan
langgam Sasak pada acara launching
buku biografi Tokoh NTB Lalu Mujtahid yang diawali dengan bacaan al-Qur'an
dengan langgam Sasak yang dibacakan oleh Ust Saprianto mendapatkan tanggapan
yang beragam di kalangan masyarakat Islam.
Mengamati fenomena tersebut, posisi kajian
tafsir sedang mendapatkan posisi yang sangat strategis untuk didialogkan sesuai
dengan ilmu pengetahuan yang
senantiasa memperbaharui teori dan analisa seiring
perkembangan zaman dan berlansung terus menerus sesuai dengan kemajuan zaman.
Sampai saat ini ilmu pengetahuan masih dalam keadaan antara kurang dan lengkap,
antara samar dan jelas, antara keliru dan mendekati kebenaran, tapi al-Qur'an
memuat prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan dan peradaban. Dengan begitu,
al-Qur'an tidak dapat dikatakan sebagai buku ilmiah atau ensiklopedi ilmu,
tetapi ia lebih layak disebut sebagai sumber yang memberikan motivasi dan
inspirasi untuk melahirkan ilmu pengetahuan dengan berbagai dimensinya,
termasuk di dalamnya dimensi bacaan alquran dalam
langgam penutur budaya[2]
Melihat al-qalam dalam pengertian metaforis sebagai alat-alat tulis
terhadap abjad. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita menulis surat dengan
tinta putih pada kertas yang putih. Karena terhadap yang demikian itu mata
tidak bisa membedakannya. Akan tetapi jika misalnya menulis diwarnai hijau pada
kertas putih, ini adalah pembedaan pertama, lalu di sana ada pembedaan yang
kedua, yaitu terhadap huruf-huruf sehingga kita bisa menyimbolkan suara nun
dengan huruf nun, suara lam dengan simbol huruf lam.
Disebabkan karena ''nun' dan ''lam'' adalah dua huruf yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Kemudian kita menyimbolkan keduanya dengan
dua simbol yang berbeda untuk membedakan perbedaan.[3]
Disebabkan karena dasar-dasar pengetahuan manusia adalah kemampuan untuk
membedakan pembedaan (qalam), yang pada persepsi fua'adi mata
berfungsi untuk membedakan warna, dimensi bentuk yang menjadi kapasitasnya.
Sedangkan telinga berfungsi untuk membedakan suara sesuai dengan kapasitasnya
pendengaran.[4] Demikian juga indera-indera yang lain, lalu setelah itu
muncul pikiran abstrak dan pengetahuan mengenai hubungan abstrak antara
sebagian dengan sebagian yang lain, yang pertama kali adalah melalui media
bahasa lalu selanjutnya melalui media bahasa yang sifatnya abstrak, bilangan
dan symbol. [5]
al-Qur'an menginformasikan bahwa salah satu media untuk mengadakan
pembedaan yang sangat berperan dalam bahasa abstrak manusia adalah suara ''nun''.
Yang demikian itu terdapat dalam firmannya'' nun, demi al-qalam dan
apa yang mereka tuliskan (Q.S.al-Qalam: 1). Kita bisa melihat di dalam
bahasa Arab, bentuk umum yang merujuk kepada sesuatu yang berakal ataupun tidak
berakal adalah bentuk mim (ma)
Q.S.an-Nahl: 49,'' dan kepada Allahlah apa (ma) yang di langit dan apa (ma)
yang di bumi bersujud. Lalu digunakanlah ''nun'' guna membedakan yang
khusus untuk yang berakal yaitu dengan kata ''man'' (Q.S.AL-Ra'd:15)
''dan kepada Allahlah siapa yang (man) di langit dan siapa (man)
di bumi bersujud baik dengan tunduk atau terpaksa. Ma (huruf mim)
adalah bentuk umum (sighah 'ammah) yang telah digunakan secara historis.
Sedangkan man adalah bentuk khusus (sighah khassah) untuk yang
berakal, yang muncul setelah ma yang di dalamnya digunakan suara nun (ma-n).
demikian juga nun memainkan peran dalam membedakan antara laki-laki
dengan perempuan. Yang demikian itu adalah pada nun an-niswah (nun
yang digunakan untuk menunjukkan jamak perempuan). Antum adalah bentuk
umum untuk laki-laki dan perempuan yang muncul sejak awal. Sedangkan antunna
adalah bentuk kalimat yang khusus untuk perempuan. Artinya bahwa mim
al-jamâ'ah mendahului nun al-niswah dalam penggunaan secara
historis.[6]
Dengan demikian bahwa suara nun dalam konteks historisnya mempunyai
peran sangat besar untuk memberikan pembedaan (al-taqlim). Oleh sebab
itulah suara nun diikuti dengan firman-Nya'' demi al-qalam''.
Dengan penambahan al-taqlim (pembedaan), maka bertambahlah suara susunan
dari segala dan inilah yang dinamakan attashthir (pengkomposisian). Oleh
sebab itulah dilanjutkan dengan ''wa ma yasthurun''. Yasthurûn
muncul dari kata sathara yang dalam bahasa Arab mempunyai asal yang
mandiri, yang menunjuk kepada makna keteraturan sesuatu (classification)
atau dengan istilah Arab (al-tashnif). Artinya bahwa al-qalam
adalah membedakan sebagian dari sesuatu dengan sebagian yang lain. Inilah yang
diistilahkan dengan identification. Lalu diikuti dengan menyusun segala
sesuatu sesuai dengan tempatnya, inilah yang dinamakan at-tashthir. Dari
kata sathara juga muncul kata al-usthurah (mitos) yaitu menyusun
sebagian dari segala sesuatu yang salah dengan sebagian yang lain, untuk
menghasilkan sebuah cerita. Oleh sebab itu dinamakan usthurah. Suara nun bisa menambahkan pembedakan
beberapa hal dari sebagian yang lain, di samping juga menambahkan pembedaan (al-taqlim)
yang membawa kepada adanya al-tashnif (penyusunan). Inilah yang
dikehendaki oleh Q.S. al-qalam: 1-2).[7]
Dalam konteks pemaknaan suara Nun
tersebut menunjukkan begitu pentingnya suara bacaan al-Qur'an, yang semestinya
harus dibaca sesuai dengan Lisan Arabiyyin Mubiin (dengan bahasa Arab
yang Jelas).
Lantas
bagaimana jika al-qur'an dibaca dengan langgam bi lisaan sasakiyyin
mubiin wa jawiiyin mubin?
SEJARAH
LANGGAM BACAAN DALAM AL-QUR'AN
Keberadaan
ilmu nagham, tidak sekedar realisasi dari firman Allah dalam suroh Al-Muzzammil
ayat 4,”Bacalah Al Quran itu secara tartil”, akan tetapi merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari eksistensi manusia sebagai makhluk yang berbudaya yang
memiliki cipta, rasa, dan karsa. Rasa yang melahirkan seni (termasuk nagham)
merupakan bagian integral kehidupan manusia yang didorong oleh adanya daya
kemauan dalam dirinya. Kemauan rasa itu sendiri timbul karena didorong oleh
karsa rohaniah dan pikiran manusia.
Seni
baca Al Qur’an ialah bacaan Al Qur’an yang bertajwid diperindah oleh irama dan
lagu. al-Quran tidak lepas dari lagu. Di dalam melagukan al-Quran atau taghonni
dalam membaca al-Qur’an akan lebih indah bila diwarnai dengan macam-macam lagu.
Untuk melagukan al-Quran, para ahli qurro di Indonesia membagi lagu atas 7
(tujuh) macam bagian. Antara lain sebagai berikut: Bayati, Shoba, Hijaz,
Nahawand, Rost, Jiharka, Syika.
Nagham
merupakan salah satu dari sekian ekspresi seni yang menjadi bagian integral
hidup manusia. Bahkan nagham ini telah tumbuh sejak lama. Ibnu Manzur
menyatakan bahwa ada dua teori tentang asal mula munculnya nagham al-Quran.
Pertama, nagham al-Quran berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua,
nagham terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan
perang. Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Al Quran berasal dari
khazanah tradisional Arab (tentu saja berbau padang pasir). Dengan teori ini
pula ditegaskan bahwa lagu-lagu Al Quran idealnya bernuansa irama Arab.
Sehingga apa yang pernah ditawarkan Mukti Ali dalam sebuah kesempatan pertemuan
ilmiah tentang pribumisasi lagu-lagu al-Quran (misalnya menggunakan langgam es
lilin dan dandang gulo) tidak dapat diterima. Pada Masa akhir ini sesuai dengan
perkembangan maka melalui teori konvergensi asal bersesuaian dengan nahgam Arab
klasik.
Meski
kedua teori tersebut hampir benar adanya tapi tetap saja muncul permasalahan.
Jika memang benar nagham al-Quran berasal dari seni Arab lalu siapakah yang
pertama kali mengkonversikannya untuk lagu al-Quran? Sampai di sini
ketidakjelasan. Dan lagi, jika memang benar nagham al-Quran berasal dari
nyanyian tentu dapat direpresentasikan dalam not balok atau oktaf tangga nada.
Tapi kenyataannya tidaklah demikian, nagham al-Quran sangat sulit ditransfer ke
dalam notasi angka atau nada. Dan karena sifat eksklusifisme inilah kemudian
yang “memaksa” bahwa metode sima’i, talaqqi, dan musyahafah merupakan
satu-satunya cara dalam mentransmisikan lagu-lagu al-Quran.
Pada
zamannya, Rasulullah SAW adalah seorang qari’ yang membaca al-Quran dengan
suara indah dan merdu. Abdullah bin Mughaffal pernah mengilustrsikan suara
Rasulullah dengan terperanjatnya unta yang ditunggangi Nabi ketika Nabi melantunkan
surah al-Fath. Para sahabat juga memiliki minta yang besar terhadap ilmu nagham
ini. Sejarah mencatat sejumlah sahabat yang berpredikat sebagai qari’, di
antaranya adalah: Abdullah Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al Asy’ari. Pada periode
tabi’in, tercatat Umar bin Abdul Aziz dan Safir Al Lusi sebagai qari’ kenamaan.
Sedangkan periode tabi’ tabi’in dikenal nama Abdullah bin Ali bin Abdillah Al
Baghdadi dan Khalid bin Usman bin Abdurrahman.
Kendati
di masa awal Islam sudah tumbuh lagu-lagu al-Quran, namun perkembangannya tak
bisa dilacak karena tak ada bukti yang dapat dikaji. Hal ini dimungkinkan
karena pada saat itu belum ada alat perekam suara. Transformasi seni baca al-Quran
berlangsung secara sederhana dan turun temurun dari generasi ke generasi.
Sejarah juga tak mencatat perkembangan pasca tabi’in. Apresiasi terhadap seni
al-Quran semakin tenggelam seiring dengan semakin maraknya umat Islam melakukan
olah akal (berfilsafat), olah batin (tasawwuf), dan olah laku ibadah (fiqh).
Selain itu, barangkali ini yang paling mendasar bahwa dibutuhkan kemampuan
khusus untuk masuk dalam kualifikasi qari’, terumata menyangkut modal suara.
Modal ini lebih merupakan hak perogratif Allah untuk diberikan kepada yang
dikehendaki-Nya.
Pada
abad ke-20, kedua model lagu tersebut masuk ke Indonesia. Transmisi lagu-lagu
tersebut dilakukan oleh ulama-ulama yang mengkaji ilmu-ilmu agama di sana yang
pulang ke tanah air untuk mengembangkan ilmunya, termasuk seni baca al-Quran.
Lagu Makkawi sangat digandrungi di awal perkembangannya di Indonesia karena
liriknya yang sangat sederhana dan relatif datar. Lagu Makkawi mewujud dalam
barzanji. Beberapa qari’ yang menjadi eksponen aliran ini adalah: KH Arwani, KH
Sya’roni, KH Munawwir, KH Abdul Qadir, KH Damanhuri, KH Saleh Ma’mun, KH Muntaha,
dan KH Azra’i Abdurrauf.
Memasuki
paruh abad 20, seiring dengan eksebisi qari’ Mesir ke Indonesia, mulai marak
berkembangan lagu model Mishri. Pada tahun 60-an pemerintah Mesir mensuplai
sejumlah maestro qari’ seperti Syeikh Abdul Basith Abdus Somad, Syeikh Musthofa
Ismail, Syeikh Mahmud Kholil Al Hushori, dan Syeikh Abdul Qadir Abdul Azim.
Animo dan atensi umat Islam Indonesia terhadap lagu-lagu Mishri demikian
tinggi. Hal ini disebabkan karakter lagu Mishri yang lebih dinamis dan merdu.
Keadaan ini cocok dengan kondisi alam Indonesia. Sejumlah qari’ yang menjadi
elaboran lagu Mishri adalah : KH Bashori Alwi, KH Mukhtar Lutfi, KH Aziz
Muslim, KH Mansur Ma’mun, KH Muhammad Assiry, dan KH Ahmad Syahid.
Seni
baca Al-Quran baru menampakkan geliatnya pada awal abad 20 M yang berpusat di
Makkah dan Madinah serta di Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas
Muslim yang sangat aktif mentransfer ilmu-ilmu agama (termasuk nagham) sejak
awal 19 M. Hingga hari ini Makkah dan Mesir merupakan kiblat nagham dunia.
Masing-masing kiblat memiliki karakteristik tersendiri. Dalam makkawi dikenal
lagu Banjakah, Hijaz, Mayya, rakby, Jiharkah, Sikah, dan Dukkah. Sementara pada
Misri terdapat Bayyati, Hijaz, Shoba, Rashd, Jiharkah, Sikah, dan Nahawand.
Nagham
Yang sangat sering ditampilkan Qari /Qari’ah dimasa kini: 1. Nagham bayati yang
terdiri dari bayati qoror, bayati nawa, bayati jawab, bayati
jawabul jawab. 2. Nagham shaba yang terdiri dari shoba Asli, shoba jawab,
shoba ajami salalim su’ud, shoba ajami salalim nuzul. Shoba bastanjar. 3.
nagham Hijaz yang terdiri dari hijaz asli, hijas kard, hijaz kard-kurd, hijaz
kur. 4.Nagham nahawand yang terdiri nahawand asli , nahawand usysyaq. 5. Naghan
sikka yang terdiri diri sikka asli,sikka ramal, sikka misri, sikka turk. 6.
Naghan ras yang terdiri dari ras asli, ras alan nawa, ras syabir.
Nagham
ini bisa dikembangkan dengan bermacam variasi, yang dikembangkan dengan banyak
mendengarkan bacaan Syaiekh Mustofha Ismail, Syeikh Mustofha Ghalwas dan
lainnya dan juga dengan banyak mendengarkan lagu-lagu padang pasir dari sumber
aslinya, seperti lagu-lagu Ummi Kulsum, Muhammad Abdul Wahhad dan lainnya. Kita
dapat mengembangkan sendiri dan bisa juga dengan memasukkan irama lainnya yang munasabah
(sesuai).
PRO-KONTRA LANGGAM BACAAN DI LUAR
LANGGAM YANG DIKENAL.
Pro-kontra di
kalangan ummat Islam seputar Langgam bacaan di luar yang tersepakati saat ini,
dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok:[8]
Pertama:
Yang Tidak Membolehkan.
Qari’ internasional, Syaikh Abdullah bin Ali Bashfar berpendapat
mengenai qira’at dengan Langgam Jawa tersebut.
Syeikh Ali Bashfar memberikan kritik dan catatan terkait video muratal
dengan lagu Dandanggulo macapat Jawa tersebut yang dibacakan oleh Muhammad
Yaser Arafat.
·
Kesalahan tajwid; dimana panjang mad-nya dipaksakan mengikuti kebutuhan
lagu.
·
Kesalahan lahjah (logat). Membaca Al-Qur’an sangat dianjurkan menggunakan
lahjah Arab, sebagaimana orang Arab membacanya. Dalam hadist disebutkan:
“Iqra’ul qur’aana biluhuunil ‘Arobi wa ashwaatiha”.
·
Kesalahan takalluf, yakni memaksakan untuk meniru lagu yang tidak lazim
dalam membaca Al-Qur’an.
·
Yang cukup berbahaya jika ada kesalahan niat, yaitu merasa perlu
menonjolkan kejawaan atau keindonesiaan atau kebangsaan dalam berinteraksi
dengan al Qur’an, membangun sikap ashabiyyah dalam ber-Islam.
·
Dan yang paling fatal jika ada maksud memperolok-olokkan ayat-ayat Allah
yang mereka samakan dengan lagu-lagu wayang dalam suku Jawa.[9]
TGB.M.Zainul
Majdi, Doktor Tafsir al-qur'an berpendapat bahwa al-Qur'an itu posisinya sangat
terhormat, tidak seperti kalam apapun. Di Zaman Rasulullah SAW sendiri tidak
ada langgam yang aneh-aneh. al-Qur'an memiliki Langgam khusus yang tidak
dibuat-buat. Orang Jawa atau orang Sasak sendiri ketika membaca al-Qur'an pasti
secara alami akan sedikit mengikuti dialek Jawa atau Sasak. Namun hal itu jelas
berbeda ketika pembacaan al-Qur'an sengaja dibuat ke dalam langgam Jawa atau
Sasak, sehingga menimbulkan kesamaran, apakah yang mereka (masyarakat) dengar
ini al-Qur'an atau tembang-tembang hiburan yang diciptakan manusia.[10]
Menurut
Gubernur NTB ini, penggunaan langgam Sasak tidak hanya masalah tajwid. karena
kalau masalah tajwid mungkin bisa disesuai-sesuaikan serapi mungkin, bacaan
tidak akan benar seutuhnya. Zainul Majdi meyakini bahwa dengan tidak membaca
al-Qur'an dengan Langgam Sasak, Maka tidak pula mengurangi kuatnya penghayatan
Islam masyarakat.
Majelis Ulama
Indonesia yang diwakili oleh Wakil Sekretariat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnaen mengungkapkan membaca Alquran
dengan menggunakan langgam Jawa di Istana Negara, telah mempermalukan Indonesia
di kancah internasional. Tengku merasa banyak kesalahan, baik dari segi tajwid,
fashohah, dan lagunya.
Menurutnya, pembacaan ayat-ayat Alquran dengan menggunakan langgam Jawa
adalah hal konyol. Dalam Alquran sudah dijelaskan kitab suci itu diturunkan
dengan huruf dan bahasa Arab asli. Jadi membacanya juga mesti sesuai pada saat
Alquran diturunkan ke bumi. “Ibadah itu sudah digariskan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam Alquran dijelaskan bahwa Alquran itu diturunkan dalam lisan Arab asli.
Nabi juga mengatakan Alquran untuk dialek Quraisy, jadi membacanya harus dengan
cara bagaimana Alquran itu diturunkan.[11] Selain itu, Tengku menambahkan, lagu untuk pembacaan Alquran sendiri sudah
disepakati para Qurra yang ada di dunia. “Lagunya yang sudah disepakati para
Qurra’ tingkat dunia adalah lagu standar yang selama ini ada yakni husaini
bayati, hijaz, shoba, nahqand, rast, sikkah, jaharkah atau Ajami. Dia juga
menilai akan lahir keanehan jika Alquran dibaca dengan menggunakan langgam
tertentu seperti lagu Cina, Batak, seriosa, Indian, Jawa, Sunda, dan lainnya.
“Hal itu tentu akan merusak keindahan Alquran sendiri. Bayangkan lah jika lagu
Jawa dinyanyikan pakai cara seriosa, maka penciptanya akan protes dan
keindahannya hilang.
Hartono Ahmad Jaiz berpendapat, Pembacaan
Al-Qur’an yang biasanya dilantunkan sesuai dengan kaidah Islam baik dari segi
tajwid dan tatacaranya, namun dalam peringatan Isra’ Mi’raj 1436 H di Istana
Negara itu dilantunkan dengan lagu Dandang Gulo, salah satu tembang alias
nyanyian dalam Langgam Jawa. Masalah membaca Al-Qur’an dengan lagu Jawa
Dadandanggulo dan sebagainya. Jenis lagu Dandanggulo itu dari segi makna kurang
lebih adalah angan-angan manis. Lagu dalam langgam Jawa itu punya cengkok naik
turunnnya nada dan panjang pendeknya, jumlah bait syairnya serta jumlah suku
kata dan qafiyahnya, bunyi-bunyi di akhir bait. Bahkan sekaligus mengandung
pula misi dalam isi jenis langgam itu. Ketika jenis lagunya Dandanggulo maka ya
hanya angan-angan manis. Lantas, ketika ternyata untuk melagukan Ayat-ayat
Al-Qur’an, berarti sama dengan “memerkosa” ayat Allah untuk diresapi sebagai
angan-angan manis belaka. Betapa celakanya! Lantas nanti ketika membaca
al-Qur’an dengan langgam jenis lainnya, misalnya Durmo (sindiran untuk orang
songong, tak peduli totokromo/ tatakrama), bagaimana kalau itu untuk membaca
ayat-ayat tentang Keagungan Allah Ta’ala? Perlu diketahui, tatacara melagukan
dan menyusun bait-bait syair lagu langgam Jawa itu mirip dengan ilmu ‘Arudh wal
qawafi dalam Sastra Arab. Kalau dalam Langgam Jawa ada Dandanggulo (yang ketika
disebut jenis itu) maka mencakup isinya bermakna sekitar angan-angan manis.
Irama lagu nyanyiannya sudah tertentu, termasuk panjang pendeknya, jumlah bait
syairnya, huruf-huruf akhir baitnya dan sebagainya.
Lagu irama Dandagulo Jawa, ya tidak bisa untuk melagukan jenis tembang
Durmo (songong, bahasa Betawi, tidak peduli tatakrama dan susila). Bagaimana
mau melagukan angan-angan manis (Dandanggulo) untuk laku Durmo (sindiran untuk
yang songong)? Nah, persoalannya, lha sesama langgam Jawa saja yang satu tidak
boleh untuk yang lain, karena serba berlainan, bahkan tujuannya juga berlainan,
ada yang untuk angan-angan manis, ada yang untuk menyindir kesongongan, ada
yang untuk masalah kasmaran (asmarandana) dan sebagainya. Jadi dari arah mana,
ketika mau dipaksakan untuk membaca Al-Qur’an? Itu belum lagi ketika antara
irama lagu Jawanya itu tujuannya untuk menyindir kesongongan, misalnya, lalu
untuk membaca ayat-ayat tentang keagungan Allah Ta’ala. Bagaimana? Bukankah itu
jatuhnya menjadi mengolok-olok ayat Allah? Padahal kalau sampai dinilai sebagai
mengolok-olok ayat Allah, maka menjadi kafir.
وَلَئِن
سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ
إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦ [سورة التوبة,٦٥-٦٦]
Langgam Jawa dandanggulo dan sebagainya, bukan hanya masalah nada irama,
tapi mengandung muatan tertentu. Begitu disebut dandanggulo, ya muatannya
tentang angan-angan manis. Kalau jenis lagu Durmo ya mengenai semacam sindiran
terhadap kesongongan (yang tidak peduli tatakrama/ totokromo). Sehingga
penghayatan orang yang melagukan dan yang mendengarnya juga sudah terbawa oleh
jenis langgam itu.
Dan satu hal yang sangat perlu diingat, Langgam Jawa
Dandanggulo, Durmo dan sebagainya itu hanya bisa digunakan untuk tembang alias
nyanyian. Maka ketika disuarakan, walau yang disuarakan itu Al-Qur’an, kesannya
ya tetap nyanyian. Jadi sama dengan membanting ayat suci menjadi nyanyian
belaka. Apakah setega itu kita mau memperlakukan ayat-ayat Allah Ta’ala?
Sekali lagi saya tanyakan (secara inkari): Bagaimana
kalau ayat-ayat tentang keagungan Allah Ta’ala, lalu dibaca dengan langgam
Durmo yang inti nada lagu itu sindiran terhadap orang songong? Tentu yang
terjadi bukan penghormatan terhadapm kesucian Al-Qur’an dan pengagungan untuk
Allah Ta’ala dalam isi ayat suci itu, namun adalah istihza’ aias pelecehan.
Padahal, kalau sampai jatuhnya ke istihza’ terhadap Allah, ayat-ayat suciNya,
dan Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam, maka bisa mengeluarkan
pelakunya dari Islam.[12]
Kedua:
Yang Membolehkan Sama-Sekali.
Fatwa
al-azhar: Dar al-ifta' al-Mishriyyah anggota KFM Syaikh Fahmi abdul Qawy membolehkan
dengan argumentasi sebagai berikut:[13]
Pertama:
Pembacaan al-Qur'an dengan langgam bahasa apapun boleh selama qori memberikan
hak kepada setiap huruf yang dibaca serta tetap menjaga hukum-hukum tajwid dan
tilawah.
Kedua:
al-qur'an itu bukan hanya diturunkan orang Arab saja namun untuk seluruh umat
islam.
Ketiga:
bacaan al-qur'an dengan cara yang benar meskipun dengan irama seperti ini,
irama hadr, irama nahwan, irama kurdi, atau dengan irama non-arab apapun.
Syaikh Jamal Faruq al-Daqqad berpendapat bahwa setelah para mahasiswa Indonesia
memperlihatkan video bacaan al-Qur'an langgam Jawa, saya berpendapat bahwa
bacaan ini unik, menunjukkan bahwa yang membaca adalah bukan orang Arab
(natijatul ujmah) dan orang-orang non arab memiliki langgam (lahnun) dan cara
mengejanya tidak sepenuhnya sama seperti lisan orang Arab. maka dari itu harus
diperhatikan cara eksekusi bacaan
(thoriqoh al-ada'). oleh sebab itu ada bab qiroah sab'ah yang merupakan salah
satu latar belakangnya adalah permasalahan ini. menurutnya, bacaan sang qori'
memperhatikan betul kaidah tajwid dengan penghayatan saat membacanya.[14]
Pendapat
Syaikh Jamal diperkuat oleh Syaikh Ahmad Hajin (pengajar Ilmu Hadis) dan Syaikh
Thoha Hubaisyi (Anggota Pentashih al-Qur'an Mesir) menyatakan yang terpenting
adalah tajwidnya, pemaknaan terhadap maknanya, karena irama mengikuti
artikulasi teks yang dibacanya.
Mantan
Menteri Agama Muhammad Quraish Shihab punya pendapat tentang penggunaan langgam
Jawa dalam tilawah.[15]
Beberapa hari belakangan ini terdengar banyak pembicaraan
menyangkut bacaan al-Quran dengan langgam Jawa. Ada yang menerima dengan baik,
ada juga yang menolak, bahkan ada yang mengecam dan menuduh dengan tuduhan yang
keji.
Tidak dapat disangkal bahwa ada tatacara yang harus
diindahkan dalam membaca al-Quran, misalnya tentang di mana harus/boleh memulai
dan berhenti, bagaimana membunyikan huruf secara mandiri dan pada saat
pertemuannya dengan berbagai huruf dalam satu kalimat, dan lain-lain. Inilah
syarat utama untuk penilaian baik atau buruknya satu bacaan. Nah, bagaimana
dengan langgam atau nadanya? Hemat penulis, tidak ada ketentuan yang baku.
Karena itu, misalnya, kita biasa mendengar qari dari Mesir membaca dengan cara
yang berbeda dengan nada dan langgam qari dari Saudi atau Sudan. Atas dasar
itu, apalah salahnya jika qari dari Indonesia membacanya dengan langgam yang
berbeda selama ketentuan tajwidnya telah terpenuhi? Bukankah Nabi saw.
menganjurkan agar al-Quran dibaca dengan suara merdu dan langgam yang baik,
tanpa menentukan langgam tertentu? Nah, jika langgam Jawa dinilai baik dan
menyentuh bagi orang Jawa atau Bugis bagi orang Bugis, dan lain-lain, maka
bukankah itu lebih baik selama ketentuan bacaan telah terpenuhi?
Memang ada riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi saw. yang
menganjurkan agar al-Quran dibaca dengan langgam Arab. Konon beliau bersabda:
Bacalah al-Quran dengan langgam Arab dan suara (cara pengucapan) mereka; jangan
sekali-kali membacanya dengan langgam orang-orang fasiq dan dukun-dukun. Nanti
akan datang orang-orang yang membacanya dengan mengulang-ulangnya seperti
pengulangan para penyanyi dan para pendeta atau seperti tangisan orang yang
dibayar untuk menangisi seorang yang meninggal dunia.
Hadits tersebut kalaupun dinilai shahih, maka itu bukan
berarti bahwa langgam selain langgam Arab beliau larang. Bukankah beliau
menganjurkan untuk membaca dengan baik dan indah, apalagi sementara pakar
hadits menilai riwayat yang diriwayatkan oleh an-Nasaiy al-Baihaqy dan
at-Thabarani di atas lemah karena dalam rangkaian perawinya terdapat Baqiyah
bin al-Walid yang dikenal lemah dalam riwayat-riwayatnya.
Pakar
Qiroah Indonesia, Prof.Dr. Ahsin Saho' Rektor IIQ Jakarta berpendapat bahwa
membaca al-Qur'an dengan langgam apapun dapat dibenarkan selama sesuai dengan
kaidah-kaidah bacaan yang benar dan tentu dengan niat mendekatkan al-Qur'an dengan
pembacanya, jika niatnya untuk istihza' al-qur'an ini yang tidak dibenarkan.
sebab Qiroah yang dipopulerkan saat ini memang bukan hal yang mudah diterima
oleh kalangan umat Islam tapi membutuhkan waktu panjang untuk diterima di
kalangan ummat Islam, dikarenakan langgam yang digunakan berasal dari Persia
Iran/ Iraq yang notabene bukan bangsa Arab. berangkat dari hal ini
langgam-langgam Ajam (luar Arab) jika sesuai dengan kaidah-kaidah qur'aniyyah
tidaklah menjadi persoalan jika digunakan sebagaimana mestinya.[16]
Menteri
Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan.
"Tujuan pembacaan Al-Quran dg langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah air. [17] "Pembacaan Al-Quran dg langgam Jawa pada Peringatan Isra Mi'raj di Istana Negara sepenuhnya ide saya, sama sekali bukan kehendak Presiden RI." "Kenapa langgam Jawa yg ditampilkan? Karena saya belum menemukan langgam daerah lain yg tajwidnya baik. Bila ada, tolong kirim rekamannya. ""Saya menyimak kritik yg berkeberatan dg adanya pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa. Tapi saya juga berterimakasih kepada yang mengapresiasinya."
"Tujuan pembacaan Al-Quran dg langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah air. [17] "Pembacaan Al-Quran dg langgam Jawa pada Peringatan Isra Mi'raj di Istana Negara sepenuhnya ide saya, sama sekali bukan kehendak Presiden RI." "Kenapa langgam Jawa yg ditampilkan? Karena saya belum menemukan langgam daerah lain yg tajwidnya baik. Bila ada, tolong kirim rekamannya. ""Saya menyimak kritik yg berkeberatan dg adanya pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa. Tapi saya juga berterimakasih kepada yang mengapresiasinya."
KESIMPULAN
Kajian ini
masih perlu diperkaya dengan argumentasi dalam berbagai perspektif, tidak hanya
melalui pendekatan kajian tafsir, tapi perlu dilihat dari aspek sosiologis,
anthropologis, hermeneutis, morfologis, sehingga dapat menemukan rumusan yang
konprehensif tentang bacaan langgam selain langgam yang telah masyhur di
kalangan masyarakat Islam.
Penulis menganalisas pendapat
yang mengharamkan dengan mengambil qaidah “Saddu al-zarîah” (antisipasi),
ditakutkan jika diperbolehkan maka akan banyak langgam yang bermunculan, tidak
menutup kemungkinan diantara banyaknya langgam yang akan muncul terdapat
langgam yang tidak layak dengan Al-Qur”an, bahkan cendrung merendahkan
Al-Qur’an, bayangkan saja jika nanti ada yang membaca Al-Qur’an dengan langgam
hip-hop.
Penulis juga menganalisis kelompok yang membolehkan membaca Al-Qur’an
dengan langgam daerah, lebih pada melihat al-qur'an yang muncul sebagai locus
budaya manusia, maka boleh saja al-qur'an dibaca dengan bahasa pembaca
al-qur'an dengan memaparkan dan menambahkan “dhawabit-dhawabit”
(catatan-catatan) syarat-syarat tertentu dalam pembolehannya, jangan hanya
dengan sekedar “dhawabit” (catatan) harus mengikuti qaedah ilmu Tajwid.
Ini demi menjaga harkat martabat Al-Qur’an. Jika syaratnya hanya sekedar harus
mengikuti ilmu Tajwid saja, maka tidak menutup kemungkinan akan ada pembacaan
Al-Qur’an dengan langgam keroncong dengan dalih yang penting sesuai dengan ilmu
Tajwid.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Muis, Komunikasi Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001) M.Syahrur, al-kitab wa al-Qur'an:
Dialektika Kosmos dan Manusia: Dasar-dasar Epistimologi Qur'ani, terj. M.Firdaus,
(Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), cet.1.
M.Syahrur,
al-Kitab wa al-Qur'an:Qira'ah Mu'ashirah, (Damaskus: al- Ahali li Thiba'ah wa al-Nashr wa al-Tauzi',1991).
Muhammad al-Damiry, al-Shihâfah fi Dhau'i al-Islâm, (Madinah: Maktabah al Islamiyah, 1403 H),
cet. 1.
Republika Edisi Ahad 17-5-2015 tentang bacaan langgam Jawa.
Musnad Ahmad No.13919, shahih
lighairihi menurut Al-Albani dalam Shahih
at-Targhib).
www. fatwaazhar.com diakses tanggal
20 Mei 2015, tentang langgam bacaan dalam
al-Qur'an.
merdeka.com lansir dari quraishshihab.com, Rabu (20/5)www.quraishshihab.com, Rabu 20/5 tentang hukum bacaan langgam
Jawa.
Koran
Republika, Edisi 12 April 2015, Tentang Rektor IIQ Membolehkan langgam Jawa.
Zainul
Majdi, Larang baca Al-qur'an Langgan Sasak, Radar Lombok edisi Senin 15 Juni 2015.
[2] M.Darwis Hude, Dkk, Cakrawala..h.4.
[3]M.Syahrur, al-kitab wa
al-Qur'an: Dialektika Kosmos dan Manusia: Dasar-dasar Epistimologi Qur'ani,
terj. M.Firdaus, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), cet.1. h.150. Buku
ini diterjemahkan dari bab kedua buku; M.Syahrur, al-Kitab wa
al-Qur'an:Qira'ah Mu'ashirah, (Damaskus: al-Ahali li Thiba'ah wa al-Nashr
wa al-Tauzi',1991).
[4] Abdul Muis, Komunikasi Islam, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2001) h. 23.
[5] M.SYahrur, al-Qur'an wa al-Kitab... h.151.
[6]Muhammad
al-Damiry, al-Shihâfah fi Dhau'i al-Islâm, (Madinah: Maktabah
al-Islamiyah, 1403 H), cet. 1. h. 65.
[7] M.SYahrur, al-Qur'an wa al-Kitab…h. 207.
[8] Lihat di
website tentang langgam bacaan Jawa atau Nusantaran pada berikut ini: » Soal Bacaan Qur’an Dengan Langgam Jawa, NU Garis Lurus
Kecam Keras Menag http://www.nugarislurus.com/2015/05/soal-bacaan-quran-dengan-langgam-jawa-nu-garis-lurus-kecam-keras-menag.html#ixzz3bP8j42GL NUGarisLurus;Menag minta
masyarakat tak saling salahkan soal tilawah langgam Jawa Ketum PBNU: Tilawah
langgam Jawa boleh asal tidak mengurangi tajwid Menteri Agama
pastikan baca Alquran berlanggam Jawa atas izin ulama PKS nilai baca
Alquran berlanggam Jawa tak masalah Intelektual NU: Tak
ada dalil baca Alquran wajib berlanggam Arab Habib Rizieq: Jokowi
dan menteri agama, tobat atau lengser! 'Tilawah Alquran
langgam Jawa sah selama hukum bacaannya benar.
[12] عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” أَخَافُ عَلَيْكُمْ سِتًّا: إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ،
وَسَفْكُ الدِّمَاءِ، وَبَيْعُ الْحُكْمِ، وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ، وَنَشْوٌ
يَتَّخِذُونَ الْقُرْآنَ مَزَامِيرَ، وَكَثْرَةُ الشُّرَطِ
[حكم الألباني] (صحيح) انظر حديث رقم: 216 في صحيح الجامع
Dari Auf bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,bersabda: Aku
khawatir atas kamu sekalian enam: pemerintahan orang-orang yang bodoh,
penumpahan darah, jual hukum, memutus (tali) persaudaraan/ kekerabatan,
generasi yang menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian, dan banyaknya polisi
(aparat pemerintah, yang berarti banyak kedhaliman). (HR Thabrani, shahih
menurut Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ hadits no. 216)
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي الراوي : جابر بن عبدالله المحدث : الألباني
المصدر : صحيح الترغيب الصفحة أو الرقم: 2242 خلاصة حكم المحدث : صحيح لغيره
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي الراوي : جابر بن عبدالله المحدث : الألباني
المصدر : صحيح الترغيب الصفحة أو الرقم: 2242 خلاصة حكم المحدث : صحيح لغيره
Sesungguhnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ka’b bin’ Ujroh, “Semoga
Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang bodoh”, (Ka’b bin ‘Ujroh
Radliyallahu’anhu) bertanya, apa itu kepemerintahan orang bodoh? (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda: “Yaitu para pemimpin negara sesudahku
yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula berjalan dengan sunnahku,
barangsiapa yang membenarkan mereka dengan kebohongan mereka serta menolong
mereka atas kedholiman mereka maka dia bukanlah golonganku, dan aku juga bukan
termasuk golongannya, mereka tidak akan datang kepadaku di atas telagaku,
barang siapa yang tidak membenarkan mereka atas kebohongan mereka, serta tidak
menolong mereka atas kedholiman mereka maka mereka adalah golonganku dan aku
juga golongan mereka serta mereka akan mendatangiku di atas telagaku. (Musnad
Ahmad No.13919, shahih lighairihi menurut Al-Albani dalam Shahih at-Targhib).
0 komentar:
Post a Comment