OLEH:
DR.H.FAHRURROZI, MA[2]
ABSTRAK
Dari
sudut teologis maupun sosiologis, agama memainkan peranan penting dalam keterlibatannya
pada perwujudan keadilan sosial, dengan kewajiban menegakkan keadilan yang
konkrit dalam ranah sosial, suatu keterlibatan serius bersama masyarakat
dhuafa. Filantropi (kedermawanan) Islam, seringkali dihayati dan dipahami
terbatas pada pengertian normatif saja, belum secara efektif terwujud dalam
gerakan-geraan sosial yang terorganisir dengan manajemen yang baik. Kemandirian
lokal dalam kerangka pembangunan adaptif kreatif menghajatkan upaya
menemukenali dan merumuskan konsepsi pembangunan dari khazanah lokal yang
tersedia. Salah satu komponen dasar khazanah lokal adalah agama, baik dalam
wujud teologis, spiritual, kaidah normatif, maupun tradisi luhur yang
berkembang dalam komunitas agama. Salah satu aspek kontributif agama yang
sangat relevan dan dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial adalah
ajaran tentang filantropi (kedermawanan), terutama berkenaan dengan
konsep-konsep tentang zakat, infak, dan sedekah. Kajian ini mencoba menawarkan
Strategi konprehensif tentang Dakwah Transformatif melaui filantropi Islam di
Indonesia, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan nilai ekonomis dan
efektivitas melalui manajemen yang berkualitas dan profesional. Apalagi bagi masyarakat
di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
DAKWAH TRANSFORMATIF DAN FILANTROPI ISLAM:
STRATEGI DALAM
MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT
EPISTEMOLOGI
FILANTROPI
Secara etimologi filantropi
berarti “cinta kepada kemanusiaan” atau “charity” atau sering
diterjemahkan dengan “kedermawanan”. Secara filosofis, filantropi, sedikit
berbeda dengan tradisi memberi dalam Islam [seperti zakat, infaq maupun
shadaqah]. Filantropi lebih bermotif moral yakni berorientasi pada
‘kecintaan terhadap manusia’, sementara dalam Islam, basis filosofisnya adalah
‘kewajiban’ dari ‘Yang di Atas’ untuk mewujudkan keadilan sosial di muka bumi.[3]
Filantropi Islam:
perintah dalam berdema Filantropi (Philantropy) berasal dari bahasa Yunani:
philos berarti ‘cinta’ dan antropos, ‘manusia’. Cinta kepada manusia terpatri
dalam bentuk pemberian derma kepada orang lain, khususnya yang bukan sanak
keluarga sendiri. Filantropi dalam arti pemberian derma bisa juga dipertukarkan
dengan istilah karitas (charity). Namun, di beberapa Negara terdapat
kecenderungan akan perbedaan di antara keduanya. Karitas bersifat santunan,
sedangkan filantorpi lebih berkonotasi kedermawanan yang memiliki orientasi
pemberdayaan jangka panjang dan dilakukan secara berkesinambungan.[4]
M. Naradjah mendefinisikan filantropi dari perspektif sosiologis sebagai an expression of our sympathetic/
compassionate sense, born out of our sociability, and it is directed at those
in need of help. Definisi yang akar
katanya Loving People ini dalam perkembangannya telah bergeser menjadi satu
tindakan filantropik yang berorientasi pada tujuan-tujuan publik.[5]
Filantropi Islam dalam hal ini bisa diartikan sebagai kegiatan, baik
dilakukan oleh sebuah lembaga maupun komunitas, yang tujuannya untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat, diantaranya melalui kegiatan ‘memberi’.
PERSOALAN KESENJANGAN SOSIAL
BPS
tahun 2012 mencatat bahwa angka kemiskinan di Indonesia mencapai 28,09 Juta
orang atau sekitar 11,37 %. Sedangkan untuk standar hidup di Indonesia sebesar
Rp 259.520 per-bulan, setengahnya dari standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia
yaitu 2 dolar/hari, tingkat kedalaman kemiskinan pada September 2012 mencapai
0,61 point, yang berarti semakin melebarnya kesenjangan dan juga semakin
rendahnya daya beli dari masyarakat kelompok miskin karena ketidakmampuan
mereka memenuhi basic needs-nya. Sedangkan pada akhir tahun 2012 Indeks Indonesia mencapai 0,41 point . Data ini pun
mengisyaratkan berbagai ketidakoftimalan pemerintah; mulai dari tersendatnya
perbaikan struktur ekonomi, terbatasnya penyedia lapangan pekerjaan dan
sulitnya meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan.
Kita
miris dengan yang terjadi di negeri yang mayoritas muslim ini, padahal Allah
yang telah memberi Indonesia ini anugerah yang luar biasa dengan kekayaan
alamnya yang melimpah, hasil migas, perkebunan karet, kelapa sawit, hasil
perikanan dan kelautannya serta yang tak kalah pentingnya Indonesia memiliki
iklim tropis dengan matahari yang selalu menyinar sehingga memungkinkan rakyat Indonesia
untuk bercocok tanam sepanjang tahun.
Namun
itu semua belum dapat dirasakan untuk semua lapisan masyarakat, kemakmuran dan
kehidupan yang layak masih bersifat utopis bagi rakyat kecil, yang menikmati
itu semua adalah pengusaha dan penguasa selebihnya hanya sebagai penonton.
Sebuah paradoks memang, dengan kekayaan yang begitu melimpah namun Negara belum
bisa menciptakan kesejahteraan di negeri tercinta ini. Rasanya tidak berlebihan
memang dengan pepatah “tikus mati di lumbung padi”. Padahal, amanat UUD 1945
sudah sangat jelas termaktub dalam pasal 33 ayat 3 berbunyi “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Ketidakoftimalan
negera dalam hal ini pemerintah dalam membangun kesejahteraan yang menyeluruh,
menimbulkan pemikiran dan gerakan baru dalam tatanan masyarakat sosial (civil
society) untuk lebih memberdayakan dan menggali potensi yang dimiliki
masyarakat sebagai alternatif kekuatan baru dalam menciptakan kemakmuran. Atas
dasar itu maka lahirlah semangat untuk berbagi dan saling tolong menolong dan
menjadikan filantropi sebagai kekuatan yang tumbuh dari, oleh, dan untuk
masyarakat tanpa harus bergantung pada pemerintah.
Berdasarkan
hasil survei pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama
tahun 2004 menunjukkan bahwa nyaris semua masyarakat muslim Indonesia yakni 96
% pernah berderma. Nilainya bervariasi,
ada yang kecil, sedang dan besar. Kalau ditotal, ternyata rupiah yang
dizakat-sedekahkan mencapai 19,3 triliun per tahun. Sebuah angka yang
fantastis. Akan tetapi perkiraan angka ini belum berhasil mengatasi kemiskinan
di Indonesia yang mencapai 14,15 % (BPS: Maret 2009). Filantropi Islam di
Indonesia masih berkutat pada hal yang sifatnya ritual vertikal, yakni dana
filantropi Islam baru ditujukan untuk pembangunan masjid, madrasah, pengadaan
tanah untuk kuburan, dan lain-lain.[6]
Dan
seringkali filantrophi Islam diberikan langsung oleh pendermanya dalam bentuk
uang tunai yang sifatnya charity. Yang terjadi adalah masyarakat miskin
berebut dan rela berdesak-desakkan demi sejumlah uang sedekah yang nominalnya
tidak begitu besar. Dana hasil filantropi Islam belum secara optimal diarahkan
untuk mendukung upaya-upaya pemberdayaan umat di Indonesia. Hampir semua NGO
atau LSM di Indonesia masih mengandalkan bantuan funding dan pemerintah untuk
menjalahkan program programnya.
POTENSI
FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA.
Potensi
Filantropi Islam sangat layak untuk digali dan juga dikembangkan untuk
mendukung upaya-upaya pengembangan masyarakat Islam dalam rangka
mensejahterakan masyarakat muslim di Indonesia juga di dunia. Hal ini sejalan
dengan rumusan model pengembangan masyarakat Islam yang dilakukan oleh tim Islamic
Community Development model Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yakni Mengutamakan penggunaan dana
yang bersumber dari dana filantropi Islam seperti Zakat Mal, Zakat Fitrah,
Infak atau Sadaqah.[7]
Sebagai
contoh Pada tahun 2006 Gerakan Wakaf Pohon sebuah lembaga filantropi Islam yang
menyalurkan dananya untuk perbaikan lingkungan telah berhasil menyelenggarakan
peningkatan kapasitas masyarakat desa hutan dengan menggalang barang bekas di sejumlah
sekolah yang kemudian dananya digunakan untuk menyelenggarakan pelatihan
budidaya lele sebagai upaya peningkatan kapasitas masyarakat desa.
Filantropi Islam Indonesia dalam bentuk ziswaf (zakat, infaq, sedekah,
wakaf) memiliki potensi sangat besar. Belakangan ini berbagai kalangan
memperkirakan, potensi ziswaf Indonesia mencapai sekitar Rp 217 triliun setiap
tahun.
Meski realisasinya masih jauh daripada potensi itu, ziswaf yang terus
bertumbuh kian menjadi ‘rebutan’ di antara berbagai lembaga. Sejak dari amir
masjid di masjid lingkungan pertetanggaan, ormas Islam, LSM
kolektor-distributor, sampai pada pemerintah.
Adanya tarik tambang antara pihak-pihak tersebut terlihat dari judicial
review UU No 23 Tahun 2011 tentang Zakat ke Mahkamah Konstitusi yang
diajukan LSM kolektor-distributor ziswaf pada 2011. Koalisi LSM yang bergerak
dalam pengelolaan dana ziswaf —yang dapat dikatakan sebagai representasi civil
society— menggugat UU yang memberikan otoritas dan wewenang terlalu besar
kepada Baznas. Mereka memandang hal itu dapat mengancam eksistensi lembaga
pengumpul dan distribusi ziswaf yang telah relatif sukses dalam menggali dan
meningkatkan realisasi dana ziswaf sejak 1990-an.
Isu seperti ini terkait banyak dengan perkembangan historis filantropi
Islam Indonesia di masa silam. Karena itu, karya Amelia Fauzia, Faith and the State: A
History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden-Boston: Brill, 2013)
memiliki signifikansi khusus. Buku ini merupakan karya komprehensif pertama
tentang sejarah filantropi Islam Indonesia sejak masa awal Islamisasi Nusantara
pada abad ke-13, melintasi masa kerajaan-kesultanan Islam, penjajahan Belanda,
dan masa pascakemerdekaan, termasuk masa kontemporer.[8]
Menyimak literatur tentang filantropi Islam umumnya, bahkan kelihatan belum
ada karya komprehensif semacam ini untuk negara Muslim lain, apalagi untuk
dunia Islam secara keseluruhan. Seperti dikemukakan Profesor MC Ricklefs dalam
pengantarnya; “karya ini merupakan kajian sejarah otoritatif dengan topik
sangat penting yang terus relevan untuk masa depan yang dapat dibayangkan.”[9]
Kontestasi kelihatannya bakal terus mewarnai sejarah filantropi Islam
Indonesia hari ini dan masa datang. Keadaan seperti ini jelas terlihat di masa
silam. Kontestasi tersebut jelas banyak terkait dengan hal hubungan dan peran
negara dalam filantropi Islam. Amelia menyimpulkan terdapat kontestasi di
antara tiga kelompok besar umat dalam kaitannya dengan posisi negara tersebut.[10]
Pertama, kalangan umat atau lembaga Islam yang mendukung kontrol negara
terhadap agama —dalam hal ini filantropi Islam. Kedua, mereka yang menentang
campur tangan dan institusionalisasi filantropi oleh negara. Dan ketiga, mereka
yang ingin memelihara filantropi tetap berada di tangan aktor-aktor nonnegara,
tetapi pada saat yang sama menuntut dukungan negara.
Adanya kontestasi itu di masa sekarang atau masa pascakemerdekaan secara
keseluruhan, terkait tidak hanya dengan perbedaan pandangan di kalangan umat
Islam tentang hubungan antara agama dan negara, tetapi juga dengan sifat negara
Indonesia. Menurut Amelia —yang sepenuhnya didukung Ricklefs— dalam masa
Indonesia modern, hubungan antara negara dan agama memperlihatkan posisi unik.
Negara Indonesia pada dasarnya bersikap ‘tidak peduli’ (indifferent)
terhadap agama karena menganggapnya lebih banyak sebagai ikhwal pribadi. Negara
Indonesia tidak mengambil dua bentuk hubungan lain dengan agama: pertama,
menjadikan agama sebagai basis ideologis; dan kedua, memusuhi agama. Meski
bersikap indifferent terhadap agama, Indonesia mengakui eksistensi agama
tanpa menyebut agama tertentu -khususnya Islam sebagai agama mayoritas-sebagai
dasar atau ideologi negara. Namun, Islam menjadi tetap faktor penting karena
mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Dinamika dan perubahan yang terjadi
dalam masyarakat Muslim dan negara bagaimanapun memunculkan nuansa baru dalam
hubungan antara negara dan agama.[11]
Perubahan itu terlihat jelas sejak masa paroan kedua rezim Orde Baru.
Seperti disinggung Ricklefs, sejak berkuasa, presiden Soeharto percaya agama
dapat dia gunakan sebagai alat kontrol sosial dan agenda antikomunis. Meski
demikian, dalam paroan pertama kekuasaannya, banyak kalangan umat merasakan
kebijakan Soeharto yang tidak bersahabat kepada Islam. Barulah dalam paroan
kedua kedua kekuasaannya, khususnya sejak 1990-an, presiden Soeharto mengambil
langkah rekonsiliatif dengan umat Islam.[12]
Perubahan sikap dan kebijakan presiden Soeharto menjadi salah satu faktor
penting dalam perkembangan filantropi Islam. Soeharto sendiri memprakarsai
usaha filantropi Islam yang kemudian terbukti menjadi salah satu warisan (legacy)
pentingnya, yaitu Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP) yang memungut
dana Rp 1.000 dari setiap PNS dan anggota ABRI beragama Islam, yang selanjutnya
digunakan untuk membangun masjid dan kegiatan dakwah.
Dengan
demikian, negara seperti diwakili presiden Soeharto secara ‘tidak resmi’ telah
mengambil peran penting dalam filantropi Islam. Pada saat yang sama kemajuan
pendidikan dan ekonomi umat menghasilkan peningkatan potensi dana filantropi
Islam Indonesia. Ini mendorong munculnya LSM advokasi filantropi Islam yang
memunculkan berbagai kisah sukses.
Di
Indonesia keberadaan gerakan ini lahir pada tataran ‘grees root’ sejalan dengan
semangat dakwah Islam melalui ormas-ormas keagamaan diantaranya yang terbesar
adalah Nahdatul Ulama dan Muhamadiyah. Pada masa kolonial filantropi digunakan
sebagai perlawanan atas penguasa penjajah dan berjasa dalam mendanai perjuangan
merebut kemerdekaan. Sedangkan dewasa ini kekuatan filantropi lebih berdaya
pada saat dikelola oleh institusi institusi sosial yang lebih profesional
sebagai inisiator lahirnya kemandirian dan menciptakan kesejahteraan bagi kaum
lemah. Lembaga seperti ini sudah sangat mudah kita contohnya saja dompet duafa
dan rumah zakat.
Belas
asih yang terwujud dalam bentuk pemberian ini tidak hanya kita temukan dalam
Islam saja namun dalam ajaran agama lain pun kita dapat jumpai, contohnya dalam
ajaran Hindu dikenal dengan datria datriun yang konsepnya sama seperti
zakat ada mustahik dan ada muzaki, sedangkan dalam ajaran Budha di kenal dengan
istilah Suta nipatha (etika dalam memberi), dalam agama Yahudi dikenal
dengan Ma’sartu atau mas’er (pemberian kepada rumah ibadah atau
pemberian seorang raja kepada pegawainya) dan Nasrani menggunakan istilah Tithe
(1/10 dari pendapatan yang harus diberikan pada gereja).
Walaupun
hampir di setiap agama memiliki konsep dalam berderma namun sejujurnya hanya
dalam agama Islam ajaran berderma ini lebih detail dan sistematik. Dalam Islam
kita dapat mengenal lewat instrument-instrument filantropi yang ada yaitu
seperti zakat, Infaq, Shadaqoh, Wakaf dan hibah. Namun hanya zakat yang
derajatnya lebih tinggi dari yang lainnya, karena perintah zakat selalu
berdampingan dengan perintah shalat (Q.S Al-Baqarah:43) dan bagi seorang muslim
zakat merupakan sebuah kewajiban (Q.S At taubah: 103). Sedangkan aktivitas
berderma selain zakat hanya bersifat sunnah.[13]
Dalam konteks Indonesia kelahiran organisasi-organisasi [NGO] amal
keagamaan ini dilatarbelakangi paling tidak dua krisis yakni krisis politik dan
krisis ekonomi. Lembaga-lembaga filantropi Islam muncul untuk menanggapi
kegagalan pemerintah dalam melayani seluruh warganya dalam rangka menciptakan
keadilan dan kesejahteraan sosial. Karena krisis tersebut maka perlu adanya
sebuah gerakan untuk menggalang dana dari masayarakat [zakat, infaq dan
shadaqah] dalam rangka menolong masyarakat itu sendiri.[14]
Bila kita telusuri sejarah filantropi di Indonesia, kita dapat menemukan
tiga arus utama yang mempengaruhi perkembangannya hingga mencapai bentuknya
yang sekarang. Tiga arus utama ini adalah filantropi tradisional, kemunculan
dan perkembangan organisasi masyarakat sipil (OMS) dan pembentukan filantropi
dunia usaha dan organisasi penyandang dana yang disebut sebagai organisasi
sumber daya masyarakat sipil (OSMS). Unsur terkuat filantropi tradisional
bersumber dari agama, baik Islam maupun Kristen. Filantropi keagamaan ini di
Indonesia terkait dengan kegiatan-kegiatan dakwah dan misionari dalam bentuk
pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.[15]
Gerakan filantropi Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup
menarik dan signifikan terutama Pasca Orde Baru. Hal tersebut dapat dipahami
menurut Hilman, karena pada era pasca Soeharto terdapat beberapa fenomena yang
mendorong munculnya lembaga-lembaga amal berbasis keagamaan seperti adanya
suasana politik yang baru dan lebih terbuka, terjadinya beberapa konflik
komunal dan beberapa peristiwa bencana alam yang cukup besar [seperti gempa,
tsunami dan letusan gunung Merapi].[16]
Filantropi Islam di Indonesia termasuk fenomena baru, maka proses-proses
advokasi belum menjadi prioritas lembaga-lembaga tersebut. Sehingga bukan
menjadi suatu masalah ketika mereka bekerjasama dengan perusahaan besar yang
notabene merugikan masyarakat dan negara seperti Freeport.
Di Indonesia sendiri, filanthropi Islam, mulai menguat dalam pelbagai
bentuknya kira-kira pada abad ke-19 M, ditandai dengan pertumbuhan
madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren. Sebelum abad ke-19 M, sebetulnya
filantropi sudah ada di kalangan istana; seperti Kesultanan Aceh dan Mataram.
Pada awal abad ke-20 M, sekolah-sekolah Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama
(NU) dan sejenisnya, termasuk
organisasi-organisasi besar seperti Jamiah al-Khair, dan Serikat Islam, sangat
terkait dengan Philanthrophisme itu.[17]
Dalam konteks masyarakat plural seperti di Indonesia, gerakan filantropi
Islam dituntut untuk mampu bekerjasama dengan lembaga kemanusiaan berbasis
agama-agama lainnya. Usaha ke arah sana sudah ada dengan dibentuknya HFI [Humanitarian
Forum Indonesia], sebuah forum yang terdiri dari MDMC (Muhammadiyah
Disaster Management Center), YTBI( Yayasan Tanggul Bencana Indonesia), YEU (Yakkum
Emergency Unit), Dompet Dhuafa, Karina KWI, WVI (Wahana Visi Indonesia),
PPKM [Perhimpunan Pemberdayaan Keberdayaan Masyarakat], PKPU dan CWS [Church
World Service].
Beberapa lembaga Filantropi Islam yang muncul dan berkembang sampai
sekarang:
1.
Dompet Dhu’afa [Republika]
2. Rumah Zakat
3. LazizNU [Lembaga Amil Zakat Infaq dan
Shodaqah Nahdatul Ulama]
4. LazisMU [Lembaga Amil Zakat dan Shodaqah
Muhammadiyah]
5. Dewan Da’wah Infaq Club
6. BSMI [Bulan Sabit Merah Indonesia]
7. PKPU [Pos Keadilan Peduli Umat]
Adapun kegiatan-kegiatan dari lembaga-lembaga tersebut, menurut Hilman,
kelihatannya masih terkonsentrasi pada aspek-aspek yang populis dengan membuat
program-program untuk penyantunan, perbaikan tempat ibadah, pemberdayaan
ekonomi, pelayanan kesehatan, atau juga pemberiaan beasiswa untuk anak-anak
kurang mampu.
Dalam penelitiannya, Hilman menyimpulkan bahwa filantropi Islam di
Indonesia merupakan fenomena masyarakat muslim kelas menengah ke atas.
Lembaga-lembaga yang muncul biasanya diawali dengan kegiatan-kegiatan dakwah
atau majlis ta’lim seperti yang terjadi di Jakarta, Bandung dan Surabaya, yang
kemudian berkembang menjadi aktivisme sosial Islam dengan membentuk
lembaga-lembaga amal. Kelas menengah dalam hal ini meliputi baik pelaku,
institusi maupun pendukungnya. Perlu diberi catatan bahwa aktivis mahasiswa
cukup mewarnai lembaga filantropi Islam di Indonesia.
Karena fenomena middle class inilah Filantropi Islam di Indonesia
memiliki beberapa trend yang cukup menarik:
1. Organisasinya
semakin modern. Secara kelembagaan sudah terstruktur dengan rapi dari mulai
tingkat pusat sampai tingkat cabang di hampir seluruh Indonesia dan rata-rata
mereka mempunyai sistem informasi yang bisa diakses masyarakat, sehingga
akuntabilitas kelembagaan terjaga dengan baik.
2. Volunteer yang
professional. Para sukarelawan yang ada di lembaga-lembaga tersebut merupakan
para professional yang ahli di bidangnya masing-masing seperti dokter, perawat,
dan lain-lain.
3. Semakin banyak dan
semakin kuat. Karena kelembagaannya yang sudah solid dan didukung oleh kalangan
professional, maka lembaga-lembaga amal ini semakin hari semakin berkembang
baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.
4. Semakin mendapatkan
tempat dan dukungan yang kuat baik di kalangan masyarakat dan juga pemerintah.
5. Lembaga-lembaga amal
seperti ini muncul tidak hanya di tingkat lokal/nasional [seperti
lembaga-lembaga yang disebutkan di atas], tetapi juga di tingkat internasional
dalam bentuk humanitarian aid dan kelompok-kelompok solidaritas seperti Komite
Nasional untuk Rakyat Palestina, KISPA [Komite Indonesia Untuk Solidaritas
Palestina], dan lain-lain.
6. Mendapatkan dukungan
financial dari perusahaan-perusahaan. Meskipun sumber dana masih didominasi
dari perolehan zakat, infaq dan shadaqah, namun karena banyaknya dan luasnya
jaringan kelas menengah ini, maka mereka juga mampu menjalin kerjasama dengan
perusahaan-perusahaan besar, seperti BP Migas, Freeport, KFC, Exxon Mobil,
Epson, Telkomsel, dll. Dalam hal ini pihak perusahaan juga cukup terbantu dalam
menjalankan program tanggungjawab sosialnya [CSR: Corporate Social
Responsibility]. Berbeda dengan kegiatan-kegiatan LSM yang lebih
berorientasi jangka panjang, kegiatan lembaga-lembaga filantropi Islam lebih
popular dan cenderung bersifat karitatif [short term] sehingga sangat
disukai oleh perusahaan-perusahaan karena hasilnya kasat mata dan bisa diukur
dengan jelas.
Bila
kita berbicara mengenai potensi maka akan terbayang dana yang fantastic besar
jumlahnya. Contohnya saja zakat, sudah banyak lembaga penelitian yang mencoba
untuk melakukan survey dan risert mengenai potensi penghimpunan zakat di
Indoensia. Rentan tahun 2004-2007 beberapa lembaga me-releas potensi zakat
Indoensia, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interest
Research and Advocacy Center) potensi zakat sebanyak 9,09 Triliun, selain
itu menurut perhiungan FOZ (Forum Zakat) potensinya sebesar 17,5 Triliun. Pusat
Budaya dan Bahasa UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama dengan The Ford
Fondations mengatakan potensi ZIS di indoensia mencapai 19,3 Triliun setiap
tahunnya. Sedangkan menurut Habib Ahmed melalui lembaga IRTI-IDB mengatakan
bahwa potensi zakat tahun 2010 mencapai angka 100 triliyun.[18]
Selanjutnya,
di tahun 2011 Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan ADB (Asian Development Bank)
menyebut potensi zakat Indonesia sebesar 217,3 triliun rupiah. Sementara jumlah
zakat yang terhimpun oleh BAZNAS pada tahun 2012 sekitar 2,3 triliun rupiah.
Terlepas dengan jumlah angka yang berbeda beda, kita dapat berkesimpulan bahwa
adanya jurang pemisah antara das sein dan das sollen, antara potensi zakat
sangat begitu besar dengan realitas penghimpunan zakat yang relative masih
kecil di Indoensia.
Selain
zakat kekuatan yang begitu besar pada filantropi ada pada wakaf di negeri ini.
Merujuk pada data Departemen Agama (Depag) RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia
mencapai 2.686.536.656,68 m2 atau sekitar 268.653,67 Ha atau 3,5 kali lebih
luas dari Negara Singapura. Adapun tanah wakaf ini tersebar di 366.595 lokasi
di seluruh Indonesia. Jumlah tanah wakaf yang besar ini merupakan harta wakaf
terbesar di dunia. Sayangnya, tanah wakaf tersebut sebagian besar baru
dimanfaatkan untuk kesejahteraan masjid, kuburan, panti asuhan, dan sarana
pendidikan. Dan hanya sebagian kecil yang dikelola ke arah lebih produktif. Ini
diperkuat dengan hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2006, terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi.
Penelitian itu menunjukkan, harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%)
daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Berarti, tanah wakaf yang
demikian besar itu tentunya belum memberikan manfaat produktif, tapi masih
dipergunakan untuk kepentingan yang bersifat konsumtif. Padahal, bila digunakan
untuk kepentingan produktif, tanah wakaf seluas 268.653,67 ha itu tentu akan
memberikan manfaat yang lebih besar, seperti rumah sakit, pusat bisnis,
pertanian, perkebunan, dan lain-lain. Itu belum termasuk potensi wakaf benda
tak bergerak, misalnya wakaf uang.[19]
Data
di atas dapat terwujud, karena tingkat kedermawanan (rete of giving)
masyarakat Indoneisa sangat tinggi yang mencapai 99,6%, angka tersebut
meng-indikasikan bahwa hampir seluruh responden yang disurvey setidaknya pernah
berderma dalam satu tahun terakhir.[20]
Lembaga
Negara vs Lembaga Swasta di Indonesia setidaknya kita memiliki 2 Undang Undang
mengenai aturan dalam berderma, yaitu UU Zakat no 38 tahun 1991 yang di
amandemen menjadi UU zakat no 23 tahun 2011 dan UU Wakaf No. 41 Tahun 2004.
Pada kedua Undang Undang tersebut pemerintah hanya fokus pada regulasi dan
aturan bagi otoritas penyelenggaranya saja namun tidak berupaya untuk
memberikan aturan yang mengikat bagi muzaki yang tidak menunaikan kewajibannya.
Lahirnya
UU Zakat memiliki sejarah yang panjang, tercatat mulai tahun 1951 diskursus mengenai
boleh tidaknya hukum Islam masuk dalam peraturan perundang undangan mendapat
perdebatan panjang hingga tahun 1999 penantian pun terbayarkan dengan lahirnya
Undang Undang zakat no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat yang secara
yuridis formal mengukuhkan peranannya di Masyarakat. Setelah berjalan kurang
lebih 10 tahun masyarakat gerah dengan tidak maksimalnya pengelolaan zakat di
tanah air, sehingga DPR mengamandemen UU zakat tahun 1999 itu dengan UU Zakat
yang terbaru no. 23 tahun 2011, di sisi lain amandemen tersebut mengindikasikan
terjadinya dualisme dalam pemungutan zakat baik oleh pemerintah maupun
publik/swasta, sehingga menjadikan BAZ sejajar dengan LAZ, ini menimbulkan
kompetisi di antara keduanya dalam menarik hati muzaki.
UU
no. 23 tahun 2011 mengamanatkan bahwa pengelolaan zakat dilakukan secara
sentralistik oleh negara dan menutup ruang publik untuk turut serta dalam
pengelolaan zakat. Perlu disadari bahwa ketika zakat masuk dalam salah satu
agenda hukum, kenyataan yang tidak dapat dielakkan adalah adanya persinggungan
kepentingan antara publik dan pemerintah ini di buktikan dengan masih di
gantungnya UU tersebut di Mahkamah Konstitusi terkait Judicial Review.
Hasil
penelitian PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) Tahun 2004
Mengenai kecenderungan masyarakat dalam menyalurkan zakatnya Hubungan antara
Negara dan swasta/publik dalam mengelola filantropi, dijelaskan oleh Amelia
Fauzia di mana praktek filantropi merupakan indikasi dari keberadaan civil
society. Ketika Negara lemah, filantropi tumbuh kembang kuat dan digunakan
untuk menentang Negara. Ketika Negara kuat, civil society muslim cenderung
lemah, walaupun masih bisa menggunakan aktivitas filantropi untuk perubahan
sosial. Pengecualian terjadi pada masa colonial (negara kuat dan civil
society-filantropi kuat).[21]
Sejalan
dengan hal tersebut, Prof. Azyumardi Azra menjelaskan bahwa dahulu Universitas
Al Azhar di Mesir menjadi satu contoh filantropi Islam yang sangat luar biasa
dengan harta wakafnya dan juga hasil-hasil usaha lainnya. Karenanya,
Universitas Al Azhar menjadi sangat independen, bahkan anggaran belanja lembaga
pendidikan Islam ini lebih besar dari anggaran belanja Negara Mesir sendiri.
Tetapi dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 1961, pemerintah Mesir di
bawah Presiden Naser melakukan nasionalisasi secara paksa atas sejumlah harta
wakaf Al Azhar. Al Azhar pun kemudian dijadikan bagian dari struktur Negara,
anggarannya ditetapkan dan diberikan oleh Negara. Sedangkan Syaikh Al Azhar di
jadikan pejabat setingkat Perdana Mentri dan digaji oleh Pemerintah. Akibatnya
al-Azhar tidak lagi menjadi lembaga independent atau menjadi kekuatan
penyeimbang kekuasaan.[22]
DAKWAH TRANSFORMATIF MELALUI FILANTHROPI ATAU DAKWAH
SOSIAL
Dakwah
semestinya dipahami sebagai suatu aktivitas yang melibatkan proses transformasi
dan perubahan (thathawwur wa
taghayyur)
yang memang tidak terjadi begitu saja tapi membutuhkan kesadaran dari
masyarakat untuk merubah situasi dan kondisi mereka melalui pendidikan
dan komunikasi yang berkelanjutan, hal ini berarti sangat terkait dengan upaya
rekayasa sosial
(taghyîr al-ijtimâ'iyyah)[23].
Sasaran utama dakwah adalah terciptanya suatu tatanan sosial
yang di dalamnya hidup sekelompok manusia dengan penuh kedamaian, keadilan,
keharmonisan di antara keragaman yang ada, yang mencerminkan sisi Islam sebagai
rahmatan li al-âlamîn.[24]
Agama
sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari system nilai yang
ada dan membudaya dalam masyarakat, lebih dari sekedar itu agama juga menjadi
pendorong dan penggerak serta pengontrol bagi tindakan manusia agar dapat tetap
berjalan sesuai dengan nilai-nilai moral dan ajaran-ajaran agamanya.[25]
Masyarakat
kini tengah mengalami apa yang disebut transformasi sosial
sebagai dampak dari arus modernisasi. Transformasi ini mendesak setiap anggota
masyarakat untuk menguji kembali validitas beragam konvensi yang dilahirkan
oleh lembaga-lembaga sosial
dan kebudayaan
dalam rangka survive dan revive. Transformasi ini juga memaksa
setiap pemeluk agama untuk melakukan reorientasi terhadap pola penghayatan
keagamaannya, dengan menafsirkan dan memaknai ulang format pemahamannya
terhadap validitas tekstual kitab suci.[26]
Transformasi
sosial
merupakan tugas kerasulan terbesar dengan melakukan transformasi nilai-nilai
Islam sebagai agama Tuhan yang normatif ke dalam bentuk perubahan sosial (social
change)
yang operasional. Dari teologi ke
perubahan sosial (transformasi sosial).
Sehingga pengaruhnya memiliki gema yang menggelegar dan cahaya yang menyinari
seluruh pelosok negeri.[27]
Menurut
Kuntowijoyo,
setidaknya ada dua bentuk transformasi sosial
yang dilaksanakan oleh Rasulullah, yakni pembebasan manusia (individual) dan
transformasi kemasyarakatan (kolektif).[28]
Langkah inilah yang mampu memposisikannya sebagai orang paling berpengaruh
dalam peradaban
manusia.[29]Melalui
metode transformasi itu pula, Kunto mengkaji konsep ummah (umat) sebagai
kesatuan religio-politik,
sebagaimana konsep negara yang makmur (baldah thayyibah),
atau masyarakat yang sejahtera (qaryah thayyibah)
sebagai konsep-konsep normatif yang berada dalam struktur kesadaran subyektif.[30]
Konsep-konsep itu merupakan proyeksi dari cita-cita masyarakat muslim mengenai
apa yang disebut sebagai “umat yang terbaik” di sebuah negeri yang baik, di
bawah ampunan Tuhan.[31]
Kompleksitas kehidupan masyarakat menuntut adanya ruang
gerak aktivitas dakwah yang lebih fleksibel,
lebih mengena sasaran dakwah dan tidak mengesampingkan kaum lemah. Masyarakat
yang didambakan oleh ummat Islam bukanlah masyarakat yang homogen status
sosialnya, bukan pula memandang status sosialnya tinggi atau rendah, pejabat
atau bawahan, kaya atau miskin, melainkan derajat ketaqwaan dari amal ibadah
yang dilakukannya. Untuk mencapai semua itu dalam aktivitas dakwah perlu
pendekatan ukhuwwah
yang lebih menghargai dan menghormati harkat dan martabat manusia, memanusiakan
manusia, juga menggunakan pendekatan budaya
lokal dan penggunaan teknologi informasi sebagai media untuk mencapai sasaran
dakwah. Ketiga pendekatan tersebut jika secara serentak dijalankan oleh setiap
muslim maka akan tercipta masyarakat muttaqien.[32]
Dakwah
transformatif merupakan model dakwah, yang tidak hanya mengandalkan dakwah
verbal (konvensional) untuk memberikan materi-materi agama kepada masyarakat
yang memposisikan da’i
sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan, tetapi menginternalisasikan pesan-pesan
keagamaan ke dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan
masyarakat secara langsung. Dengan demikian, dakwah tidak hanya untuk
memperkokoh aspek religiusitas masyarakat, melainkan juga memperkokoh basis
sosial
untuk mewujudkan transformasi sosial.
Dengan dakwah transformatif, da’i diharapkan memiliki fungsi ganda, yakni
melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan pendampingan
masyarakat untuk isu-isu korupsi, lingkungan
hidup, penggusuran, hak-hak perempuan, konflik
antaragama dan problem kemanusiaan lainnya.[33]
Ada lima indikator yang
mesti melekat dalam dakwah transformatif. Pertama, dari aspek materi
dakwah; ada perubahan yang berarti; dari materi ubudiyah ke materi sosial. Dalam konteks ini, para juru dakwah mulai menambah materi dakwahnya pada isu-isu sosial,
seperti korupsi, kemiskinan dan penindasan, sehingga para juru dakwah tidak
lagi hanya berkutat pada materi ukhrawi. Dari aspek materi juga ada perubahan dari materi dakwah
yang ekslusif ke inklusif. Para juru dakwah tidak lagi menyampaikan materi
dakwah yang memojokkan atau memusuhi non-muslim. Kecenderungan selama ini para
juru dakwah sering menyampaikan dakwah yang bernada permusuhan terhadap agama
lain. Padahal cara ini justru membuat masyarakat ikut memusuhi agama lain hanya
karena agamanya yang berbeda. Oleh karena itu, materi dakwah yang inklusif
mesti menjadi kata kunci dalam dakwah transformatif.[34]
Kedua, dari aspek metodologi terjadi perubahan; dari model
monolog ke dialog. Para juru dakwah semestinya cara penyampaian dakwahnya, tidak lagi menggunakan
pendekatan monolog, melainkan terus melakukan dialog langsung dengan jama’ah. Sehingga
problem yang dihadapi masyarakat dapat langsung dicarikan solusinya oleh juru
dakwah dengan kemampuan yang dimilikinya. Dakwah yang menggunakan pendekatan monolog cenderung melakukan
indoktrinasi kepada jama’ah, padahal Islam tidak hanya indoktrinasi, melainkan
juga pencerahan terhadap jamaah.[35]
Ketiga, menggunakan institusi yang bisa diajak bersama dalam
aksi. Para juru dakwah mesti menggunakan institusi sebagai basis gerakan agar
apa yang dilakukannya mendapatkan legitimasi yang lebih kuat. Jaringan dan sumber daya tidak hanya
milik sendiri, melainkan juga ada pada orang lain. Karena itu, institusi menjadi sesuatu yang penting untuk
menjadi basis dari gerakan sosial. Itu sebabnya, agar para juru dakwah lebih mudah
melakukan pendampingan masyarakat, mereka perlu menggunakan institusi yang
kuat.[36]
Keempat, ada wujud keberpihakan pada kaum lemah (mustad’afîn). Para juru dakwah terketuk hatinya untuk melakukan usaha-usaha sosial untuk kepentingan kaum tertindas di daerahnya semisal
kasus penggusuran tanah, pencemaran lingkungan, penggusuran nelayan dan petani. Rasa empati sosial
merupakan prasyarat bagi juru dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif.
Kelima, para juru dakwah melakukan advokasi dan pengorganisasian masyarakat
terhadap suatu kasus yang terjadi di daerahnya agar nasib para petani, nelayan,
buruh, dan kaum tertindas lainnya didampingi. Inilah puncak dari para juru
dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif. Hasil akhir dari dakwah
transformatif adalah mencetak para juru dakwah yang mampu melakukan
pendampingan terhadap problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat.[37]
Dalam konteks inilah,
penyebaran dakwah di masyarakat mesti dilandasi oleh visi yang benar tentang
perdamaian, kesalehan sosial dan sesuai dengan cita-cita agama yang mendorong pada
perubahan ekspresi beragama yang inklusif dan toleran. Di sinilah, para aktivis dakwah (da’í) memiliki peranan yang strategis dalam merubah
pandangan keagamaan masyarakat. Sebab, pemahaman keagamaan masyarakat biasanya
sangat dipengaruhi oleh para juru dakwah (tuan guru, ustadz, da’í, kyai,dll). Pada gilirannya, dengan kemampuan strategi dakwah
yang memadai dan pemahaman keagamaan yang luas (komprehensif), masyarakat
sebagai objek dakwah akan berubah cara pandang keagamaannya. Pada titik
selanjutnya, wajah Islam akan kembali seperti pada zaman awal Islam datang; berwajah
damai dan akomodatif terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat.
Begitu juga, konsep dakwah transformatif bisa dilihat dari kandungan ayat
al-Qur'an:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا للهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ
تُحْشَرُونَ[38]
Artinya:
hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya, apabila
rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang menghidupkanmu (mentransformasikan,
memberdayakan,mensejahterakan), dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
mendinding antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan.
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا
عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ[39]
Artinya:
sesungguhnya Allah telah menganugerahi terhadap orang mukmin karena
dibangkitkan dari kalangan mereka seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Allah
kepada mereka dan mensucikan mereka dan sekaligus mengajarkan mereka al-kitab
dan ilmu pengetahuan (al-hikmah) meskipun sebelumnya mereka berada dalam
kesesatan yang nyata.
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ
الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي
التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ
الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَاْلأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ
فَالَّذِينَ ءَامَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ
الَّذِي أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ[40]
.
Berdasarkan ayat di atas, dakwah
transformatif dapat dilihat dari lima dimensi:
Dimensi tilâwah;
membacakan ayat-ayat Allah atau Oral Communication,
komunikasi lansung dengan public.[41]
Dimensi tazkiyah;
yaitu sugesti
untuk melembagakan kebenaran dan keadilan sosial
(amar ma'rûf)
dan mendistorsi kejahatan dan kesenjangan sosial (nahi munkar).
Dimensi ta'lim;
mentransformasi pengetahuan kognitif kepada masyarakat, sehingga tercipta
masyarakat yang berpendidikan (educated
people).
Dimensi ishlâh;
upaya untuk perbaikan dan pembaharuan dalam konteks keberagamaan yang lebih luas.
Dimensi Ihya’
(transformasi, pemberdayaan);
upaya dakwah bukan hanya sebatas komunikasi verbal tapi ada wujud transformasi
sosial
dan pemberdayaan kepada arah kemandirian masyarakat.
Dari lima formasi dakwah ini diharapkan
dapat membawa pencerahan yang memiliki semangat transformatif dan dapat
dijadikan landasan untuk mewujudkan trilogi dakwah;
pembentukan, restorasi dan pemeliharaan dan perubahan masyarakat islami.[42]
Pemikiran transformatif
bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan.
Untuk itu Islam harus menjadi kekuatan yang dapat memotivasi secara
terus-menerus dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam
skala-skala besar yang bersifat praksis maupun teoritis. Pada transformasi yang
bersifat praksis, perhatian utama para pemikir transformatif bukanlah pada
aspek-aspek doktrinal dari teologi Islam, tetapi pada pemecahan-pemecahan masalah-masalah
empiris dalam bidang sosio-ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik masyarakat, orientasi keadilan sosial, dan sebagainya. Bahkan bagi para pemikir transformatif
yang praksis terdapat kecenderungan kuat untuk “membumikan” ajaran-ajaran agar dapat
menjadi kekuatan yang membebaskan manusia dan masyarakat dari belenggu
ketidakadilan, kebodohan, dan keterbelakangan. Mereka menghendaki teologi bukan
hanya sekedar sebagai ajaran yang absurd dan netral, tetapi sebagai
suatu ajaran yang memihak dan membebaskan mayoritas umat Islam dari berbagai
kelemahan. Demikian pula proses pemikiran kaum transformatif tidaklah diartikan
dalam kerangka literal dan formal, tetapi direfleksikan dalam karya-karya
produktif yang berorientasi pada perubahan sosial ekonomi dan
politik menuju terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis.[43]
Refleksi transformatif
seperti itu, kemudian diimplementasikan ke dalam gerakan-gerakan pengembangan
masyarakat (community development) dengan pendekatan praksis: kesatuan dialektis antara
refleksi dan aksi, teori dan praktek, serta iman dan amal. Adapun basis sosial yang digunakan oleh para pemikir transformatif ini dalam
rangka menuangkan ide-ide praksis dan merealisir program-programnya, umumnya
melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sementara itu pada tataran teoretis, pemikiran transformatif
berusaha membangun
“teori-teori sosial alternatif” yang didasarkan pada pandangan dunia Islam. Para pemikir
transformatif yang bergerak dalam dataran teoritis, berusaha merumuskan
alternatif terhadap kecendrungan dan nominasi positivisme yang kuat di kalangan
ilmuan dan pemikir sosial muslim. Karena itu mereka mengidealisasikan apa yang
disebut dengan “ilmu sosial profetis”, ilmu sosial transformatif,” paradigma alternatif dan
sebagainya yang bukan hanya menjelaskan dan merubah fenomena sosial, tetapi
juga mengarahkannya untuk mencapai nilai-nilai yang dikehendaki umat, yakni:
humanisasi, liberasi, kontekstualisasi, dan transedensi.[44]
Dakwah transformatif merupakan suatu aktivitas yang sifatnya
dinamis dalam merespon berbagai permasalahan kehidupan masyarakat, karena
keberadaan dakwah harus mampu memberikan jawaban terhadap setiap perubahan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Corak dan bentuk dakwah sangat dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan segala
perubahan dan perkembangan masyarakat. Banyak di antara perubahan dan
perkembangan masyarakat merupakan hal-hal yang sama sekali baru dan tidak
memiliki preseden di masa lalu, baik yang berkenaan dengan pola pikir, pola
hidup dan perilaku masyarakat. Apabila dakwah transformatif berjalan dengan baik,
maka dakwah akan berfungsi sebagai alat dinamisator dan katalisator atau filter terhadap berbagai dampak perubahan yang
terjadi dalam masyarakat.[45]
Dakwah juga berarti membebaskan manusia dari
kebodohan, bahkan sebenarnya manusia itu sebenarnya dianjurkan untuk menuntut
ilmu agar tidak bodoh. Bahkan manusia itu diprogram oleh Allah untuk menjadi
pembangun peradaban di muka bumi. Karena itu manusia dibelaki akal
pikiran yang menjadi perangkat paling penting untuk membangun peradaban
iman. Karena itu manusia dibekali akal pikiran yang menjadi perangkat
paling penting untuk membangun peradaban.
Dakwah juga berarti membebaskan manusia dari
kemiskinan karena kemiskinan akan bisa menggurani martabat manusia, kemiskinan
juga bisa menyebabkan manusia menjadi lemah karena kekurangan makan,
gizi, vitamin, karbohidrat dan mengakibatkan daya tubuh menjadi lemah dan
mudah terkena penyakit. Dengan pendekatan pemberantasan kemiskinan yang
diajarkan oleh islam itu maka hubungan antara kelompok
miskin dengan orang kaya tetap terjaga. Hal ini berbeda dengan yang
terjadi dilingkungan kaum komunis yang justru membenturkan antara orang
miskin dengan orang kaya.
Ada tiga pendekatan islam tentang kemiskinan.
Pertama mendorong manusia untuk mencari rizki. Kedua perintah infak, sedekah
dan lain sebagainya untuk membebaskan manusia dari kemiskinan. Ketiga, mengancam
orang yang kaya yang tidak menafkahkan harta kekayaannya untuk kepentingan
umat.
Dengan pendekatan-pendekatan dalam pemberantasan
kemisikinan seperti yang diajarkan oleh Islam, maka hubungan antara kelompok
miskin dan kaya akan tetap harmonis.
Beberapa catatan yang mungkin bisa dikembangkan di masa yang akan datang
berkaitan dengan dakwah melalui filantropi di Indonesia:
1. Perlu adanya motif
dan impian bersama dari lembaga-lembaga charity berbasis agama-agama yang
inspirasinya dapat diambil dari ajaran/konsep agama masing-masing. Misalanya
dalam Kristen ada konsep “Suasana kerajaan Allah”, dalam Islam ada konsep
“baldatun thoyyibatun warobbun gofur” atau “rahmatan lilalamin”,
dan lain sebagainya.
2. Konsep common
good atau welfare society, perlu dimaknai lebih luas dalam
konteks masyarakat plural seperti di Indonesia.
3. Konsep
“kemaslahatan” perlu dirumuskan bersama dengan baik supaya kategori
beneficiaries [penerima manfaat] dari gerakan filantropi Islam ini bisa lebih
inklusif yakni menyentuh seluruh warga masyarakat tanpa pandang agama, suku
atau golongan.
4. Perlu dilakukan
evaluasi dan kajian lebih dalam tentang manakah yang lebih dominan dalam
gerakan ini, antara charity atau aktivitas dakwah?.
5. Perlu dilakukan
reinterpretasi terhadap konsep dakwah, beneficiary dan charity.
Filantropi
Islam dalam pengentasan kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan umat,
mampukah? Dalam konteks ekonomi makro diyakini bahwa konsep filantropi untuk
saling berbagi memiliki dampak yang sangat luar biasa. Bahkan di barat sendiri
telah muncul pemikiran dan terbukti dengan penelitian sebuah konsep yang
mendorong berkembangnya sharing economy atau gift economy, dimana perekonomian
harus dilandasi oleh semangat berbagi dan memberi ini dicetuskan oleh Yochai
Benkler seorang professor dari Universitas Yale USA. Sebagai contoh kinerja
karyawan yang mendapatkan bonus atau reaward jauh lebih baik dibanding dengan
karyawan yang tidak pernah mendapatkannya.
Imam
Ghazali meng-analogikan uang itu seperti aliran darah yang harus bergerak dan
berputar. Pada saat darah tersebut berhenti berputar dan terjadi penyumbatan
maka akan mempengaruhi kondisi badan dan di situ penyakit akan berkembang.
Begitu pula yang akan terjadi dengan uang apabila pertumbuhannya tidak dibarengi
dengan pertumbuhan di sector rill. Ini lah yang mengakibatkan krisis financial
itu terjadi.
Sedangkan
dengan adanya zakat atau share economy memungkinkan terjadinya
distribusi pendapatan, ketika seorang muzaki menunaikan kewajibannya
dalam berzakat maka distribusi kekayaan (jumlah uang) berpindah kepada
mustahik, sehingga mustahik-pun menaikkan demand –nya atas barang.
Sedangkan di sisi muzaki (yang memiliki dana) dia akan melakukan investasi
karena sector rill tumbuh, maka akan menggeser agregat supply juga, hal
ini menyebabkan kuantitas barang dan jasa pun akan meningkat juga. Di sisi
makro ekonominya, PDB kita akan meningkat dan memberikan kesejahteraan bagi
kedua belah pihak.
Ini
telah dibuktikan ketika khalifah Umar bin Khatab mengutus Muadz bin Jabal ke
Yaman, beliau hanya menghabiskan waktu sekitar 11 tahun untuk mengubah
perekonomian masyarakat negeri itu sampai pada kesejahteraan. Indikasinya
adalah masyarakat di sana tidak tidak ada lagi yang berhak menrima zakat.
Ketika ia datang ke Madinah dengan membawa harta zakat, ia sempat mendapat
protes dari umar r.a. “Aku tak mengutusmu sebagai penarik zakat Yaman untuk
dibawa ke Madinah”. Muadz menjawab, “aku tidak lagi mendapati penduduk Yaman
yang menjadi mustahik”.
Begitu
pula di zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat merupakan tolak ukur
kemakmuran dimana pada saat itu tidak di temukan seorang pun yang mau menerima
zakat atau menjadi mustahik. Maka dapat disimpulkan bahwa jika jumlah mustahik
lebih kecil (semakin kecil) dari jumlah muzaki, maka Negara semkain makmur dan
jika jumlah mustahik lebih besar dari jumlah muzaki maka Negara tersebut semakin
miskin.
Filantropi
dalam Islam dikenal dengan zakat, Infak dan Shadaqah yang sudah mengakar dan
berkembang diberbagai belahan dunia.
Di
Indonesia Filantropi Islam telah tumbuh dan mengakar sejak Islam masuk ke
Indonesia. Bentuknya masih tradisional yakni penderma langsung memberikan derma
(zakat, infak, shadaqah) kepada penerima derma (dalam Al-Qur’an disebutkan ada
8 Asnaf). Belum ada usaha pengelolaan derma secara kelembagaan di dalamnya.
Pada
perjalanannya, filantropi Islam dalam bentuk zakat dan sedekah telah ikut
berjasa dalam mendanai perjuangan melawan penjajahan kolonial belanda.
Filantropi Islam untuk kemerdekaan tidak hanya mewujud dalam
sumbangan-sumbangan dadakan, tapi juga dikelola secara kelembagaan. Misalnya
kas wakaf kemerdekaan central Sarekat Islam yang didirikan pada tahun 1918;
atau yayasan zakat Fonds sabilillah, yang didirikan tidak lama setelah
kemerdekaan (1947).
Menurut penulis, dakwah
transformatif adalah upaya mentransformasikan nilai-nilai normatif ajaran agama
dalam aspek kehidupan bermasyarakat dengan mengedepankan; kontektualitas ajaran
agama, toleran, progresif, menghargai tradisi dan memberdayakan.
KESIMPULAN
Menurut hemat penulis, setidaknya Filantrhropi Islam memiliki 3 dimensi, pertama, dimensi spiritual. Filanthropi membuktikan ke-taqwaan dan ke-imanan seorang hamba kepada Tuhan-Nya, sekaligus sebagai instrument purifikasi dan pensucian jiwa dari penyakit ruhani (Q.S 9:103). Kedua, dimensi sosial. Dimana filanthropi ini berupaya dalam membangun harmonisasi sosial, rasa sayang dan cinta akan tumbuh dalam tatanan masyarakat yang pada akhirnya menciptakan kekuatan persaudaraan sebagai bentuk reduksi akan konflik yang selama ini terjadi. Ketiga adalah dimensi ekonomi, yang berimplikasi pada kesejahteraan kaum duafa dan distribusi pendapatan. Sehingga keadilan dan kesejahteraan bukan hal yang utopis lagi. Inovasi filantrhopi seperti itulah yang perlu dilakukan oleh para pengembang masyarakat Islam agar kesejahteraan masyarakat muslim di Indonesia terwujud. Perlu kerja keras yang lebih juga pola berpikir yang kreatif dan inovatif dan juga perjuangan yang panjang untuk mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi melihat potensi Filantropi Islam yang demikian dahsyatnya maka patutlah kita memiliki optimisme yang besar demi terwujudnya masyarakat muslim yang sejahtera.
Menurut hemat penulis, setidaknya Filantrhropi Islam memiliki 3 dimensi, pertama, dimensi spiritual. Filanthropi membuktikan ke-taqwaan dan ke-imanan seorang hamba kepada Tuhan-Nya, sekaligus sebagai instrument purifikasi dan pensucian jiwa dari penyakit ruhani (Q.S 9:103). Kedua, dimensi sosial. Dimana filanthropi ini berupaya dalam membangun harmonisasi sosial, rasa sayang dan cinta akan tumbuh dalam tatanan masyarakat yang pada akhirnya menciptakan kekuatan persaudaraan sebagai bentuk reduksi akan konflik yang selama ini terjadi. Ketiga adalah dimensi ekonomi, yang berimplikasi pada kesejahteraan kaum duafa dan distribusi pendapatan. Sehingga keadilan dan kesejahteraan bukan hal yang utopis lagi. Inovasi filantrhopi seperti itulah yang perlu dilakukan oleh para pengembang masyarakat Islam agar kesejahteraan masyarakat muslim di Indonesia terwujud. Perlu kerja keras yang lebih juga pola berpikir yang kreatif dan inovatif dan juga perjuangan yang panjang untuk mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi melihat potensi Filantropi Islam yang demikian dahsyatnya maka patutlah kita memiliki optimisme yang besar demi terwujudnya masyarakat muslim yang sejahtera.
REFERENSI
Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in
Indonesia (Leiden-Boston: Brill, 2013)
Azyumardi Azra, Transformasi Jihad
Menuju Aksi Penanggulangan Kemiskinan, dalam Kata Pengantar Buku, Bachtiar
Chamsah, Teologi Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta: Rakyat Merdeka Books, 2007.
Al-Andang, Dkk, Keadilan Sosial:
Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2004.
Bachtiar Chamsyah, Teologi
Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta: Rakyat Merdeka Books, 2006., CET. 1.
Chaidar S Bamuallim dan Irfan Abu
Bakar (Ed), Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan
Wakaf di Indonesia, (Pusat Bahasa dan Budaya: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2005)
Hilman Latief, “Filantropi Islam: Telaah terhadap Pertumbuhan
Organisasi-organisasi Amal di Indonesia Pasca Orde Baru”. dosen pada
Fakultas Agama Islam UMY dan sedang menyelesaikan S3 nya di Leiden University,
Belanda.
Hunsaker.J. and Hanzl B, Understanding
Social Justice Philanthropy, National Commitee for Responsive Philanthropy,
US, 2003. www.ncrf.org/PDF/ Understandingsoci ljusticephilanthropy.pdf.
M.Nadarajah, 'Making Sense of
Philanthropy" dalam buku, A Giving Society, the State of
Philanhropy in Malaysia, Edited by Josie M.F & Abdul Rahim Ibrahim,
Malaysia: Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2000.
Kusmana
(ED), Bunga Rampai Islam dan Kesejateraan Sosial, (Jakarta: PIC UIN
Jakarta,2000) Cet, 1.
Zaim
Saidi, dkk, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial, Depok: Piramedia, 2006,
cet. 1.
[14]Pada Senin, 16 April 2012, Institut DIAN/Interfidei kembali
menyelenggarakan Diskusi Bulanan dengan tema “Filantropi Islam: Telaah
terhadap Pertumbuhan Organisasi-organisasi Amal di Indonesia Pasca Orde Baru”.
Diskusi ini menghadirkan pembicara Hilman Latief, dosen pada Fakultas Agama
Islam UMY dan sedang menyelesaikan S3 nya di Leiden University, Belanda.
[20]sumber:
press release PIRAC mengenai pola dan potensi sumbangan masyarakat tahun 2007
[23]Paulo
Alman, Revolutionary Social
Transformation: Democratic Hopes, Political Possibilities and Critical
Education (London: Bergin & Garvey, 2001), Second Edition, h.1 Authentic social transformation is never a
sudden even. It is process through which people change not only their
circumstances but themselves and social transformation involve levels of human existence.
[28] Kuntowijoyo, Pengantar Antropologi (Jakarta: UI
Press, 1998), Cet. 3. h. 3.
[30]Kuntowijoyo, Paradigma.., h.347.
[31]Lihat Q.S. 34: 15.
[32]Ali Nurdin, Dakwah Transformatif: Pendekatan Dakwah Menuju Masyarakat Muttaqîn, Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 8 No. 2
Oktober 2003, h.24-32. lihat juga, Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris:
Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: P3M, 2004), cet. I. Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997),
Cet.3. Imaduddin Abdurrahman, Islam Pribumi (Bandung: ITB Salman, 1999), cet. 1.
Syahrin Harahap, Islam Dinamis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997)., cet. 1. h. 25
[33]Musthafa Hamidi, et.al),
Dakwah Transformatif (Jakarta: Lakpesdam NU, 2006), Cet.1.h. 4
[37]Musthafa Hamidi, et.al,,
Dakwah..h. 7, lihat juga,
Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual: Refleksi Seorang Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1998), cet. X. Jalaluddin Rahmat, Islam
Alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus
(Bandung: Mizan,
1998), cet. IX. M. Bambang Pranowo, Islam Faktual antara Tradisi dan Relasi
Kuasa (Yogyakarta: Adicita,
1999).
[40] Q.S. al-A'râf: 157, Artinya: orang-orang yang mengikuti rasul seorang
nabi yang ummi yang mereka jumpai tertulis dalam kitab Taurat dan Injil mereka,
nabi menyeru pada kebaikan dan melarang kepada hal-hal yang munkar,
menghalalkan apa-apa yang baik, dan mengharamkan segala sesuatu yang keji dan
meringankan beban dan kesulitan yang mereka alami sebelumnya. Adapun
orang-orang yang beriman dengannya, menjunjung tinggi, dan menolong nabinya
sekaligus mengikuti al-Qur’an yang diturunkan beserta Nabi, merekalah
orang-orang yang beruntung.
[41] Untuk teori komunikasi lansung (oral
communication) dapat dilihat pada buku, Stepehen W. Litteljohn & Karen
A. Foss, Theories of Human Communication (Belmots:Thomson Wadsworth, 2005), Eight Edition. h.154. Lihat juga, Josep. A. Devito, Human Communication The Basic Course
(New York: HarperCollins
Publisher,1991), 5th Edition, h. 92.
[42]Pembacaan seperti ini penulis sadur dari
berbagai macam referensi tentang dakwah, seperti dalam buku, Jum'ah Amin Abdul
Aziz, al-Da'wah Qawaîd wa Ushûl (Mesir: Dar al-Mishriyah),ttp. h.123.
yang menjabarkan tiga hal yang dicakup dalam dakwah. Pertama, membangun
masyarakat islami (ta'sis al-mujtma' al-islâmy). Kedua, melakukan
restorasi pada masyarakat Islam (al-ishlâh fi mujtama'al-muslimah). Ketiga, kesinambungan dakwah pada
masyarakat Islam (istimrâr al-da'wah fi al-mujtmi'at al-qâimah bi al-haq).
[43] M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan
Muslim Orde Baru (Jakarta:
Paramadina, 1995), cet. 1, h. 162.
[44]M. Dawam Raharjo, “Ilmu Sejarah Profetik dan
Analisis Transformatif, Pengantar buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi
Suntingan A.E. Priyono (Bandung:
Mizan, 1991), h.11-19.
Luar biasa pak.doktor.👍👍👍
ReplyDelete