Monday, September 14, 2015

DAKWAH TRANSFORMATIF DAN FILANTROPI ISLAM: PELUANG DAN TANTANGAN DALAM MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT



OLEH:
DR.H.FAHRURROZI, MA[2]

ABSTRAK
Dari sudut teologis maupun sosiologis, agama memainkan peranan penting dalam keterlibatannya pada perwujudan keadilan sosial, dengan kewajiban menegakkan keadilan yang konkrit dalam ranah sosial,  suatu keterlibatan serius bersama masyarakat dhuafa. Filantropi (kedermawanan) Islam, seringkali dihayati dan dipahami terbatas pada pengertian normatif saja, belum secara efektif terwujud dalam gerakan-geraan sosial yang terorganisir dengan manajemen yang baik. Kemandirian lokal dalam kerangka pembangunan adaptif kreatif menghajatkan upaya menemukenali dan merumuskan konsepsi pembangunan dari khazanah lokal yang tersedia. Salah satu komponen dasar khazanah lokal adalah agama, baik dalam wujud teologis, spiritual, kaidah normatif, maupun tradisi luhur yang berkembang dalam komunitas agama. Salah satu aspek kontributif agama yang sangat relevan dan dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial adalah ajaran tentang filantropi (kedermawanan), terutama berkenaan dengan konsep-konsep tentang zakat, infak, dan sedekah. Kajian ini mencoba menawarkan Strategi konprehensif tentang Dakwah Transformatif melaui filantropi Islam di Indonesia, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan nilai ekonomis dan efektivitas melalui manajemen yang berkualitas dan profesional. Apalagi bagi masyarakat di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.


DAKWAH TRANSFORMATIF DAN FILANTROPI ISLAM:
STRATEGI  DALAM MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT

EPISTEMOLOGI FILANTROPI
          Secara etimologi filantropi berarti “cinta kepada kemanusiaan” atau “charity” atau sering diterjemahkan dengan “kedermawanan”. Secara filosofis, filantropi, sedikit berbeda dengan tradisi memberi dalam Islam [seperti zakat, infaq maupun shadaqah]. Filantropi  lebih bermotif moral yakni berorientasi pada ‘kecintaan terhadap manusia’, sementara dalam Islam, basis filosofisnya adalah ‘kewajiban’ dari ‘Yang di Atas’ untuk mewujudkan keadilan sosial di muka bumi.[3]
Filantropi Islam: perintah dalam berdema Filantropi (Philantropy) berasal dari bahasa Yunani: philos berarti ‘cinta’ dan antropos, ‘manusia’. Cinta kepada manusia terpatri dalam bentuk pemberian derma kepada orang lain, khususnya yang bukan sanak keluarga sendiri. Filantropi dalam arti pemberian derma bisa juga dipertukarkan dengan istilah karitas (charity). Namun, di beberapa Negara terdapat kecenderungan akan perbedaan di antara keduanya. Karitas bersifat santunan, sedangkan filantorpi lebih berkonotasi kedermawanan yang memiliki orientasi pemberdayaan jangka panjang dan dilakukan secara berkesinambungan.[4]
M. Naradjah mendefinisikan filantropi dari perspektif sosiologis sebagai  an expression of our sympathetic/ compassionate sense, born out of our sociability, and it is directed at those in need of help.  Definisi yang akar katanya Loving People ini dalam perkembangannya telah bergeser menjadi satu tindakan filantropik yang berorientasi pada tujuan-tujuan publik.[5]   
Filantropi Islam dalam hal ini bisa diartikan sebagai kegiatan, baik dilakukan oleh sebuah lembaga maupun komunitas, yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, diantaranya melalui kegiatan ‘memberi’.

PERSOALAN KESENJANGAN SOSIAL
BPS tahun 2012 mencatat bahwa angka kemiskinan di Indonesia mencapai 28,09 Juta orang atau sekitar 11,37 %. Sedangkan untuk standar hidup di Indonesia sebesar Rp 259.520 per-bulan, setengahnya dari standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia yaitu 2 dolar/hari, tingkat kedalaman kemiskinan pada September 2012 mencapai 0,61 point, yang berarti semakin melebarnya kesenjangan dan juga semakin rendahnya daya beli dari masyarakat kelompok miskin karena ketidakmampuan mereka memenuhi basic needs-nya. Sedangkan pada akhir tahun 2012 Indeks  Indonesia mencapai 0,41 point . Data ini pun mengisyaratkan berbagai ketidakoftimalan pemerintah; mulai dari tersendatnya perbaikan struktur ekonomi, terbatasnya penyedia lapangan pekerjaan dan sulitnya meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan.
Kita miris dengan yang terjadi di negeri yang mayoritas muslim ini, padahal Allah yang telah memberi Indonesia ini anugerah yang luar biasa dengan kekayaan alamnya yang melimpah, hasil migas, perkebunan karet, kelapa sawit, hasil perikanan dan kelautannya serta yang tak kalah pentingnya Indonesia memiliki iklim tropis dengan matahari yang selalu menyinar sehingga memungkinkan rakyat Indonesia untuk bercocok tanam sepanjang tahun.
Namun itu semua belum dapat dirasakan untuk semua lapisan masyarakat, kemakmuran dan kehidupan yang layak masih bersifat utopis bagi rakyat kecil, yang menikmati itu semua adalah pengusaha dan penguasa selebihnya hanya sebagai penonton. Sebuah paradoks memang, dengan kekayaan yang begitu melimpah namun Negara belum bisa menciptakan kesejahteraan di negeri tercinta ini. Rasanya tidak berlebihan memang dengan pepatah “tikus mati di lumbung padi”. Padahal, amanat UUD 1945 sudah sangat jelas termaktub dalam pasal 33 ayat 3 berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Ketidakoftimalan negera dalam hal ini pemerintah dalam membangun kesejahteraan yang menyeluruh, menimbulkan pemikiran dan gerakan baru dalam tatanan masyarakat sosial (civil society) untuk lebih memberdayakan dan menggali potensi yang dimiliki masyarakat sebagai alternatif kekuatan baru dalam menciptakan kemakmuran. Atas dasar itu maka lahirlah semangat untuk berbagi dan saling tolong menolong dan menjadikan filantropi sebagai kekuatan yang tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat tanpa harus bergantung pada pemerintah.
Berdasarkan hasil survei pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama tahun 2004 menunjukkan bahwa nyaris semua masyarakat muslim Indonesia yakni 96 % pernah berderma.  Nilainya bervariasi, ada yang kecil, sedang dan besar. Kalau ditotal, ternyata rupiah yang dizakat-sedekahkan mencapai 19,3 triliun per tahun. Sebuah angka yang fantastis. Akan tetapi perkiraan angka ini belum berhasil mengatasi kemiskinan di Indonesia yang mencapai 14,15 % (BPS: Maret 2009). Filantropi Islam di Indonesia masih berkutat pada hal yang sifatnya ritual vertikal, yakni dana filantropi Islam baru ditujukan untuk pembangunan masjid, madrasah, pengadaan tanah untuk kuburan, dan lain-lain.[6]
Dan seringkali filantrophi Islam diberikan langsung oleh pendermanya dalam bentuk uang tunai yang sifatnya charity. Yang terjadi adalah masyarakat miskin berebut dan rela berdesak-desakkan demi sejumlah uang sedekah yang nominalnya tidak begitu besar. Dana hasil filantropi Islam belum secara optimal diarahkan untuk mendukung upaya-upaya pemberdayaan umat di Indonesia. Hampir semua NGO atau LSM di Indonesia masih mengandalkan bantuan funding dan pemerintah untuk menjalahkan program programnya.
POTENSI FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA.
Potensi Filantropi Islam sangat layak untuk digali dan juga dikembangkan untuk mendukung upaya-upaya pengembangan masyarakat Islam dalam rangka mensejahterakan masyarakat muslim di Indonesia juga di dunia. Hal ini sejalan dengan rumusan model pengembangan masyarakat Islam yang dilakukan oleh tim Islamic Community Development model Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yakni Mengutamakan penggunaan dana yang bersumber dari dana filantropi Islam seperti Zakat Mal, Zakat Fitrah, Infak atau Sadaqah.[7]
Sebagai contoh Pada tahun 2006 Gerakan Wakaf Pohon sebuah lembaga filantropi Islam yang menyalurkan dananya untuk perbaikan lingkungan telah berhasil menyelenggarakan peningkatan kapasitas masyarakat desa hutan dengan menggalang barang bekas di sejumlah sekolah yang kemudian dananya digunakan untuk menyelenggarakan pelatihan budidaya lele sebagai upaya peningkatan kapasitas masyarakat desa.
Filantropi Islam Indonesia dalam bentuk ziswaf (zakat, infaq, sedekah, wakaf) memiliki potensi sangat besar. Belakangan ini berbagai kalangan memperkirakan, potensi ziswaf Indonesia mencapai sekitar Rp 217 triliun setiap tahun.
Meski realisasinya masih jauh daripada potensi itu, ziswaf yang terus bertumbuh kian menjadi ‘rebutan’ di antara berbagai lembaga. Sejak dari amir masjid di masjid lingkungan pertetanggaan, ormas Islam, LSM kolektor-distributor, sampai pada pemerintah.
Adanya tarik tambang antara pihak-pihak tersebut terlihat dari judicial review UU No 23 Tahun 2011 tentang Zakat ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan LSM kolektor-distributor ziswaf pada 2011. Koalisi LSM yang bergerak dalam pengelolaan dana ziswaf —yang dapat dikatakan sebagai representasi civil society— menggugat UU yang memberikan otoritas dan wewenang terlalu besar kepada Baznas. Mereka memandang hal itu dapat mengancam eksistensi lembaga pengumpul dan distribusi ziswaf yang telah relatif sukses dalam menggali dan meningkatkan realisasi dana ziswaf sejak 1990-an.
Isu seperti ini terkait banyak dengan perkembangan historis filantropi Islam Indonesia di masa silam. Karena itu, karya  Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden-Boston: Brill, 2013) memiliki signifikansi khusus. Buku ini merupakan karya komprehensif pertama tentang sejarah filantropi Islam Indonesia sejak masa awal Islamisasi Nusantara pada abad ke-13, melintasi masa kerajaan-kesultanan Islam, penjajahan Belanda, dan masa pascakemerdekaan, termasuk masa kontemporer.[8]
Menyimak literatur tentang filantropi Islam umumnya, bahkan kelihatan belum ada karya komprehensif semacam ini untuk negara Muslim lain, apalagi untuk dunia Islam secara keseluruhan. Seperti dikemukakan Profesor MC Ricklefs dalam pengantarnya; “karya ini merupakan kajian sejarah otoritatif dengan topik sangat penting yang terus relevan untuk masa depan yang dapat dibayangkan.”[9]
Kontestasi kelihatannya bakal terus mewarnai sejarah filantropi Islam Indonesia hari ini dan masa datang. Keadaan seperti ini jelas terlihat di masa silam. Kontestasi tersebut jelas banyak terkait dengan hal hubungan dan peran negara dalam filantropi Islam. Amelia menyimpulkan terdapat kontestasi di antara tiga kelompok besar umat dalam kaitannya dengan posisi negara tersebut.[10]
Pertama, kalangan umat atau lembaga Islam yang mendukung kontrol negara terhadap agama —dalam hal ini filantropi Islam. Kedua, mereka yang menentang campur tangan dan institusionalisasi filantropi oleh negara. Dan ketiga, mereka yang ingin memelihara filantropi tetap berada di tangan aktor-aktor nonnegara, tetapi pada saat yang sama menuntut dukungan negara.
Adanya kontestasi itu di masa sekarang atau masa pascakemerdekaan secara keseluruhan, terkait tidak hanya dengan perbedaan pandangan di kalangan umat Islam tentang hubungan antara agama dan negara, tetapi juga dengan sifat negara Indonesia. Menurut Amelia —yang sepenuhnya didukung Ricklefs— dalam masa Indonesia modern, hubungan antara negara dan agama memperlihatkan posisi unik. Negara Indonesia pada dasarnya bersikap ‘tidak peduli’ (indifferent) terhadap agama karena menganggapnya lebih banyak sebagai ikhwal pribadi. Negara Indonesia tidak mengambil dua bentuk hubungan lain dengan agama: pertama, menjadikan agama sebagai basis ideologis; dan kedua, memusuhi agama. Meski bersikap indifferent terhadap agama, Indonesia mengakui eksistensi agama tanpa menyebut agama tertentu -khususnya Islam sebagai agama mayoritas-sebagai dasar atau ideologi negara. Namun, Islam menjadi tetap faktor penting karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Dinamika dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Muslim dan negara bagaimanapun memunculkan nuansa baru dalam hubungan antara negara dan agama.[11]
Perubahan itu terlihat jelas sejak masa paroan kedua rezim Orde Baru. Seperti disinggung Ricklefs, sejak berkuasa, presiden Soeharto percaya agama dapat dia gunakan sebagai alat kontrol sosial dan agenda antikomunis. Meski demikian, dalam paroan pertama kekuasaannya, banyak kalangan umat merasakan kebijakan Soeharto yang tidak bersahabat kepada Islam. Barulah dalam paroan kedua kedua kekuasaannya, khususnya sejak 1990-an, presiden Soeharto mengambil langkah rekonsiliatif dengan umat Islam.[12]
Perubahan sikap dan kebijakan presiden Soeharto menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan filantropi Islam. Soeharto sendiri memprakarsai usaha filantropi Islam yang kemudian terbukti menjadi salah satu warisan (legacy) pentingnya, yaitu Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP) yang memungut dana Rp 1.000 dari setiap PNS dan anggota ABRI beragama Islam, yang selanjutnya digunakan untuk membangun masjid dan kegiatan dakwah.
Dengan demikian, negara seperti diwakili presiden Soeharto secara ‘tidak resmi’ telah mengambil peran penting dalam filantropi Islam. Pada saat yang sama kemajuan pendidikan dan ekonomi umat menghasilkan peningkatan potensi dana filantropi Islam Indonesia. Ini mendorong munculnya LSM advokasi filantropi Islam yang memunculkan berbagai kisah sukses.
Di Indonesia keberadaan gerakan ini lahir pada tataran ‘grees root’ sejalan dengan semangat dakwah Islam melalui ormas-ormas keagamaan diantaranya yang terbesar adalah Nahdatul Ulama dan Muhamadiyah. Pada masa kolonial filantropi digunakan sebagai perlawanan atas penguasa penjajah dan berjasa dalam mendanai perjuangan merebut kemerdekaan. Sedangkan dewasa ini kekuatan filantropi lebih berdaya pada saat dikelola oleh institusi institusi sosial yang lebih profesional sebagai inisiator lahirnya kemandirian dan menciptakan kesejahteraan bagi kaum lemah. Lembaga seperti ini sudah sangat mudah kita contohnya saja dompet duafa dan rumah zakat.
Belas asih yang terwujud dalam bentuk pemberian ini tidak hanya kita temukan dalam Islam saja namun dalam ajaran agama lain pun kita dapat jumpai, contohnya dalam ajaran Hindu dikenal dengan datria datriun yang konsepnya sama seperti zakat ada mustahik dan ada muzaki, sedangkan dalam ajaran Budha di kenal dengan istilah Suta nipatha (etika dalam memberi), dalam agama Yahudi dikenal dengan Ma’sartu atau mas’er (pemberian kepada rumah ibadah atau pemberian seorang raja kepada pegawainya) dan Nasrani menggunakan istilah Tithe (1/10 dari pendapatan yang harus diberikan pada gereja).
Walaupun hampir di setiap agama memiliki konsep dalam berderma namun sejujurnya hanya dalam agama Islam ajaran berderma ini lebih detail dan sistematik. Dalam Islam kita dapat mengenal lewat instrument-instrument filantropi yang ada yaitu seperti zakat, Infaq, Shadaqoh, Wakaf dan hibah. Namun hanya zakat yang derajatnya lebih tinggi dari yang lainnya, karena perintah zakat selalu berdampingan dengan perintah shalat (Q.S Al-Baqarah:43) dan bagi seorang muslim zakat merupakan sebuah kewajiban (Q.S At taubah: 103). Sedangkan aktivitas berderma selain zakat hanya bersifat sunnah.[13]
Dalam konteks Indonesia kelahiran organisasi-organisasi [NGO] amal keagamaan ini dilatarbelakangi paling tidak dua krisis yakni krisis politik dan krisis ekonomi. Lembaga-lembaga filantropi Islam muncul untuk menanggapi kegagalan pemerintah dalam melayani seluruh warganya dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Karena krisis tersebut maka perlu adanya sebuah gerakan untuk menggalang dana dari masayarakat [zakat, infaq dan shadaqah] dalam rangka menolong masyarakat itu sendiri.[14]
Bila kita telusuri sejarah filantropi di Indonesia, kita dapat menemukan tiga arus utama yang mempengaruhi perkembangannya hingga mencapai bentuknya yang sekarang. Tiga arus utama ini adalah filantropi tradisional, kemunculan dan perkembangan organisasi masyarakat sipil (OMS) dan pembentukan filantropi dunia usaha dan organisasi penyandang dana yang disebut sebagai organisasi sumber daya masyarakat sipil (OSMS). Unsur terkuat filantropi tradisional bersumber dari agama, baik Islam maupun Kristen. Filantropi keagamaan ini di Indonesia terkait dengan kegiatan-kegiatan dakwah dan misionari dalam bentuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.[15]
Gerakan filantropi Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup menarik dan signifikan terutama Pasca Orde Baru. Hal tersebut dapat dipahami menurut Hilman, karena pada era pasca Soeharto terdapat beberapa fenomena yang mendorong munculnya lembaga-lembaga amal berbasis keagamaan seperti adanya suasana politik yang baru dan lebih terbuka, terjadinya beberapa konflik komunal dan beberapa peristiwa bencana alam yang cukup besar [seperti gempa, tsunami dan letusan gunung Merapi].[16]  
Filantropi Islam di Indonesia termasuk fenomena baru, maka proses-proses advokasi belum menjadi prioritas lembaga-lembaga tersebut. Sehingga bukan menjadi suatu masalah ketika mereka bekerjasama dengan perusahaan besar yang notabene merugikan masyarakat dan negara seperti Freeport.
Di Indonesia sendiri, filanthropi Islam, mulai menguat dalam pelbagai bentuknya kira-kira pada abad ke-19 M, ditandai dengan pertumbuhan madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren. Sebelum abad ke-19 M, sebetulnya filantropi sudah ada di kalangan istana; seperti Kesultanan Aceh dan Mataram. Pada awal abad ke-20 M, sekolah-sekolah Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU)  dan sejenisnya, termasuk organisasi-organisasi besar seperti Jamiah al-Khair, dan Serikat Islam, sangat terkait dengan Philanthrophisme itu.[17]
Dalam konteks masyarakat plural seperti di Indonesia, gerakan filantropi Islam dituntut untuk mampu bekerjasama dengan lembaga kemanusiaan berbasis agama-agama lainnya. Usaha ke arah sana sudah ada dengan dibentuknya HFI [Humanitarian Forum Indonesia], sebuah forum yang terdiri dari MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center), YTBI( Yayasan Tanggul Bencana Indonesia), YEU (Yakkum Emergency Unit), Dompet Dhuafa, Karina KWI, WVI (Wahana Visi Indonesia), PPKM [Perhimpunan Pemberdayaan Keberdayaan Masyarakat], PKPU dan  CWS [Church World Service].
Beberapa lembaga Filantropi Islam yang muncul dan berkembang sampai sekarang:
1.       Dompet Dhu’afa [Republika]
2.      Rumah Zakat
3.      LazizNU [Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqah Nahdatul Ulama]
4.      LazisMU [Lembaga Amil Zakat dan Shodaqah Muhammadiyah]
5.      Dewan Da’wah Infaq Club
6.      BSMI [Bulan Sabit Merah Indonesia]
7.      PKPU [Pos Keadilan Peduli Umat]
Adapun kegiatan-kegiatan dari lembaga-lembaga tersebut, menurut Hilman, kelihatannya masih terkonsentrasi pada aspek-aspek yang populis dengan membuat program-program untuk penyantunan, perbaikan tempat ibadah, pemberdayaan ekonomi, pelayanan kesehatan, atau juga pemberiaan beasiswa untuk anak-anak kurang mampu.
Dalam penelitiannya, Hilman menyimpulkan bahwa filantropi Islam di Indonesia merupakan fenomena masyarakat muslim kelas menengah ke atas. Lembaga-lembaga yang muncul biasanya diawali dengan kegiatan-kegiatan dakwah atau majlis ta’lim seperti yang terjadi di Jakarta, Bandung dan Surabaya, yang kemudian berkembang menjadi aktivisme sosial Islam dengan membentuk lembaga-lembaga amal. Kelas menengah dalam hal ini meliputi baik pelaku, institusi maupun pendukungnya. Perlu diberi catatan bahwa aktivis mahasiswa cukup mewarnai lembaga filantropi Islam di Indonesia.
Karena fenomena middle class inilah Filantropi Islam di Indonesia memiliki beberapa trend yang cukup menarik:
1.    Organisasinya semakin modern. Secara kelembagaan sudah terstruktur dengan rapi dari mulai tingkat pusat sampai tingkat cabang di hampir seluruh Indonesia dan rata-rata mereka mempunyai sistem informasi yang bisa diakses masyarakat, sehingga akuntabilitas kelembagaan terjaga dengan baik.
2.    Volunteer yang professional. Para sukarelawan yang ada di lembaga-lembaga tersebut merupakan para professional yang ahli di bidangnya masing-masing seperti dokter, perawat, dan lain-lain.
3.    Semakin banyak dan semakin kuat. Karena kelembagaannya yang sudah solid dan didukung oleh kalangan professional, maka lembaga-lembaga amal ini semakin hari semakin berkembang baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.
4.    Semakin mendapatkan tempat dan dukungan yang kuat baik di kalangan masyarakat dan juga pemerintah.
5.    Lembaga-lembaga amal seperti ini muncul tidak hanya di tingkat lokal/nasional [seperti lembaga-lembaga yang disebutkan di atas], tetapi juga di tingkat internasional dalam bentuk humanitarian aid dan kelompok-kelompok solidaritas seperti Komite Nasional untuk Rakyat Palestina, KISPA [Komite Indonesia Untuk Solidaritas Palestina], dan lain-lain.
6.    Mendapatkan dukungan financial dari perusahaan-perusahaan. Meskipun sumber dana masih didominasi dari perolehan zakat, infaq dan shadaqah, namun karena banyaknya dan luasnya jaringan kelas menengah ini, maka mereka juga mampu menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan besar, seperti BP Migas, Freeport, KFC, Exxon Mobil, Epson, Telkomsel, dll. Dalam hal ini pihak perusahaan juga cukup terbantu dalam menjalankan program tanggungjawab sosialnya [CSR: Corporate Social Responsibility]. Berbeda dengan kegiatan-kegiatan LSM yang lebih berorientasi jangka panjang, kegiatan lembaga-lembaga filantropi Islam lebih popular dan cenderung bersifat karitatif [short term] sehingga sangat disukai oleh perusahaan-perusahaan karena hasilnya kasat mata dan bisa diukur dengan jelas.
Bila kita berbicara mengenai potensi maka akan terbayang dana yang fantastic besar jumlahnya. Contohnya saja zakat, sudah banyak lembaga penelitian yang mencoba untuk melakukan survey dan risert mengenai potensi penghimpunan zakat di Indoensia. Rentan tahun 2004-2007 beberapa lembaga me-releas potensi zakat Indoensia, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) potensi zakat sebanyak 9,09 Triliun, selain itu menurut perhiungan FOZ (Forum Zakat) potensinya sebesar 17,5 Triliun. Pusat Budaya dan Bahasa UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama dengan The Ford Fondations mengatakan potensi ZIS di indoensia mencapai 19,3 Triliun setiap tahunnya. Sedangkan menurut Habib Ahmed melalui lembaga IRTI-IDB mengatakan bahwa potensi zakat tahun 2010 mencapai angka 100 triliyun.[18]
Selanjutnya, di tahun 2011 Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan ADB (Asian Development Bank) menyebut potensi zakat Indonesia sebesar 217,3 triliun rupiah. Sementara jumlah zakat yang terhimpun oleh BAZNAS pada tahun 2012 sekitar 2,3 triliun rupiah. Terlepas dengan jumlah angka yang berbeda beda, kita dapat berkesimpulan bahwa adanya jurang pemisah antara das sein dan das sollen, antara potensi zakat sangat begitu besar dengan realitas penghimpunan zakat yang relative masih kecil di Indoensia.
Selain zakat kekuatan yang begitu besar pada filantropi ada pada wakaf di negeri ini. Merujuk pada data Departemen Agama (Depag) RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656,68 m2 atau sekitar 268.653,67 Ha atau 3,5 kali lebih luas dari Negara Singapura. Adapun tanah wakaf ini tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Jumlah tanah wakaf yang besar ini merupakan harta wakaf terbesar di dunia. Sayangnya, tanah wakaf tersebut sebagian besar baru dimanfaatkan untuk kesejahteraan masjid, kuburan, panti asuhan, dan sarana pendidikan. Dan hanya sebagian kecil yang dikelola ke arah lebih produktif. Ini diperkuat dengan hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006, terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi. Penelitian itu menunjukkan, harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Berarti, tanah wakaf yang demikian besar itu tentunya belum memberikan manfaat produktif, tapi masih dipergunakan untuk kepentingan yang bersifat konsumtif. Padahal, bila digunakan untuk kepentingan produktif, tanah wakaf seluas 268.653,67 ha itu tentu akan memberikan manfaat yang lebih besar, seperti rumah sakit, pusat bisnis, pertanian, perkebunan, dan lain-lain. Itu belum termasuk potensi wakaf benda tak bergerak, misalnya wakaf uang.[19]
Data di atas dapat terwujud, karena tingkat kedermawanan (rete of giving) masyarakat Indoneisa sangat tinggi yang mencapai 99,6%, angka tersebut meng-indikasikan bahwa hampir seluruh responden yang disurvey setidaknya pernah berderma dalam satu tahun terakhir.[20]
Lembaga Negara vs Lembaga Swasta di Indonesia setidaknya kita memiliki 2 Undang Undang mengenai aturan dalam berderma, yaitu UU Zakat no 38 tahun 1991 yang di amandemen menjadi UU zakat no 23 tahun 2011 dan UU Wakaf No. 41 Tahun 2004. Pada kedua Undang Undang tersebut pemerintah hanya fokus pada regulasi dan aturan bagi otoritas penyelenggaranya saja namun tidak berupaya untuk memberikan aturan yang mengikat bagi muzaki yang tidak menunaikan kewajibannya.
Lahirnya UU Zakat memiliki sejarah yang panjang, tercatat mulai tahun 1951 diskursus mengenai boleh tidaknya hukum Islam masuk dalam peraturan perundang undangan mendapat perdebatan panjang hingga tahun 1999 penantian pun terbayarkan dengan lahirnya Undang Undang zakat no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat yang secara yuridis formal mengukuhkan peranannya di Masyarakat. Setelah berjalan kurang lebih 10 tahun masyarakat gerah dengan tidak maksimalnya pengelolaan zakat di tanah air, sehingga DPR mengamandemen UU zakat tahun 1999 itu dengan UU Zakat yang terbaru no. 23 tahun 2011, di sisi lain amandemen tersebut mengindikasikan terjadinya dualisme dalam pemungutan zakat baik oleh pemerintah maupun publik/swasta, sehingga menjadikan BAZ sejajar dengan LAZ, ini menimbulkan kompetisi di antara keduanya dalam menarik hati muzaki.
UU no. 23 tahun 2011 mengamanatkan bahwa pengelolaan zakat dilakukan secara sentralistik oleh negara dan menutup ruang publik untuk turut serta dalam pengelolaan zakat. Perlu disadari bahwa ketika zakat masuk dalam salah satu agenda hukum, kenyataan yang tidak dapat dielakkan adalah adanya persinggungan kepentingan antara publik dan pemerintah ini di buktikan dengan masih di gantungnya UU tersebut di Mahkamah Konstitusi terkait Judicial Review.
Hasil penelitian PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) Tahun 2004 Mengenai kecenderungan masyarakat dalam menyalurkan zakatnya Hubungan antara Negara dan swasta/publik dalam mengelola filantropi, dijelaskan oleh Amelia Fauzia di mana praktek filantropi merupakan indikasi dari keberadaan civil society. Ketika Negara lemah, filantropi tumbuh kembang kuat dan digunakan untuk menentang Negara. Ketika Negara kuat, civil society muslim cenderung lemah, walaupun masih bisa menggunakan aktivitas filantropi untuk perubahan sosial. Pengecualian terjadi pada masa colonial (negara kuat dan civil society-filantropi kuat).[21]
Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Azyumardi Azra menjelaskan bahwa dahulu Universitas Al Azhar di Mesir menjadi satu contoh filantropi Islam yang sangat luar biasa dengan harta wakafnya dan juga hasil-hasil usaha lainnya. Karenanya, Universitas Al Azhar menjadi sangat independen, bahkan anggaran belanja lembaga pendidikan Islam ini lebih besar dari anggaran belanja Negara Mesir sendiri. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 1961, pemerintah Mesir di bawah Presiden Naser melakukan nasionalisasi secara paksa atas sejumlah harta wakaf Al Azhar. Al Azhar pun kemudian dijadikan bagian dari struktur Negara, anggarannya ditetapkan dan diberikan oleh Negara. Sedangkan Syaikh Al Azhar di jadikan pejabat setingkat Perdana Mentri dan digaji oleh Pemerintah. Akibatnya al-Azhar tidak lagi menjadi lembaga independent atau menjadi kekuatan penyeimbang kekuasaan.[22]






DAKWAH TRANSFORMATIF MELALUI FILANTHROPI ATAU DAKWAH SOSIAL

Dakwah semestinya dipahami sebagai suatu aktivitas yang melibatkan proses transformasi dan perubahan (thathawwur wa taghayyur) yang memang tidak terjadi begitu saja tapi membutuhkan kesadaran dari masyarakat untuk merubah situasi dan kondisi mereka melalui pendidikan dan komunikasi yang berkelanjutan, hal ini berarti sangat terkait dengan upaya rekayasa sosial (taghyîr al-ijtimâ'iyyah)[23]. Sasaran utama dakwah adalah terciptanya suatu tatanan sosial yang di dalamnya hidup sekelompok manusia dengan penuh kedamaian, keadilan, keharmonisan di antara keragaman yang ada, yang mencerminkan sisi Islam sebagai rahmatan li al-âlamîn.[24]
Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari system nilai yang ada dan membudaya dalam masyarakat, lebih dari sekedar itu agama juga menjadi pendorong dan penggerak serta pengontrol bagi tindakan manusia agar dapat tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai moral dan ajaran-ajaran agamanya.[25]
Masyarakat kini tengah mengalami apa yang disebut transformasi sosial sebagai dampak dari arus modernisasi. Transformasi ini mendesak setiap anggota masyarakat untuk menguji kembali validitas beragam konvensi yang dilahirkan oleh lembaga-lembaga sosial dan kebudayaan dalam rangka survive dan revive. Transformasi ini juga memaksa setiap pemeluk agama untuk melakukan reorientasi terhadap pola penghayatan keagamaannya, dengan menafsirkan dan memaknai ulang format pemahamannya terhadap validitas tekstual kitab suci.[26]
Transformasi sosial merupakan tugas kerasulan terbesar dengan melakukan transformasi nilai-nilai Islam sebagai agama Tuhan yang normatif ke dalam bentuk perubahan sosial (social change) yang operasional. Dari teologi ke perubahan sosial (transformasi sosial). Sehingga pengaruhnya memiliki gema yang menggelegar dan cahaya yang menyinari seluruh pelosok negeri.[27]
Menurut Kuntowijoyo, setidaknya ada dua bentuk transformasi sosial yang dilaksanakan oleh Rasulullah, yakni pembebasan manusia (individual) dan transformasi kemasyarakatan (kolektif).[28] Langkah inilah yang mampu memposisikannya sebagai orang paling berpengaruh dalam peradaban manusia.[29]Melalui metode transformasi itu pula, Kunto mengkaji konsep ummah (umat) sebagai kesatuan religio-politik, sebagaimana konsep negara yang makmur (baldah thayyibah), atau masyarakat yang sejahtera (qaryah thayyibah) sebagai konsep-konsep normatif yang berada dalam struktur kesadaran subyektif.[30] Konsep-konsep itu merupakan proyeksi dari cita-cita masyarakat muslim mengenai apa yang disebut sebagai “umat yang terbaik” di sebuah negeri yang baik, di bawah ampunan Tuhan.[31]
          Kompleksitas kehidupan masyarakat menuntut adanya ruang gerak aktivitas dakwah yang lebih fleksibel, lebih mengena sasaran dakwah dan tidak mengesampingkan kaum lemah. Masyarakat yang didambakan oleh ummat Islam bukanlah masyarakat yang homogen status sosialnya, bukan pula memandang status sosialnya tinggi atau rendah, pejabat atau bawahan, kaya atau miskin, melainkan derajat ketaqwaan dari amal ibadah yang dilakukannya. Untuk mencapai semua itu dalam aktivitas dakwah perlu pendekatan ukhuwwah yang lebih menghargai dan menghormati harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia, juga menggunakan pendekatan budaya lokal dan penggunaan teknologi informasi sebagai media untuk mencapai sasaran dakwah. Ketiga pendekatan tersebut jika secara serentak dijalankan oleh setiap muslim maka akan tercipta masyarakat muttaqien.[32]
Dakwah transformatif merupakan model dakwah, yang tidak hanya mengandalkan dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan materi-materi agama kepada masyarakat yang memposisikan da’i sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan, tetapi menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung. Dengan demikian, dakwah tidak hanya untuk memperkokoh aspek religiusitas masyarakat, melainkan juga memperkokoh basis sosial untuk mewujudkan transformasi sosial. Dengan dakwah transformatif, da’i diharapkan memiliki fungsi ganda, yakni melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan pendampingan masyarakat untuk isu-isu korupsi, lingkungan hidup, penggusuran, hak-hak perempuan, konflik antaragama dan problem kemanusiaan lainnya.[33]
Ada lima indikator yang mesti melekat dalam dakwah transformatif. Pertama, dari aspek materi dakwah; ada perubahan yang berarti; dari materi ubudiyah ke materi sosial. Dalam konteks ini, para juru dakwah mulai menambah materi dakwahnya pada isu-isu sosial, seperti korupsi, kemiskinan dan penindasan, sehingga para juru dakwah tidak lagi hanya berkutat pada materi ukhrawi. Dari aspek materi juga ada perubahan dari materi dakwah yang ekslusif ke inklusif. Para juru dakwah tidak lagi menyampaikan materi dakwah yang memojokkan atau memusuhi non-muslim. Kecenderungan selama ini para juru dakwah sering menyampaikan dakwah yang bernada permusuhan terhadap agama lain. Padahal cara ini justru membuat masyarakat ikut memusuhi agama lain hanya karena agamanya yang berbeda. Oleh karena itu, materi dakwah yang inklusif mesti menjadi kata kunci dalam dakwah transformatif.[34]
Kedua, dari aspek metodologi terjadi perubahan; dari model monolog ke dialog. Para juru dakwah semestinya cara penyampaian dakwahnya, tidak lagi menggunakan pendekatan monolog, melainkan terus melakukan dialog langsung dengan jama’ah. Sehingga problem yang dihadapi masyarakat dapat langsung dicarikan solusinya oleh juru dakwah dengan kemampuan yang dimilikinya. Dakwah yang menggunakan pendekatan monolog cenderung melakukan indoktrinasi kepada jama’ah, padahal Islam tidak hanya indoktrinasi, melainkan juga pencerahan terhadap jamaah.[35]
Ketiga, menggunakan institusi yang bisa diajak bersama dalam aksi. Para juru dakwah mesti menggunakan institusi sebagai basis gerakan agar apa yang dilakukannya mendapatkan legitimasi yang lebih kuat. Jaringan dan sumber daya tidak hanya milik sendiri, melainkan juga ada pada orang lain. Karena itu, institusi menjadi sesuatu yang penting untuk menjadi basis dari gerakan sosial. Itu sebabnya, agar para juru dakwah lebih mudah melakukan pendampingan masyarakat, mereka perlu menggunakan institusi yang kuat.[36]
Keempat, ada wujud keberpihakan pada kaum lemah (mustad’afîn). Para juru dakwah terketuk hatinya untuk melakukan usaha-usaha sosial untuk kepentingan kaum tertindas di daerahnya semisal kasus penggusuran tanah, pencemaran lingkungan, penggusuran nelayan dan petani. Rasa empati sosial merupakan prasyarat bagi juru dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif.
Kelima, para juru dakwah melakukan advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap suatu kasus yang terjadi di daerahnya agar nasib para petani, nelayan, buruh, dan kaum tertindas lainnya didampingi. Inilah puncak dari para juru dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif. Hasil akhir dari dakwah transformatif adalah mencetak para juru dakwah yang mampu melakukan pendampingan terhadap problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat.[37]
Dalam konteks inilah, penyebaran dakwah di masyarakat mesti dilandasi oleh visi yang benar tentang perdamaian, kesalehan sosial dan sesuai dengan cita-cita agama yang mendorong pada perubahan ekspresi beragama yang inklusif dan toleran. Di sinilah, para aktivis dakwah (daí) memiliki peranan yang strategis dalam merubah pandangan keagamaan masyarakat. Sebab, pemahaman keagamaan masyarakat biasanya sangat dipengaruhi oleh para juru dakwah (tuan guru, ustadz, da’í, kyai,dll). Pada gilirannya, dengan kemampuan strategi dakwah yang memadai dan pemahaman keagamaan yang luas (komprehensif), masyarakat sebagai objek dakwah akan berubah cara pandang keagamaannya. Pada titik selanjutnya, wajah Islam akan kembali seperti pada zaman awal Islam datang; berwajah damai dan akomodatif terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat.
Begitu juga, konsep dakwah transformatif bisa dilihat dari kandungan ayat al-Qur'an:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا للهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ[38]
Artinya: hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya, apabila rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang menghidupkanmu (mentransformasikan, memberdayakan,mensejahterakan), dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ[39]
Artinya: sesungguhnya Allah telah menganugerahi terhadap orang mukmin karena dibangkitkan dari kalangan mereka seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka dan mensucikan mereka dan sekaligus mengajarkan mereka al-kitab dan ilmu pengetahuan (al-hikmah) meskipun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata.
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَاْلأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ ءَامَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ[40]
.
Berdasarkan ayat di atas, dakwah transformatif dapat dilihat dari lima dimensi:
 Dimensi tilâwah; membacakan ayat-ayat Allah atau Oral Communication, komunikasi lansung dengan public.[41] Dimensi tazkiyah; yaitu sugesti untuk melembagakan kebenaran dan keadilan sosial (amar ma'rûf) dan mendistorsi kejahatan dan kesenjangan sosial (nahi munkar). Dimensi ta'lim; mentransformasi pengetahuan kognitif kepada masyarakat, sehingga tercipta masyarakat yang  berpendidikan (educated people). Dimensi ishlâh; upaya untuk perbaikan dan pembaharuan dalam konteks keberagamaan yang lebih luas. Dimensi Ihya’ (transformasi, pemberdayaan); upaya dakwah bukan hanya sebatas komunikasi verbal tapi ada wujud transformasi sosial dan pemberdayaan kepada arah kemandirian masyarakat.
Dari lima formasi dakwah ini diharapkan dapat membawa pencerahan yang memiliki semangat transformatif dan dapat dijadikan landasan untuk mewujudkan trilogi dakwah; pembentukan, restorasi dan pemeliharaan dan perubahan masyarakat islami.[42]
Pemikiran transformatif bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan. Untuk itu Islam harus menjadi kekuatan yang dapat memotivasi secara terus-menerus dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar yang bersifat praksis maupun teoritis. Pada transformasi yang bersifat praksis, perhatian utama para pemikir transformatif bukanlah pada aspek-aspek doktrinal dari teologi Islam, tetapi pada pemecahan-pemecahan masalah-masalah empiris dalam bidang sosio-ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik masyarakat, orientasi keadilan sosial, dan sebagainya. Bahkan bagi para pemikir transformatif yang praksis terdapat kecenderungan kuat untuk “membumikan” ajaran-ajaran agar dapat menjadi kekuatan yang membebaskan manusia dan masyarakat dari belenggu ketidakadilan, kebodohan, dan keterbelakangan. Mereka menghendaki teologi bukan hanya sekedar sebagai ajaran yang absurd dan netral, tetapi sebagai suatu ajaran yang memihak dan membebaskan mayoritas umat Islam dari berbagai kelemahan. Demikian pula proses pemikiran kaum transformatif tidaklah diartikan dalam kerangka literal dan formal, tetapi direfleksikan dalam karya-karya produktif yang berorientasi pada perubahan sosial ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis.[43]
Refleksi transformatif seperti itu, kemudian diimplementasikan ke dalam gerakan-gerakan pengembangan masyarakat (community development) dengan pendekatan praksis: kesatuan dialektis antara refleksi dan aksi, teori dan praktek, serta iman dan amal. Adapun basis sosial yang digunakan oleh para pemikir transformatif ini dalam rangka menuangkan ide-ide praksis dan merealisir program-programnya, umumnya melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sementara itu pada tataran teoretis, pemikiran transformatif berusaha membangun “teori-teori sosial alternatif” yang didasarkan pada pandangan dunia Islam. Para pemikir transformatif yang bergerak dalam dataran teoritis, berusaha merumuskan alternatif terhadap kecendrungan dan nominasi positivisme yang kuat di kalangan ilmuan dan pemikir sosial muslim. Karena itu mereka mengidealisasikan apa yang disebut dengan “ilmu sosial profetis”, ilmu sosial transformatif,” paradigma alternatif dan sebagainya yang bukan hanya menjelaskan dan merubah fenomena sosial, tetapi juga mengarahkannya untuk mencapai nilai-nilai yang dikehendaki umat, yakni: humanisasi, liberasi, kontekstualisasi, dan transedensi.[44]
Dakwah transformatif merupakan suatu aktivitas yang sifatnya dinamis dalam merespon berbagai permasalahan kehidupan masyarakat, karena keberadaan dakwah harus mampu memberikan jawaban terhadap setiap perubahan yang terjadi di  tengah-tengah masyarakat. Corak dan bentuk dakwah sangat dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan segala perubahan dan perkembangan masyarakat. Banyak di antara perubahan dan perkembangan masyarakat merupakan hal-hal yang sama sekali baru dan tidak memiliki preseden di masa lalu, baik yang berkenaan dengan pola pikir, pola hidup dan perilaku masyarakat. Apabila dakwah transformatif berjalan dengan baik, maka dakwah akan berfungsi sebagai alat dinamisator dan katalisator atau filter terhadap berbagai dampak perubahan yang terjadi dalam masyarakat.[45]
Dakwah juga berarti membebaskan manusia dari kebodohan, bahkan sebenarnya manusia itu sebenarnya dianjurkan untuk menuntut ilmu agar tidak bodoh. Bahkan manusia itu diprogram oleh Allah untuk menjadi pembangun peradaban di muka bumi. Karena itu  manusia dibelaki akal pikiran  yang menjadi perangkat paling penting untuk membangun peradaban iman. Karena itu manusia dibekali akal pikiran yang menjadi perangkat paling penting untuk membangun peradaban.
Dakwah juga berarti membebaskan manusia dari kemiskinan karena kemiskinan akan bisa menggurani martabat manusia, kemiskinan juga bisa  menyebabkan manusia menjadi lemah karena kekurangan makan, gizi, vitamin,  karbohidrat dan mengakibatkan daya tubuh menjadi lemah dan mudah terkena penyakit. Dengan pendekatan pemberantasan kemiskinan yang diajarkan oleh islam  itu  maka  hubungan antara kelompok miskin  dengan orang kaya tetap terjaga. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dilingkungan kaum komunis yang justru  membenturkan antara orang miskin  dengan orang kaya.
Ada tiga pendekatan islam tentang kemiskinan. Pertama mendorong manusia untuk mencari rizki. Kedua perintah infak, sedekah dan lain sebagainya untuk membebaskan manusia dari kemiskinan. Ketiga, mengancam orang yang kaya yang tidak menafkahkan harta kekayaannya untuk kepentingan umat.
Dengan pendekatan-pendekatan dalam pemberantasan kemisikinan seperti yang diajarkan oleh Islam, maka hubungan antara kelompok miskin dan kaya akan tetap harmonis.
Beberapa catatan yang mungkin bisa dikembangkan di masa yang akan datang berkaitan dengan dakwah melalui filantropi di Indonesia:
1.    Perlu adanya motif dan impian bersama dari lembaga-lembaga charity berbasis agama-agama yang inspirasinya dapat diambil dari ajaran/konsep agama masing-masing. Misalanya dalam Kristen ada konsep “Suasana kerajaan Allah”, dalam Islam ada konsep  “baldatun thoyyibatun warobbun gofur” atau “rahmatan lilalamin”, dan lain sebagainya.
2.    Konsep common good atau welfare society, perlu dimaknai lebih luas dalam konteks masyarakat plural seperti di Indonesia.
3.    Konsep “kemaslahatan” perlu dirumuskan bersama dengan baik supaya kategori beneficiaries [penerima manfaat] dari gerakan filantropi Islam ini bisa lebih inklusif yakni menyentuh seluruh warga masyarakat tanpa pandang agama, suku atau golongan.
4.    Perlu dilakukan evaluasi dan kajian lebih dalam tentang manakah yang lebih dominan dalam gerakan ini, antara charity atau aktivitas dakwah?.
5.    Perlu dilakukan reinterpretasi terhadap konsep dakwah, beneficiary dan charity.
Filantropi Islam dalam pengentasan kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan umat, mampukah? Dalam konteks ekonomi makro diyakini bahwa konsep filantropi untuk saling berbagi memiliki dampak yang sangat luar biasa. Bahkan di barat sendiri telah muncul pemikiran dan terbukti dengan penelitian sebuah konsep yang mendorong berkembangnya sharing economy atau gift economy, dimana perekonomian harus dilandasi oleh semangat berbagi dan memberi ini dicetuskan oleh Yochai Benkler seorang professor dari Universitas Yale USA. Sebagai contoh kinerja karyawan yang mendapatkan bonus atau reaward jauh lebih baik dibanding dengan karyawan yang tidak pernah mendapatkannya.
Imam Ghazali meng-analogikan uang itu seperti aliran darah yang harus bergerak dan berputar. Pada saat darah tersebut berhenti berputar dan terjadi penyumbatan maka akan mempengaruhi kondisi badan dan di situ penyakit akan berkembang. Begitu pula yang akan terjadi dengan uang apabila pertumbuhannya tidak dibarengi dengan pertumbuhan di sector rill. Ini lah yang mengakibatkan krisis financial itu terjadi.
Sedangkan dengan adanya zakat atau share economy memungkinkan terjadinya distribusi pendapatan, ketika seorang muzaki menunaikan kewajibannya dalam berzakat maka distribusi kekayaan (jumlah uang) berpindah kepada mustahik, sehingga mustahik-pun menaikkan demand –nya atas barang. Sedangkan di sisi muzaki (yang memiliki dana) dia akan melakukan investasi karena sector rill tumbuh, maka akan menggeser agregat supply juga, hal ini menyebabkan kuantitas barang dan jasa pun akan meningkat juga. Di sisi makro ekonominya, PDB kita akan meningkat dan memberikan kesejahteraan bagi kedua belah pihak.
Ini telah dibuktikan ketika khalifah Umar bin Khatab mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau hanya menghabiskan waktu sekitar 11 tahun untuk mengubah perekonomian masyarakat negeri itu sampai pada kesejahteraan. Indikasinya adalah masyarakat di sana tidak tidak ada lagi yang berhak menrima zakat. Ketika ia datang ke Madinah dengan membawa harta zakat, ia sempat mendapat protes dari umar r.a. “Aku tak mengutusmu sebagai penarik zakat Yaman untuk dibawa ke Madinah”. Muadz menjawab, “aku tidak lagi mendapati penduduk Yaman yang menjadi mustahik”.
Begitu pula di zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat merupakan tolak ukur kemakmuran dimana pada saat itu tidak di temukan seorang pun yang mau menerima zakat atau menjadi mustahik. Maka dapat disimpulkan bahwa jika jumlah mustahik lebih kecil (semakin kecil) dari jumlah muzaki, maka Negara semkain makmur dan jika jumlah mustahik lebih besar dari jumlah muzaki maka Negara tersebut semakin miskin.
Filantropi dalam Islam dikenal dengan zakat, Infak dan Shadaqah yang sudah mengakar dan berkembang diberbagai belahan dunia.
Di Indonesia Filantropi Islam telah tumbuh dan mengakar sejak Islam masuk ke Indonesia. Bentuknya masih tradisional yakni penderma langsung memberikan derma (zakat, infak, shadaqah) kepada penerima derma (dalam Al-Qur’an disebutkan ada 8 Asnaf). Belum ada usaha pengelolaan derma secara kelembagaan di dalamnya.
Pada perjalanannya, filantropi Islam dalam bentuk zakat dan sedekah telah ikut berjasa dalam mendanai perjuangan melawan penjajahan kolonial belanda. Filantropi Islam untuk kemerdekaan tidak hanya mewujud dalam sumbangan-sumbangan dadakan, tapi juga dikelola secara kelembagaan. Misalnya kas wakaf kemerdekaan central Sarekat Islam yang didirikan pada tahun 1918; atau yayasan zakat Fonds sabilillah, yang didirikan tidak lama setelah kemerdekaan (1947).
Menurut penulis, dakwah transformatif adalah upaya mentransformasikan nilai-nilai normatif ajaran agama dalam aspek kehidupan bermasyarakat dengan mengedepankan; kontektualitas ajaran agama, toleran, progresif, menghargai tradisi dan memberdayakan.  

KESIMPULAN
          Menurut hemat penulis, setidaknya Filantrhropi Islam memiliki 3 dimensi, pertama, dimensi spiritual. Filanthropi membuktikan ke-taqwaan dan ke-imanan seorang hamba kepada Tuhan-Nya, sekaligus sebagai instrument purifikasi dan pensucian jiwa dari penyakit ruhani (Q.S 9:103). Kedua, dimensi sosial. Dimana filanthropi ini berupaya dalam membangun harmonisasi sosial, rasa sayang dan cinta akan tumbuh dalam tatanan masyarakat yang pada akhirnya menciptakan kekuatan persaudaraan sebagai bentuk reduksi akan konflik yang selama ini terjadi. Ketiga adalah dimensi ekonomi, yang berimplikasi pada kesejahteraan kaum duafa dan distribusi pendapatan. Sehingga keadilan dan kesejahteraan bukan hal yang utopis lagi. Inovasi filantrhopi seperti itulah yang perlu dilakukan oleh para pengembang masyarakat Islam agar kesejahteraan masyarakat muslim di Indonesia terwujud. Perlu kerja keras yang lebih juga pola berpikir yang kreatif dan inovatif dan juga perjuangan yang panjang untuk mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi melihat potensi Filantropi Islam yang demikian dahsyatnya maka patutlah kita memiliki optimisme yang besar demi terwujudnya masyarakat muslim yang sejahtera.
REFERENSI
            Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden-Boston: Brill, 2013)
          Azyumardi Azra, Transformasi Jihad Menuju Aksi Penanggulangan Kemiskinan, dalam Kata Pengantar Buku, Bachtiar Chamsah, Teologi Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta: Rakyat Merdeka Books, 2007.
          Al-Andang, Dkk, Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004.
          Bachtiar Chamsyah, Teologi Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta: Rakyat Merdeka Books, 2006., CET. 1.
          Chaidar S Bamuallim dan Irfan Abu Bakar (Ed), Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, (Pusat Bahasa dan Budaya: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005)
          Hilman Latief, “Filantropi Islam: Telaah terhadap Pertumbuhan Organisasi-organisasi Amal di Indonesia Pasca Orde Baru”. dosen pada Fakultas Agama Islam UMY dan sedang menyelesaikan S3 nya di Leiden University, Belanda.     
          Hunsaker.J. and Hanzl B, Understanding Social Justice Philanthropy, National Commitee for Responsive Philanthropy, US, 2003. www.ncrf.org/PDF/ Understandingsoci ljusticephilanthropy.pdf.
          M.Nadarajah, 'Making Sense of Philanthropy" dalam buku, A Giving Society, the State of Philanhropy in Malaysia, Edited by Josie M.F & Abdul Rahim Ibrahim, Malaysia: Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2000.
          Kusmana (ED), Bunga Rampai Islam dan Kesejateraan Sosial, (Jakarta: PIC UIN Jakarta,2000) Cet, 1.
          Zaim Saidi, dkk, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial, Depok: Piramedia, 2006, cet. 1.




            [1] Paper dipresentasikan di Universitas Teknologi Mara Melaka Kampus Bandaraya Melaka Malaysia, Sabtu, 6 Desember 2014
            [2] Dosen/Pensyarah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, Wakil Dekan (Vice Dean) Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram.
            [3] Chaidar S Bamuallim dan Irfan Abu Bakar (Ed), Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, (Pusat Bahasa dan Budaya: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) 12
            [4] Hunsaker.J. and Hanzl B, Understanding Social Justice Philanthropy, National Commitee for Responsive Philanthropy, US, 2003. www.ncrf.org/PDF/ Understandingsoci ljusticephilanthropy.pdf.
            [5] M.Nadarajah, 'Making Sense of Philanthropy" dalam buku, A Giving Society, the State of Philanhropy in Malaysia, Edited by Josie M.F & Abdul Rahim Ibrahim, Malaysia: Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2000. h. 27
            [6] Chaidar S Bamuallim dan Irfan Abu Bakar (Ed), Revitalisasi...h.89
            [7] Arif Subhan, Perguruan Tinggi dan Kesejahteraan Sosial, dalam Bunga Rampai Islam dan Kesejateraan Sosial, Jakarta: PIC UIN Jakarta, Cet, 1. h. 12
            [8]Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden-Boston: Brill, 2013)
            [9] Kusmana (ED), Bunga Rampai Islam dan Kesejateraan Sosial, Jakarta: PIC UIN Jakarta, Cet, 1. h. 3
            [10] Amelia Fauzia, Faith..h. 23
            [11] Amelia Fauzia, Faith...h. 89
            [12]Al-Andang, Dkk, Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004. h.1.
            [13] Bachtiar Chamsyah, Teologi Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta: Rakyat Merdeka Books, 2006., CET. 1. H. 45
            [14]Pada Senin, 16 April 2012, Institut DIAN/Interfidei kembali menyelenggarakan Diskusi Bulanan dengan tema “Filantropi Islam: Telaah terhadap Pertumbuhan Organisasi-organisasi Amal di Indonesia Pasca Orde Baru”. Diskusi ini menghadirkan pembicara Hilman Latief, dosen pada Fakultas Agama Islam UMY dan sedang menyelesaikan S3 nya di Leiden University, Belanda.           
            [15] Zaim Saidi, dkk, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial, Depok: Piramedia, 2006, cet. 1.h.1
            [16] Hilman, Ibid
            [17] Azyumardi Azra, Transformasi Jihad Menuju Aksi Penanggulangan Kemiskinan, dalam Kata Pengantar Buku, Bachtiar Chamsah, Teologi Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta: Rakyat Merdeka Books, h. xv
            [18] Zaim Saidi, Dkk, Kedermawanan...h. 14
            [19] Chaidar S Bamuallim dan Irfan Abu Bakar (Ed), Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, (Pusat Bahasa dan Budaya: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) 56
[20]sumber: press release PIRAC mengenai pola dan potensi sumbangan masyarakat tahun 2007
            [21] Amelia Fauzia, Faith and The Satate a history of Islamic Philantropy in Indonesia, (Leiden-Boston: Brill, 2013) h. 9
            [22] Azyumardi Azra, Filantrofi Islam, Dalam buku, Chaidar S Bamuallim dan Irfan Abu Bakar (Ed), Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, (Pusat Bahasa dan Budaya: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) 56
            [23]Paulo Alman, Revolutionary Social Transformation: Democratic Hopes, Political Possibilities and Critical Education (London: Bergin & Garvey, 2001), Second Edition, h.1  Authentic social transformation is never a sudden even. It is process through which people change not only their circumstances but themselves and social transformation involve  levels of human existence. 
            [24]Moh. Ali Aziz, Rr. Suhartini, A. Halim (Editors), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), Cet.1, h.26.
            [25]Bryan S.Turner, Religion and Social Theory (London: SAGE Publications LTD, 1991), h. 109.
            [26]Meredith B.McGuire, Religion The Social Context (USA: Wodsworth Thomson Learning, 2002), h.244.
                [27]Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), Cet.1. h.345. 
[28] Kuntowijoyo, Pengantar Antropologi (Jakarta: UI Press, 1998), Cet. 3. h. 3.
                [29] Michael H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia Terj. (Jakarta: Gema Insani Press, 1998, Cet. 1. h. 12. 
[30]Kuntowijoyo, Paradigma.., h.347.
[31]Lihat Q.S. 34: 15.
                [32]Ali Nurdin, Dakwah Transformatif: Pendekatan Dakwah Menuju Masyarakat Muttaqîn,  Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 8 No. 2 Oktober 2003, h.24-32. lihat juga, Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: P3M, 2004), cet. I. Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif  (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), Cet.3. Imaduddin Abdurrahman, Islam Pribumi  (Bandung: ITB Salman, 1999), cet. 1. Syahrin Harahap, Islam Dinamis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997)., cet. 1. h. 25
[33]Musthafa Hamidi, et.al), Dakwah Transformatif (Jakarta: Lakpesdam NU, 2006), Cet.1.h. 4
                [34]Musthafa Hamidi, et.al), Dakwah...h. 5. lihat juga elaborasinya dalam, Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), Cet.3.
                [35] Musthafa Hamidi, et.al, ), Dakwah...h. 5.
                [36] Musthafa Hamidi, et.al, ), Dakwah...h. 6.
                [37]Musthafa Hamidi, et.al,, Dakwah..h. 7, lihat juga, Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual: Refleksi Seorang Cendekiawan Muslim  (Bandung: Mizan, 1998), cet. X. Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus (Bandung: Mizan, 1998), cet. IX. M. Bambang Pranowo, Islam Faktual antara Tradisi dan Relasi Kuasa (Yogyakarta: Adicita, 1999).
                [38] Q.S. al-Anfâl: 24
                [39] Q.S. Ali Imrân: 164
[40] Q.S. al-A'râf: 157, Artinya: orang-orang yang mengikuti rasul seorang nabi yang ummi yang mereka jumpai tertulis dalam kitab Taurat dan Injil mereka, nabi menyeru pada kebaikan dan melarang kepada hal-hal yang munkar, menghalalkan apa-apa yang baik, dan mengharamkan segala sesuatu yang keji dan meringankan beban dan kesulitan yang mereka alami sebelumnya. Adapun orang-orang yang beriman dengannya, menjunjung tinggi, dan menolong nabinya sekaligus mengikuti al-Qur’an yang diturunkan beserta Nabi, merekalah orang-orang yang beruntung.
[41] Untuk teori komunikasi lansung (oral communication) dapat dilihat pada buku, Stepehen W. Litteljohn & Karen A. Foss, Theories of Human Communication (Belmots:Thomson Wadsworth, 2005), Eight Edition. h.154.  Lihat  juga, Josep. A. Devito,  Human Communication The Basic Course (New York:  HarperCollins Publisher,1991), 5th Edition, h. 92.
[42]Pembacaan seperti ini penulis sadur dari berbagai macam referensi tentang dakwah, seperti dalam buku, Jum'ah Amin Abdul Aziz, al-Da'wah Qawaîd wa Ushûl (Mesir: Dar al-Mishriyah),ttp. h.123. yang menjabarkan tiga hal yang dicakup dalam dakwah. Pertama, membangun masyarakat islami (ta'sis al-mujtma' al-islâmy). Kedua, melakukan restorasi pada masyarakat Islam (al-ishlâh fi mujtama'al-muslimah). Ketiga, kesinambungan dakwah pada masyarakat Islam (istimrâr al-da'wah fi al-mujtmi'at al-qâimah bi al-haq).
[43] M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), cet. 1, h. 162.
[44]M. Dawam Raharjo, “Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformatif, Pengantar buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi  Suntingan A.E. Priyono (Bandung: Mizan, 1991), h.11-19.
                [45] Bukhari, Desain Dakwah Untuk Pembinaan Keagamaan Komunitas Elit Intelektual, dalam Jurnal Ulumuna, Volume XII, No. 2, Desember 2008.h. 1-2.

1 komentar: