Thursday, September 17, 2015

NAHDLATUL WATHAN DAN MODEL DAKWAH



Oleh: H.Fahrurrozi Dahlan
    Dakwah Oralitas (Al-Da’wah bi al-Lisan)
    Dakwah Jurnalitas/Tulisan (al-Da’wah bi al-Kitabah)
Isyarat al-Qur'an tentang ilmu pengetahuan dan kebenarannya sesuai dengan ilmu pengetahuan hanyalah sebagai salah satu bukti kemu'jizatannya. Ajaran al-Qur'an tentang ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas ilmu pengetahuan (science) yang bersifat fisik dan empirik sebagai fenomena, tetapi lebih dari itu ada hal-hal fenomena yang tak terjangkau oleh rasio manusia.[1] Dalam hal ini, fungsi dan penerapan ilmu pengetahuan juga tidak hanya untuk kepentingan ilmu dan kehidupan manusia semata, tetapi lebih tinggi lagi untuk mengenal tanda-tanda, hakikat wujud dan kebesaran Allah serta mengaitkannya dengan tujuan akhir, yaitu pengabdian kepada-Nya.[2]

Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (science). Al-Qur'an dan al-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi.[3]
Dalam al-Qur'an lebih dari sepuluh persen ayat-ayat al-Qur'an merupakan rujukan-rujukan kepada fenomena alam. Termasuk masalah kepentingan mendasar adalah menyingkap bentuk risalah yang disebut-sebut ayat-ayat keilmuan yang didapati, bagaimana bisa memanfaatkannya. Mengenai ini ada dua pandangan.  Pertama, bahwa al-Qur'an mencakup seluruh bentuk pengetahuan dan dengan demikian ia mencakup unsur dasar ilmu-ilmu kealaman. Kedua, beranggapan bahwa al-Qur'an semata-mata kitab petunjuk dan di dalamnya tidak ada tempat bagi ilmu kealaman. Di masa sekarang banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat dalam sorotan pengetahuan ilmiah modern. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan mukjizat al-Qur'an dan untuk menjadikan kaum muslimin akan keagungan dan keunikan al-Qur'an dan menjadikan kaum muslim bangga memiliki kitab agung seperti ini.[4]
Al-Qur'an merupakan petunjuk utama bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Di dalamnya terkandung dasar-dasar hukum yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Di samping itu, al-Qur'an juga mengandung motivasi untuk meneliti alam dan mencintai ilmu pengetahuan. Karena itu, sebagian isi kandungan al-Qur'an yang cukup penting adalah ilmu pengetahuan. Memang, al-Qur'an tidak menyebutkan semua persoalan secara eksplisit. Banyak hal dan masalah yang hanya disebut secara implisit. Aspek ilmu pengetahuan dalam al-Qur'an tidak disebutkan secara detail, melainkan secara global dan tugas manusialah untuk menemukan spesifikasinya. [5] Di antara spesifikasi ilmu itu yang bisa digali dalam al-Qur'an adalah ilmu yang berhubungan dengan media tulis menulis yang lazim disebut jurnalistik.
Ilmu pengetahuan senantiasa memperbaharui teori dan analisa seiring perkembangan zaman dan berlansung terus menerus sesuai dengan kemajuan zaman. Sampai saat ini ilmu pengetahuan masih dalam keadaan antara kurang dan lengkap, antara samar dan jelas, antara keliru dan mendekati kebenaran, tapi al-Qur'an memuat prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan dan peradaban. Dengan begitu, al-Qur'an tidak dapat dikatakan sebagai buku ilmiah atau ensiklopedi ilmu, tetapi ia lebih layak disebut sebagai sumber yang memberikan motivasi dan inspirasi untuk melahirkan ilmu pengetahuan dengan berbagai dimensinya, termasuk di dalamnya dimensi kejurnalistikan.[6]
Q.S.al-Alaq menegaskan bahwa proses pewahyuan terhadap Muhammad SAW adalah starting point pengetahuan, karena bagaimanapun proses pewahyuan dimulai dengan perintah: iqra'(bacalah!). Pembacaan adalah sebuah proses pengajaran, sehingga setelahnya muncul dua pilar yang merupakan bagian dari pengetahuan. Yang pertama: bahwa wujud yang berada di luar kesadaran manusia terbentuk dari tanda-tanda yang saling berhubungan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Kedua: adalah kesadaran manusia terhadap tanda-tanda ini tidak mungkin bisa sempurna kecuali dengan at-taqlim, yaitu pembedaan sebagian dari tanda ini dengan sebagian yang lain. Alat-alat indera adalah instrument-instrument material untuk perbedaan indekatif secara lansung.[7]
Melihat al-qalam dalam pengertian metaforis sebagai alat-alat tulis terhadap abjad. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita menulis surat dengan tinta putih pada kertas yang putih. Karena terhadap yang demikian itu mata tidak bisa membedakannya. Akan tetapi jika misalnya menulis diwarnai hijau pada kertas putih, ini adalah pembedaan pertama, lalu di sana ada pembedaan yang kedua, yaitu terhadap huruf-huruf sehingga kita bisa menyimbolkan suara nun dengan huruf nun, suara lam dengan simbol huruf lam. Disebabkan karena ''nun' dan ''lam'' adalah dua huruf yang berbeda satu dengan yang lainnya. Kemudian kita menyimbolkan keduanya dengan dua simbol yang berbeda untuk membedakan perbedaan.[8]
Disebabkan karena dasar-dasar pengetahuan manusia adalah kemampuan untuk membedakan pembedaan (qalam), yang pada persepsi fua'adi mata berfungsi untuk membedakan warna, dimensi bentuk yang menjadi kapasitasnya. Sedangkan telinga berfungsi untuk membedakan suara sesuai dengan kapasitasnya pendengaran. Demikian juga indera-indera yang lain, lalu setelah itu muncul pikiran abstrak dan pengetahuan mengenai hubungan abstrak antara sebagian dengan sebagian yang lain, yang pertama kali adalah melalui media bahasa lalu selanjutnya melalui media bahasa yang sifatnya abstrak, bilangan dan symbol.[9]
al-Qur'an menginformasikan bahwa salah satu media untuk mengadakan pembedaan yang sangat berperan dalam bahasa abstrak manusia adalah suara ''nun''. Yang demikian itu terdapat dalam firmannya'' nun, demi al-qalam dan apa yang mereka tuliskan (Q.S.al-Qalam: 1). Kita bisa melihat di dalam bahasa Arab, bentuk umum yang merujuk kepada sesuatu yang berakal ataupun tidak berakal adalah bentuk  mim (ma) Q.S.an-Nahl: 49,'' dan kepada Allahlah apa (ma) yang di langit dan apa (ma) yang di bumi bersujud. Lalu digunakanlah ''nun'' guna membedakan yang khusus untuk yang berakal yaitu dengan kata ''man'' (Q.S.AL-Ra'd:15) ''dan kepada Allahlah siapa yang (man) di langit dan siapa (man) di bumi bersujud baik dengan tunduk atau terpaksa. Ma (huruf mim) adalah bentuk umum (sighah 'ammah) yang telah digunakan secara historis. Sedangkan man adalah bentuk khusus (sighah khassah) untuk yang berakal, yang muncul setelah ma yang di dalamnya digunakan suara nun (ma-n). demikian juga nun memainkan peran dalam membedakan antara laki-laki dengan perempuan. Yang demikian itu adalah pada nun an-niswah (nun yang digunakan untuk menunjukkan jamak perempuan). Antum adalah bentuk umum untuk laki-laki dan perempuan yang muncul sejak awal. Sedangkan antunna adalah bentuk kalimat yang khusus untuk perempuan. Artinya bahwa mim al-jamâ'ah mendahului nun al-niswah dalam penggunaan secara historis.[10]
Dengan demikian bahwa suara nun dalam konteks historisnya mempunyai peran sangat besar untuk memberikan pembedaan (al-taqlim). Oleh sebab itulah suara nun diikuti dengan firman-Nya'' demi al-qalam''. Dengan penambahan al-taqlim (pembedaan), maka bertambahlah suara susunan dari segala dan inilah yang dinamakan attashthir (pengkomposisian). Oleh sebab itulah dilanjutkan dengan ''wa ma yasthurun''. Yasthurûn muncul dari kata sathara yang dalam bahasa Arab mempunyai asal yang mandiri, yang menunjuk kepada makna keteraturan sesuatu (classification) atau dengan istilah Arab (al-tashnif). Artinya bahwa al-qalam adalah membedakan sebagian dari sesuatu dengan sebagian yang lain. Inilah yang diistilahkan dengan identification. Lalu diikuti dengan menyusun segala sesuatu sesuai dengan tempatnya, inilah yang dinamakan at-tashthir. Dari kata sathara juga muncul kata al-usthurah (mitos) yaitu menyusun sebagian dari segala sesuatu yang salah dengan sebagian yang lain, untuk menghasilkan sebuah cerita. Oleh sebab itu dinamakan usthurah.  Suara nun bisa menambahkan pembedakan beberapa hal dari sebagian yang lain, di samping juga menambahkan pembedaan (al-taqlim) yang membawa kepada adanya al-tashnif (penyusunan). Inilah yang dikehendaki oleh Q.S. al-qalam: 1-2).[11]
Kelengketan al-Qur'an dengan jurnalistik Islam yang membiaskan pengaruh yang sangat luas dan dalam, itu eksis dalam hubungan keduanya yang seakan-akan saudara kembar atau pinang dibelah dua. Bahwa al-Qur'an adalah ''kata Tuhan'' sementara jurnalistik adalah ''tulisan tangan manusia'', menunjukkan kelengkapan persaudaraannya. Hubungan peran keduanya dapat dipertegas bahwa al-Qur'an datang dari Tuhan ''pencipta segala sesuatu'', sementara tulisan manusia berperan ''mengekspresikan sesuatu''.[12]
Pengajaran dengan al-qalam adalah suatu yang mutlak bagi manusia dan selainnya. Dan di antara makhluk yang diajarkan secara memadai dengan al-qalam adalah manusia. Para ahli tafsir menafsirkan firman-Nya ''yang mengajarkan manusia dengan al-qalam'' adalah simbolisasi mengenai pengajaran menulis, sebab alat yang digunakan untuk menulis adalah al-qalam (pena).[13]
Dalam memahami dan menangkap pesan jurnalistik al-Qur'an kita tidak bisa begitu saja mencampuradukkan arti dari teks-teks yang kita baca dengan budaya, ilmu dan ideology yang kita pegang, kita harus meninggalkan dahulu hal tersebut untuk menggali pelbagai macam nilai, gagasan, keyakinan dan pemikiran ilmiah serta sosial dari pesan-pesan yang tersurat dalam teks-teks itu sendiri, walaupun toh nantinya kita temukan ketidaksesuaian gagasan tersebut dengan keyakinan kita tersebut.
Betapa al-Qur'an dengan gamblang menjelaskan pesan yang dibawanya, yaitu menerangkan kondisi sosial kemasyarakatan yang dihadapi dan akan selalu ditemui oleh setiap gerakan dakwah pada waktu, tempat serta karakteristik masyarakatnya yang berbeda-beda pula. Al-Qur'an juga tidak luput memberikan gambaran bahwa kemampuan dan kesiapan masing-masing ummat dalam mengikis kondisi dan merespon sesuatu yang baru banyak bergantung pada beberapa hal. Pertama, situasi dan kondisi mental yang dihadapi oleh suatu ummat dengan adanya peristiwa-peristiwa bersejarah yang pernah dihadapinya. Kedua, kesiapan para pemimpin umat dalam menatap masa depan bangsanya dengan terus mengobarkan semangat kebangkitan dan kemandirian dalam menyonsong sebuah kemajuan.[14]
     Dakwah Aksi (al-Da’wah bi al-Hal)

     Dakwah Ekonomi Sosial (al-Da’wah bi al-Iqtishady al-Ijtima’iyy)

     Dakwah Tradisi dan Organisasi (al-Da’wah bi al-Adiyah wa al-Jami’iyyah)

Secara makro, eksistensi dakwah senantiasa bersentuhan dengan realitas yang mengitarinya. Dalam persepektif historis, pergumulan Islam dengan realitas sosio-kultural menjumpai dua kemungkinan. Pertama, dakwah Islam mampu memberikan out-put (hasil, pengaruh) terhadap lingkungan, dalam arti memberi dasar filosofis, arah, dorongan, dan pedoman bagi perubahan masyarakat sampai terbentuknya realitas sosial baru. Kedua, dakwah Islam dipengaruhi oleh perubahan masyarakat dalam arti eksistensi, corak dan arahnya. Ini berarti bahwa aktualisasi dakwah ditentukan oleh sistem sosio-kultural. Dalam kemungkinan yang kedua ini, sistem dakwah dapat bersifat statis atau ada dinamika dengan kadar hampir tidak berarti bagi perubahan sosio-kultural.[15]
Islam kultural dalam perspektif umum adalah Islam yang mewujudkan dirinya secara substantif dalam lembaga-lembaga kebudayaan dan peradaban Islam lainnya; singkatnya, Islam minus politik. Dalam persepsi umum juga, Islam kultural adalah Islam dakwah, Islam Pendidikan, Islam seni dan seterusnya.[16]
Berkaitan dengan ranah Islam kultural ini, para ulama/tuan guru bergerak dalam bidang-bidang keagamaan. Kedudukan ini diperkuat juga dengan pemberian status yang tinggi kepada mereka sebagai “pe waris para Nabi”. Dengan demikian lengkaplah aura keilahian dan kesucian yang mereka sandang. Sebab itu pula, ulama-setidaknya dalam perspektif orang awam-memiliki aura sakralitas, yang pada gilirannya terjewantahkan dalam kekuatan kharisma tertentu, dan ulama sendiri cukup waspada untuk memelihara dan melanggengkan aura kesucian yang mereka pegang dengan, antara lain; tidak terlalu terlibat dalam urusan-urusan yang bersifat propan dan sebaliknya, bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan muru’ah. Inilah yang melestarikan kewibawaan, otoritas, dan kharisma ulama vis a vis umat umumnya. Di sini pulalah terlihat hubungan yang cukup jelas antara knowledge dan power dalam eksistensi ulama, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok yang mempunyai karakter dan distingsi sosial yang khas.[17]

F.      Dakwah Politik (al-Da’wah bi al-Siyasy)
Sebagai hasil reformasi politik, muncul berbagai pergerakan politik.[18] Tujuan pergerakan politik kaum muslimin pada dasarnya adalah sama dengan tujuan dakwah, yaitu terjaminnya pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya. Dalam kontek ini, pergerakan politik memiliki makna seni sekaligus perjuangan. Pergerakan politik dalam arti seni adalah suatu cara dan taktik mengubah keadaan secara halus dan konsisten kearah yang diinginkan. Dipandang dari segi ini, maka makna politik kemungkinan dan seni memungkinkan terwujudnya apa yang diperlukan (La politique est I’ art du possible et I’art de render possible ce qui est necessare). Sedangkan pergerakan politik dalam arti perjuangan adalah suatu strategi menggalang semua potensi yang ada berupa sumber daya, kelembagaan, dukungan dan peluang untuk mencapai tujuan. Dilihat dari segi ini, maka makna politik adalah perjuangan untuk mencapai kekuasaan.[19] Kedua makna pergerakan politik, baik dalam arti seni maupun dalam arti perjuangan adalah suatu siyâsah yang dilaksanakan seiring dengan dakwah demi tegaknya ajaran Islam dan terciptanya  kemulian masyarakat yang sejahtera (lii’lâ’i kalimatillâh wa izzil islâm wa al-muslimîn).[20]
Menurut Dalier Noer, politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang dimaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah, atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[21]  Pendapat  ini menunjukkan bahwa hakikat politik adalah perilaku manusia, baik berupa aktivitas maupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi atau mempertahankan tatanan sebuah masyarakat dengan menggunakan kekuasaan. Ini berarti bahwa kekuasaan bukanlah hakikat politik, meskipun harus diakui bahwa ia tidak bisa dipisahkan dari politik, justru politik memerlukannya agar sebuah kebijakan dapat berjalan dengan kehidupan masyarakat.[22]  
Menurut Miriam Budiardjo, sedikitnya ada lima pendekatan yang digunakan untuk mendefinisikan istilah politik, pendekatan tersebut adalah pendekatan kenegaraan (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy belived), dan pembagian kekuasaan atau alokasi (distribution/allocation/ sharing power). [23]
Sejalan dengan pendapat di atas, Ramlan Surbakti mengatakan terdapat lima pendekatan dalam memahami politik. Pertama, pandangan klasik yang mengatakan politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik secara kelembagaan, artinya politik adalah segala hal yang terkait dengan penyelenggaraan negara atau pemerintahan. Ketiga, politik sebagai kekuasaan diartikan sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai fungsionalisme, yaitu politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik, yaitu kegiatan mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum untuk  mendapatkan atau mempertahankan nilai-nilai.[24]
Kalau Negara Madinah pada masa nabi Muhammad SAW sebuah eskperimentasi empiris- yang disebut oleh Robert N. Billah sebagai partisipatif dan demokratis dalam sejarah politik Islam- dapat dijadikan contoh, maka akan terlihat bahwa konstitusinya tidak menyebut Islam sebagai negara, akan tetapi prinsip etis yang relevan dalam proses penyelenggaraan negara, antara lain : nilai-nilai musyawarah (syûrâ), keadilan (‘adl), dan persamaan (musâwâh).[25]
Menurut tinjauan Islam, terdapat dua jenis politik, yaitu politik kualitas tinggi (high  politics) dan politik kualitas rendah ( low politics). Menurut Amin Rais, paling tidak ada tiga ciri yang harus dimiliki oleh politik kualitas tinggi, atau mereka yang menginginkan terselenggaranya high  politics;
Pertama, setiap jabatan politik pada hakikatnya amanah dari masyarakat, yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Amanah itu tidak boleh disalahgunakan, misalnya untuk memperkaya diri sendiri atau menguntungkan golongannya saja dan melantarkan kepentingan umum.[26]
Kedua, setiap jabatan politik mengandung pertanggungjawaban (mas’uliyyah/accountability). Sebagaimana diajarkan oleh Nabi, setiap orang pada dasarnya pemimpin yang harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya atau tugas-tugasnya.[27]
Ketiga, kegiatan politik harus dikaitkan secara ketat dengan prinsip ukhuwwah (brotherhood), yakni persamaan di antara umat manusia. Dalam arti luas, ukhuwwah melampui batasan-batasan etnik, rasial, agama, latar belakang sosial, keturunan, dan sebagainya.[28]
Politik kualitas tinggi dengan ciri-ciri minimal tersebut sangat kondusif bagi pelaksanaan dakwah yang berorientasi pada pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar. Dan inilah indikasi yang diinginkan dalam dakwah melalui partai politik yang sejalan dengan prinsip al-Qur’an surah al-Hajj ayat 41.[29]
Sedangkan politik dengan kualitas rendah dapat dicirikan sebagai politik yang mengajarkan kekerasan (violence), brutalitas, dan kekejaman, begitu juga penaklukan atas musuh-musuh politiknya, dimana musuh politik tidak diberi kesempatan untuk bangkit, dan menghalalkan segala cara.[30]
Politik yang sejalan dengan konsep dakwah adalah politik yang memiliki otoritas dan legitimasi moral, bukan hanya kekuasaan dan pertarungan kekuatan, tapi yang paling esensi adalah politik sebagai wadah dan sarana yang menghubungkan masyarakat dengan penguasa dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan bathin.[31] Dalam hal inilah sosok politikus secara tidak lansung berperan sebagai da’i atau penyeru kepada kemashlahatan ummat.
Dalam kaitannya dengan dinamika sosial politik di tanah air, kalangan pesantren termasuk di dalamnya tuan guru, dalam menjalankan perannya sebagai lembaga dakwah juga terbelah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, pesantren lebih menitikberatkan pada pendekatan sosio-kultural. Pesantren/tuan guru ini cenderung tertutup dan tidak bersedia pesantrennya dikunjungi oleh elit politik dan pejabat pemerintah. Kelompok kedua, pesantren/tuan guru yang terbuka kepada politik, bahkan ada yang terlibat dalam partai politik praktis.  Kelompok ini membuka pintu lebar-lebar kepada elit politik atau pejabat pemerintahan.
      Dakwah Spiritual (al-Da’wah bi al-Thariqah)
Model-Model Dakwah Organisasi Nahdhatul Wathan
1.      Dakwah Tarbawiyyah: Mendirikan lembaga pendidikan formal dan non formal lembaga terendah sampai perguruan tinggi. NW sudah mengelola lebih dari 1000 lembaga pendidikan di seluruh Indonesia. Ini bagian terpenting dalam dakwah tarbawiyyah Nadhatul Wathan.
2.      Dakwah Ijtima'iyyah: NW mengelola berbagai macam bentuk pengembangan sosial kemasyarakatan, seperti Panti Asuhan. Puskestren, Koperasi Pondok Pesantren, KBIH, Takaful dan berbagai macam kerjasama sosial yang dibina oleh Organisasi NW.
3.      Dakwah Iqtishodiyyah: NW mengembangkan sayap ajarannya pada aspek ekonomi masyarakat. NW membentuk dan membina Life skill masyarakat di setiap level dan elemen, guna membantu masyarakat dalam aspek peningkatan ekonomi ummat.
4.      Dakwah Jam'iyyah: NW sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di NTB tentu mengembangkan sayap organisasi di seluruh Indonesia bahkan ke Luar negeri.
5.      Dakwah Siyasiyyah: NW juga bergerak dalam ikut serta memberikan pendidikan politik di Indonesia khususnya di NTB.

Wallahu a'lam bi asshawab.
 

[1] Baca (Q.S. 17: 18,30: 7, 69: 38-39). Lihat juga penjelasannya pada Al-Qiyadah Al-Sya'biyah Al-Islamiyah Al-Alamiyah, Nahwa I'lam Al-Islamy, , cet.11, 2000, h. 15.
[2] Baca (QS.2:164, 5: 20-21, 41: 53).
[3] Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains Menurut al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1998), cet. X, h.39.
[4] Mahdi Ghulsyani, Filsafat- Sains.. h. 137.
[5] M.Darwis Hude, Dkk, Cakrawala Ilmu Dalam Al-Qur'an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), Cet.2. h.2-3.
[6] M.Darwis Hude, Dkk, Cakrawala..h.4.
[7]M.Syahrur, al-kitab wa al-Qur'an: Dialektika Kosmos dan Manusia: Dasar-dasar Epistimologi Qur'ani, terj. M.Firdaus, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), cet.1. h.150. Buku ini diterjemahkan dari bab kedua buku; M.Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an:Qira'ah Mu'ashirah, (Damaskus: al-Ahali li Thiba'ah wa al-Nashr wa al-Tauzi',1991).
[8] M.SYahrur, al-Qur'an wa al-Kitab... h.151.
[9] Abdul Muis, Komunikasi Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001) h. 23.
                [10]Muhammad al-Damiry, al-Shihâfah fi Dhau'i al-Islâm, (Madinah: Maktabah al-Islamiyah, 1403 H), cet. 1. h. 65.
[11] M.SYahrur, al-Qur'an wa al-Kitab…h. 207.
[12]Andi Faisal Bakti, Ph.D, dalam kata pengantar, buku: Suf Kasman, Jurnalisme Universal: Menelusuri Prinsip-prinsip Dakwah bi al-qalam dalam al-Qur'an, (Jakarta: Teraju, 2004) cet.1.h.x-xi
[13]Lihat Fakh al-Razy, Tafsir Al-Kabir,  Beirut: Dar al-Haya' al-Turats al-Arabi, 1990, atau disebut juga dengan Tasir al-Razi. h. 35.
[14] Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Ususun fi  al-Da'wah wa Wasail Nasyriha  (Oman: Dar al-Furqan, 1998/1419). h. 49.
[15]Amrullah Ahmad (ed), Dakwah Islam dan Perubahan Sosial (Yogyakarta : PLP2M,1985),Cet. II. h.2.
[16] Azyumardi Azra, Prolog : Nahdlatul Wathan dan Visi Kebangsaan Religius, dalam Moh. Nur, dkk, Visi Kebangsaan Religius : Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid 1904-1997, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2004), cet.1.h.xxviii.
[17] Azyumardi Azra, Prolog : Nahdlatul Wathan, h.xxviii
[18] Kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan kata sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.(lihat, A.S.Hormby, E V. Getenby, H.Wakefield, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, London : Oxford University Press, 1963, h. 748.)disini kata tersebut diterjemahkan dengan arti bijaksana atau dengan kebijaksanaan.  Kata  politic juga diambil dari kata Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti realiting to a citizen. Kedua kata tersebut juga dari kata polis yang bermakna city/kota.(lihat, Noah Webster’s, Webster’s New Twentieth Century Dictionary, (USA : William Collins Publishers, 1980, h. 437). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan politik sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan atau segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain atau cara bertindak dalam menghadapi atau mengenai suatu masalah dan kebijakan.( Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-III, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002, cet.ke-2, h. 886). Politik juga diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik, pressure group, hubungan-hubungan international dan tata pemerintahan semua ini merupakan kegiatan perseorangan maupun kelompok yang menyangkut kemanusiaan secara mendasar. (Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta : Iktisar Baru-Van Hoeve, 1984), jilid V, h.2739.
[19] A.M Romly, Dakwah dan Siyasah : Perjuangan Menegakkan Syariat Islam di Asia Tengah, Kaukasia, dan Rusia Abad VII-XX, (Jakarta : Bina Rena Pariwara, 2001), cet.1. h.6-7.
[20] Istilah pergerakan politik pertama kali dikenal melalui buku Plato yang berjudul Politeia yang juga dikenal Republik. Di sini diungkapkan bahwa arti sebenarnya dari Politeia adalah konstitusi, yakni suatu jalan atau cara bagi setiap orang untuk berhubungan dengan sesamanya dalam pergaulan hidup masyarakat. Kemudian baru muncul karangan Aristoteles yang berjudul Politeia, di mana konsep politik dalam dua karya besar tersebut menunjukkan sebagai konsep pengaturan masyarakat, dan bagaimana pemerintahan dijalankan agar terwujud sebuah masyarakat politik atau negara yang paling baik. (lihat, Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, (Jakarta : Rajawali Press, 1982) h. 11-12.)
[21] Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta : Rajawali Press, 1983), h. 94-95.
[22] Bandingkan dengan Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Persfektifnya, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1986), h.6. Cheppy berkesimpulan bahwa kekuasaan merupakan inti dari politik.
[23] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gremedia Pustaka Utama, 1998) h.8.
[24] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1999) h.2.
[25]Bahtiar Effendi, Repolitisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?,(Bandung : Mizan, 2000) cet.1, h.77. 
[26] Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan,1987), cet. 1, h. 30-31.
[27] Lihat Bukhari Muslim, Shahih Bukhari Muslim, bab al-imamah. Jilid  2. h. 124, lihat juga pada Imam Nawawi, Syarah Arbain Annawawiyah, (Surabaya : Thoha Putra, ttp) h. 20.
[28] Istilah yang populer untuk mempertegas pendapat ini adalah trilogi ukhuwwahUkhuwwah basyariyyah,(persaudaraan sesama manusia tampa memandang ras, dan lain-lain), Ukhuwwah wathaniyyah,(persaudaraan nasionalisme, persaudaraan berdasarkan suku bangsa),Ukhuwwah islamiyyah, (persaudaraan esklusif yang terbatas pada kesamaan agama dalam hal ini agama Islam).
[29] Arti dari ayat tersebut, mereka adalah orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf (kebaikan) melarang berbuat kejahatan (munkar) dan kepada Allahlah kembali segala urusan.(Baca, Depag RI, al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta : Depag RI, 1982),h.518. 
[30] Amin Rais menegaskan ciri politik kualitas rendah ini merujuk pada ajaran politik Machiavelli (politik Machiavellis) yang terkandung dalam buku The Princes. Lihat Amin Rais, Cakrawala..h.32.)
[31] M.Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001) cet. 1 h. 93. Penjelasan yang lebih elaboratif tentang relasi antara agama dan negara (al-diin wa al-daulah) dapat dilihat, Munawir Syazali, Islam dan Tata Negara : Ajaran Islam, Sejarah, dan Pemikirannya, (Jakarta: UI Press, 1993) edisi ke-5.

1 komentar: