Oleh: H.Fahrurrozi Dahlan
Dakwah Oralitas (Al-Da’wah bi al-Lisan)
Dakwah Jurnalitas/Tulisan (al-Da’wah bi al-Kitabah)
Isyarat al-Qur'an tentang ilmu pengetahuan dan
kebenarannya sesuai dengan ilmu pengetahuan hanyalah sebagai salah satu bukti
kemu'jizatannya. Ajaran al-Qur'an tentang ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas
ilmu pengetahuan (science) yang bersifat fisik dan empirik sebagai
fenomena, tetapi lebih dari itu ada hal-hal fenomena yang tak terjangkau oleh
rasio manusia.[1] Dalam hal ini, fungsi dan penerapan ilmu
pengetahuan juga tidak hanya untuk kepentingan ilmu dan kehidupan manusia
semata, tetapi lebih tinggi lagi untuk mengenal tanda-tanda, hakikat wujud dan
kebesaran Allah serta mengaitkannya dengan tujuan akhir, yaitu pengabdian
kepada-Nya.[2]
Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan
yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (science).
Al-Qur'an dan al-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan
ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada
derajat yang tinggi.[3]
Dalam al-Qur'an lebih dari sepuluh persen
ayat-ayat al-Qur'an merupakan rujukan-rujukan kepada fenomena alam. Termasuk
masalah kepentingan mendasar adalah menyingkap bentuk risalah yang
disebut-sebut ayat-ayat keilmuan yang didapati, bagaimana bisa memanfaatkannya.
Mengenai ini ada dua pandangan. Pertama,
bahwa al-Qur'an mencakup seluruh bentuk pengetahuan dan dengan demikian ia
mencakup unsur dasar ilmu-ilmu kealaman. Kedua, beranggapan bahwa
al-Qur'an semata-mata kitab petunjuk dan di dalamnya tidak ada tempat bagi ilmu
kealaman. Di masa sekarang banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat
dalam sorotan pengetahuan ilmiah modern. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan
mukjizat al-Qur'an dan untuk menjadikan kaum muslimin akan keagungan dan
keunikan al-Qur'an dan menjadikan kaum muslim bangga memiliki kitab agung
seperti ini.[4]
Al-Qur'an merupakan petunjuk utama bagi
manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Di dalamnya
terkandung dasar-dasar hukum yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Di
samping itu, al-Qur'an juga mengandung motivasi untuk meneliti alam dan
mencintai ilmu pengetahuan. Karena itu, sebagian isi kandungan al-Qur'an yang
cukup penting adalah ilmu pengetahuan. Memang, al-Qur'an tidak menyebutkan
semua persoalan secara eksplisit. Banyak hal dan masalah yang hanya disebut
secara implisit. Aspek ilmu pengetahuan dalam al-Qur'an tidak disebutkan secara
detail, melainkan secara global dan tugas manusialah untuk menemukan
spesifikasinya. [5] Di antara spesifikasi ilmu itu yang bisa
digali dalam al-Qur'an adalah ilmu yang berhubungan dengan media tulis menulis
yang lazim disebut jurnalistik.
Ilmu pengetahuan senantiasa memperbaharui
teori dan analisa seiring perkembangan zaman dan berlansung terus menerus
sesuai dengan kemajuan zaman. Sampai saat ini ilmu pengetahuan masih dalam
keadaan antara kurang dan lengkap, antara samar dan jelas, antara keliru dan
mendekati kebenaran, tapi al-Qur'an memuat prinsip-prinsip dasar ilmu
pengetahuan dan peradaban. Dengan begitu, al-Qur'an tidak dapat dikatakan
sebagai buku ilmiah atau ensiklopedi ilmu, tetapi ia lebih layak disebut
sebagai sumber yang memberikan motivasi dan inspirasi untuk melahirkan ilmu
pengetahuan dengan berbagai dimensinya, termasuk di dalamnya dimensi
kejurnalistikan.[6]
Q.S.al-Alaq menegaskan bahwa proses pewahyuan
terhadap Muhammad SAW adalah starting point pengetahuan, karena
bagaimanapun proses pewahyuan dimulai dengan perintah: iqra'(bacalah!).
Pembacaan adalah sebuah proses pengajaran, sehingga setelahnya muncul dua pilar
yang merupakan bagian dari pengetahuan. Yang pertama: bahwa wujud yang berada
di luar kesadaran manusia terbentuk dari tanda-tanda yang saling berhubungan
sebagiannya dengan sebagian yang lain. Kedua: adalah kesadaran manusia terhadap
tanda-tanda ini tidak mungkin bisa sempurna kecuali dengan at-taqlim,
yaitu pembedaan sebagian dari tanda ini dengan sebagian yang lain. Alat-alat
indera adalah instrument-instrument material untuk perbedaan indekatif secara
lansung.[7]
Melihat al-qalam dalam pengertian
metaforis sebagai alat-alat tulis terhadap abjad. Kita tidak bisa mengatakan bahwa
kita menulis surat dengan tinta putih pada kertas yang putih. Karena terhadap
yang demikian itu mata tidak bisa membedakannya. Akan tetapi jika misalnya
menulis diwarnai hijau pada kertas putih, ini adalah pembedaan pertama, lalu di
sana ada pembedaan yang kedua, yaitu terhadap huruf-huruf sehingga kita bisa
menyimbolkan suara nun dengan huruf nun, suara lam dengan
simbol huruf lam. Disebabkan karena ''nun' dan ''lam''
adalah dua huruf yang berbeda satu dengan yang lainnya. Kemudian kita
menyimbolkan keduanya dengan dua simbol yang berbeda untuk membedakan
perbedaan.[8]
Disebabkan karena dasar-dasar pengetahuan
manusia adalah kemampuan untuk membedakan pembedaan (qalam), yang pada
persepsi fua'adi mata berfungsi untuk membedakan warna, dimensi bentuk
yang menjadi kapasitasnya. Sedangkan telinga berfungsi untuk membedakan suara
sesuai dengan kapasitasnya pendengaran. Demikian juga indera-indera yang lain,
lalu setelah itu muncul pikiran abstrak dan pengetahuan mengenai hubungan
abstrak antara sebagian dengan sebagian yang lain, yang pertama kali adalah
melalui media bahasa lalu selanjutnya melalui media bahasa yang sifatnya
abstrak, bilangan dan symbol.[9]
al-Qur'an menginformasikan bahwa salah satu
media untuk mengadakan pembedaan yang sangat berperan dalam bahasa abstrak
manusia adalah suara ''nun''. Yang demikian itu terdapat dalam
firmannya'' nun, demi al-qalam dan apa yang mereka tuliskan
(Q.S.al-Qalam: 1). Kita bisa melihat di dalam bahasa Arab, bentuk umum yang
merujuk kepada sesuatu yang berakal ataupun tidak berakal adalah bentuk mim (ma) Q.S.an-Nahl: 49,'' dan
kepada Allahlah apa (ma) yang di langit dan apa (ma) yang di bumi
bersujud. Lalu digunakanlah ''nun'' guna membedakan yang khusus untuk
yang berakal yaitu dengan kata ''man'' (Q.S.AL-Ra'd:15) ''dan kepada
Allahlah siapa yang (man) di langit dan siapa (man) di bumi
bersujud baik dengan tunduk atau terpaksa. Ma (huruf mim) adalah
bentuk umum (sighah 'ammah) yang telah digunakan secara historis.
Sedangkan man adalah bentuk khusus (sighah khassah) untuk yang
berakal, yang muncul setelah ma yang di dalamnya digunakan suara nun (ma-n).
demikian juga nun memainkan peran dalam membedakan antara laki-laki
dengan perempuan. Yang demikian itu adalah pada nun an-niswah (nun
yang digunakan untuk menunjukkan jamak perempuan). Antum adalah bentuk
umum untuk laki-laki dan perempuan yang muncul sejak awal. Sedangkan antunna
adalah bentuk kalimat yang khusus untuk perempuan. Artinya bahwa mim
al-jamâ'ah mendahului nun al-niswah dalam penggunaan secara
historis.[10]
Dengan demikian bahwa suara nun dalam
konteks historisnya mempunyai peran sangat besar untuk memberikan pembedaan (al-taqlim).
Oleh sebab itulah suara nun diikuti dengan firman-Nya'' demi al-qalam''.
Dengan penambahan al-taqlim (pembedaan), maka bertambahlah suara susunan
dari segala dan inilah yang dinamakan attashthir (pengkomposisian). Oleh
sebab itulah dilanjutkan dengan ''wa ma yasthurun''. Yasthurûn
muncul dari kata sathara yang dalam bahasa Arab mempunyai asal yang
mandiri, yang menunjuk kepada makna keteraturan sesuatu (classification)
atau dengan istilah Arab (al-tashnif). Artinya bahwa al-qalam
adalah membedakan sebagian dari sesuatu dengan sebagian yang lain. Inilah yang
diistilahkan dengan identification. Lalu diikuti dengan menyusun segala
sesuatu sesuai dengan tempatnya, inilah yang dinamakan at-tashthir. Dari
kata sathara juga muncul kata al-usthurah (mitos) yaitu menyusun
sebagian dari segala sesuatu yang salah dengan sebagian yang lain, untuk
menghasilkan sebuah cerita. Oleh sebab itu dinamakan usthurah. Suara nun bisa menambahkan pembedakan
beberapa hal dari sebagian yang lain, di samping juga menambahkan pembedaan (al-taqlim)
yang membawa kepada adanya al-tashnif (penyusunan). Inilah yang
dikehendaki oleh Q.S. al-qalam: 1-2).[11]
Kelengketan al-Qur'an dengan jurnalistik Islam
yang membiaskan pengaruh yang sangat luas dan dalam, itu eksis dalam hubungan
keduanya yang seakan-akan saudara kembar atau pinang dibelah dua. Bahwa
al-Qur'an adalah ''kata Tuhan'' sementara jurnalistik adalah ''tulisan tangan
manusia'', menunjukkan kelengkapan persaudaraannya. Hubungan peran keduanya
dapat dipertegas bahwa al-Qur'an datang dari Tuhan ''pencipta segala sesuatu'',
sementara tulisan manusia berperan ''mengekspresikan sesuatu''.[12]
Pengajaran dengan al-qalam adalah suatu
yang mutlak bagi manusia dan selainnya. Dan di antara makhluk yang diajarkan
secara memadai dengan al-qalam adalah manusia. Para ahli tafsir
menafsirkan firman-Nya ''yang mengajarkan manusia dengan al-qalam''
adalah simbolisasi mengenai pengajaran menulis, sebab alat yang digunakan untuk
menulis adalah al-qalam (pena).[13]
Dalam memahami dan menangkap pesan jurnalistik
al-Qur'an kita tidak bisa begitu saja mencampuradukkan arti dari teks-teks yang
kita baca dengan budaya, ilmu dan ideology yang kita pegang, kita harus
meninggalkan dahulu hal tersebut untuk menggali pelbagai macam nilai, gagasan,
keyakinan dan pemikiran ilmiah serta sosial dari pesan-pesan yang tersurat
dalam teks-teks itu sendiri, walaupun toh nantinya kita temukan ketidaksesuaian
gagasan tersebut dengan keyakinan kita tersebut.
Betapa al-Qur'an dengan gamblang menjelaskan
pesan yang dibawanya, yaitu menerangkan kondisi sosial kemasyarakatan yang
dihadapi dan akan selalu ditemui oleh setiap gerakan dakwah pada waktu, tempat
serta karakteristik masyarakatnya yang berbeda-beda pula. Al-Qur'an juga tidak
luput memberikan gambaran bahwa kemampuan dan kesiapan masing-masing ummat
dalam mengikis kondisi dan merespon sesuatu yang baru banyak bergantung pada
beberapa hal. Pertama, situasi dan kondisi mental yang dihadapi oleh suatu
ummat dengan adanya peristiwa-peristiwa bersejarah yang pernah dihadapinya.
Kedua, kesiapan para pemimpin umat dalam menatap masa depan bangsanya dengan
terus mengobarkan semangat kebangkitan dan kemandirian dalam menyonsong sebuah
kemajuan.[14]
Dakwah Aksi (al-Da’wah bi al-Hal)
Dakwah Ekonomi Sosial (al-Da’wah bi al-Iqtishady al-Ijtima’iyy)
Dakwah Tradisi dan Organisasi (al-Da’wah bi al-Adiyah wa
al-Jami’iyyah)
Secara makro, eksistensi dakwah senantiasa bersentuhan dengan
realitas yang mengitarinya. Dalam persepektif historis, pergumulan Islam dengan
realitas sosio-kultural menjumpai dua kemungkinan. Pertama, dakwah Islam
mampu memberikan out-put (hasil, pengaruh) terhadap lingkungan, dalam
arti memberi dasar filosofis, arah, dorongan, dan pedoman bagi perubahan
masyarakat sampai terbentuknya realitas sosial baru. Kedua, dakwah Islam
dipengaruhi oleh perubahan masyarakat dalam arti eksistensi, corak dan arahnya.
Ini berarti bahwa aktualisasi dakwah ditentukan oleh sistem sosio-kultural.
Dalam kemungkinan yang kedua ini, sistem dakwah dapat bersifat statis atau ada
dinamika dengan kadar hampir tidak berarti bagi perubahan sosio-kultural.[15]
Islam kultural dalam perspektif umum adalah Islam yang mewujudkan
dirinya secara substantif dalam lembaga-lembaga kebudayaan dan peradaban Islam
lainnya; singkatnya, Islam minus politik. Dalam persepsi umum juga, Islam
kultural adalah Islam dakwah, Islam Pendidikan, Islam seni dan seterusnya.[16]
Berkaitan dengan ranah Islam kultural ini, para ulama/tuan guru
bergerak dalam bidang-bidang keagamaan. Kedudukan ini diperkuat juga dengan
pemberian status yang tinggi kepada mereka sebagai “pe waris para Nabi”. Dengan
demikian lengkaplah aura keilahian dan kesucian yang mereka sandang. Sebab itu
pula, ulama-setidaknya dalam perspektif orang awam-memiliki aura sakralitas,
yang pada gilirannya terjewantahkan dalam kekuatan kharisma tertentu, dan ulama
sendiri cukup waspada untuk memelihara dan melanggengkan aura kesucian yang
mereka pegang dengan, antara lain; tidak terlalu terlibat dalam urusan-urusan
yang bersifat propan dan sebaliknya, bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan
muru’ah. Inilah yang melestarikan kewibawaan, otoritas, dan kharisma
ulama vis a vis umat umumnya. Di sini pulalah terlihat hubungan yang
cukup jelas antara knowledge dan power dalam eksistensi ulama,
baik sebagai individu maupun sebagai kelompok yang mempunyai karakter dan
distingsi sosial yang khas.[17]
F.
Dakwah Politik (al-Da’wah bi al-Siyasy)
Sebagai hasil reformasi politik, muncul berbagai pergerakan
politik.[18]
Tujuan pergerakan politik kaum muslimin pada dasarnya adalah sama dengan tujuan
dakwah, yaitu terjaminnya pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya. Dalam
kontek ini, pergerakan politik memiliki makna seni sekaligus perjuangan.
Pergerakan politik dalam arti seni adalah suatu cara dan taktik mengubah
keadaan secara halus dan konsisten kearah yang diinginkan. Dipandang dari segi
ini, maka makna politik kemungkinan dan seni memungkinkan terwujudnya apa yang
diperlukan (La politique est I’ art du possible et I’art de render possible
ce qui est necessare). Sedangkan pergerakan politik dalam arti perjuangan
adalah suatu strategi menggalang semua potensi yang ada berupa sumber daya,
kelembagaan, dukungan dan peluang untuk mencapai tujuan. Dilihat dari segi ini,
maka makna politik adalah perjuangan untuk mencapai kekuasaan.[19]
Kedua makna pergerakan politik, baik dalam arti seni maupun dalam arti
perjuangan adalah suatu siyâsah yang dilaksanakan seiring dengan dakwah
demi tegaknya ajaran Islam dan terciptanya
kemulian masyarakat yang sejahtera (lii’lâ’i kalimatillâh wa izzil
islâm wa al-muslimîn).[20]
Menurut Dalier Noer, politik adalah segala aktivitas atau sikap
yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang dimaksud untuk mempengaruhi, dengan
jalan mengubah, atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[21] Pendapat
ini menunjukkan bahwa hakikat politik adalah perilaku manusia, baik
berupa aktivitas maupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi atau mempertahankan
tatanan sebuah masyarakat dengan menggunakan kekuasaan. Ini berarti bahwa
kekuasaan bukanlah hakikat politik, meskipun harus diakui bahwa ia tidak bisa
dipisahkan dari politik, justru politik memerlukannya agar sebuah kebijakan
dapat berjalan dengan kehidupan masyarakat.[22]
Menurut Miriam Budiardjo, sedikitnya ada lima pendekatan yang
digunakan untuk mendefinisikan istilah politik, pendekatan tersebut adalah
pendekatan kenegaraan (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy belived), dan
pembagian kekuasaan atau alokasi (distribution/allocation/ sharing power).
[23]
Sejalan dengan pendapat di atas, Ramlan Surbakti mengatakan
terdapat lima pendekatan dalam memahami politik. Pertama, pandangan
klasik yang mengatakan politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk
membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik secara
kelembagaan, artinya politik adalah segala hal yang terkait dengan
penyelenggaraan negara atau pemerintahan. Ketiga, politik sebagai
kekuasaan diartikan sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencapai dan
mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai
fungsionalisme, yaitu politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan
dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik, yaitu
kegiatan mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum
untuk mendapatkan atau mempertahankan
nilai-nilai.[24]
Kalau Negara Madinah pada masa nabi Muhammad SAW sebuah
eskperimentasi empiris- yang disebut oleh Robert N. Billah sebagai partisipatif
dan demokratis dalam sejarah politik Islam- dapat dijadikan contoh, maka akan
terlihat bahwa konstitusinya tidak menyebut Islam sebagai negara, akan tetapi
prinsip etis yang relevan dalam proses penyelenggaraan negara, antara lain :
nilai-nilai musyawarah (syûrâ), keadilan (‘adl), dan persamaan (musâwâh).[25]
Menurut tinjauan Islam, terdapat dua jenis politik, yaitu politik
kualitas tinggi (high politics)
dan politik kualitas rendah ( low politics). Menurut Amin Rais, paling
tidak ada tiga ciri yang harus dimiliki oleh politik kualitas tinggi, atau
mereka yang menginginkan terselenggaranya high politics;
Pertama, setiap jabatan politik pada hakikatnya amanah dari masyarakat,
yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Amanah itu tidak boleh disalahgunakan,
misalnya untuk memperkaya diri sendiri atau menguntungkan golongannya saja dan
melantarkan kepentingan umum.[26]
Kedua, setiap jabatan politik mengandung pertanggungjawaban (mas’uliyyah/accountability).
Sebagaimana diajarkan oleh Nabi, setiap orang pada dasarnya pemimpin yang harus
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya atau tugas-tugasnya.[27]
Ketiga, kegiatan politik harus dikaitkan secara ketat dengan
prinsip ukhuwwah (brotherhood), yakni persamaan di antara umat
manusia. Dalam arti luas, ukhuwwah melampui batasan-batasan etnik, rasial,
agama, latar belakang sosial, keturunan, dan sebagainya.[28]
Politik kualitas tinggi dengan ciri-ciri minimal tersebut sangat
kondusif bagi pelaksanaan dakwah yang berorientasi pada pelaksanaan amar
ma’ruf nahi munkar. Dan inilah indikasi yang diinginkan dalam dakwah
melalui partai politik yang sejalan dengan prinsip al-Qur’an surah al-Hajj ayat
41.[29]
Sedangkan politik dengan kualitas rendah dapat dicirikan sebagai
politik yang mengajarkan kekerasan (violence), brutalitas, dan
kekejaman, begitu juga penaklukan atas musuh-musuh politiknya, dimana musuh
politik tidak diberi kesempatan untuk bangkit, dan menghalalkan segala cara.[30]
Politik yang sejalan dengan konsep dakwah adalah politik yang
memiliki otoritas dan legitimasi moral, bukan hanya kekuasaan dan pertarungan
kekuatan, tapi yang paling esensi adalah politik sebagai wadah dan sarana yang
menghubungkan masyarakat dengan penguasa dalam mewujudkan kesejahteraan lahir
dan bathin.[31]
Dalam hal inilah sosok politikus secara tidak lansung berperan sebagai da’i
atau penyeru kepada kemashlahatan ummat.
Dalam kaitannya dengan dinamika sosial politik di tanah air,
kalangan pesantren termasuk di dalamnya tuan guru, dalam menjalankan perannya
sebagai lembaga dakwah juga terbelah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama,
pesantren lebih menitikberatkan pada pendekatan sosio-kultural. Pesantren/tuan
guru ini cenderung tertutup dan tidak bersedia pesantrennya dikunjungi oleh
elit politik dan pejabat pemerintah. Kelompok kedua, pesantren/tuan guru
yang terbuka kepada politik, bahkan ada yang terlibat dalam partai politik
praktis. Kelompok ini membuka pintu
lebar-lebar kepada elit politik atau pejabat pemerintahan.
Dakwah Spiritual (al-Da’wah bi al-Thariqah)
Model-Model
Dakwah Organisasi Nahdhatul Wathan
1.
Dakwah Tarbawiyyah:
Mendirikan lembaga pendidikan formal dan non formal lembaga terendah sampai
perguruan tinggi. NW sudah mengelola lebih dari 1000 lembaga pendidikan di
seluruh Indonesia. Ini bagian terpenting dalam dakwah tarbawiyyah Nadhatul
Wathan.
2.
Dakwah Ijtima'iyyah: NW
mengelola berbagai macam bentuk pengembangan sosial kemasyarakatan, seperti
Panti Asuhan. Puskestren, Koperasi Pondok Pesantren, KBIH, Takaful dan berbagai
macam kerjasama sosial yang dibina oleh Organisasi NW.
3.
Dakwah Iqtishodiyyah: NW
mengembangkan sayap ajarannya pada aspek ekonomi masyarakat. NW membentuk dan
membina Life skill masyarakat di setiap level dan elemen, guna membantu
masyarakat dalam aspek peningkatan ekonomi ummat.
4.
Dakwah Jam'iyyah: NW
sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di NTB tentu mengembangkan
sayap organisasi di seluruh Indonesia bahkan ke Luar negeri.
5.
Dakwah Siyasiyyah: NW
juga bergerak dalam ikut serta memberikan pendidikan politik di Indonesia
khususnya di NTB.
Wallahu
a'lam bi asshawab.
[1] Baca (Q.S. 17: 18,30: 7, 69: 38-39). Lihat juga penjelasannya pada
Al-Qiyadah Al-Sya'biyah Al-Islamiyah Al-Alamiyah, Nahwa I'lam Al-Islamy, ,
cet.11, 2000, h. 15.
[2] Baca (QS.2:164, 5: 20-21, 41: 53).
[3] Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains Menurut al-Qur'an, (Bandung:
Mizan, 1998), cet. X, h.39.
[4] Mahdi Ghulsyani, Filsafat- Sains.. h. 137.
[5] M.Darwis Hude, Dkk, Cakrawala Ilmu Dalam Al-Qur'an, (Jakarta
: Pustaka Firdaus, 2002), Cet.2. h.2-3.
[6] M.Darwis Hude,
Dkk, Cakrawala..h.4.
[7]M.Syahrur, al-kitab
wa al-Qur'an: Dialektika Kosmos dan Manusia: Dasar-dasar Epistimologi Qur'ani,
terj. M.Firdaus, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), cet.1. h.150. Buku
ini diterjemahkan dari bab kedua buku; M.Syahrur, al-Kitab wa
al-Qur'an:Qira'ah Mu'ashirah, (Damaskus: al-Ahali li Thiba'ah wa al-Nashr
wa al-Tauzi',1991).
[8] M.SYahrur, al-Qur'an wa al-Kitab...
h.151.
[9] Abdul Muis, Komunikasi Islam,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001) h. 23.
[11] M.SYahrur, al-Qur'an wa al-Kitab…h.
207.
[12]Andi Faisal Bakti, Ph.D, dalam kata pengantar, buku: Suf Kasman, Jurnalisme
Universal: Menelusuri Prinsip-prinsip Dakwah bi al-qalam dalam al-Qur'an,
(Jakarta: Teraju, 2004) cet.1.h.x-xi
[13]Lihat Fakh al-Razy, Tafsir Al-Kabir,
Beirut: Dar al-Haya' al-Turats al-Arabi, 1990, atau disebut juga dengan
Tasir al-Razi. h. 35.
[14] Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Ususun
fi al-Da'wah wa Wasail Nasyriha (Oman:
Dar al-Furqan, 1998/1419). h. 49.
[15]Amrullah Ahmad
(ed), Dakwah Islam dan Perubahan Sosial (Yogyakarta :
PLP2M,1985),Cet. II. h.2.
[16] Azyumardi
Azra, Prolog : Nahdlatul Wathan dan Visi Kebangsaan Religius, dalam Moh. Nur,
dkk, Visi Kebangsaan Religius : Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru
Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid 1904-1997, (Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 2004), cet.1.h.xxviii.
[17] Azyumardi
Azra, Prolog : Nahdlatul Wathan, h.xxviii
[18] Kata politik
berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan kata sifat pribadi
atau perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or
judging wisely, well judged, prudent.(lihat, A.S.Hormby, E V. Getenby,
H.Wakefield, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
London : Oxford University Press, 1963, h. 748.)disini kata tersebut
diterjemahkan dengan arti bijaksana atau dengan kebijaksanaan. Kata politic
juga diambil dari kata Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos
yang berarti realiting to a citizen. Kedua kata tersebut juga dari kata polis
yang bermakna city/kota.(lihat, Noah Webster’s, Webster’s New
Twentieth Century Dictionary, (USA : William Collins Publishers, 1980, h.
437). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan politik sebagai pengetahuan
mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan atau segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap
negara lain atau cara bertindak dalam menghadapi atau mengenai suatu masalah
dan kebijakan.( Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-III, (Jakarta : Balai
Pustaka, 2002, cet.ke-2, h. 886). Politik juga diartikan sebagai hal-hal yang
berhubungan dengan pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik, pressure
group, hubungan-hubungan international dan tata pemerintahan semua ini
merupakan kegiatan perseorangan maupun kelompok yang menyangkut kemanusiaan
secara mendasar. (Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta :
Iktisar Baru-Van Hoeve, 1984), jilid V, h.2739.
[19] A.M Romly, Dakwah
dan Siyasah : Perjuangan Menegakkan Syariat Islam di Asia Tengah, Kaukasia, dan
Rusia Abad VII-XX, (Jakarta : Bina Rena Pariwara, 2001), cet.1. h.6-7.
[20] Istilah
pergerakan politik pertama kali dikenal melalui buku Plato yang berjudul Politeia
yang juga dikenal Republik. Di sini diungkapkan bahwa arti sebenarnya dari Politeia
adalah konstitusi, yakni suatu jalan atau cara bagi setiap orang untuk
berhubungan dengan sesamanya dalam pergaulan hidup masyarakat. Kemudian baru
muncul karangan Aristoteles yang berjudul Politeia, di mana konsep
politik dalam dua karya besar tersebut menunjukkan sebagai konsep pengaturan
masyarakat, dan bagaimana pemerintahan dijalankan agar terwujud sebuah
masyarakat politik atau negara yang paling baik. (lihat, Deliar Noer, Pemikiran
Politik di Negara Barat, (Jakarta : Rajawali Press, 1982) h. 11-12.)
[21] Deliar Noer, Pengantar
ke Pemikiran Politik, (Jakarta : Rajawali Press, 1983), h. 94-95.
[22] Bandingkan
dengan Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Persfektifnya, (Yogyakarta :
Tiara Wacana, 1986), h.6. Cheppy berkesimpulan bahwa kekuasaan merupakan inti
dari politik.
[23] Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gremedia Pustaka Utama,
1998) h.8.
[24] Ramlan
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1999) h.2.
[25]Bahtiar
Effendi, Repolitisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?,(Bandung
: Mizan, 2000) cet.1, h.77.
[26] Amin Rais, Cakrawala
Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan,1987), cet. 1, h. 30-31.
[27] Lihat Bukhari
Muslim, Shahih Bukhari Muslim, bab al-imamah. Jilid 2. h. 124, lihat juga pada Imam Nawawi, Syarah
Arbain Annawawiyah, (Surabaya : Thoha Putra, ttp) h. 20.
[28] Istilah yang
populer untuk mempertegas pendapat ini adalah trilogi ukhuwwah: Ukhuwwah basyariyyah,(persaudaraan
sesama manusia tampa memandang ras, dan lain-lain), Ukhuwwah wathaniyyah,(persaudaraan
nasionalisme, persaudaraan berdasarkan suku bangsa),Ukhuwwah islamiyyah,
(persaudaraan esklusif yang terbatas pada kesamaan agama dalam hal ini agama
Islam).
[29] Arti dari ayat
tersebut, mereka adalah orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka
di muka bumi niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat ma’ruf (kebaikan) melarang berbuat kejahatan (munkar) dan kepada
Allahlah kembali segala urusan.(Baca, Depag RI, al-Quran dan Terjemahannya,
(Jakarta : Depag RI, 1982),h.518.
[30] Amin Rais
menegaskan ciri politik kualitas rendah ini merujuk pada ajaran politik
Machiavelli (politik Machiavellis) yang terkandung dalam buku The Princes.
Lihat Amin Rais, Cakrawala..h.32.)
[31] M.Din
Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001) cet.
1 h. 93. Penjelasan yang lebih elaboratif tentang relasi antara agama dan
negara (al-diin wa al-daulah) dapat dilihat, Munawir Syazali, Islam
dan Tata Negara : Ajaran Islam, Sejarah, dan Pemikirannya, (Jakarta: UI
Press, 1993) edisi ke-5.
izin share
ReplyDelete