Oleh: Fahrurrozi
ABSTRAK
Pemahaman sistematik dapat dibangun
melalui penghayatan dan pengamalan ajaran Islam secara holistik dan
komprehensif dari berbagai aspek ajaran Islam yang mencakup aqidah, ibadah,
akhlaq, dan aspek mu’amalah. Selama ini pemahaman tentang berbagai aspek ajaran
Islam tersebut ditangkap secara persial dan terpilah-pilah, serta tidak utuh.
Keempat dimensi ajaran tersebut seharusnya merupakan kesatuan dan kebulatan
yang utuh, yang terpisahkan hanya dalam tataran diskursus akademik, bukan dalam
tataran praktis. Adalah
suatu kenyataan bahwa tema-tema da’wah selama ini dikemas hanya dalam
pendekatan persial, tidak menyeluruh dan tidak sistematik. Hal itulah yang
berakibat timbulnya pemahaman keagamaan yang tidak mampu membangun kaitan dan sinergi
antara aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalah. Aqidah ummat memang sudah terlihat bertauhid, tetapi
akhlaqnya belum mencerminkan akhlaq Islam. Ibadah ummat memang sudah terlihat
taat dan tertib, tetapi mu’amalahnya belum mengindahkan prinsip-prinsip
mu’amalah yang diajarkan oleh Islam. Dalam
kerangka seperti itu ada yang perlu dielaborasi lebih lanjut terhadap
efektivitas dari ceramah dalam dakwah yang selama ini diterapkan.tulisan ini
mencoba untuk mengurai efektif dan tidaknya ceramah dalam dakwah islamiyah yang
selama ini diterapkan di kalangan masyarakat.
PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN
Dakwah memang berintikan mengajak
manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindarkan diri dari keburukan. Ajakan
tersebut dilakukan dengan cara yang lemah lembut dan menyejukkan. Dan ajakan
tersebut dilakukan dengan tujuan tegaknya agama Islam dan berjalannya sistem
Islam dalam kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Diharapkan masyarakat
memperoleh momentum untuk meningkatkan tarap hidup dan kesejahteraan, serta
menimbulkan suasana yang kondusif bagi tegaknya nilai-nilai agama. Sebagaimana yang dipahami, dakwah
adalah ajakan atau seruan untuk menciptakan suasana damai, tententeram, serta
penuh kesejukan. Dakwah merupakan ajakan untuk memahami, menghayati, dan
melaksanakan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Al-Bahi al-Khuli
menjelaskan pengertian dakwah dalam bukunya Tadzkirat
al-Du’at mengatakan bahwa dakwah adalah “Upaya memindahkan manusia dari
satu situasi kepada situasi yang lebih baik.”[1]
Kegiatan dakwah adalah sebuah proses sosial di mana dalam setiap proses dakwah
terdapat faktor yang saling berhubungan dan mempengaruhi antara satu faktor
dengan faktor lainnya. Adapun faktor-faktor yang dimaksud adalah:
a. Pelaksana
Dakwah (Da’i)
Da’i merupakan kunci
yang menentukan keberhasilan dan kegagalan dakwah. Oleh karena itu, dalam
faktor ini terdapat ciri-ciri serta persyaratan jasmani maupun rohani yang
sangat kompleks bagi pelaksana yang sekaligus menjadi penentu dan pengendali
sasaran dakwah.
b. Objek Dakwah
(Mad’u)
Objek atau sasaran
dakwah berupa manusia yang harus dibimbing dan dibina menjadi manusia beragama
sesuai dengan tujuan dakwah. Objek dakwah dilihat dari aspek psikologis
memiliki variabilitas yang luas dan rumit menyangkut pembawaan dan pengaruh
lingkungan yang berbeda yang menuntut pendekatan berbeda pula.
c. Lingkungan
Dakwah
Lingkungan dakwah adalah
faktor yang besar pengaruhnya bagi perkembangan sasaran dakwah, berupa individu
maupun kelompok manusia serta kebudayaannya.
d. Media Dakwah
Media dakwah adalah
faktor yang dapat menentukan kelancaran proses pelaksanaan dakwah. Faktor ini
kadang-kadang disebut defent variables, artinya dalam penggunaannya atau
efektivitasnya tergantung pada faktor lain terutama orang yang menggunakannya.
Namun kegunaannya bisa polypragmatis (kemenfaatan berganda) atau monopragmatis
(kemenfaatan tunggal) dalam rangka mencapai tujuan dakwah.
e. Tujuan Dakwah
Tujuan dakwah adalah
suatu faktor yang menjadi pedoman arah proses yang dikendalikan secara sistematis
dan konsisten.[2]
B.
TEORI CERAMAH
DALAM DIMENSI BAHASA DAKWAH
Dakwah adalah sebuah kata yang sarat dengan makna. Ia
merupakan suatu kewajiban syar’i sekaligus kewajiban ijtima’i (sosial masyarakat) yang harus ditegakkan, baik secara
pribadi maupun bersama-sama.
Pembahasan tentang teori dakwah, didasarkan pada pemahaman bagaimana para filosof dan
ahli bahasa mempelajari proses bahasa, sebagai pengantar bagi konseptualisasi
linguistik. Teori ceramah terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu
ilmu bahasa dan filsafat.[3] Dakwah memang
berintikan mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindarkan diri dari
keburukan. Pemahaman sistematik ini dapat dibangun melalui penghayatan dan
pengamalan ajaran Islam secara holistik dan komprehensif dari berbagai aspek
ajaran Islam.
Dakwah pada hakekatnya merupakan
proses untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, agar berubah dari satu kondisi
yang kurang baik kepada kondisi yang lebih baik. Dakwah berada pada titik upaya
mengembangkan suasana yang mendorong terciptanya rahmat dan kedamaian bagi
semesta alam adalah ajakan atau seruan untuk menciptakan suasana damai dan
tenteram penuh kesejukan. Pengertian tersebut dikembangkan oleh Ali Mahfudz, ia
mengatakan bahwa dakwah itu adalah: ”Mendorong manusia kepada kebaikan dan
petunjuk, menyuruh mereka berbuat yang ma’ruf dan mencegah mereka dari berbuat
yang munkar, agar mereka mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.”[4]
Dakwah berintikan pada pengertian
mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindarkan diri dari keburukan.
Ajakan tersebut dilakukan dengan cara yang lemah lembut dan menyejukan, ajakan
dilakukan dengan tujuan tegaknya agama Islam dan berjalannya sistem Islam dalam
kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Dakwah
juga bertujuan untuk menghidupkan atau memberdayakan, sehingga masyarakat
memperoleh momentum meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan, menimbulkan
suasana yang kondusif bagi tegaknya nilai-nilai agama Islam. Allah Swt
berfirman, yang artinya: ”Wahai orang-orang yang beriman! Perkenankanlah seruan
Allah dan RasulNya, apabila Ia menyeru kamu kepada apa-apa yang menghidupkan
(ruhani dan jasmani) kamu.[5]
Nasionalisme kita dalam berbangsa
dan bernegara harus selalu tertanam dalam kesadaran setiap generasi, terlebih
lagi generasi muda sebagai generasi pelanjut. Pernyataan Hubbul wathan minal
iman (Mencintai tanah air adalah sebagian dari iman), tidaklah bertentangan
jika tetap dikobrakan, meskipun pernyataan tersebut bukan sebuah hadits. Karena
secara taklifi, orang yang mati dalam mempertahankan haknya dipandang syahid.
Tanah air adalah hak kita bersama, yang tidak boleh tergadai kepada bangsa
lain.
C.
EFEKTIVITAS
METODE CERAMAH DALAM DAKWAH
Secara konseptual metode dakwah biasa disebut dengan
istilah ”Mau’izatul hasanah wa Mujahadah billati
hiya ahsan.” Metode ini biasa digunakan untuk tokoh-tokoh khusus
(pemimpin), misalnya para bupati, adipati, para raja, maupun para tokoh-tokoh
masyarakat setempat. Dasar metode ini adalah:
”Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.[6]
Para tokoh khusus itu diperlakukan secara personal,
dihubungi secara istimewa. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman
tentang islam, peringatan-peringatan secara lemah lembut, tukar pikiran dari
hati ke hati dan penuh toleransi. Ini yang dimaksud Mau’izatul Hasanah. Namun
apabila cara tersebut belum juga berhasil, barulah menggunakan cara berikutnya,
yakni Al Mujadalah billati hiya ihsan.
Metode tadarruj
atau tarbiyatul ummah dipergunakan
sebagai proses pengelompokan yang disesuaikan dengan tahap pendidikan ummat.
Agar ajaran Islam dapat dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh
masyarakat secara merata, maka tampaklah
metode yang ditempuh oleh para da’i didasarkan pada pokok pikiran ‘li kulli maqam maqal’, yakni memperhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat ada
tingkat, bidang materi dan kurikulumnya. Begitu pula saat menyampaikan ajaran
fiqih yang ditujukan terutama bagi masyarakat awam dengan jalan pesantren dan
melalui lembaga sosial.
Metode lembaga sosial melalui pendidikan sosial atau
usaha kemasyarakatan diupa yakan agar ajaran-ajaran Islam bersifat praktis
(mudah diterapkan) dapat menjadi tradisi yang memungkinkan terciptanya adat
islami dan bersifat normatif. Dengan begitu diharapkan ajaran islam secara
sadar atau tidak sadar masyarakaat telah menjalankan ajaran serta amalan yang
islami, karena memang sudah menjadi adat istiadat. Misalnya, menjadikan masjid
sebagai lembaga pendidikan, merayakan upacara kelahiran, pernikahan, kematian,
khitanan, dll.
Mengamati metode dakwah berupa ceramah ini
berikut bukti-buktinya, maka tidak berlebihan bila dikatakan, bahwa meneladani
metode dakwah sebagaimana pernah dilakukan oleh rasulullah saw. [7]
Teori konsep ceramah diperkenalkan oleh L. Austin
sejak tahun 1962, dan sekarang apa yang kita anggap sebagai teori
ceramah adalah yang dikembangkan anak didiknya John Searle. Menurutnya Teori ceramah terletak atas dasar
pendekatan bahasa yang prakmatis. (The concept of a speech act was proposed by
JL.Austin 1962, and what we now rhink of as speech act theory was most fully
developed by his protégé, John Searle).[8]
Kesuksesan dakwah tidak
akan terlepas dari bagaimana kita mengkomunikasikannya pada sasaran dakwah.
Bahasa yang merupakan alat komunikasi tidak boleh terlupakan, karena bahasa
merupakan sarana untuk menyampaikan pesan pada sasaran yang kita inginkan.
Dalam
kerangka mencapai efektivitas metode ceramah dalam dakwah, sebagaimana dipahami
bahwa dakwah adalah ajakan atau seruan untuk menciptakan suasana damai,
tenteram, serta penuh kesejukan. Dakwah merupakan ajakan untk memahami,
menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan nyata.
Dalam
kerangka seperti itu, dakwah mempunyai dua dimensi pokok, yaitu al-amr bi al-ma’ruf (menyuruh berbuat
kebaikan) dan al-nahyu ‘an al-munkar
(mencegah dari perbuatan mungkar). Kedua dimensi pokok ini bisa muncul secara
simultan, atau bisa juga dilaksanakan secara terpisah/berbeda. Pada satu saat
melaksanakan amar ma’ruf, sementara
pada waktu yang lain melaksanakan nahi munkar.[9]
Dakwah
memang berintikan mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindarkan
diri dari keburukan. Ajakan tersebut dilakukan dengan tujuan tegaknya agama
Islam dan berjalannya sistem Islam dalam kehidupan individu, keluarga dan
masyarakat. Dakwah adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan mempergunakan
metode yang bermacam-macam dan dilaksanakan oleh perorangan, sekelompok
komunitas, dan masyarakat.[10] Dakwah sebagai suatu ilmu,
merupakan tempat bertemunya ilmu-ilmu keislaman, dengan mempelajari ilmu dakwah
berarti juga hurus mempelajari ilmu-ilmu yang lain.
Islam
adalah agama dakwah, agama yang menyebarluaskan kebenaran dan mengajak
orang-orang yang belum mempercayainya untuk percaya, menumbuhkan pengertian dan
kesadaran agar ummat Islam mampu menjalani hidup sesuai dengan perintah,
sebagai tugas suci yang merupakan tugas setiap muslim.[11] Dalam melaksanakan tugas dakwah,
seorang Da’i dihadapkan pada kenyataan bahwa individu-individu yang didakwahi
memiliki keberagaman dalam berbagai hal, seperti ilmu, pengalam, kepribadian
dan lain-lain. Keberagaman tersebut menuntut seorang da’i untuk memahami mad’u
(pendengar) yang akan dihadapi. Seorang Da’i dituntut menguasai studi psikologi
yang mempelajari tentang kejiwaan manusia sebagai individu maupun anggota
masyarakat, baik fase perkembangan, anak, remaja,dewasa dan manula.
Kegiatan
dakwah adalah kegiatan komunikasi, baik perorangan atau kelompok. Semua hukum
yang berlaku dalam ilmu komunikasi berlaku juga dalam dakwah, hambatan yang ada
dalam komunikasi juga merupakan hambatan bagi dakwah, karena manusia yang menjadi
pelaku komunikasi dan pelaku dakwah sama, yaitu manusia yang berpikir,
berperasaan, dan berkeinginan. Peranan dakwah dengan komunikasi terletak pada
muatan pesannya, pada komunikasi sifatnya netral sedangkan pada dakwah
terkandung nilai keteladanan dan kebenaran.[12]
Setiap
pendekatan memandang manusia dengan cara dan sudut pandang yang berbeda.
Pendekatan sistem (system appoach)
adalah pendekatan yang dipergunakan dalam aktivitas dakwah. Ini berarti bahwa
keberhasilan suatu aktivitas dakwah tidak mungkin sukses, jika hanya dengan
satu atau dua faktor saja, tetapi keberhasilan dakwah ditentukan oleh kesatuan
faktor-faktor atau unsur-unsur yang saling mempengaruhi dan berhubungan satu
dengan yang lainnya.
Salah
satu unsur dakwah adalah mad’u yakni
manusia baik individu atau komunitas tertentu. Masyarakat sebagai objek dakwah,
salah satu unsur yang penting dalam sistem dakwah, karena masyarakat adalah
kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan
perasaan persatuan yang sama. Masyarakat dapat memiliki arti luas dan arti yang
sempit. Dalam arti yang luas masyarakat adalah keseluruhan hubungan dalam hidup
bersama dan tidak dibatasi oleh lingkungan, suku bangsa dan sebagainya. Dalam
arti sempet masyarakat adalah hubungan sekelompok manusia yang dibatasi oleh
aspek-aspek tertentu.
Dalam
Islam, manusia secara individu dianjurkan untuk memperhatikan dan meningkatkan
kualitas hidupnya, baik yang berkaitan dengan dunia yang dijalani saat ini,
ataupun kehidupan akhirat yang akan ia jalani kelak. Dalam kontek ajaran Islam,
individu tak bisa dipisahkan dari masyarakat, karena manusia diciptakan Allah
terdiri dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar
mereka saling mengenal dan saling memberi menfaat. Islam menghendaki adanya
keseimbangan yang propesional antara hak individu dan hak masyarakat, antara
kewajiban individu dan kewajiban masyarakat.
Al-Qur’an
sebagai petunjuk hidup manusia, membimbing mereka dalam membangun sebuah
masyarakat. Tatanan masyarakat yang dikehendaki Al-Qur’an adalah masyarakat
yang adil, berdasarkan etika dan dapat bertahan di muka bumi. Dakwah Islam
mengajak setiap individu dan masyarakat mewujudkan kehidupan yang tenteram,
aman, dan selamat sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Dakwah
dalam Islam merupakan tugas yang sangat mulia, tugas para nabi dan rasul, juga
menjadi tanggung jawab setiap muslim. Dakwah bukanlah pekerjaan yang mudah, dan
tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Sangat sulit untuk dibayangkan suatu
dakwah akan berhasil, jika seorang da’i tidak mempunyai ilmu pengetahuan yang
memadai dan kepribadian yang tidak baik.
Da’i
adalah salah satu faktor dalam kegiatan dakwah yang menempati posisi sangat
penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan dakwah. Setiap muslim
yang hendak menjadi da’i seyogianya memiliki kepribadian yang baik untuk
menunjang keberhasilan dakwah. Sosok da’i yang memiliki kepribadian sangat
tinggi dan tak pernah kering digali adalah pribadi Rasulullah Saw. Ketinggian
kepribadian Rasulullah telah dijelaskan
Allah dengan firman-Nya,
yang artinya: ”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagi kamu yaitu bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan
kedatangan hari Akhir dan dia banyak menyebut nama Allah.
Setiap
individu muslim dapat berperan aktif dalam pekerjaan dakwah dengan profesinya
masing-masing, tidak perlu menunggu menjadi pengurus dalam lembaga dakwah atau
masjid tertentu baru melakukan dakwah. Pelaku bisnis bisa berperan memenfaatkan
waktu, kesempatan dan kekayaan mengajak muslimlainnya untuk mendukung
kelancaran dakwah yang menjadi kewajiban setiap muslim. Aparat
pemerintah dan yang terkait bisa berperan memenfatkan ruang gerak,
mempasilitasi kelancaran tugas dakwah. Bahkan kulipun dengan tenaga yang
dimiliki sangat bermenfaat memperlancar pelaksanaan dalam pekerjaan dakwah.
Jasa-jasa itu semua adalah dakwah, amal mulia di hadapan
Allah Swt.
Dalam dakwah seorang muslim harus
mendahulukan hal-hal yang lebih utama, memproritaskan dakwa disuatu wilayah
atas wilayah lain. Dakwah kepada orang yang rendah hati lebih didahulukan dari
pada orang yang sombong, karena orang yang rendah hati lebih mudah menerima dan
mau melakukan kebenaran. Memberikan proritas bukan berarti meninggalkan yang
lain, ini hanyalah berupa tahapan, artinya dakwah tidak terbatas, dakwah hurus
menyentuh semua sudut dan lapisan kehidupan baik individu maupun masyarakat.
Jalan dakwah adalah perjalanan yang
sangat panjang, apalagi sekarang kejahiliyahan merajalela dan semakin meluas di
berbagai sudut dan lapisan. Dalam menghadapi persoalan di atas, maka sorang
da’i dituntut harus mampu membagi langkah-langkah dakwahnya menjadi beberapa
tahap sesuai dengan keperluannya, mulai dari yang mudah hingga pada tahap yang
sulit.
Ummat muslim harus menyadari hakikat
dan rialitas hidupnya, hubungannya dengan Allah, hubungan sesama manusia, dan
hubungannya dengan alam semesta. Semua pengetahuan diperoleh melalui petunjuk
dari Allah Swt, sunnah Rasul, dan pemikiran yang mendalam dan benar. Pada
dasarnya gerak manusia memancar dari pandangan yang dimilikinya, jika
pandangannya benar maka gerakannya akan benar, maka meluruskan pandangan
(pemahaman) sangat penting, agar benar dalam melihat realita. Islam harus
dipandang menyeluruh sebagai aqidah dan akhlaq, ibadah dan aturan hidup serta
agama yang bersifat universal. Manusia harus dipandang menyeluruh sebagai akal,
fisik,dan hati. Alam juga harus dipandang menyeluruh, bahwa penciptaannya
adalah untuk kebaikan manusia dan diatur oleh hukum alam yang tidak bisa
ditundukkan oleh manusia.
Menyampaikan dakwah dan pelaksanaan
pendidikan harus berpangkal pada orisinilitas, yaitu tetap berpegang pada
nilai-nilai dasar Islam di samping pada nilai kekinian. Peluang dibuka untuk
menyerap hasil teknologi peradaban modern dalam setiap aspek kehidupan, selama
tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam. Antara dakwah dan pendidikan
harus dilaksanakan seimbang, karena dakwah berguna untuk memberi petunjuk
kepada ummat, sedangkan pendidikan berguna untuk membekali para da’i dengan
ilmu agar bisa mengajarkan, mengajak, dan menuntun ummat memperkuat agama
Islam.
Dakwah merupakan kewajiban setiap
muslim, kewajiban mengajak berbuat baik dan mencegah dari kemungkaran. Oleh
karena itu gerakan dakwah memiliki komitmen, bahwa Islam adalah ilmu sebelum
amal dan ada keserasian antara ucapan dan perbuatan. Ketika manusia menjadi
obyek dakwah, manusia tidak sama dalam menyekapi ajakan, maka dengan muhasabah
diri dan penyadaran hati bisa mengingatkan akan kerendahan manusia dan
keagungan Rabb-Nya.
Di era globalisasi
seperti saat ini tantangan dakwah semakin berat. Perang antara kebenaran dengan
kebathilan akan semakin terbuka. Kita belum pernah meneliti berapa orang du’at yang diperlukan untuk setiap
seribu orang, bahkan kita tidak tahu persis berapa orang du’at yang saat ini aktif ada di masyarakat. Namun jelas ummat kita
sedang defisit (kekurangan) da’i, banyak daerah dan bidang yang belum tersentuh
oleh dakwah. Dengan luasnya wilayah pengkaderan du’at seharusnya tidak boleh
terputus. Globalisasi membuat kita berada pada ‘the global village’ kampung kecil yang sling mempengaruhi antara satu budaya
dengan budaya lain, antara satu keyakinan dengan keyakinan lain tidak dapat
dielakkan. Ummat tidak bisa diminta menutup diri, satu cara yang mungkin
dilakukan adalah membentengi idiologi dalam diri ummat, sampai mampu menjadi
berbeda dalam keragaman, tidak larut kepada nilai non-islami
dalam era globalisasi yang terbuka saat ini.[13]
Melihat beratnya tantangan dan
luasnya wilayah yang harus dijangkau kita menyadari bahwa negeri kita banyak
membutuhkan tenaga du’at, du’at yang
matang dalam pemikiran, mantap dalam keyakinan, dan cerdas arif dalam
bertindak. Kita mengemban amanat mengkader du’at
tidak hanya sekedar memiliki kuda-kuda kokoh karena teguh kepada Al-Qur’an,
hadits, dan ber-manhaj
salaf al-shaleh, tetapi juga harus memiliki kecakapan dalam beradaptasi
dengan tantangan globalisasi dan medernisasi.
Di era globalisasi ini dakwah telah
menembus teknologi komunkasi melalui media elektronik dimana sarana tersebut
mampu masuk ke dalam rumah-rumah keluarga muslim dan terbukti efektif dalam
menjalankan fungsi dakwah. Hal ini memberikan harapan yang baik bagi
perkembangan dakwah itu sendiri. Semakin kompleks persoalan, semakin tinggi
tuntutan kreativitas dalam menentukan media yang digunakan dalam pelaksanaan
dakwah. Da’i dituntut untuk memiliki kompetensi minimal disamping literasi
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai kompetensi utama. Pengetahuan sosiologis,
pengetahuan komunikasi, dan pengutahuan manajemen merupakan kompetensi yang
akan memberikan nilai tambah. Da’i tidak hanya dituntut menguraikan nilai-nilai
yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tapi juga dituntut mampu
menjabarkannya dalam kontek yang relevan dengan realitas masyarakat.
Dakwah memiliki demensi ruang dan
waktu, ada hal-hal yang perlu dilakukan dalam jangka panjang dan ada jangka
pendek. Dakwah harus menggunakan taktik dan strategi untuk mencapai sasara
maksimal yang diharapkan. Taktik dikatakan sebagai ”Techniques
how to win a battle, sementara strategi adalah techques how to win a war” Taktik menjangkau sasaran yang lebih
kecil dan berskala pendek, sementara strategi teknik yang menjangkau sasaran
yang lebih besar dan berskala panjang.[14]
Dalam tataran praktis, dakwah dapat
meminjam metode yang digunakan ilmu-ilmu sosial dalam rangka pemetaan objek dan
medan dakwah. Kompleksitas masyarakat menuntut pemetaan dakwah sebelum
dilakukan kegiatan dakwah, agar sasaran dan target terukur dan tercapai.
Pemetaan dakwah akan sangat efektif jika dilakukan secara terlembaga.[15]
Kompleksitas masalah sosial terkait dengan karakteristik masyarakat. Kompleksitas
masalah sosial akan menentukan isu yang seharusnya dijadikan topik sesuai
dengan kebutuhan, masalah dan aspirasi masyarakat.
Dakwah transformatif merupakan model dakwah, yang tidak hanya mengandalkan
dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan materi-materi keaagamaan kepada
masyarakat, yang memposisikan da’i sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan,
tetapi menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan riil
masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung.
Dengan demikian, dakwah tidak hanya untuk memperkukuh aspek relijiusitas
masyarakat, melainkan juga memperkukuh basis sosial untuk mewujudkan
transformasi sosial. Dengan dakwah
transformatif, da’i diharapkan memiliki fungsi ganda, yakni melakukan aktivitas
penyebaran materi keagamaan dan melakukan pendamping masyarakat. [16]
Di sinilah, para da’i memiliki peran yang strategis dalam merubah pandangan
keagamaan masyarakat. Sebab, pemahaman keagamaan masyarakat biasanya sangat
dipengaruhi oleh para da’i (ustadz, dan kyai). Oleh karena peran mereka yang
begitu besar dalam memproduksi pemahaman agama masyarakat, maka sangat
diperlukan model dakwah yang mampu melakukan perubahan dalam teologi dan praktik
sosial.
Islam sejak awal sesungguhnya menjadi bagian dari upaya perubahan sosial,
ketika terjadi praktik penindasan, kesewenang-wenangan, kezhaliman, dan segala
perilaku sosial yang tidak adil. Secara konseptual, ajaran Islam justru ingin
menghilangkan praktik penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
Namun, ajaran Islam sekarang ini kehilangan makna substansialnya dalam menjawab
problem-problem kemanusiaan. Yakni, ketika agama tidak lagi berfungsi sebagai
pedoman hidup yang mampu melahirkan sikap kritis dan objektif di dalam segala
aspek kehidupan umat manusia. Atau dengan kata lain, keberagamaan masyarakat
pada umumnya belum bersifat transformatif; agama hanya dinilai sebagai suatu
yang transendental atau di luar realitas sosial.
Dari gambaran tersebut jangan heran bila acap kali kita temui sketsa atau
potret agama yang kontradiktif, timpang, paradoks antara tingkat kesalehan
individu dengan kesalehan sosial. Sekadar contoh, banyak umat Islam yang
melakukan ibadah haji berkali-kali, sedangkan tetangganya tidak bisa
menyekolahkan anaknya. Bahkan, ada pejabat yang berhaji puluhan kali dengan
menggunakan uang hasil korupsi.
Padahal, sejak awal Islam hadir di muka bumi ini memiliki visi
transformatif. Dengan kata lain, bukan sekadar perubahan akidah dari Jahiliyah
ke Islam, tetapi juga melakukan perubahan sosial dari masyarakat yang tidak
adil, zalim, dan sewenang-wenang berubah menjadi masyarakat yang adil, damai,
dan menghargai perbedaan kelas sosial. Karena itulah dakwah Islam yang
dilakukan pertama kali memiliki visi yang jelas tentang landasan transformatif.
Yakni, sikap teologis yang mengharuskan setiap kaum beragama untuk membawa dan
membumikan ide-ide agama dalam pergulatan hidup secara kolektif untuk
menegakkan tatanan sosial yang adil. Ini artinya, Islam transformatif
menyangkut upaya penafsiran terhadap wahyu yang memihak orang-orang tersingkir,
tertindas dari mobilitas sosial, atau bahkan tersubordinasi akibat
developmentalisme, kapitalisme, serta pasar bebas yang kian menggurita.
Dalam visi transformatif, ada kepedulian terhadap nasib sesama yang akan
melahirkan aksi solidaritas yang bertujuan mempertalikan mitra insani atas
dasar kesadaran iman bahwa sejarah suatu kaum hanya akan diubah oleh Tuhan jika
ada kehendak dan upaya dari semua anggota kaum itu sendiri. Transformasi
merupakan jalan yang paling manusiwai untuk mengubah sejarah kehidupan umat
manusia. Sebab, dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan dan bukan
pengarahan apalagi pemaksaan. Transformasi pada dasarnya juga adalah gerakan
kultural yang didasarkan pada liberalisasi, humanisasi, dan transendensi yang
bersifat profetik. Yakni pengubahan sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat
sendiri ke arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansipatoris.
Dalam basis konseptual ini, peran da’i adalah sebagai
agamawan organik; lebih menganjurkan peran dan fungsi kaum beragama yang tidak
terlena dalam kesalehan pribadi, melainkan sebagai artikulator yang pandai
menangkap pesan-pesan agama serta memiliki kesadaran kolektif yang tinggi
terhadap perubahan sosial. Keberadaannya tidak hanya mengurusi masalah
spiritualitas, tetapi mampu melakukan perubahan nyata di masyarakat.
Semuanya ini adalah tantangan bagi para da’i untuk
membebaskan dirinya dari belenggu primordialnya sebagai elite agama yang selama
ini berada di menara gading, hanya berceramah dan menasehati umat tanpa pernah
melakukan upaya konkret terhadap kerja-kerja sosial. Karena itulah, orientasi
dakwah Islam sudah saatnya dirubah; tidak lagi menampilkan warna simboliknya,
melainkan menampilkan makna hakikinya, yakni keberagamaan substansial yang ikut
menyelesaikan problem-problem sosial di masyarakat. Makna substansial dalam
beragama ditunjukkan dengan membawa ajaran agama ke dalam pesan-pesan
universal; seperti melawan kezhaliman dan penindasan, menegakkan keadilan, dan
memberikan keselamatan dan kedamaian
dalam kehidupan masyarakat.
Bila kita ingin
melakukan proses pemberdayaan ummat melalui dakwah, maka sekurang-kurangnya ada
lima langkah issu dakwah yang harus dilakukan.
Pertama, materi dakwah sebagai ajakan atau
seruan kepada Islam dan petunjuk Allah harus dikemas secara sistematik dalam
pemahaman setiap individu dan masyarakat muslim. Pemahaman sistimatik ini dapat
dibangun melalui penghayatan dan pengamalan ajaran Islam secar holistik dan
konprehensif dari berbagai aspek ajaran Islam yang mencakup aqidah, ibadah,
akhlak dan aspek mu’amalah. Secara
sistematik, keempat dimensi ajaran tersebut seharusnya merupakan kesatuan dan
kebulatan utuh yang tak terpisahkan, kecuali hanya dalam tataran diskursus
akademik, bukan dalam tataran praktis. Adalah satu kenyataan bahwa tema-tema
dakwah selama ini dikemas hanya dalam pendekatan persial, tidak menyeluruh dan
tidak sistematik. Aqidah ummat memang sudah terlihat bertauhid, tetapi
akhlaknya belum mencerminkan akhlak Islam. Ibadah
ummat memang sudah terlihat taat dan tertib, tetapi mu’amalahnya belum
mengindahkan prinsip-prinsip mu’amalah yang diajarkan oleh Islam.
Kedua, karena pada hakekatnya dakwah
adalah proses yang menghidupkan atau memberdayakan, baik individu maupun
masyarakat, maka harus ada upaya untuk pemberdayaan, yang disebut konsep dakwah
bilhal.
Ketiga, Merumuskan materi dakwah yang
berkaitan dengan ajakan dan dorongan kepada masyarakat agar berkiprah dalam
segala didang pembangunan, untuk dapat berkembang secara profesional, agar
dapat menggerakkan pertumbuhan dan peningkatan professionalisme serta moralitas
di masyarakat.
Keempat, Dakwah hendaknya tampil dengan wajah
sejuk dan damai dengan penekanan peningkatan kualitas akhlak yang mulia yang
termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat (mad’u). Tema-tema
yang berkaitan dengan ukhuwah Islamiyah, kesetiakawanan sosial, harus menjadi
agenda utama. Dakwah datang ajakan, bukan menghakimi. Amar makruf dan Nahyi
Munkar, sebagai bagian esensial
dakwah, perlu ditampilkan secara ramah dan menyejukkan.
Kelima, Dakwah juga harus berbicara tentang
tema memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Tidaklah berlebihan bila
dikatakan, bahwa peletak dasar berdirinya republik adalah para tokoh dan
pemimpin bangsa terbaik. Mereka telah meletakan fondasi berdirinya republik di
atas kesadaran relegius yang tinggi.[17]
D. Kesimpulan
Metode
ceramah dalam dakwah sangat memegang peranan penting yang tidak bisa diabaikan,
agar dakwah dapat berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Metode
ceramah dalam dakwah ada beberapa macam diantaranya, pendekatan, keteladanan, mau’izatul hasanah wa mujahadah billati hiya
ahsan, tadarruj atau tarbiyatul ummah dan lain-lain. Tantangan
dalam dakwah sangat kompleks, mulai dari permasalahan individu, keluarga, dan
masyarakat pada umumnya. Tantangan tersebut menjadi tuntutan bagi seorang da’i
untuk mempersiapkan diri dalam mencapai kesuksesan dakwahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bahi al-Khuli, Tadzkirat al-Du’at, Mesir: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, 1952.
Katherine Miller, Communication Theories Perspectives,
Processes, And Contexts, Second Edition,
Syekh Ali Mahfudz, Hidayat Al-Mursyidin Ila Thuruq al-Wa’dzi wa
al-Khithabah, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.
Risalah Dakwah Vol, 5
No. 1, Juni 2003.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, surat
16, ayat 125
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa-Telaah Metode
Dakwah Walisongo,Cet.III, Sya’ban 1416 H/1996 M, penerbit Mizan.
Katherine Miller, Communication
Theories Perspectives, Processes, And Contexts Second Edmon,
Risalah Dakwah, Vol.
5, no. 1, Juni 2003.
Armawati Arbi, Dakwah
dan Komunikasi, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003.
Faizah, H. Lalu
Muchsin Effendi, Psikologi Dakwah,
Jakarta: Kencana, 2006.
Ulil Amri Syafri.dkk, Dakwah
Mencermati Peluang danProblematikanya, STID Muhammad Nasir Press, 1428
H./2007 M.
Fuad Amsyari, Strategi
dan Taktik Dalam Perjuangan Islam, 1988.dikutip oleh,Ulil Amri Syafti dkk,
Dakwah Mencermati Peluang dan Problematikanya, STID Mohammad Natsir Press, 1428
H./2007 M.
Khamamizada, Dakwah Transpormatif Mengantar Da’i
Sebagai Pendamping Masyarakat
(Makalah disampaikan dalam pelatihan dakwah yang diselenggarakan PP.LDNU tgl,
29 Sept 2006 di Jakarta.
[1] Al-Bahi
al-Khuli, Tadzkirat al-Du’at, Mesir:
Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1952. h, 27.
[2] H.M.
Arifin, Psikologi dan Dakwah, h.
137-138.
[3]Katherine
Miller, Communication Theories
Perspectives, Processes, And Contexts, Second Edition, h. 146.
[4]Syekh Ali
Mahfudz, Hidayat Al-Mursyidin Ila Thuruq
al-Wa’dzi wa al-Khithabah, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th. h. 17.
[5] QS-Al-Anfal
ayat: 24.
[6] QS An-Nahl
(16): 125 . lihat juga, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, surat
16, ayat 125.
[7]Widji
Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa-Telaah Metode Dakwah Walisongo, (Bandung: Penerbit
Mizan, Cet. III, Sya’ban 1416 H/1996 M.
[8] Katherine
Miller, Communication Theories Perspectives, Processes, And Contexts
Second Edmon, h. 146.
[9] Risalah
Dakwah, Vol. 5, no. 1, Juni 2003, h. 17.
[10] Armawati
Arbi, Dakwah dan Komunikasi, Jakarta: UIN Jakarta Press,
2003. h. 2.
[11] Faizah, Psikologi Dakwah, (Jakarta:
Kencana, 2006). h. 35
[12] Faizah, Psikologi
Dakwah, h. 37.
[13] Ulil Amri
Syafri.dkk, Dakwah Mencermati Peluang danProblematikanya, STID Muhammad
Nasir Press, 1428 H./2007 M. hlm. 196.
[14]Fuad
Amsyari, Strategi dan Taktik Dalam Perjuangan Islam, 1988.dikutip
oleh,Ulil Amri Syafti dkk, Dakwah Mencermati Peluang dan Problematikanya, STID
Mohammad Natsir Press, 1428 H./2007 M. hlm. 55.
[15] Khairul
Fuad, Da’wah Mencermati Peluang dan Problematikanya, 55.
[16]Khamamizada,
Dakwah Transpormatif Mengantar Da’i Sebagai
Pendamping Masyarakat (Makalah disampaikan dalam pelatihan dakwah yang
diselenggarakan PP.LDNU tgl, 29 Sept 2006 di Jakarta.
[17] Risalah
Dakwah, Vol. 5. No.1. 2003, hlm. 17-18.
0 komentar:
Post a Comment